Anda di halaman 1dari 61

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hepar merupakan salah satu organ penting dalam menjalankan fungsi

metabolisme, detoksifikasi, bahkan inaktivasi obat atau senyawa beracun lainnya

seperti radikal bebas, sehingga hepar dapat dikatakan sebagai fungsi pertahanan

dan pelindung tubuh (Linawati et al., 2008). Tingginya paparan dari berbagai

polutan dan senyawa beracun pada tubuh dapat menyebabkan meningkatnya

risiko kerusakan hepar salah satunya berupa peradangan pada sel hepar.

Peradangan pada hepar terjadi bila kemampuan hepar dalam menjalankan

fungsinya sudah melewati ambang batas (Price dan Wilson, 2012).

Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang serius berupa peradangan

hepar yang terjadi secara difus dan dapat menyebabkan komplikasi parah bahkan

dapat menyebabkan kematian. Tingkat insiden dan kematian bervariasi dengan

setiap jenis penyakit (Remedy Health Media, 2015). Departemen Kesehatan

(Depkes) tahun 2014 menyatakan sebanyak 1,5 juta penduduk dunia setiap

tahunnya meninggal karena hepatitis dan mengalami peningkatan jumlah angka

kematian 2 kali lipat dibanding dengan riset yang dilakukan pada tahun 2007 dan

2013 (Depkes, 2014).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan prevalensi

hepatitis di Indonesia mengalami peningkatan dua kali lebih tinggi dibanding

dengan tahun 2007, yaitu 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,2% pada tahun 2013.

Pada tahun 2013, lima daerah dengan prevalensi hepatitis tertinggi berturut-turut

berada di Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%),

1
2

Sulawesi Tengah (2,3%), dan Maluku (2,3%). Provinsi Aceh menduduki posisi 8

tertinggi dari provinsi yang ada di Indonesia yang memiliki angka prevalensi di

atas rata-rata nasional, yaitu 1,8% (Riskesdas, 2013). Riskesdas pada tahun 2007

menyatakan Kabupaten Aceh Utara merupakan kabupaten dengan prevalensi

hepatitis kedua tertinggi setelah Kabupaten Aceh Timur, yaitu dengan prevalensi

hepatitis 3,1%, sedangkan di Kota Lhoksemawe didapatkan 0,5% (Riskesdas,

2009).

Hepatitis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti penyakit

autoimun primer (hepatitis lupoid), infeksi virus, obat (seperti parasetamol,

oksifenisatin, metildopa, nitrofurantoin, isoniazid, dan lain-lain), alkoholisme, dan

defisiensi alfa-l-antitripisin (Hamidy et al., 2009). Selain hal tersebut, hepatitis

dapat disebabkan oleh zat toksik (hepatitis toksik), yakni kerusakan hepar yang

terjadi adalah akibat zat-zat yang bersifat toksik (Hamidy et al., 2009).

Hepatitis toksik dapat diakibatkan oleh pemberian Bahan Tambahan

Makanan (BTM) salah satunya yaitu pemberian pewarna sintesis makanan yang

bersifat toksik (Corwin, 2009). Pemberian pewarna sintesis makanan golongan

azo dalam kadar berlebihan dari yang telah ditetapkan dapat menimbulkan

kerusakan pada hepar yang dapat terlihat dalam waktu cepat berupa peradangan

dan degenerasi lemak pada hepatosit, sehingga berakhir dengan kematian sel

(Al-Dahhan et al., 2014).

Salah satu jenis pewarna makanan yang sering digunakan adalah

Tartrazine. Tartrazine adalah jenis pewarna sintesis yang memberikan warna

kuning pada beberapa produk pangan (Amin et al., 2010). Produk yang
3

mengandung Tartrazine biasanya dipakai untuk gula-gula, minuman ringan dan

minuman berenergi, puding instan, sereal, mustard bubuk, es krim, permen, dan

lain-lain (Lampiran 1). Selain itu juga dipakai pada produk sabun, sampo,

kosmetik, perawatan rambut, krayon serta stempel berwarna. Pada produk

pengobatan seperti vitamin, obat resep, dan obat kapsul juga mengandung

Tartrazine (Ekasari, 2010).

Batas penggunaan maksimum bahan pewarna makan telah ditetapkan

dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No. 722/MEN.KES.PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan (BTM), kadar

Tartrazine untuk minuman dan makanan cair yaitu 70 µg/mL dalam setiap produk

siap konsumsi. Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

sesuai Acceptable Daily Intake (ADI) penggunaan Tartrazine di Indonesia, yaitu

0 sampai 7,5 mg/kg berat badan (BPOM RI, 2013).

Penggunaan pewarna sintesis Tartrazine telah dilarang di Eropa dan

Jepang dan lebih merekomendasikan pewarna alami seperti beta karoten. Efek

samping dari Tartrazine ini dapat merusak beberapa organ tertentu seperti hepar,

ginjal, otak, dan lain-lain (Nugraheni, 2014).

Berdasarkan paparan tersebut, untuk menentukan tingkat keamanan

pemakaian BTM khususnya Tartrazine dalam suatu produk makanan maka akan

dilakukan percobaan pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan.

Dosis yang digunakan adalah dosis yang telah ditetapkan BPOM yaitu 0 sampai

7,5 mg/kg berat badan yang akan dikonversikan ke dosis tikus, sehingga
4

didapatkan tingkatan dosisnya sebesar 3,5 mg/150grBB/hari, 7 mg/150grBB/hari

dan 14 mg/150grBB/hari.

1.2 Rumusan Masalah

Hepatitis toksik merupakan peradangan yang terjadi pada hepar akibat

paparan racun tertentu. Salah satu penyebabnya bisa karena pemberian pewarna

sintesis yang bersifat toksik. Tartrazine merupakan salah satu jenis pewarna

sintesis yang sering digunakan dalam beberapa produk dalam kehidupan sehari-

hari seperti makanan, minuman, sabun, kosmetik serta obat-obatan.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine

peroral dengan dosis 3,5 mg/150grBB/hari terhadap gambaran nekrosis

hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?

2. Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine

peroral dengan dosis 7 mg/150grBB/hari terhadap gambaran nekrosis

hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?

3. Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine

peroral dengan dosis 14 mg/150grBB/hari terhadap gambaran nekrosis

hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine

peroral terhadap gambaran nekrosis hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus)

jantan galur wistar.


5

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine

peroral dengan dosis 3,5 mg/150grBB/hari terhadap gambaran nekrosis

hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

2. Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine

peroral dengan dosis 7 mg/150grBB/hari terhadap gambaran nekrosis

hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3. Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine

peroral dengan dosis 14 mg/150grBB/hari terhadap gambaran nekrosis

hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya

tentang pengaruh penggunaan zat pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral

terhadap gambaran nekrosis hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur wistar.

1.5.2 Manfaat praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sebagai

informasi bagi masyarakat tentang penggunaan zat pewarna sintesis

makanan Tartrazine serta dampaknya terhadap kesehatan.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data awal dan sebagai

masukan kepada institusi yang berwenang terkait penelitian pengaruh

penggunaan zat pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral terhadap


6

gambaran nekrosis hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur wistar.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hepar

2.1.1 Anatomi Hepar

Hepar atau hati ialah organ terbesar di dalam tubuh. Terjadinya gangguan

pada hepar dapat mengganggu homeostasis tubuh. Hepar rentan terhadap

sejumlah penyakit metabolik, sirkulasi, racun, mikroba dan penyakit keganasan

(Snell, 2012). Berat hepar mencapai 1.500 gram atau 2% dari berat orang dewasa

normal, memiliki warna merah tua karena kaya dengan darah, dan juga memiliki

permukaan di bagian superior yang cembung (Price dan Wilson, 2012; Sloane,

2014).

Hepar memiliki tekstur lunak dan terletak di bagian atas cavitas

abdominalis, tepat di bawah diafragma. Sebagian besar hepar terletak di bawah

arcus costalis dexter dan diafragma setengah bagian kanan memisahkan hepar dari

pleura, paru-paru, perikardium, dan jantung. Hepar terbentang ke kiri mencapai

diafragma setengah bagian kiri. Permukaan atas hepar yang cembung melengkung

di bawah kubah diafragma. Permukaan posteroinferior atau visceralis membentuk

cetakan viscera yang letaknya berdekatan. Oleh karena itu bentuknya menjadi

tidak beraturan (Snell, 2012).

Hepar mempunyai bagian lobus dexter dan sinister. Lobus dexter lebih

besar dibandingkan dengan lobus sinister, antara kedua lobus terdapat vena portae

hepatis, jalur masuk dan keluarnya pembuluh darah, saraf, dan ductus. Lobus

dexter terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus karena adanya vesical

biliaris, fissura untuk ligamentum teres hepatis, vena cava inferior, dan fissura

7
8

untuk ligamentum venosum. Hilus hepatis atau porta hepatis terdapat pada

permukaan posteroinferior dan terletak di antara lobus caudatus dan lobus

quadratus. Bagian atas ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir porta

hepatis dan terdapat ductus hepaticus dexter dan sinister, cabang dextra dan

sinistra arteria hepatica, vena porta, serabut-serabut saraf simpatik dan para

simpatik, serta beberapa kelenjar limfe hepar (Snell, 2012; Janqueira dan

Carneiro, 2012).

Gambar 2.1 Hepar dilihat dari Ventral (Paulsen dan Waschke, 2010)

Lobulus-lobulus hepatis adalah penyusun hepar. Vena sentralis pada

masing-masing lobus bermuara ke vena hepatica dan di antara lobulus-lobulus

terdapat canalis hepatis, yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena porta,

dan sebuah cabang dari ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteri dan vena

berjalan di antara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis

(Snell, 2012).
9

Ligametum falciforme memisahkan lobus dexter dan lobus sinister dan

diantara kedua lobus ini terdapat porta hepatis, yang merupakan jalur masuk dan

keluar antar pembuluh darah, saraf, dan ductus (Sloane, 2004). Ligamentum ini

memiliki pinggir bebas dan berbentuk bulan sabit dan terdapat ligamentum teres

hepatis yang merupakan sisi vena umbilicalis. Ligamentum falciforme berjalan ke

permukaan anterior dan kemudian ke permukaan superior hepar serta akhirnya

membelah menjadi dua lapis. Lapisan kanan akan membentuk lapisan atas

ligamentum coronarium dan lapisan kiri membentuk lapisan atas ligamentum

triangulare. Bagian kanan ligamentum coronarium dikenal sebagai ligamentum

triangulare dextrum (Snell, 2012). Ligamentum falciforme berjalan dari hepar ke

diafragma dan dinding anterior abdomen. Permukaan hepar diliputi oleh

peritoneum visceralis, kecuali daerah kecil pada permukaan hepar diliputi oleh

peritoneum visceralis, kecuai daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat

langsung pada diphragma (Price dan Wilson, 2012).

Ligamentum teres hepatis berjalan ke dalam fissura yang terdapat pada

facies visceralis hepatis dan bergabung dengan cabang sinistra vena porta hepatis.

Ligamentum venosum (ligamentum of Arantius) merupakan pita fibrosa yang

merupakan sisa ductus venosus, melekat pada cabang sinistra vena porta dan

berjalan ke atas di dalam fissura pada permukaan visceral hepatis, dan di atas

melekat pada vena cava inferior. Pada jaringan darah yang kaya oksigen dibawa

ke hepar melalui vena umbilicalis (ligamentum teres hepatis). Sebagian besar

darah yang tidak melewati hepar masuk ke dalam ductus venosus (ligamentum
10

venosum) dan bersatu dengan vena cava inferior. Pada waktu lahir vena

umbilicalis dan ductus venosus menutup dan menjadi pita fibrosa (Snell, 2012).

Gambar 2.2 Hepar dilihat dari Dorsal (Paulsen dan Waschke, 2010)

Vaskularisasi hepar didapatkan dari arteri hepatica propria, cabang arteria

coeliac (truncus coeliacus), vena porta, vena hepatica (tiga buah atau lebih)

muncul dari permukaan posterior hepatis dan bermuara ke dalam vena cava

inferior. Pembuluh-pembuluh darah yang mengalirkan darah ke hepar adalah

arteria hepatica propria (30%) dan vena porta (70%). Arteria hepatica propria

membawa darah yang kaya oksigen ke hepar, dan vena porta membawa darah

yang kaya akan hasil metabolisme pencernaan yang telah diabsorbsi dari traktus

gastrointerstinalis. Darah arteri dan vena dialirkan ke vena centralis masing-

masing lobules hepatis melalui sinusoid hepar. Vena centralis mengalirkan darah

ke vena hepatica dextra dan sinistra, dan vena-vena ini meninggalkan permukaan

posterior hepar dan bermuara langsung ke dalam vena cava inferior (Snell, 2012).
11

Sistem porta membawa darah dari pancreas, limpa, dan usus. Nutrien

terakumulasi dan diubah dalam hepar, dan zat toksik dinetralkan dan dihilangkan

di tempat tersebut. Vena porta bercabang-cabang menjadi venula pendistribusi

kecil yang berjalan di tepi setiap lobulus dan berujung ke dalam sinusoid. Venula

sentralis dari setiap lobulus menyatu menjadi vena, yang akhirnya membentuk

dua atau lebih vena hepatica besar yang bermuara ke dalam vena cava inferior.

Arteria hepatica bercabang berulang kali dan membentuk arteriol di area portal

dan beberapa diantaranya berakhir langsung ke dalam sinusoid pada jarak tertentu

dari celah portal sehingga darah arteri yang kaya oksigen ditambahkan ke darah

vena porta di sinusoid (Janqueira dan Carneiro, 2012).

Hepar banyak menghasilkan cairan limfe, sekitar sepertiga sampai

setengah dari jumlah seluruh cairan limfe tubuh. Pembuluh limfe meninggalkan

hepar dan masuk ke dalam sejumlah kelenjar limfe yang ada di dalam porta

hepatis. Pembuluh eferen berjalan ke nodi cocliaci. Beberapa pembuluh limfe

berjalan dari area nuda hepatis melalui diafragma ke nodi lymphoid mediastinalis

posterior. Sistem persarafan hepar terdiri atas saraf simpatik dan para simpatik

membentuk plexus coeliacus. Truncus vagalis anterior mencabangkan banyak

ramus hepaticus yang berjalan langsung ke hepar (Snell, 2012).

2.1.2 Histologi Hepar

Hepar dilapisi oleh suatu simpai tipis jaringan ikat yang menebal di hilus,

tempat vena porta dan arteri hepatica memasuki organ dan keluarnya ductus

hepatica sinistra dan dextra serta pembuluh limfe dari hepar (Gartner dan Hiatt,

2012). Hepar terdiri dari unit heksagonal lobulus hepatikus dan di bagian tengah
12

setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis yang dikelilingi secara radial oleh

lempeng sel hepar, yaitu hepatosit dan sinusoid kearah perifer. Darah arteri dan

darah vena dari daerah porta perifer mula-mula bercampur di sinusoid hepar saat

mengalir kearah vena centralis dan darah masuk ke sirkulasi umum melalui vena

hepatica yang keluar dari hepar dan masuk ke vena cava inferior (Eroschenko,

2012).

Gambar 2.3 Histologi Lobulus Hepar (Eroschenko, 2012)

Hepatosit merupakan sel epitel yang berkelompok membentuk lempeng-

lempeng yang saling berhubungan. Hepatosit merupakan sel polihedral besar

dengan enam atau lebih permukaan dan berdiameter 20-30 ptm. Pada sediaan

yang dipulas dengan Hematoxylin and Eosin (H&E) sitoplasma hepatosit biasanya

bersifat eosinofilik karena banyak mitokondria yang berjumlah hingga 2000 per

sel. Hepatosit memiliki inti sferis besar dengan nukleolus. Sel-sel tersebut sering

memiliki dua atau lebih nukleolus dan sekitar 50% bersifat poliploid. Hepatosit

tersusun atas ribuan lobulus kecil dan setiap lobulus memiliki tiga sampai enam
13

area portal di bagian perifer dan suatu venula yang disebut vena centralis di

bagian pusatnya. Taut celah juga terdapat di antara hepatosit, yang

memungkinkan tempat komunikasi antar sel dan koordinasi aktivasi sel-sel. Zona

portal di sudut lobulus terdiri atas trias porta, yaitu jaringan ikat dengan suatu

venula (cabang vena porta), arteriol (cabang arteri hepatica), dan ductus epitel

kuboid (cabang sistem ductus biliaris) (Junqueira dan Carneiro, 2012).

Hepatosit memiliki banyak Retikulum Endoplasma (RE) kasar dan halus.

Retikulum endoplasma (RE) kasar untuk sintesis protein plasma yang

menimbulkan sifat basofilia sitoplasma serta sering lebih jelas di hepatosit dekat

area portal, sedangkan RE halus terdistribusi difus di seluruh sitoplasma. Organel

ini bertanggung jawab atas proses oksidasi, metilasi, dan konjugasi yang

diperlukan untuk menginaktifkan atau mendetoksifikasi berbagai zat sebelum

diekskresi. Retikulum Endoplasma (RE) halus merupakan suatu sistem labil yang

segera bereaksi terhadap molekul yang diterima hepatosit (Janqueira dan

Carneiro, 2012).

Sinusoid dikelilingi dan ditunjang selubung serat retikular halus, terdapat

dua sel penting yang berhubungan dengan sinusoid. Pertama, sejumlah besar

makrofag stelata (sel kupffer), ditemukan antara sel endotel sinusoid dan

permukaan luminal di dalam sinusoid, terutama dekat area portalnya. Fungsi

utamanya adalah menghancurkan eritrosit tua, menggunakan ulang heme,

menghancurkan bakteri atau debris yang dapat memasuki darah portal dari usus,

dan bekerja sebagai sel penyaji antigen pada imunitas adaptif (Janqueira dan

Carneiro, 2012).
14

Kedua adanya celah perisinusoid terdapat sel penimbun lemak stelata (sel-

sel Ito) dengan droplet lipid kecil yang mengandung vitamin A dan membentuk

sekitar 8% sel di hepar tetapi sulit ditemukan pada sediaan rutin, menyimpan

banyak vitamin A tubuh, menghasilkan komponen matriks ekstrasel dan ikut

berperan mengatur imunitas setempat (Janqueira dan Carneiro, 2012).

Kandungan hepatosit yaitu kumpulan glikogen yang tampak secara

ultrastruktural sebagai granul padat elektron yang kasar dan sering berkumpul

dalam sitosol dekat dengan RE halus. Hepatosit juga menyimpan trigliserida

berupa droplet lipid kecil dan tidak menyimpan protein dalam granula sekretorik,

tetapi secara kontinu melepaskannya ke dalam aliran darah. Lisosom hepatosit

sangat penting untuk pergantian dan degradasi organel intrasel. Peroksisom juga

banyak dijumpai dan penting untuk oksidasi kelebihan asam lemak. Setiap

hepatosit dapat memiliki hingga 50 kompleks golgi yang terlibat dalam

pembentukan lisosom dan sekresi protein, glikoprotein, dan lipoprotein ke dalam

plasma. Pada keadaan tertentu obat yang dinonaktifkan dalam hepar dapat

menginduksi penambahan RE halus dalam hepatosit, sehingga kapasitas

detoksifikasi hepar meningkat (Janqueira dan Carneiro, 2012). Hepatosit

mengeluarkan empedu ke dalam saluran yang halus disebut kanalikulus biliaris

(canaliculus bilier) yang terletak di antara hepatosit. Kanalikulus menyatu di tepi

lobulus hepar di daerah porta sebagai ductus biliaris. Ductus biliaris kemudian

mengalir ke dalam ductus hepatikus yang lebih besar yang membawa empedu

keluar dari hepar. Di dalam lobulus hepar, empedu mengalir di dalam kanalikulus

biliaris dari hepar. Di dalam lobulus hepar, empedu mengalir di dalam kanalikulus
15

biliaris ke ductus biliaris di daerah porta, sementara darah dalam sinusoid

mengalir ke vena centralis, sehingga empedu dan darah tidak bercampur

(Eroschenko, 2012).

Sinusoid hepar adalah saluran yang berliku–liku dan melebar, diameternya

tidak teratur, dan kebanyakan dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh.

(Gibson, 2003). Lapisan sinusoid tidak utuh, sel endotel berfenestra

(endotheliocytus fenestratum) yang menunjukkan lamina basalis yang berpori dan

tidak utuh. Sinusoid hepar dipisahkan dari hepatosit di bawahnya oleh spatium

perisinusoideum subendotelial. Zat makanan yang mengalir di dalam sinusoid

memiliki akses langsung melalui dinding endotel yang tidak utuh dengan

hepatosit. Struktur dan jalur sinusoid yang berliku di hepar memungkinkan

pertukaran zat yang efisien antara hepatosit dan darah. Sinusoid hepar juga

mengandung makrofag, yaitu sel kupffer (macrophagocytusstellatus) yang terletak

di sisi luminal sel endotel (Eroschenko, 2012).

Sel-sel kupffer berfungsi menyingkirkan eritrosit tua dan zat-zat lain yang

tidak berguna dari aliran darah. Sel kupffer tersebar di antara sel endotel pembatas

sinusoid. Makrofag ini lebih besar daripada sel-sel epitel dan dapat dikenalkan

oleh adanya bahan-bahan yang difagosit di dalamnya, sedangkan sel-sel endotel

tidak bersifat fagosit. Sel penyimpan lemak (sel ito) diduga berfungsi

mengumpulkan dan menyimpan vitamin A, tetapi pada kasus sirosis karena

alkohol, sel-sel ini juga membentuk kolagen tipe I, berperan untuk fibrosis hepar

(Gartner dan Hiatt, 2012).


16

2.1.3 Fisiologi Hepar

Hepar sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperan dalam

hampir setiap metabolik tubuh, terutama bertanggung jawab lebih dari 500

aktivitas berbeda, hepar memiliki cadangan yang besar dan hanya membutuhkan

10-20% jaringan yang berfungsi untuk tetap bertahan. Destruksi total atau

pengangkatan hepar menyebabkan kematian dalam waktu 10 jam. Fungsi utama

hepar adalah membentuk dan mengeskresikan empedu sekitar 500 sampai 1000

mL kuning empedu setiap hari (Price dan Wilson, 2012). Pengeluaran empedu

dari hepar dan vesica biliaris terutama diatur oleh hormon. Aliran empedu

meningkat jika kolesistokinin dikeluarkan oleh sel enteroendokrin mukosa yang

dirangsang ketika lemak makanan dalam kimus masuk ke duodenum. Hormon ini

menyebabkan konstraksi otot polos di dinding vesica biliaris dan relaksasi

sfingter, sehingga empedu dapat masuk ke duodenum (Eroschenko, 2012)

Garam empedu yang terdapat di dalam empedu mengemulsi lemak di

duodenum (Sloane, 2004). Lubang ductus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh

sfingter oddi, yang mencegah empedu masuk ke duodenum kecuali sewaktu

pencernaan makanan. Ketika sfingter ini tertutup, sebagian besar empedu yang

disekresikan oleh hepar dialihkan balik ke vesica biliaris. Empedu tidak diangkut

langsung dari hepar ke vesica biliaris. Empedu disimpan dan dipekatkan di vesica

biliaris diantara waktu makan. Empedu masuk ke duodenum akibat kombinasi

pengosongan vesica biliaris dan peningkatan sekresi empedu oleh hepar

(Sherwood, 2012).
17

Empedu mengandung beberapa konstituen organik, yaitu garam empedu,

kolesterol, lesitin, dan bilirubin dalam suatu cairan encer alkalis. Garam empedu

adalah turunan kolesterol. Garam-garam ini secara aktif disekresikan ke dalam

empedu dan akhirnya masuk ke duodenum bersama dengan konstituen lainnya.

Sebagian empedu diserap kembali ke dalam darah oleh mekanisme transpor aktif,

khususnya yang terletak di ileum terminalis dan garam empedu dikembalikan ke

sistem porta hepar yang mensekresikannya ke dalam empedu. Daur ulang garam

empedu antara duodenum dan hepar disebut sirkulasi enterohepatik. Jumlah total

garam empedu adalah 3 sampai 4 kilogram, namun 1 kali makan dikeluarkan 3

sampai 15 gram garam empedu ke dalam duodenum (Sherwood, 2012). Jumlah

empedu yang disekresi oleh hepar setiap harinya sangat bergantung pada

tersedianya garam-garam empedu makin banyak jumlah garam empedu pada

sirkulasi enterohepatik (biasanya sekitar 2,5 gram) makin besar kecepatan sekresi

empedu (Guyton dan Hall, 2007).

Garam empedu membantu pencernaan lemak melalui emulsifikasi dan

mempermudah penyerapan lemak dengan ikut serta dalam pembentukan misel.

Garam empedu berfungsi mengubah globulus (gumpalan) lemak besar menjadi

emulsi lemak yang terdiri atas butiran lemak dengan gars tenagh masing-masing 1

mm yang membentuk suspensi di dalam kimus cair. Dalam suatu misel garam

empedu dan lesitin bergumpal dalam kelompok-kelompok kecil dengan bagian

larut lemak menyatu di bagian tengah membentuk inti hidrofobik, sementara

bagian larut air membentuk selubung hidrofilik di sebelah luar. Sebuah misel
18

memiliki garis tengah 4 sampai 7 nm, sekitar sepersejuta ukuran emulsi butiran

lemak (Sherwood, 2012).

Hepar berperan penting dalam metabolisme 3 mikronutrien, yaitu

karbohidrat, protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi

glikogen dan disimpan dalam hepar dalam bentuk glikogen (Price dan Wilson,

2012). Glikogen hepar merupakan timbunan glukosa dan dimobilisasi jika kadar

glukosa darah menurun dibawah normal (Janqueira dan Carneiro, 2012). Dari

depot glikogen ini, glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam darah

(glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa

dimetabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan panas dan energi, sisanya

diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam jaringan subkutan. Hepar juga

mensintesis glukosa dari protein dan lemak (glukoneogenesis) (Price dan Wilson,

2012).

Peranan hepar dalam metabolisme sangat penting untuk kelangsungan

hidup. Semua protein plasma (kecuali gamaglobulin) disintesis oleh hepar, yaitu

albumin, yang diperlukan mempertahankan tekanan osmotik koloid, protrombin,

fibrinogen, dan faktor pembekuan lain. Sebagian besar degradasi asam amino

dimulai dalam hepar melalui proses deaminasi atau pembuangan gugus amino

(NH2) (Price dan Wilson, 2012).

Hepar mempunyai fungsi detoksifikasi sangat penting dan dilakukan oleh

enzim hepar melalui oksidasi, hidrolisis, atau konjugasi zat-zat yang

membahayakan lainnya serta mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologi

tidak aktif (Price dan Wilson, 2012). Hepar juga berperan penting dalam sistem
19

imun. Antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma di lamina propria usus diserap

dari darah oleh hepatosit dan diangkut ke dalam canalikulus dan empedu serta

antibodi masuk ke lumen usus, tempat zat ini mengontrol flora bakteri usus

(Eroschenko, 2012).

2.1.4 Patologi Hepar

Secara normal sel akan mempertahankan homeostasis. Ketika mengalami

stres fisiologis atau rangsangan patologis, sel bisa beradaptasi mencapai kondisi

baru dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Respon adaptasi utama adalah

atrofi, hipertrofi, hiperplasia, dan metaplasia. Jika kemampuan adaptatif

berlebihan, sel mengalami jejas. Bahan kimia dapat mengalami jejas dan bahkan

pada zat yang tidak berbahaya seperti glukosa atau garam, jika berkonsentrasi

cukup banyak akan merusak keseimbangan lingkungan osmotik, sehingga

mencederai atau menyebabkan kematian sel (Kumar et al., 2007).

Zat kimia dapat menyebakan kerusakan pada hepar. Hal ini disebabkan

oleh dosis yang diberikan lebih berperan dibandingkan dengan konstitusi

metabolik (Lee, 2003). Terdapat beberapa mekanisme kerusakan sel hepar karena

zat kimia. Pertama, jika reaksi energi tinggi yang meilibatkan sitokrom p-450

menyebabkan ikatan kovalen zat kimia dengan protein intrasel, maka akan terjadi

disfungsi intraseluler berupa hilangnya gradien ion, penurunan kadar ATP, dan

disrupsi aktin pada permukaan hepatosit yang menyebabkan pembengkakan sel

dan berakhir dengan ruptur sel. Kedua, disrupsi aktin pada membran kanalikuli

dapat menghalangi aliran bilier. Proses ini akan menyebabkan kolestatis.

Kombinasi kolestatis dengan proses kerusakan intraseluler yang lain akan


20

menyebabkan akumulasi asam empedu yang berakibat kerusakan lebih lanjut.

Ketiga, zat kimia dengan senyawa kecil dapat berfungsi sebagai hapten. Setelah

berikatan dengan protein akan membentuk kompleks apoprotein yang bersifat

imunogenik yang bermigrasi ke permukaan sel hepatosit dalam bentuk vesikel.

Vesikel ini dapat menginduksi sel T untuk membentuk antibodi (antibody-

mediated citotoxicity) atau menginduksi respon sitotoksik sel T (direct cytotoxic

T-cell response) (Lee, 2003; Navarro dan Senior, 2006).

Kerusakan hepar akibat bahan kimia ditandai dengan lesi awal yaitu lesi

biokimia. Hepar akan mengalami perubahan struktur tersebut yang dapat dilihat

secara mikroskopis yaitu radang, fibrosis, degenerasi, dan nekrosis. Radang

merupakan suatu reaksi pertahanan tubuh dalam melawan berbagai jejas. Dengan

mikroskop tampak dengan sel-sel fagosit berupa polimononuklear dan monosit.

Fibrosis terjadi apabila kerusakan sel tanpa regenerasi sel yang cukup. Kerusakan

hepar yang terjadi apabila dilihat secara mikroskopis yaitu terjadi atropi atau

hipertrofi, tergantung kerusakan mikroskopis. Degenerasi dapat terjadi di inti

maupun sitoplasma (Kumar et al., 2007).

Adapun beberapa degenerasi yang terjadi pada sitoplasma yaitu degenerasi

hidropik, degenerasi hyalin, degenerasi amiloid, dan perlemakan. Degenerasi

hidropik adalah degenerasi yang terjadi akibat adanya gangguan pada membran

sel sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma, yang menyebabkan terbentuknya

vakuola-vakuola kecil sampai besar. Terjadi akumulasi sel yang rusak tidak dapat

menyingkirkan cairan yang masuk. Degenerasi hyalin merupakan degenerasi yang

berat, dan merupakan degenerasi lanjutan dari degenerasi hidropik. Terjadi


21

akumulasi protein antara jaringan ikat. Degenerasi amiloid adalah degenerasi yang

terjadi penimbunan amiloid pada celah disse, sering terjadi akibat amiloidase

primer ataupun sekunder. Perlemakan merupakan degenerasi yang ditandai

dengan adanya penimbunan lemak pada parenkim hepar, dapat berupa bercak

zonal ataupun merata. Pada degenerasi ini terjadi pendesakan inti ke tepi sel

sehingga sel terlihat kosong (Kumar et al., 2007).

Tahap akhir kerusakan hepar secara mikroskopis adalah nekrosis. Nekrosis

merupakan proses kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti sel yang

mati dapat terlihat lebih kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi berlipat-

lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-segmen

(karioreksis) dan kemudian menjadi eosinofilik (kariolisis) (Kumar et al., 2007).

2.2 Tartrazine

2.2.1 Definisi Tartrazine

Tartrazine adalah salah satu jenis pewarna sintetik golongan azo yang

menghasilkan warna kuning. Tartrazine terdaftar atau diizinkan oleh pemerintah

digunakan untuk pewarna makanan dan minuman. Selain untuk makanan dan

minuman Tartrazine juga digunakan untuk kosmetik dan obat-obatan (Amin et al.,

2010; BPOM RI, 2013).

Pewarna sintetik makanan Tartrazine ini mempunyai sifat yang mudah

larut dalam air. Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, namun dalam

gliserol dan glikol mudah larut. Tartrazine tahan terhadap cahaya, asam asetat,

HCl dan NaOH 10%. NaOH 30% akan menjadikan warna berubah menjadi

kemerah-merahan. Tartrazine mudah luntur karena oksidator, FeSO4 membuat


22

larutan zat pewarna menjadi keruh, tetapi dengan Alumunium (Al) tidak

terpengaruh. Adanya tembaga (Cu) akan mengubah warna kuning menjadi

kemerah-merahan (JECFA, 2002).

Batas normal pewarna Tartrazine yang diizinkan oleh Pemerintah

Indonesia dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

722/MEN.KES.PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan (BTM) adalah 70

µg/mL produk siap konsumsi untuk makanan dan minuman cair. Berdasarkan data

BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sesuai ADI penggunaan Tartrazine

di Indonesia, yaitu 0-7,5 mg/kg berat badan (BPOM RI, 2013).

2.2.2 Struktur kimia Tartrazine

Zat warna sintetis dalam makanan menurut Joint FAO/WHO Expert

Commitee on Food Additives (JECFA) dapat digolongkan dalam beberapa kelas

yaitu azo, triaril metana, quinolin, xantin, dan indigoid. Tartrazine termasuk dalam

zat warna sintetis golongan azo. Pada umumnya pewarna sintetis azo bersifat

lebih stabil daripada kebanyakan pewarna alami. Pewarna azo stabil dalam

berbagai rentang pH, stabil pada pemanasan, dan tidak memudar bila terpapar

cahaya atau oksigen. Hal tersebut menyebabkan pewarna azo dapat digunakan

pada hampir semua jenis pangan. Salah satu kekurangan pewarna azo adalah

sifatnya yang tidak larut dalam minyak atau lemak (Winarno, 2008).

Tabel 2.1 Data Tartrazine berdasarkan JECFA


No Keterangan Penjelasan
1 Nama Kimia Trisodium 5-hydroxy-1-(4-sulfonatophenyl)-4-(4sulfonato-
phenylazo)-Hpyrazole-3-carboxylate
2 Berat Formula 534,37 g/mol
3 Rumus Kimia C16H9N4Na3O9S2
4 Nomor CAS 1934-21-0
5 Titik Leleh >135 OC (275 OF)
23

6 Golongan Dyes, azo


7 Kelarutan Larut dalam air, gliserol, glikol, dan hanya sedikit larut
dalam etanol.
8 Sinonim Cl Food Yellow 4, FD&C Yellow No.5, CI (1975) No.
19140, INS No. 102
9 Klorida dan sulfat <15%
10 Tidak larut air <0.2%
11 Jumlah warna >85%
12 Kandungan senyawa <0,5% jumlah 4-Asam
organik lain Hydrazinobenzenesulfonic, 5-Asam
Aminobenzenesulfonic, 5-Oxo-1-(4-sulfofenil)-2-
pyrazoline-3-Asam karboksilat, 4,4’-Diazominodi (asam
benzenasulfonat). Asam Tetrahydroxycuccinic.
Sumber: JECFA, 2002

Zat warna sintetik yang memiliki rumus kimia C16H9N4Na3O9S2 dengan

penampangkan fisik berwarna kuning tersebut memiliki struktur kimia seperti

dibawah ini:

Gambaran 2.4 Struktur Kimia Tartrazine (Anonim, 2012)

2.2.3 Metabolisme Tartrazine

Tartrazine adalah salah satu zat warna golongan azo. Zat warna azo

merupakan jenis zat warna sintetis yang cukup penting. Ilmuwan pada umumnya

mempergunakan zat warna azo dalam penelitiannya karena hampir 90% dari

bahan pewarna pangan terdiri dari zat warna azo. Selain itu, lebih dari 50% zat

warna azo termasuk dalam daftar Color Index. Zat warna azo mempunyai sistem

kromofor dari gugus azo (-N=N) yang berikatan dengan gugus aromatik

(Cahyadi, 2012).
24

Zat warna azo kemudian akan masuk ke dalam sistem pencernaan untuk

diabsorpsi dan direduksi oleh mikroorganisme dalam usus. Senyawa tersebut akan

dibawa langsung ke hepar dari saluran pencernaan melalui vena porta atau melalui

sistem limfatik ke vena kava superior. Di dalam hepar, senyawa dimetabolisme

dan atau dikonjugasi, lalu ditransportasikan ke ginjal untuk diekskresikan bersama

urin. Senyawa-senyawa tersebut dibawa dalam aliran darah sebagai molekul-

molekul yang tersebar dan melarut dalam plasma, sebagai molekul-molekul yang

terikat reversibel dengan protein dan konstituen-konstituen lain dalam serum, dan

sebagai molekul-molekul bebas atau terikat tanpa mengandung eritrosit dan

unsur-unsur lain dalam pembentukan darah (Cahyadi, 2012).

2.2.4 Bahaya Tartrazine

Tartrazine telah dipakai selama bertahun-tahun dan banyak ditemukan

reaksi intoleran dalam beberapa individu. Penggunaan Tartrazine pada jangka

waktu yang lama dapat memberikan efek yang berbahaya. Tartrazine dapat

memicu alergi, asma, keluhan lambung-usus serta gangguan pada mukosa mata.

Reaksi ini lebih sering terjadi pada mereka yang juga sensitif terhadap asam asetil

salisilat atau aspirin. Sekitar 10-40% orang yang peka terhadap aspirin biasanya

mudah sekali terserang asma, urtikaria, rhinitis, dan hiperaktivitas pada anak.

Reaksi ini dimungkinkan karena struktur kimia dari Tartrazine mirip dengan

struktur asam asetil salisilat (Arisman, 2009).

Adapun beberapa dampak negatif dari pemberian Tartrazine apabila bahan

pewarna sintesis yang dikonsumsi berulang dan dalam jumlah yang kecil, bahan

pewarna sintesis dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, kelompok


25

masyarakat yang luas dengan daya tahan tubuh yang berbeda tergantung dari usia,

jenis kelamin, berat badan, mutu makanan sehari-hari yang dikonsumsi dan

keadaan fisik. Selain itu juga karena beberapa masyarakat menggunakan bahan

pewarna sintesis secara berlebihan dan penyimpanan bahan pewarna sintesis oleh

pedagang bahan kimia yang tidak mematuhi persyaratan (Cahyadi, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Amin et al. (2010), pemberian Tartrazine

secara oral selama 30 hari pada tikus menunjukkan perubahan histopatologi pada

hepar dan ginjal tikus yang disertai dengan peningkatan serum kreatinin, urea

nitrogen darah, Alanin Aminotransferase (ALT), dan Aspartat Aminotransferase

(AST) yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal dan hepar tikus.

2.3 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah salah satu hewan percobaan di

laboratorium yang biasa disebut tikus putih dan dapat berkembangbiak secara

cepat serta dalam jumlah yang cukup besar. Tikus termasuk hewan pengerat

(rodensia), mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup

besar serta anatomi dan fisiologinya terkategori dengan baik (Kusumawati, 2008).

Kebutuhan makanan tikus dewasa setiap harinya sekitar 12 gram dengan berat

badan 200-400 gram. Faktor yang perlu diperhatikan dalam memberikan makanan

kepada tikus yaitu kualitas bahan pangan, terutama daya cerna. Hal ini

dikarenakan kualitas makanan akan berpengaruh terhadap kondisi tikus secara

keseluruhan (Sudirman, 2007).

Tikus putih ini berbeda dengan mencit karena hewan ini memiliki ukuran

tubuh yang lebih besar daripada mencit dan tikus putih tidak pernah muntah,
26

karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam

lambung dan tikus tidak mempunyai vesica biliaris. Umur 2 bulan berat badan

tikus dapat mencapai 200-300 gram. Lama hidup dari tikus putih 2,5-3 tahun,

temperatur tubuh 37,5oC, kebutuhan air 8-11 mL/100grBB, dan volume darah 6-

7% perBB (Kusumawati, 2008).

Tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar lebih besar dari famili tikus

umumnya dan tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung

ekor dan berat 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil

dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan dapat

hidup selama 4 tahun. Tikus yang umum digunakan untuk penelitian adalah yang

berjenis kelamin jantan. Pertimbangan untuk memilih tikus jantan, selain untuk

penyeragaman jenis kelamin, juga karena tikus jantan tidak mempunyai siklus

estrus, berbeda dengan tikus betina. Tikus betina mempunyai siklus estrus dan

akan menyebabkan tikus betina terlihat tidak tenang dan hiperaktif pada fase

tersebut. Pengaruh estrogen yang disekresikan pada fase estrus ini juga

menyebabkan pola perilaku kawin pada tikus betina. Tikus laboratorium jantan

jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus ini akan tenang dan mudah ditangani

dilaboratorium jika dipegang dengan cara yang benar (Sihombing dan Raflizar,

2010).

Table 2.2 Data Deskripsi dan Spesifikasi Tikus Putih Galur Wistar
Deskripsi Spesifikasi
Berat Badan
300-400 gram
Jantan
250-300 gram
Betina
Lama Hidup 2,5-3 tahun
Temperatur Tubuh 37,5οC
Kebutuhan Air 8-11 mL/100 gram BB
27

Kebutuhan Makanan 5 gram/100 gram BB


Pubertas 50-60 hari
Lama Kebuntingan 21-23 hari
Mata Membuka 10-12 hari
Tekanan Darah :
Sistolik 84-184 mm/Hg
Diastolik 58-145 mm/Hg
Frekuensi Jantung 330-480 per menit
Frekuensi Respirasi 66-114 per menit
Tidal Volume 0,6-1,25 mL
AST 45,7-80,8 IU/I
ALT 17,5-30,2 IU/I
BUN 5,0-29,0 mg/dl
Kreatinin 0,20-0,80 mg/dl
Sumber: Kusumawati, 2008

2.3.1 Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium

Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium diantaranya kandang tikus

harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu),

mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan, hewan

tampak jelas dari luar, dan alas tempat tidur harus mudah menyerap air, pada

umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi. Selain itu menciptakan suasana

lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologi tikus (suhu,

kelembaban dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari) serta

tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang (Ridwan, 2013).

Penelitian dengan hewan coba harus memperhatikan aspek perlakuan yang

manusiawi terhadap hewan-hewan tersebut, sesuai dengan prinsip 5F (Freedom),

yaitu: bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa

nyeri, trauma, dan penyakit, bebas dari ketakutan dan stres jangka panjang, bebas

mengekspresikan tingkah laku alami, diberikan ruang dan fasilitas yang sesuai

(pengadaan lingkungan yang sesuai) (Ridwan, 2013).


28

2.3.2 Eutanasia pada hewan coba

Eutanasia pada hewan coba hendaknya mengikuti syarat yang berlaku.

Pertama, tidak menimbulkan gejala yang tidak menyenangkan bagi hewan,

misalnya menimbulkan ketakutan hingga hewan harus meronta-ronta terlebih

dahulu. Kedua, aman untuk peneliti dan pembantu peneliti. Ketiga, mudah

dilakukan. Keempat, sesuai dengan umur, spesies, kesehatan, dan jumlah hewan.

Kelima, tidak menimbulkan polusi. Keenam, irreversible. Ketujuh, tidak

menimbulkan perubahan kimiawi pada jaringan. Kedelapan, tidak menimbulkan

perubahan histopatologi yang kelak akan mempengaruhi hasil penelitian.

Euthanasia harus dilaksanakan oleh orang yang terlatih sesuai dengan institusi dan

undang-undang yang diberlakukan (Kusumawati, 2008).

Gambar 2.5 Tikus putih galur wistar (Institute for Animal Reproduction,
2015)
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Tartrazine peroral

Direduksi dan Tubuh tikus putih


absorbsi (Rattus norvegicus)
mikroorganisme usus jantan galur wistar

Distribusi HEPAR

Metabolisme (deetilisasi)

Tidak dapat terurai


akibat pemberian yang
berulang

Akumulasi

Kerusakan sel
hepar

Gambaran nekrosis hepatosit tikus putih (Rattus


norvegicus) jantan galur wistar

Gambaran 3.1

Kerangka konseptual

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

29
30

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual di atas, dapat disimpulkan hipotesis

penelitian sebagai berikut:

3.2.1 Hipotesis null (Ho)

1. Pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral dengan dosis

3,5 mg/150grBB/hari tidak berpengaruh terhadap gambaran nekrosis

hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

2. Pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral dengan dosis

7 mg/150grBB/hari tidak berpengaruh terhadap gambaran nekrosis

hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3. Pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral dengan dosis

14 mg/150grBB/hari tidak berpengaruh terhadap gambaran nekrosis

hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

3.2.2 Hipotesis alternatif (Ha)

1. Pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral dengan dosis

3,5 mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap gambaran nekrosis hepatosit

pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

2. Pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral dengan dosis

7 mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap gambaran nekrosis hepatosit

pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.


31

3. Pemberian zat pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral dengan dosis

14 mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap gambaran nekrosis hepatosit

pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Design dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan design penelitian true eksperimental

laboratorik dengan rancangan Post Test Control Group Design yang

menggunakan hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar

sebagai objek penelitian.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi penelitian

Lokasi pemeliharaan dan perlakuan hewan coba akan dilakukan di

Laboratorium Riset Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.

Pembuatan preparat histopatologi akan dilakukan di Laboratorium Histopatologi

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Pengamatan preparat

dilakukan di Laboratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran Universitas

Malikussaleh.

4.2.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian ini mulai dari bulan Oktober 2017 sampai Desember

2017.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

wistar.

4.3.2 Sampel dan Kriteria

1. Kriteria Inklusi

32
33

a. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar

b. Jenis kelamin jantan

c. Usia 8-12 minggu

d. Berat badan 150 ± 10 gram

2. Kriteria Eksklusi

a. Terdapat kecacatan anatomis

b. Tikus tampak sakit dan tidak bergerak secara aktif (ciri-ciri tikus yang

sakit adalah sulit makan, kurus, bulunya berdiri, rambut kusam atau

rontok dan ada luka)

c. Tikus mati saat penelitian

4.3.3 Besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus

Federer sebagai berikut:

(n-1) (t-1) ≥ 15

n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

t = jumlah kelompok perlakuan

Dari rumus ditas dapat dilakukan perhitungan besar sampel sebagai

berikut: t = 4, maka didapatkan:

(n-1) (4-1) ≥ 15

(n-1) 3 ≥ 15

(3n-3) ≥ 15

3n ≥ 18
34

n ≥ 18/3

n ≥6

Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini adalah 4, dari hasil

perhitungan di atas maka didapatkan besar sampel pada penelitian ini adalah

6 ekor tikus per kelompok. Untuk mengantisipasi adanya kemungkinan hewan

coba yang mati selama penelitian makan untuk masing-masing kelompok

ditambah 10% dari jumlah yaitu 1 ekor hewan coba pada setiap kelompok, jadi

masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Total besar sampel =

4 kelompok x 7 = 28 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.

4.3.4 Cara pengambilan sampel

Untuk menghindari bias karena variasi faktor umum dan berat badan maka

pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling).

Randomisasi langsung dapat dilakukan karena sampel yang diambil dari tikus

putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar sudah memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi sehingga dianggap cukup homogen. Semuanya diambil secara acak dari

kelompok tikus sebelum dilakukan aklimatisasi.

4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

4.4.1 Variabel penelitian

Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu variabel independen (bebas) dan

variabel dependen (terikat).

a. Variabel independen : Tartrazine peroral dosis bertingkat

b. Variabel dependen : Gambaran nekrosis hepatosit tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan galur wistar.


35

4.4.2 Definisi operasional

Tabel 4.1 Definisi operasional


No Variabel Definisi Cara dan Hasil Skala
Operasional Alat Ukur Ukur Ukur
1 Tartrazine Pewarna sintesis Pembuatan larutan 3,5mg/150gr Rasio
makanan Tartrazine BB/hari,
golongan azo berdasarkan dosis 7mg/150gr
yang berwarna yang telah ditetapkan BB/hari,
kuning, dalam oleh BPOM RI (0- 14mg/150gr
bentuk bubuk 7,5 mg/kgBB) dan BB/hari
yang dikonversikan ke
dicampurkan dalam dosis tikus
dengan larutan menggunakan rumus
aquades 1 mL Laurence dan
ditimbang
menggunakan
timbangan
laboratorium
2 Gambaran Penilainan Pembacaan preparat Persentase Rasio
Nekrosis gambaran akan dilakukan nekrosis
Hepatosit nekrosis hepatosit menggunakan hepatosis
dengan perubahan mikroskop cahaya
struktur dengan pembesaran
histopatologi 400 kali dalam 5
sebagai berikut: lapangan pandang
1) Normal jika sel
tampak berbentuk
poligonal,
sitoplasma
berwarna merah
homogen, dinding
sel berbatas tegas
2) Nekrosis
merupakan
kerusakan sel
permanen,
terdapat 3 bentuk
yaitu:
a) Piknotik jika
inti menjadi kecil
dan gelap
b) Karioreksis
jika inti
terfragmentasi
c) Kariolisis jika
inti hilang
36

4.5 Bahan Penelitian

4.5.1 Hewan coba

Hewan coba yang digunakan tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

wistar yang berusia 8-12 minggu dengan berat badan 150±10 gram.

4.5.2 Bahan pakan dan minum

Hewan coba pada penelitian ini akan diberi pakan BR-2 dan minum

aquades.

4.5.3 Bahan uji

Bahan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah pewarna sintesis

makanan Tartrazine.

4.5.4 Bahan lain

Aquades untuk melarutkan Tartrazine, tinta hitam untuk menandai sampel

dan bahan untuk pembuatan preparat histopatologi hepar yaitu formalin 10%,

alkohol 95% atau 100% xylol, paraffin, larutan hematoksilin, larutan amonia, dan

larutan eosin.

4.6 Instrumen Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan

dengan ukuran 75x60 cm2 dan perlengkapannya, timbangan laboratorium, gelas

ukur, pipet tetes, spuit 1 cc, sonde lambung, tabung kaca penyimpanan organ, alat

bedah untuk pengambilan spesimen, alat-alat untuk membuat preparat, mikroskop

cahaya dan kamera digital untuk pengambilan gambaran preparat.


37

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Pengajuan Ethical Clearance

Penelitian ini akan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang

terdapat pada deklarasi Helsinki terkait etik penelitian kesehatan. Sebelum

penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu peneliti akan mengajukan permohonan

Ethical Clearance dari Komisi Etik Penelitian Lembaga Peneliti Muda Kesehatan

Aceh.

4.7.2 Persiapan hewan coba

Hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dibagi

empat kelompok menggunakan randomisasi acak sederhana (simple random

sampling), untuk mencegah bias variasi faktor umur dan berat badan, dimana

masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Setiap kelompok ditempatkan

pada kandang yang terpisah. Maisng-masing hewan coba diberi tanda

menggunakan tinta hitam pada bagian ekor. Setelah itu, tikus diaklimatisasi

selama 7 hari sebelum diberi perlakuan. Hewan coba ditempatkan dalam kandang

yang telah dipersiapkan dan diatasnya ditutup dengan kawat penutup. Selama

aklimatisasi, tikus diberi diet standar berupa pakan BR-2 dan minum aquades ad

libitum, dipelihara dalam ruangan berventilasi cukup dan suhu ruangan berkisar

28-32oC. Pembersihan kandang dilakukan setiap 2 kali seminggu. Penerangan

diatur dengan siklus 12 jam terang dan12 jam gelap. Siklus terang dimulai dari

pukul 06.00 hingga 18.00 petang.


38

4.7.3 Pembuatan larutan Tartrazine

Dosis yang akan digunakan pada penelitian ini dihitung berdasarkan dosis

ADI sebagaimana yang telah ditetapkan oleh BPOM RI dan dikonversikan

kedalam dosis hewan menggunakan rumus Laurence (Lampiran 2). Dosis untuk

setiap tikus dalam setiap kelompok perlakuan adalah:

a. Kelompok perlakuan I = 3,5 mg/150grBB/hari

b. Kelompok perlakuan II = 7 mg/150grBB/hari

c. Kelompok perlakuan III = 14 mg/150grBB/hari

Tartrazine ditimbang menggunakan timbangan laboratorium sesuai dengan

dosis yang dibutuhkan untuk perlakuan tikus. Tartrazine dicampur dan diaduk

dengan larutan aquades 1 mL untuk setiap dosisnya. Volume Tartrazine yang

diberikan secara peoral sebanyak dosis di atas yang dicampurkan dan diaduk

dalam larutan aquades 1 mL merupakan volume yang boleh diberikan berdasarkan

pada volume normal lambung tikus yaitu 3-5 mL. Jika pemberian lebih dari 1 mL

dikhawatirkan tidak ada cukup ruang untuk makanan dan minuman yang

dikonsumsi tikus tersebut. Larutan Tartrazine yang telah dicampurkan aquades

1 mL dimasukkan dalam spuit 1cc yang telah dipasang sonde lambung. Larutan

ini selanjutnya disondekan ke dalam lambung tikus berdasarkan etika perlakuan

hewan coba.

4.7.4 Perlakuan hewan coba

Setelah aklimatisasi selama 7 hari, pada hari ke-8 hingga hari ke-29 hewan

coba akan diberi perlakuan berupa pemberian sonde lambung larutan pewarna

Tartrazine sesuai dengan dosis tiap kelompoknya, yaitu:


39

a. Kelompok kontrol

Tiap tikus hanya diberikan larutan aquades 1 mL dalam spuit 1 cc.

Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus.

Selama pemberian perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum

secara ad libitum.

b. Kelompok perlakuan I

Tiap tikus diberikan larutan Tartrazine 3,5 mg/150grBB/hari yang

telah dilarutkan dengan aquades 1 mL dalam spuit 1 cc. Larutan diberikan

dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus. Selama pemberian

perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum.

c. Kelompok perlakuan II

Tiap tikus diberikan larutan Tartrazine 7 mg/150grBB/hari yang

telah dilarutkan dengan aquades 1 mL dalam spuit 1 cc. Larutan diberikan

dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus. Selama pemberian

perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum.

d. Kelompok perlakuan III

Tiap tikus diberikan larutan Tartrazine 14 mg/150grBB/hari yang

telah dilarutkan dengan aquades 1 mL dalam spuit 1 cc. Larutan diberikan

dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus. Selama pemberian

perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum.

Pada hari ke-30 semua hewan coba akan dikorbankan sesuai dengan

prinsip-prinsip yang terdapat dalam deklarasi Helsinki terkait etik penelitian

kesehatan. Setelah dikorbankan hewan coba akan di bedah dan di ambil heparnya
40

lalu dimasukkan dalam tabung kaca yang sudah diberi larutan pengawet buffer

formalin 10%. Selanjutnya organ dikirim ke Laboratorium Histopatologi Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala untuk pembuatan preparat.

4.7.5 Pembuatan preparat

Pembuatan preparat akan dilakukan di Laboratorium Histopatologi

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Tahapan pembuatan

preparat adalah sebagai berikut:

1. Pemotongan Gross

Potong jaringan dengan ukuran panjang 2 cm, lebar 1 cm, tebal

3 mm.

2. Pengawetan/Fiksasi

Rendam jaringan pada cairan formalin 10% selama 18-24 jam

kemudian cuci dengan air mengalir selama 15 menit.

3. Pengeblokan/Embedding

Masukkan jaringan pada larutan Aceton selama 1 jam sebanyak

4 kali yang disebut dengan proses dehidrasi kemudian akan dilakukan

proses penjernihan dengan cara masukkan jaringan ke dalam larutan xylol

selama ½ jam sebanyak 4 kali dilanjutkan dengan memasukkan jaringan

pada kotak kertas yang berisi parafin cair dengan suhu oven 55oC selama

1 jam sebanyak 4 kali setlah itu tanam jaringan pada parafin blok

(Embedding).

4. Penyayatan
41

Sayat blok yang sudah ditanamkan jaringan tersebut menggunakan

mikrotom dengan ketebalan 3-5 µ atau disesuaikan dengan tujuan

kemudian diambil sayatan yang berbentuk pita dengan menggunakan kuas

kecil, kemudian letakkan pada water bath (30oC) dan sayatan sudah

merentang diambil dan menggunakan object glass. Diamkan selama

24 jam.

5. Pewarnaan Rutin H&E

Masukkan object glass yang sudah tertempel sayatan preparat pada

larutan xylol dan alkohol 96% selama 15 menit sebanyak 3 kali kemudian

cuci dengan air mengalir selama 15 menit. Pengecatan inti akan dilakukan

dengan memasukkan preparat ke dalam Meyer Hematoksilin (Harris)

selama 15 menit kemudian cuci dengan air mengalir selama 15 menit.

Setelah itu berikan alkohol asam 1 dip dan cuci dengan air mengalir

selama 15 menit. Masukkan preparat ke dalam Litium Karbonat selama

10-20 detik dan cuci dengan air mengalir selama 15 menit.

Sebagai zat penutup, rendam preparat ke dalam larutan eosin Y

selama 10 menit kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya

preparat dimasukkan ke dalam alkohol 96% selama 15 menit sebanyak

3 kali untuk dehidrasi dan keringkan dengan kain kasa pada sekitar

jaringan. Kemudian lakukan penjernihan dengan memasukkan ke dalam

larutan xylol selama 15 menit dan tutup dengan deck glass lalu direkatkan

menggunakan perekat entelan atau Canada balsem.


42

4.7.6 Pemeriksaan dan pengamatan preparat

Pemeriksaan dan pengamatan preparat menggunakan mikroskop cahaya

dengan perbesaran 400x. Pengamatan dilakukan pada 5 lapang pandang

(5 lobulus) oleh peneliti di Laboratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran

Universitas Malikussaleh dan akan dikonfirmasi kepada pembimbing penelitian.

Pengamatan yang dilakukan adalah dengan melihat persentase nekrosis hepatosit

dengan menggunakan software optilab viewer.

4.8 Alur Penelitian

24 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar

Adaptasi selama 7 hari

K P1 P2 P3
6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

Tartrazine peroral dosis


Tartrazine
3,5mg/150grBB
peroral dosis
selama
Tartrazine
7mg/150grBB
21 hari
peroral dosis
selama
14mg/150grBB
21 hari selama 21 hari

Pengambilan jaringan hepar pada hari ke-30 dan pengecatan jaringan

Pemeriksaan struktur histologis hepar tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar secara mikroskopis

Gambaran 4.1 Skema Alur Penelitian

4.9 Analisis Data

Data yang dikumpulkan merupakan data primer hasil penelitian gambaran

histopatologi hepar pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dari
43

kelompok paparan Tartrazine dan kelompok kontrol. Data yang diperoleh akan

diolah dengan menggunakan software komputer. Setelah data dikumpulkan dan

disajikan dalam bentuk tabel, kemudian dilakukan penilaian dengan analisis

varian, yaitu uji One Way ANOVA dengan derajat kepercayaan yang digunakan

adalah 95% (α=0,05), jika p-value lebih kecil dari α (p<0,05), maka dilanjutkan

dengan uji Least Significant Difference (LSD) Post Hoc Test untuk mengetahui

kelompok yang berbeda secara bermakna. Apabila syarat uji One Way Anova

tidak terpenuhi, seperti data tidak berdistribusi normal dan tidak homogen, maka

data dianalisis dengan uji Non-Parametric yaitu uji Kruskal-Wallis.


BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Rata-rata Persentase Nekrosis Hepatosit

Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur wistar yang dibagi atas kelompok kontrol, perlakuan 1, perlakuan 2, dan

perlakuan 3. Berdasarakan pengamatan terhadap rata-rata persentase nekrosis

hepatosit pada masing-masing kelompok dengan menggunakan mikroskop cahaya

yang diamati pada perbesaran 400 kali pada 5 lapangan pandang, diperoleh nilai

rata-rata (mean), median, dan standar deviasi sebagai berikut:

Tabel 5.1 Rerata, median dan standar deviasi nekrosis hepatosit


Jumlah Rata-rata Median Standar
Kelompok (%) deviasi
sampel (n)
Kontrol 6 5,74 5,82 0,57
Perlakuan 1 6 12,68 12,57 1,64
Perlakuan 2 6 37,69 37,47 1,28
Perlakuan 3 6 47,53 47,66 1,20
Sumber: Data primer, 2018

Keterangan :

Kontrol : diberikan Aqua®

Perlakuan 1 : Tartrazine dosis 3,5 mg/150grBB/hari

Perlakuan 2 : Tartrazine dosis 7 mg/150grBB/hari

Perlakuan 3 : Tartrazine dosis 14 mg/150grBB/hari

Tabel 5.1 menunjukkan kelompok dengan rata-rata persentase nekrosis

hepatosit paling tinggi didapatkan pada kelompok perlakuan 3 yaitu (47,53%),

dan yang paling rendah didapatkan pada kelompok kontrol yaitu (5,74%).

44
45

Kontrol Perlakuan 1

Perlakuan 2 Perlakuan 3
Gambar 5.1 Lobulus hepar tikus putih pewarnaan H&E perbesaran 400x,
panah putih:hepatosit normal, dan panah hitam:hepatosit nekrosis
(Sumber : Data Primer, 2018)

Gambar 5.1 menunjukkan pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan 1 ditemukan gambaran hepatosit tikus putih yang masih normal

meskipun terdapat beberapa degenerasi hidropik yang bersifat reversibel dan

nekrosis, sedangkan pada kelompok perlakuan 2 dan perlakuan 3 lebih banyak sel

radang yang masif dan tampak gambaran hepatosit yang nekrosis lebih dominan.

Selain itu, ditemukan banyak eritrosit yang berkumpul disekitar vena sentralis.

Gambaran nekrosis hepatosit terdapat lebih banyak di daerah dekat vena sentralis.
46

5.2 Analisis Data

Data yang didapatkan berupa rata-rata persentase nekrosis hepatosit pada

masing-masing kelompok selanjutnya dianalisis secara statistik untuk menentukan

ada tidaknya perbedaan rata-rata persentase nekrosis hepatosit antara kelompok

kontrol dengan kelompok perlakuan dengan menggunakan uji One Way ANOVA.

Sebelum dilakukan uji One Way ANOVA, dilakukan uji Shapiro-Wilk dan uji

validasi homogenitas.

5.2.1 Uji Normalitas

Uji Shapiro-wilk dilaukan untuk menguji kenormalan data sebagai syarat

untuk dilakukannnya uji One Way ANOVA.

Tabel 5.2 Uji normalitas Shapiro-wilk


Jumlah Rata-rata p value Nilai 
Kelompok (mean)
sampel (n)
Kontrol 6 5,74 0,780
Perlakuan 1 6 12,68 0,507 0,05
Perlakuan 2 6 37,69 0,810
Perlakuan 3 6 47,53 0,925
Sumber: Data primer, 2018
Hasil dari uji normalitas menunjukkan bahwa data rata-rata persentase

nekrosis sel hepatosit berdistribusi normal (p>0,05) sehingga data tersebut dapat

dilanjutkan untuk uji parametrik One Way ANOVA.

5.2.2 Uji Homogenitas

Tujuan dilakukan uji homogenitas ialah untuk mengetahui varians data

yang digunakan sama atau tidak dan sebagai syarat untuk melakukan uji One Way

ANOVA. Pada penelitian ini digunakan uji Homogenitas Varians Levene.


47

Tabel 5.3 Uji Homogenitas Varians Levene


Statistik
df1 df2 p value Nilai 
Levene
1,453 3 20 0,257 0,05
Sumber: Data primer, 2018
Berdasarkan tabel 5.3 didapatkan p value 0,257 sehingga dapat

disimpulkan bahwa varians data penelitian ini homogen dan dapat dilanjutkan

untuk uji parametric yaitu uji One Way ANOVA.

5.2.3 Uji One Way ANOVA

Hasil statistik dari uji One Way ANOVA didapatkan nilai rerata dan standar

deviasi berbeda untuk setiap kelompok kontrol dan semua kelompok perlakuan

yang tertera pada tabel 5.4 berikut.

Tabel 5.4 Uji One Way ANOVA


Rata-rata Standar
Kelompok deviasi F p
(mean)
Kontrol 5,74 0,57
Perlakuan 1 12,68 1,64 1545,824 0,000
Perlakuan 2 37,69 1,28
Perlakuan 3 47,53 1,20
Sumber: Data primer, 2018
Tabel 5.4 menunjukkan p value 0,000 (p< 0,05). Hal ini menunjukan

bahwa terdapat perbedaan rata-rata persentase sel nekrosis hepatosit tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi Tartrazine antara kelompok

kontrol, perlakuan 1, perlakuan 2, dan perlakuan 3.

Data di atas kemudian di uji lagi dengan menggunakan uji Post Hoc Test

dengan cara Least Significance Different (LSD) untuk mengetahui perbedaan

bermakna di antara kelompok-kelompok tersebut.


48

5.2.4 Uji Post Hoc Test

Tabel 5.5 Nilai Kemaknaan Berdasarkan Uji Post Hoc Test- LSD Nekrosis
Hepatosit
Kelompok Kontrol Perlakuan Perlakuan Perlakuan
I II III
Kontrol - 0,000* 0,000* 0,000*
Perlakuan I - 0,000* 0,000*

Perlakuan II - 0,000*
Perlakuan III -
Keterangan: *= signifikan

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup bermakna

terhadap rata-rata persentase nekrosis hepatosit antara kelompok kontrol dengan

semua kelompok perlakuan yaitu kelompok perlakuan 1, kelompok perlakuan 2,

dan kelompok perlakuan 3 dengan nilai p value 0,000.


BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Rata-rata Persentase Nekrosis Hepatosit Tikus Putih yang diberikan

Tartrazine

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan rata-rata persentase nekrosis

hepatosit antara masing-masing kelompok. Pada kelompok kontrol didapatkan

rata-rata nekrosis hepatosit yaitu 5,74%, kelompok perlakuan 1 adalah 12,68%,

kelompok perlakuan 2 adalah 37,69%, dan kelompok perlakuan 3 adalah 47,53%.

Rata-Rata Persentase Nekrosis Hepatosit


50 47.53
45

40 37.69
35

30

25

20

15 12.68
10
5.74
5

0
Kontol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

Gambar 6.1 Grafik Rata-rata (Mean) Persentase Nekrosis Hepatosit


(Data primer, 2018)

Pada gambar 6.1 memperlihatkan peningkatan angka rata-rata persentase

nekrosis hepatosit berbanding lurus dengan peningkatan dosis Tartrazine yang

diberikan pada masing-masing kelompok tikus putih. Kelompok kontrol

merupakan kelompok yang memiliki rata-rata persentase nekrosis hepatosit paling

rendah yaitu 5,74%, dan selanjutnya diikuti oleh kelompok perlakuan 1 yaitu

49
50

12,68%. Ketidakseimbangan nutrisi yang didapat oleh hewan coba seperti

temperatur ekstrem, radiasi, dan perubahan mendadak pada tekanan atmosfer

dapat mempengaruhi terjadinya nekrosis hepatosit pada kelompok kontrol (Kumar

et al., 2007).

Persentase rata-rata nekrosis hepatosit tertinggi terjadi pada kelompok

perlakuan 3 yaitu 47,53%, kemudian diikuti oleh kelompok perlakuan 2 yaitu

37,69%. Gambar 6.1 memperlihatkan peningkatan rata-rata persentase nekrosis

hepatosit yang signifikan antara kelompok kontrol dengan semua kelompok

perlakuan yaitu kelompok perlakuan 1, perlakuan 2, dan perlakuan 3.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) telah

menetapkan Acceptable Daily Intake (ADI) untuk pewarna sintesis makanan

Tartrazine di Indonesia, yaitu 0 sampai 7,5 mg/kg berat badan (BPOM RI, 2013).

Pada penelitian ini kelompok kontrol tidak diberikan Tartrazine, selanjutnya untuk

kelompok perlakuan 1 diberikan dosis Tartrazine di bawah dosis ADI yaitu 3,75

mg/kgBB dan dikonversikan ke dalam dosis hewan coba menjadi 3,5

mg/150grBB. Kelompok perlakuan 2 diberikan dosis maksimal yang sudah

ditetapkan oleh BPOM RI yaitu 7,5 mg/kgBB dan dikonversikan ke dalam dosis

hewan coba menjadi 7 mg/150grBB. Sedangkan untuk kelompok perlakuan 3,

Tartrazine diberikan diatas dosis maksimal ADI yaitu 15 mg/kgBB yang

dikonversikan ke dalam dosis hewan coba menjadi 14 mg/150grBB.


51

6.2 Pengaruh Pemberian Tartrazine Terhadap Nekrosis Hepatosit Tikus

Putih

Pengaruh pemberian Tartrazine terhadap nekrosis hepatosit tikus putih

dapat dilihat dengan membandingkan rata-rata persentase nekrosis hepatosit tikus

putih pada kelompok perlakuan 1, perlakuan 2, dan perlakuan 3 dengan kelompok

kontrol. Pada penelitian ini hasil uji One Way ANOVA didapatkan p value 0,000

yang artinya terdapat perbedaan rata-rata persentase nekrosis hepatosit tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur wistar pada kelompok yang diberikan Tartrazine.

Penelitian Mahedi et al. (2013), dalam hasil penelitiannya didapatkan

adanya nekrosis hepatosit, degenerasi lemak, degenerasi vakuola dan kongesti

vena sentralis pada histopatologi hepar tikus putih yang diberikan Tartrazine.

Selain itu, pada penelitiannya didapatkan adanya peningkatan signifikan dari

serum Analin aminotransferase (ALT) tikus putih yang diberikan Tartrazine,

peningkatan pada serum ALT dapat mengindikasikan adanya kerusakan dari

hepar.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Himri et al. (2011) juga didapatkan

adanya nekrotik nukleus, dilatasi sinusoid darah, dan kongesti vena sentralis pada

hepar tikus yang diberikan Tartrazine.

European Food Safety Authority (EFSA) menyarankan JECFA (Joint

FAO/WHO Expert Committee on Foof Additives) agar kembali mengevaluasi dan

memberikan pendapat ilmiah tentang 6 zat pewarna yang berpotensi dapat

menyebabkan gangguan kesehatan, salah satunya Tartrazine pada tahun 2010,

karena semua penelitian dari berbagai negara di Eropa dan juga di luar Eropa
52

membuktikan bahwa dapat menyebabkan intoleransi pada tubuh manusia (EFSA,

2010). Dalam sebuah pedoman yang dikeluarkan oleh Food Standards Agency

(FSA) pada tahun 2011 terdapat 6 pewarna sintesis makanan yang disarankan

untuk ditarik dari peredaran dan digantikan dengan pewarna alami makanan,

karena pewarna tersebut dapat menyebabkan gangguan dalam hal kesehatan

tubuh. Salah satu pewarna tersebut termasuk pewarna Tartrazine (FSA, 2011).

Setelah dilakukan uji One Way ANOVA, dilanjutkan dengan Post Hoc

Test-LSD untuk membandingkan adanya pengaruh yang bermakna antara masing-

masing kelompok penelitian. Hasil Post Hoc Test-LSD antara kelompok kontrol

dengan kelompok perlakuan 1, perlakuan 2, dan perlakuan 3 menghasilkan p

value 0,000 yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada rata-rata

persentase nekrosis hepatosit tikus putih. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan

Tartrazine pada di atas dosis ADI, dosis maksimal ADI yang telah ditetapkan

BPOM RI atau di bawah dosis ADI memberikan pengaruh yang bermakna pada

persentase rata-rata nekrosis hepatosit tikus putih (Rattus novegicus) jantan galur

wistar.

Penelitian ini dijumpai adanya kerusakan pada hepatosit berupa degenerasi

hidropik dan beberapa nekrosis pada kelompok kontrol dan perlakuan 1. Hasil ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehedi et al. (2013), yang

menyatakan pemberian Tartrazine dapat membuat kerusakan pada hepatosit

ditandai dengan degenerasi hidropik. Degenerasi hidropik yang terjadi akibat

adanya gangguan pada membran sel sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma,

yang menyebabkan terbentuknya vakuola-vakuola kecil sampai besar. Terjadi


53

akumulasi sel yang rusak tidak dapat menyingkirkan cairan yang masuk (Kumar

et al., 2007).

Kelompok perlakuan 2 dan pelakuan 3 banyak dijumpai eritrosit yang

berkumpul disekitar vena sentralis dan dijumpai nekrosis pada hepatosit. Hasil ini

juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehedi et al. (2013), yang

menyatakan pemberian Tartrazine dapat membuat kerusakan pada hepatosit

ditandai dengan kongesti vena sentralis dan nekrosis. Kongesti vena sentralis

disebabkan oleh meningkatnya volume darah akibat pelebaran pembuluh darah

kecil. Kongesti dimulai pada vena sentralis karena vena sentralis merupakan

penampung darah yang berasal dari arteri hepatica dan vena porta. Akibat lebih

lanjut dari kongesti adalah terganggunya sirkulasi darah, terjadinya kongesti akan

menyebabkan venula dan kapiler semakin permeabel. Nekrosis merupakan

tahapan akhir proses kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti sel

yang mati dapat terlihat lebih kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi

berlipat-lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-

segmen (karioreksis) dan kemudian menjadi eosinofilik (kariolisis) (Kumar et al.,

2007; Mehedi et al., 2013; Guyton dan Hall, 2007).

Tartrazine merupakan salah satu zat warna sintetik golongan azo yang

menghasilkan warna kuning (Winarno, 2008). Ilmuwan pada umumnya

mempergunakan zat warna azo dalam penelitiannya, karena hampir 90% dari

bahan pewarna pangan terdiri dari zat warna azo (Cahyadi, 2012). Ikatan molekul

pada golongan azo merupakan ikatan yang bersifat paling labil sehingga dapat

dengan mudah diurai oleh enzim azo-reduktase yang terdapat dalam tubuh. Enzim
54

azo-reduktase (dengan berbagai aktivitasnya) dapat dijumpai pada berbagai organ,

antara lain hati, ginjal, paru-paru, jantung, otak, limpa, dan jaringan otot. Aktivitas

terbesar dalam penguraian ikatan azo tersebut terjadi pada hati dan ginjal, dan

apabila ikatan azo tersebut sudah terakumulasi dengan cukup tinggi, akan

meningkatkan kinerja metabolisme dari hati dan ginjal, yang apabila terpapar

secara terus menerus dapat merusak dari organ tersebut. Jika pada hati akan

ditandai dengan peningkatan kadar Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase

(SGOT) dan Serum Glutamic Pyruvate Transaminase (SGPT). Penelitian ini tidak

menghitung kadar SGOT dan SGPT pada hepar lebih lanjut, hanya menghitung

rata-rata persentase nekrosis hepatosit yang didapatkan secara histopatologi

(ECHA, 2008; Kee, 2007).

Kerusakan hepar dapat disebabkan oleh zat kimia. Hal ini disebabkan oleh

dosis yang diberikan lebih berperan dibandingkan dengan konstitusi metabolik

(Lee, 2003). Pada dasarnya, hepatosit akan mempertahankan homeostatisnya

ketika mengalami stres fisiologis atau rangsangan patologis, sel dapat beradaptasi

mencapai kondisi baru dan mempertahankan kelangsungan hidup. Respon

adaptasi utama dapat berupa atrofi, hipertrofi, hiperplasia dan metaplasia. Jika

kemampuan adaptif berlebihan, sel akan mengalami jejas. Bahan kimia dapat

menyebabkan jejas dan bahkan pada zat tidak berbahaya seperti glukosa atau

garam, jika terkonsentrasi cukup banyak akan merusak keseimbangan lingkungan

osmotik, sehingga mencederai atau menyebabkan kematian sel (Kumar et al.,

2007).
55

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemberian pewarna sintesis

makanan Tartrazine dapat menyebabkan kerusakan pada hepar yaitu dengan

ditemukannya nekrosis hepatosit serta peningkatan rata-rata persentase nekrosis

hepatosit yang berbanding lurus dengan peningkatan dosis Tartrazine pada tiap

kelompok perlakuan tikus putih. Rata-rata persentase nekrosis hepatosit tikus

putih pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan 1, kelompok perlakuan 2, dan

kelompok perlakuan 3 berturut-turut yaitu 5,74%, 12,68%, 37,69%, dan 47,53%.


BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Pemberian pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral dosis

3,5mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap gambaran nekrosis hepatosit

dengan pesentase rata-rata sebesar 12,68%.

2. Pemberian pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral dosis

7mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap gambaran nekrosis hepatosit

dengan pesentase rata-rata sebesar 37,69%.

3. Pemberian pewarna sintesis makanan Tartrazine peroral dosis

14mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap gambaran nekrosis hepatosit

dengan pesentase rata-rata sebesar 47,53%.

7.2 Saran

Sebagai saran dalam penelitian ini:

1. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan Tartrazine dapat

menyebabkan kerusakan pada sel hepar, oleh karena itu diharapkan

produsen untuk membatasi penggunaan Tartrazine pada makanan yang

dikonsumsi dan bagi masyarakat untuk dapat mengurangi konsumsi

makanan yang menggunakan pewarna Tartrazine.

2. Perlu dilakukan sosialisasi oleh pemerintah kepada para produsen untuk

lebih menganjurkan menggunakan pewarna alami pada makanan yang

dikonsumsi seperti beta karoten.

56
57

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada biomarker petanda kerusakan

organ hepar dan penelitian lanjutan terhadap gambaran histopatologi untuk

melihat kerusakan detail pada organ tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Dahlan, MAH., AL-Samawy, ERM., AL-Kaisei, BI., Jarad, AS., 2014. Effect
of synthetic colorants (Sunset Yellow and Ponceau 4R) in some biochemical and
histopathological parameters of albino rats. Al-Qadisiya Journal of Vet. Med. Sei,
vol.13, No. 1.

Amin, K.A., Hameid, A., Elsttar, A., 2010. Effect of Food Azo Dyes Tartrazine
and Carmoisine On Biochemical Parameters Related to Renal, Hepatic Function
and Oxidative Stress Biomarkers in Young Male Rats [serial online] [cited 2017
March 17]. Available from: URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20678534.

Arisman., 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi Keracunan Makanan. EGC, Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI., 2013. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI 2013 Nomor 37 tahun 2013 tentang batas
maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna. BPOM, Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI., 2013.Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan RI 2013 Nomor 37 tahun 2013 tentang batas maksimum
penggunaan bahan tambahan pangan pewarna. BPOM, Jakarta.

Cahyadi, W., 2012. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. edk
2. Bumi Aksara, Jakarta.

Corwin, E.J., 2009. Buku saku patofisiologi. Edk 3. EGC, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI., 2014. Situasi dan analisis hepatitis 2014. Pusat data
dan informasi Kementerian Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI., 2009. Laporan hasil riset kesehatan dasar provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam 2007, (Triono, Ketua tim). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI., 2013. Riset kesehatan dasar 2013, (Triono, Ketua
tim), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Ekasari, D., 2010. Analisa pendeteksi kadar dan jenis zat warna pada makanan
atau minuman dengan metode hidden markov model. [Skripsi]. Fakultas Teknik
Universitas Indonesia.

Eroschenco, VP., 2012. Atlas histologi difiore: dengan korelasi fungsional. edk
11. diterjemahkan oleh: Pendit. EGC, Jakarta.

58
59

European Chemicals Agency., 2008. Support document for identification of


disodium 3,3’-[[1,1’ –biphenyl]-4,4’ –diylbis(azo)]bis(4-aminonaphthalene-1-
sulphonate) as a substance of very high concern because of its CMR properties.
[cited 2018 Feb 5]. Available from: URL: http://echa.europa.eu.

European Food Safety Authority., 2010. Scientific opinion on the


approapriateness of the food azo-colours Tartrazine, Sunset Yellow FCF,
Carmoisine, Amaranth, Ponceau 4R, Allura Red AC, Brilliant Black BN E,
Brown FK for inclusion in the list of food ingridients set up in annex IIIa of
directive 200/13/EC. Jurnal EFSA Journal. 8(10): 1778

Food Standards Agency., 2011. Guidelines on approaches to the replacement of


Tartrazine, Allura Red, Ponceau 4R, Quinoline Yellow, Sunset Yellow and
Carmoisine in food and beverages. [cited 2018 Feb 5]. Available from: URL:
http://www.food.gov.uk.

Gartner, LP., Hiatt, JL., 2012. Atlas berwarna histologi. edk 5. Binarupa Aksara,
Tangerang.

Ghosh, M.N., 1971. Fundamentals of Experimental Pharmacology. Scientific


Book Agency, Calcutta.

Gibson, J., 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern. edk 2. EGC, Jakarta.

Guyton, A.C., Hall, J.E., 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edk 11,
diterjemahkan oleh: Irawati, Ramadhani, Indriyanti, Dany, Nuryanto, Rianti,
Resmisari, Suyono. EGC, Jakarta.

Hamidy, M., Yulis, Malik, Zulkifli, Mutiara Machyar, Ryan., 2009. Gambaran
Histopatologi Kerusakan Hati Mencit yang Diproteksi dengan Air Rebusan Daun
Sirih (Piper Betle Lin).[cited 2017 May 2]. Available from: URL:
http://www.portalgaruda.org/pdf.

Himri, I., Bellahcen, S., Souna, F., Belmekki, F., Aziz, M., Bnouham, M., Zoheir,
J., Berkia, Z., Mekhfi, H., dan Saalaoui, E., 2011. A 90-day oral toxicity of
Tartrazine, A sinthetic food dye, in wistar rats. Int. J. Pharm. Pharm. Sci.
3(3):159-169. [cited 2018 Feb 5]. Available from: URL:
http://www.ijppsjournal.com

Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, 2002. Metals and Arsenic
Specifications Revised at the 59th JECFA [serial online] [cited 2017 May 2].
Available from: URL:
http://www.fao.org/ag/agn/jecfa-additives/specs/Monograph1/Additive-458.pdf.
Junqueira, Luiz C., dan J. Carneiro., 2012. Histologi Dasar : Teks dan Atlas. edk
10. EGC, Jakarta.
60

Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins, S.L., 2007. Buku Ajar Patologi. edk
7.diterjemahkan oleh: Pendit. EGC, Jakarta.

Kusumawati, D., 2008. Bersahabat dengan Hewan Coba. edk 1. Universitas


Gadjah Mada, Yogyakarta.

Lee, W.M., 2003. Drug Induced Hepatotoxicity. N Engl Journal Med.

Linawati, Y., A. Apriyanto., E. Susanti., I. Wijayanti., dan I.A. Donatus., 2008.


Efek Hepatoprotektif Rebusan Herba Putri-malu (Mimosa pigra L.) Pada Tikus
Terangsang Paracetamol.[cited 2017 May 1]. Available from:
URL:http://www.usd.ac.id.

Mahedi, N., Mokrane, N., Alami, o., Tabet, S.A., Zaoui C., Kheroua, O. dan
Saidi, D., 2013. A thirteen week ad libitum administration toxicity study of in
swiss mice. 12(28):4519-4529. [cited 2018 Feb 13]. Available from: URL:
http://academicjournals.org

Nugraheni, M., 2014. Pewarna Alami; Sumber dan Aplikasinya pada Makanan
dan Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Price, S.A., dan Wilson, L.M., 2012. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses
penyakit, edk 6, vol 1. diterjemahkan oleh: Pendit, Hartono, Wulansari,
Mahanani.EGC,Jakarta.

Remedy Health Media., 2015. Hepatitis overview, incidence and prevalence.[cited


2017 March 25]. Available from: URL:http://www.healthcommunities.com/viral-
hepatitis/hepatitis-overview-incidence-prevalence.shtml.

Ridwan, E., 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian


Kesehatan. J Indon Med Assoc2013;63:112-6.

Sherwood, L., 2012. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. edk 6. diterjemahkan
oleh: Pendit. EGC, Jakarta.

Sihombing, M., Raflizar., 2010. Status Gizi dan Fungsi Hati Mencit (Galur CBS-
Swiss) dan Tikus Putih (Rattus norvegicus) di Laboratorium Hewan Percobaan
Puslitbang Biomedis dan Farmasi [serial online] [cited 2017 March 13]. Available
from: URL: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/2844

Sloane, E., 2014. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. diterjemahkan oleh:
Veldman. EGC, Jakarta.

Snell, R.S., 2012. Anatomi Klinis berdasarkan Sistem. diterjemahkan oleh:


Liliana Sugiharto. EGC, Jakarta.
61

Sudirman, K., 2007. Pengaruh Konsentrasi Jus Pegagan terhadap Eritrosit dan
Kadar Hemoglobin Darah Tikus Putih Betina.[Skripsi]. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhamadiyah.

Winarno, F.G., 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai