PENDAHULUAN
seperti radikal bebas, sehingga hepar dapat dikatakan sebagai fungsi pertahanan
dan pelindung tubuh (Linawati et al., 2008). Tingginya paparan dari berbagai
risiko kerusakan hepar salah satunya berupa peradangan pada sel hepar.
hepar yang terjadi secara difus dan dapat menyebabkan komplikasi parah bahkan
(Depkes) tahun 2014 menyatakan sebanyak 1,5 juta penduduk dunia setiap
kematian 2 kali lipat dibanding dengan riset yang dilakukan pada tahun 2007 dan
dengan tahun 2007, yaitu 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,2% pada tahun 2013.
Pada tahun 2013, lima daerah dengan prevalensi hepatitis tertinggi berturut-turut
berada di Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%),
1
2
Sulawesi Tengah (2,3%), dan Maluku (2,3%). Provinsi Aceh menduduki posisi 8
tertinggi dari provinsi yang ada di Indonesia yang memiliki angka prevalensi di
atas rata-rata nasional, yaitu 1,8% (Riskesdas, 2013). Riskesdas pada tahun 2007
hepatitis kedua tertinggi setelah Kabupaten Aceh Timur, yaitu dengan prevalensi
2009).
dapat disebabkan oleh zat toksik (hepatitis toksik), yakni kerusakan hepar yang
terjadi adalah akibat zat-zat yang bersifat toksik (Hamidy et al., 2009).
Makanan (BTM) salah satunya yaitu pemberian pewarna sintesis makanan yang
azo dalam kadar berlebihan dari yang telah ditetapkan dapat menimbulkan
kerusakan pada hepar yang dapat terlihat dalam waktu cepat berupa peradangan
dan degenerasi lemak pada hepatosit, sehingga berakhir dengan kematian sel
kuning pada beberapa produk pangan (Amin et al., 2010). Produk yang
3
minuman berenergi, puding instan, sereal, mustard bubuk, es krim, permen, dan
lain-lain (Lampiran 1). Selain itu juga dipakai pada produk sabun, sampo,
pengobatan seperti vitamin, obat resep, dan obat kapsul juga mengandung
Tartrazine untuk minuman dan makanan cair yaitu 70 µg/mL dalam setiap produk
siap konsumsi. Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Jepang dan lebih merekomendasikan pewarna alami seperti beta karoten. Efek
samping dari Tartrazine ini dapat merusak beberapa organ tertentu seperti hepar,
pemakaian BTM khususnya Tartrazine dalam suatu produk makanan maka akan
dilakukan percobaan pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan.
Dosis yang digunakan adalah dosis yang telah ditetapkan BPOM yaitu 0 sampai
7,5 mg/kg berat badan yang akan dikonversikan ke dosis tikus, sehingga
4
dan 14 mg/150grBB/hari.
paparan racun tertentu. Salah satu penyebabnya bisa karena pemberian pewarna
sintesis yang bersifat toksik. Tartrazine merupakan salah satu jenis pewarna
sintesis yang sering digunakan dalam beberapa produk dalam kehidupan sehari-
peroral terhadap gambaran nekrosis hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus)
terhadap gambaran nekrosis hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan
galur wistar.
galur wistar.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepar
Hepar atau hati ialah organ terbesar di dalam tubuh. Terjadinya gangguan
(Snell, 2012). Berat hepar mencapai 1.500 gram atau 2% dari berat orang dewasa
normal, memiliki warna merah tua karena kaya dengan darah, dan juga memiliki
permukaan di bagian superior yang cembung (Price dan Wilson, 2012; Sloane,
2014).
arcus costalis dexter dan diafragma setengah bagian kanan memisahkan hepar dari
diafragma setengah bagian kiri. Permukaan atas hepar yang cembung melengkung
cetakan viscera yang letaknya berdekatan. Oleh karena itu bentuknya menjadi
Hepar mempunyai bagian lobus dexter dan sinister. Lobus dexter lebih
besar dibandingkan dengan lobus sinister, antara kedua lobus terdapat vena portae
hepatis, jalur masuk dan keluarnya pembuluh darah, saraf, dan ductus. Lobus
dexter terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus karena adanya vesical
biliaris, fissura untuk ligamentum teres hepatis, vena cava inferior, dan fissura
7
8
untuk ligamentum venosum. Hilus hepatis atau porta hepatis terdapat pada
quadratus. Bagian atas ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir porta
hepatis dan terdapat ductus hepaticus dexter dan sinister, cabang dextra dan
sinistra arteria hepatica, vena porta, serabut-serabut saraf simpatik dan para
simpatik, serta beberapa kelenjar limfe hepar (Snell, 2012; Janqueira dan
Carneiro, 2012).
Gambar 2.1 Hepar dilihat dari Ventral (Paulsen dan Waschke, 2010)
terdapat canalis hepatis, yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena porta,
dan sebuah cabang dari ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteri dan vena
berjalan di antara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis
(Snell, 2012).
9
diantara kedua lobus ini terdapat porta hepatis, yang merupakan jalur masuk dan
keluar antar pembuluh darah, saraf, dan ductus (Sloane, 2004). Ligamentum ini
memiliki pinggir bebas dan berbentuk bulan sabit dan terdapat ligamentum teres
membelah menjadi dua lapis. Lapisan kanan akan membentuk lapisan atas
peritoneum visceralis, kecuali daerah kecil pada permukaan hepar diliputi oleh
peritoneum visceralis, kecuai daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat
facies visceralis hepatis dan bergabung dengan cabang sinistra vena porta hepatis.
merupakan sisa ductus venosus, melekat pada cabang sinistra vena porta dan
berjalan ke atas di dalam fissura pada permukaan visceral hepatis, dan di atas
melekat pada vena cava inferior. Pada jaringan darah yang kaya oksigen dibawa
darah yang tidak melewati hepar masuk ke dalam ductus venosus (ligamentum
10
venosum) dan bersatu dengan vena cava inferior. Pada waktu lahir vena
umbilicalis dan ductus venosus menutup dan menjadi pita fibrosa (Snell, 2012).
Gambar 2.2 Hepar dilihat dari Dorsal (Paulsen dan Waschke, 2010)
coeliac (truncus coeliacus), vena porta, vena hepatica (tiga buah atau lebih)
muncul dari permukaan posterior hepatis dan bermuara ke dalam vena cava
arteria hepatica propria (30%) dan vena porta (70%). Arteria hepatica propria
membawa darah yang kaya oksigen ke hepar, dan vena porta membawa darah
yang kaya akan hasil metabolisme pencernaan yang telah diabsorbsi dari traktus
masing lobules hepatis melalui sinusoid hepar. Vena centralis mengalirkan darah
ke vena hepatica dextra dan sinistra, dan vena-vena ini meninggalkan permukaan
posterior hepar dan bermuara langsung ke dalam vena cava inferior (Snell, 2012).
11
Sistem porta membawa darah dari pancreas, limpa, dan usus. Nutrien
terakumulasi dan diubah dalam hepar, dan zat toksik dinetralkan dan dihilangkan
kecil yang berjalan di tepi setiap lobulus dan berujung ke dalam sinusoid. Venula
sentralis dari setiap lobulus menyatu menjadi vena, yang akhirnya membentuk
dua atau lebih vena hepatica besar yang bermuara ke dalam vena cava inferior.
Arteria hepatica bercabang berulang kali dan membentuk arteriol di area portal
dan beberapa diantaranya berakhir langsung ke dalam sinusoid pada jarak tertentu
dari celah portal sehingga darah arteri yang kaya oksigen ditambahkan ke darah
setengah dari jumlah seluruh cairan limfe tubuh. Pembuluh limfe meninggalkan
hepar dan masuk ke dalam sejumlah kelenjar limfe yang ada di dalam porta
berjalan dari area nuda hepatis melalui diafragma ke nodi lymphoid mediastinalis
posterior. Sistem persarafan hepar terdiri atas saraf simpatik dan para simpatik
Hepar dilapisi oleh suatu simpai tipis jaringan ikat yang menebal di hilus,
tempat vena porta dan arteri hepatica memasuki organ dan keluarnya ductus
hepatica sinistra dan dextra serta pembuluh limfe dari hepar (Gartner dan Hiatt,
2012). Hepar terdiri dari unit heksagonal lobulus hepatikus dan di bagian tengah
12
setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis yang dikelilingi secara radial oleh
lempeng sel hepar, yaitu hepatosit dan sinusoid kearah perifer. Darah arteri dan
darah vena dari daerah porta perifer mula-mula bercampur di sinusoid hepar saat
mengalir kearah vena centralis dan darah masuk ke sirkulasi umum melalui vena
hepatica yang keluar dari hepar dan masuk ke vena cava inferior (Eroschenko,
2012).
dengan enam atau lebih permukaan dan berdiameter 20-30 ptm. Pada sediaan
yang dipulas dengan Hematoxylin and Eosin (H&E) sitoplasma hepatosit biasanya
bersifat eosinofilik karena banyak mitokondria yang berjumlah hingga 2000 per
sel. Hepatosit memiliki inti sferis besar dengan nukleolus. Sel-sel tersebut sering
memiliki dua atau lebih nukleolus dan sekitar 50% bersifat poliploid. Hepatosit
tersusun atas ribuan lobulus kecil dan setiap lobulus memiliki tiga sampai enam
13
area portal di bagian perifer dan suatu venula yang disebut vena centralis di
memungkinkan tempat komunikasi antar sel dan koordinasi aktivasi sel-sel. Zona
portal di sudut lobulus terdiri atas trias porta, yaitu jaringan ikat dengan suatu
venula (cabang vena porta), arteriol (cabang arteri hepatica), dan ductus epitel
menimbulkan sifat basofilia sitoplasma serta sering lebih jelas di hepatosit dekat
ini bertanggung jawab atas proses oksidasi, metilasi, dan konjugasi yang
diekskresi. Retikulum Endoplasma (RE) halus merupakan suatu sistem labil yang
Carneiro, 2012).
dua sel penting yang berhubungan dengan sinusoid. Pertama, sejumlah besar
makrofag stelata (sel kupffer), ditemukan antara sel endotel sinusoid dan
menghancurkan bakteri atau debris yang dapat memasuki darah portal dari usus,
dan bekerja sebagai sel penyaji antigen pada imunitas adaptif (Janqueira dan
Carneiro, 2012).
14
Kedua adanya celah perisinusoid terdapat sel penimbun lemak stelata (sel-
sel Ito) dengan droplet lipid kecil yang mengandung vitamin A dan membentuk
sekitar 8% sel di hepar tetapi sulit ditemukan pada sediaan rutin, menyimpan
ultrastruktural sebagai granul padat elektron yang kasar dan sering berkumpul
berupa droplet lipid kecil dan tidak menyimpan protein dalam granula sekretorik,
sangat penting untuk pergantian dan degradasi organel intrasel. Peroksisom juga
banyak dijumpai dan penting untuk oksidasi kelebihan asam lemak. Setiap
plasma. Pada keadaan tertentu obat yang dinonaktifkan dalam hepar dapat
lobulus hepar di daerah porta sebagai ductus biliaris. Ductus biliaris kemudian
mengalir ke dalam ductus hepatikus yang lebih besar yang membawa empedu
keluar dari hepar. Di dalam lobulus hepar, empedu mengalir di dalam kanalikulus
biliaris dari hepar. Di dalam lobulus hepar, empedu mengalir di dalam kanalikulus
15
(Eroschenko, 2012).
tidak teratur, dan kebanyakan dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh.
tidak utuh. Sinusoid hepar dipisahkan dari hepatosit di bawahnya oleh spatium
memiliki akses langsung melalui dinding endotel yang tidak utuh dengan
pertukaran zat yang efisien antara hepatosit dan darah. Sinusoid hepar juga
Sel-sel kupffer berfungsi menyingkirkan eritrosit tua dan zat-zat lain yang
tidak berguna dari aliran darah. Sel kupffer tersebar di antara sel endotel pembatas
sinusoid. Makrofag ini lebih besar daripada sel-sel epitel dan dapat dikenalkan
tidak bersifat fagosit. Sel penyimpan lemak (sel ito) diduga berfungsi
alkohol, sel-sel ini juga membentuk kolagen tipe I, berperan untuk fibrosis hepar
hampir setiap metabolik tubuh, terutama bertanggung jawab lebih dari 500
aktivitas berbeda, hepar memiliki cadangan yang besar dan hanya membutuhkan
10-20% jaringan yang berfungsi untuk tetap bertahan. Destruksi total atau
hepar adalah membentuk dan mengeskresikan empedu sekitar 500 sampai 1000
mL kuning empedu setiap hari (Price dan Wilson, 2012). Pengeluaran empedu
dari hepar dan vesica biliaris terutama diatur oleh hormon. Aliran empedu
dirangsang ketika lemak makanan dalam kimus masuk ke duodenum. Hormon ini
duodenum (Sloane, 2004). Lubang ductus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh
pencernaan makanan. Ketika sfingter ini tertutup, sebagian besar empedu yang
disekresikan oleh hepar dialihkan balik ke vesica biliaris. Empedu tidak diangkut
langsung dari hepar ke vesica biliaris. Empedu disimpan dan dipekatkan di vesica
(Sherwood, 2012).
17
kolesterol, lesitin, dan bilirubin dalam suatu cairan encer alkalis. Garam empedu
Sebagian empedu diserap kembali ke dalam darah oleh mekanisme transpor aktif,
sistem porta hepar yang mensekresikannya ke dalam empedu. Daur ulang garam
empedu antara duodenum dan hepar disebut sirkulasi enterohepatik. Jumlah total
empedu yang disekresi oleh hepar setiap harinya sangat bergantung pada
sirkulasi enterohepatik (biasanya sekitar 2,5 gram) makin besar kecepatan sekresi
emulsi lemak yang terdiri atas butiran lemak dengan gars tenagh masing-masing 1
mm yang membentuk suspensi di dalam kimus cair. Dalam suatu misel garam
bagian larut air membentuk selubung hidrofilik di sebelah luar. Sebuah misel
18
memiliki garis tengah 4 sampai 7 nm, sekitar sepersejuta ukuran emulsi butiran
karbohidrat, protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi
glikogen dan disimpan dalam hepar dalam bentuk glikogen (Price dan Wilson,
2012). Glikogen hepar merupakan timbunan glukosa dan dimobilisasi jika kadar
glukosa darah menurun dibawah normal (Janqueira dan Carneiro, 2012). Dari
diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam jaringan subkutan. Hepar juga
mensintesis glukosa dari protein dan lemak (glukoneogenesis) (Price dan Wilson,
2012).
hidup. Semua protein plasma (kecuali gamaglobulin) disintesis oleh hepar, yaitu
fibrinogen, dan faktor pembekuan lain. Sebagian besar degradasi asam amino
dimulai dalam hepar melalui proses deaminasi atau pembuangan gugus amino
tidak aktif (Price dan Wilson, 2012). Hepar juga berperan penting dalam sistem
19
imun. Antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma di lamina propria usus diserap
dari darah oleh hepatosit dan diangkut ke dalam canalikulus dan empedu serta
antibodi masuk ke lumen usus, tempat zat ini mengontrol flora bakteri usus
(Eroschenko, 2012).
stres fisiologis atau rangsangan patologis, sel bisa beradaptasi mencapai kondisi
berlebihan, sel mengalami jejas. Bahan kimia dapat mengalami jejas dan bahkan
pada zat yang tidak berbahaya seperti glukosa atau garam, jika berkonsentrasi
Zat kimia dapat menyebakan kerusakan pada hepar. Hal ini disebabkan
metabolik (Lee, 2003). Terdapat beberapa mekanisme kerusakan sel hepar karena
zat kimia. Pertama, jika reaksi energi tinggi yang meilibatkan sitokrom p-450
menyebabkan ikatan kovalen zat kimia dengan protein intrasel, maka akan terjadi
disfungsi intraseluler berupa hilangnya gradien ion, penurunan kadar ATP, dan
dan berakhir dengan ruptur sel. Kedua, disrupsi aktin pada membran kanalikuli
Ketiga, zat kimia dengan senyawa kecil dapat berfungsi sebagai hapten. Setelah
Kerusakan hepar akibat bahan kimia ditandai dengan lesi awal yaitu lesi
biokimia. Hepar akan mengalami perubahan struktur tersebut yang dapat dilihat
merupakan suatu reaksi pertahanan tubuh dalam melawan berbagai jejas. Dengan
Fibrosis terjadi apabila kerusakan sel tanpa regenerasi sel yang cukup. Kerusakan
hepar yang terjadi apabila dilihat secara mikroskopis yaitu terjadi atropi atau
hidropik adalah degenerasi yang terjadi akibat adanya gangguan pada membran
vakuola-vakuola kecil sampai besar. Terjadi akumulasi sel yang rusak tidak dapat
akumulasi protein antara jaringan ikat. Degenerasi amiloid adalah degenerasi yang
terjadi penimbunan amiloid pada celah disse, sering terjadi akibat amiloidase
dengan adanya penimbunan lemak pada parenkim hepar, dapat berupa bercak
zonal ataupun merata. Pada degenerasi ini terjadi pendesakan inti ke tepi sel
merupakan proses kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti sel yang
mati dapat terlihat lebih kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi berlipat-
lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-segmen
2.2 Tartrazine
Tartrazine adalah salah satu jenis pewarna sintetik golongan azo yang
digunakan untuk pewarna makanan dan minuman. Selain untuk makanan dan
minuman Tartrazine juga digunakan untuk kosmetik dan obat-obatan (Amin et al.,
larut dalam air. Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, namun dalam
gliserol dan glikol mudah larut. Tartrazine tahan terhadap cahaya, asam asetat,
HCl dan NaOH 10%. NaOH 30% akan menjadikan warna berubah menjadi
larutan zat pewarna menjadi keruh, tetapi dengan Alumunium (Al) tidak
µg/mL produk siap konsumsi untuk makanan dan minuman cair. Berdasarkan data
BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sesuai ADI penggunaan Tartrazine
yaitu azo, triaril metana, quinolin, xantin, dan indigoid. Tartrazine termasuk dalam
zat warna sintetis golongan azo. Pada umumnya pewarna sintetis azo bersifat
lebih stabil daripada kebanyakan pewarna alami. Pewarna azo stabil dalam
berbagai rentang pH, stabil pada pemanasan, dan tidak memudar bila terpapar
cahaya atau oksigen. Hal tersebut menyebabkan pewarna azo dapat digunakan
pada hampir semua jenis pangan. Salah satu kekurangan pewarna azo adalah
sifatnya yang tidak larut dalam minyak atau lemak (Winarno, 2008).
dibawah ini:
Tartrazine adalah salah satu zat warna golongan azo. Zat warna azo
merupakan jenis zat warna sintetis yang cukup penting. Ilmuwan pada umumnya
mempergunakan zat warna azo dalam penelitiannya karena hampir 90% dari
bahan pewarna pangan terdiri dari zat warna azo. Selain itu, lebih dari 50% zat
warna azo termasuk dalam daftar Color Index. Zat warna azo mempunyai sistem
kromofor dari gugus azo (-N=N) yang berikatan dengan gugus aromatik
(Cahyadi, 2012).
24
Zat warna azo kemudian akan masuk ke dalam sistem pencernaan untuk
diabsorpsi dan direduksi oleh mikroorganisme dalam usus. Senyawa tersebut akan
dibawa langsung ke hepar dari saluran pencernaan melalui vena porta atau melalui
molekul yang tersebar dan melarut dalam plasma, sebagai molekul-molekul yang
terikat reversibel dengan protein dan konstituen-konstituen lain dalam serum, dan
waktu yang lama dapat memberikan efek yang berbahaya. Tartrazine dapat
memicu alergi, asma, keluhan lambung-usus serta gangguan pada mukosa mata.
Reaksi ini lebih sering terjadi pada mereka yang juga sensitif terhadap asam asetil
salisilat atau aspirin. Sekitar 10-40% orang yang peka terhadap aspirin biasanya
mudah sekali terserang asma, urtikaria, rhinitis, dan hiperaktivitas pada anak.
Reaksi ini dimungkinkan karena struktur kimia dari Tartrazine mirip dengan
pewarna sintesis yang dikonsumsi berulang dan dalam jumlah yang kecil, bahan
masyarakat yang luas dengan daya tahan tubuh yang berbeda tergantung dari usia,
jenis kelamin, berat badan, mutu makanan sehari-hari yang dikonsumsi dan
keadaan fisik. Selain itu juga karena beberapa masyarakat menggunakan bahan
pewarna sintesis secara berlebihan dan penyimpanan bahan pewarna sintesis oleh
secara oral selama 30 hari pada tikus menunjukkan perubahan histopatologi pada
hepar dan ginjal tikus yang disertai dengan peningkatan serum kreatinin, urea
(AST) yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal dan hepar tikus.
laboratorium yang biasa disebut tikus putih dan dapat berkembangbiak secara
cepat serta dalam jumlah yang cukup besar. Tikus termasuk hewan pengerat
besar serta anatomi dan fisiologinya terkategori dengan baik (Kusumawati, 2008).
Kebutuhan makanan tikus dewasa setiap harinya sekitar 12 gram dengan berat
badan 200-400 gram. Faktor yang perlu diperhatikan dalam memberikan makanan
kepada tikus yaitu kualitas bahan pangan, terutama daya cerna. Hal ini
Tikus putih ini berbeda dengan mencit karena hewan ini memiliki ukuran
tubuh yang lebih besar daripada mencit dan tikus putih tidak pernah muntah,
26
karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam
lambung dan tikus tidak mempunyai vesica biliaris. Umur 2 bulan berat badan
tikus dapat mencapai 200-300 gram. Lama hidup dari tikus putih 2,5-3 tahun,
temperatur tubuh 37,5oC, kebutuhan air 8-11 mL/100grBB, dan volume darah 6-
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar lebih besar dari famili tikus
umumnya dan tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung
ekor dan berat 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih kecil
dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan dapat
hidup selama 4 tahun. Tikus yang umum digunakan untuk penelitian adalah yang
berjenis kelamin jantan. Pertimbangan untuk memilih tikus jantan, selain untuk
penyeragaman jenis kelamin, juga karena tikus jantan tidak mempunyai siklus
estrus, berbeda dengan tikus betina. Tikus betina mempunyai siklus estrus dan
akan menyebabkan tikus betina terlihat tidak tenang dan hiperaktif pada fase
tersebut. Pengaruh estrogen yang disekresikan pada fase estrus ini juga
menyebabkan pola perilaku kawin pada tikus betina. Tikus laboratorium jantan
jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus ini akan tenang dan mudah ditangani
dilaboratorium jika dipegang dengan cara yang benar (Sihombing dan Raflizar,
2010).
Table 2.2 Data Deskripsi dan Spesifikasi Tikus Putih Galur Wistar
Deskripsi Spesifikasi
Berat Badan
300-400 gram
Jantan
250-300 gram
Betina
Lama Hidup 2,5-3 tahun
Temperatur Tubuh 37,5οC
Kebutuhan Air 8-11 mL/100 gram BB
27
harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu),
mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan, hewan
tampak jelas dari luar, dan alas tempat tidur harus mudah menyerap air, pada
umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi. Selain itu menciptakan suasana
lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologi tikus (suhu,
kelembaban dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari) serta
yaitu: bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa
nyeri, trauma, dan penyakit, bebas dari ketakutan dan stres jangka panjang, bebas
mengekspresikan tingkah laku alami, diberikan ruang dan fasilitas yang sesuai
dahulu. Kedua, aman untuk peneliti dan pembantu peneliti. Ketiga, mudah
dilakukan. Keempat, sesuai dengan umur, spesies, kesehatan, dan jumlah hewan.
Euthanasia harus dilaksanakan oleh orang yang terlatih sesuai dengan institusi dan
Gambar 2.5 Tikus putih galur wistar (Institute for Animal Reproduction,
2015)
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Tartrazine peroral
Distribusi HEPAR
Metabolisme (deetilisasi)
Akumulasi
Kerusakan sel
hepar
Gambaran 3.1
Kerangka konseptual
Keterangan:
29
30
menggunakan hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar
Malikussaleh.
Waktu penelitian ini mulai dari bulan Oktober 2017 sampai Desember
2017.
4.3.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
wistar.
1. Kriteria Inklusi
32
33
2. Kriteria Eksklusi
b. Tikus tampak sakit dan tidak bergerak secara aktif (ciri-ciri tikus yang
sakit adalah sulit makan, kurus, bulunya berdiri, rambut kusam atau
(n-1) (t-1) ≥ 15
(n-1) (4-1) ≥ 15
(n-1) 3 ≥ 15
(3n-3) ≥ 15
3n ≥ 18
34
n ≥ 18/3
n ≥6
perhitungan di atas maka didapatkan besar sampel pada penelitian ini adalah
ditambah 10% dari jumlah yaitu 1 ekor hewan coba pada setiap kelompok, jadi
Untuk menghindari bias karena variasi faktor umum dan berat badan maka
Randomisasi langsung dapat dilakukan karena sampel yang diambil dari tikus
putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar sudah memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sehingga dianggap cukup homogen. Semuanya diambil secara acak dari
Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu variabel independen (bebas) dan
Hewan coba yang digunakan tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
wistar yang berusia 8-12 minggu dengan berat badan 150±10 gram.
Hewan coba pada penelitian ini akan diberi pakan BR-2 dan minum
aquades.
Bahan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah pewarna sintesis
makanan Tartrazine.
dan bahan untuk pembuatan preparat histopatologi hepar yaitu formalin 10%,
alkohol 95% atau 100% xylol, paraffin, larutan hematoksilin, larutan amonia, dan
larutan eosin.
ukur, pipet tetes, spuit 1 cc, sonde lambung, tabung kaca penyimpanan organ, alat
Ethical Clearance dari Komisi Etik Penelitian Lembaga Peneliti Muda Kesehatan
Aceh.
Hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dibagi
sampling), untuk mencegah bias variasi faktor umur dan berat badan, dimana
menggunakan tinta hitam pada bagian ekor. Setelah itu, tikus diaklimatisasi
selama 7 hari sebelum diberi perlakuan. Hewan coba ditempatkan dalam kandang
yang telah dipersiapkan dan diatasnya ditutup dengan kawat penutup. Selama
aklimatisasi, tikus diberi diet standar berupa pakan BR-2 dan minum aquades ad
libitum, dipelihara dalam ruangan berventilasi cukup dan suhu ruangan berkisar
diatur dengan siklus 12 jam terang dan12 jam gelap. Siklus terang dimulai dari
Dosis yang akan digunakan pada penelitian ini dihitung berdasarkan dosis
kedalam dosis hewan menggunakan rumus Laurence (Lampiran 2). Dosis untuk
dosis yang dibutuhkan untuk perlakuan tikus. Tartrazine dicampur dan diaduk
diberikan secara peoral sebanyak dosis di atas yang dicampurkan dan diaduk
pada volume normal lambung tikus yaitu 3-5 mL. Jika pemberian lebih dari 1 mL
dikhawatirkan tidak ada cukup ruang untuk makanan dan minuman yang
1 mL dimasukkan dalam spuit 1cc yang telah dipasang sonde lambung. Larutan
hewan coba.
Setelah aklimatisasi selama 7 hari, pada hari ke-8 hingga hari ke-29 hewan
coba akan diberi perlakuan berupa pemberian sonde lambung larutan pewarna
a. Kelompok kontrol
secara ad libitum.
b. Kelompok perlakuan I
c. Kelompok perlakuan II
Pada hari ke-30 semua hewan coba akan dikorbankan sesuai dengan
kesehatan. Setelah dikorbankan hewan coba akan di bedah dan di ambil heparnya
40
lalu dimasukkan dalam tabung kaca yang sudah diberi larutan pengawet buffer
1. Pemotongan Gross
3 mm.
2. Pengawetan/Fiksasi
3. Pengeblokan/Embedding
pada kotak kertas yang berisi parafin cair dengan suhu oven 55oC selama
1 jam sebanyak 4 kali setlah itu tanam jaringan pada parafin blok
(Embedding).
4. Penyayatan
41
kecil, kemudian letakkan pada water bath (30oC) dan sayatan sudah
24 jam.
larutan xylol dan alkohol 96% selama 15 menit sebanyak 3 kali kemudian
cuci dengan air mengalir selama 15 menit. Pengecatan inti akan dilakukan
Setelah itu berikan alkohol asam 1 dip dan cuci dengan air mengalir
3 kali untuk dehidrasi dan keringkan dengan kain kasa pada sekitar
larutan xylol selama 15 menit dan tutup dengan deck glass lalu direkatkan
K P1 P2 P3
6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor
Pemeriksaan struktur histologis hepar tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar secara mikroskopis
histopatologi hepar pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dari
43
kelompok paparan Tartrazine dan kelompok kontrol. Data yang diperoleh akan
varian, yaitu uji One Way ANOVA dengan derajat kepercayaan yang digunakan
adalah 95% (α=0,05), jika p-value lebih kecil dari α (p<0,05), maka dilanjutkan
dengan uji Least Significant Difference (LSD) Post Hoc Test untuk mengetahui
kelompok yang berbeda secara bermakna. Apabila syarat uji One Way Anova
tidak terpenuhi, seperti data tidak berdistribusi normal dan tidak homogen, maka
galur wistar yang dibagi atas kelompok kontrol, perlakuan 1, perlakuan 2, dan
yang diamati pada perbesaran 400 kali pada 5 lapangan pandang, diperoleh nilai
Keterangan :
dan yang paling rendah didapatkan pada kelompok kontrol yaitu (5,74%).
44
45
Kontrol Perlakuan 1
Perlakuan 2 Perlakuan 3
Gambar 5.1 Lobulus hepar tikus putih pewarnaan H&E perbesaran 400x,
panah putih:hepatosit normal, dan panah hitam:hepatosit nekrosis
(Sumber : Data Primer, 2018)
nekrosis, sedangkan pada kelompok perlakuan 2 dan perlakuan 3 lebih banyak sel
radang yang masif dan tampak gambaran hepatosit yang nekrosis lebih dominan.
Selain itu, ditemukan banyak eritrosit yang berkumpul disekitar vena sentralis.
Gambaran nekrosis hepatosit terdapat lebih banyak di daerah dekat vena sentralis.
46
kontrol dengan kelompok perlakuan dengan menggunakan uji One Way ANOVA.
Sebelum dilakukan uji One Way ANOVA, dilakukan uji Shapiro-Wilk dan uji
validasi homogenitas.
nekrosis sel hepatosit berdistribusi normal (p>0,05) sehingga data tersebut dapat
yang digunakan sama atau tidak dan sebagai syarat untuk melakukan uji One Way
disimpulkan bahwa varians data penelitian ini homogen dan dapat dilanjutkan
Hasil statistik dari uji One Way ANOVA didapatkan nilai rerata dan standar
deviasi berbeda untuk setiap kelompok kontrol dan semua kelompok perlakuan
bahwa terdapat perbedaan rata-rata persentase sel nekrosis hepatosit tikus putih
(Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi Tartrazine antara kelompok
Data di atas kemudian di uji lagi dengan menggunakan uji Post Hoc Test
Tabel 5.5 Nilai Kemaknaan Berdasarkan Uji Post Hoc Test- LSD Nekrosis
Hepatosit
Kelompok Kontrol Perlakuan Perlakuan Perlakuan
I II III
Kontrol - 0,000* 0,000* 0,000*
Perlakuan I - 0,000* 0,000*
Perlakuan II - 0,000*
Perlakuan III -
Keterangan: *= signifikan
Tartrazine
40 37.69
35
30
25
20
15 12.68
10
5.74
5
0
Kontol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
rendah yaitu 5,74%, dan selanjutnya diikuti oleh kelompok perlakuan 1 yaitu
49
50
et al., 2007).
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) telah
Tartrazine di Indonesia, yaitu 0 sampai 7,5 mg/kg berat badan (BPOM RI, 2013).
Pada penelitian ini kelompok kontrol tidak diberikan Tartrazine, selanjutnya untuk
kelompok perlakuan 1 diberikan dosis Tartrazine di bawah dosis ADI yaitu 3,75
ditetapkan oleh BPOM RI yaitu 7,5 mg/kgBB dan dikonversikan ke dalam dosis
Putih
kontrol. Pada penelitian ini hasil uji One Way ANOVA didapatkan p value 0,000
yang artinya terdapat perbedaan rata-rata persentase nekrosis hepatosit tikus putih
(Rattus norvegicus) jantan galur wistar pada kelompok yang diberikan Tartrazine.
vena sentralis pada histopatologi hepar tikus putih yang diberikan Tartrazine.
hepar.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Himri et al. (2011) juga didapatkan
adanya nekrotik nukleus, dilatasi sinusoid darah, dan kongesti vena sentralis pada
karena semua penelitian dari berbagai negara di Eropa dan juga di luar Eropa
52
2010). Dalam sebuah pedoman yang dikeluarkan oleh Food Standards Agency
(FSA) pada tahun 2011 terdapat 6 pewarna sintesis makanan yang disarankan
untuk ditarik dari peredaran dan digantikan dengan pewarna alami makanan,
tubuh. Salah satu pewarna tersebut termasuk pewarna Tartrazine (FSA, 2011).
Setelah dilakukan uji One Way ANOVA, dilanjutkan dengan Post Hoc
masing kelompok penelitian. Hasil Post Hoc Test-LSD antara kelompok kontrol
persentase nekrosis hepatosit tikus putih. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
Tartrazine pada di atas dosis ADI, dosis maksimal ADI yang telah ditetapkan
BPOM RI atau di bawah dosis ADI memberikan pengaruh yang bermakna pada
persentase rata-rata nekrosis hepatosit tikus putih (Rattus novegicus) jantan galur
wistar.
hidropik dan beberapa nekrosis pada kelompok kontrol dan perlakuan 1. Hasil ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehedi et al. (2013), yang
adanya gangguan pada membran sel sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma,
akumulasi sel yang rusak tidak dapat menyingkirkan cairan yang masuk (Kumar
et al., 2007).
berkumpul disekitar vena sentralis dan dijumpai nekrosis pada hepatosit. Hasil ini
juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehedi et al. (2013), yang
ditandai dengan kongesti vena sentralis dan nekrosis. Kongesti vena sentralis
kecil. Kongesti dimulai pada vena sentralis karena vena sentralis merupakan
penampung darah yang berasal dari arteri hepatica dan vena porta. Akibat lebih
lanjut dari kongesti adalah terganggunya sirkulasi darah, terjadinya kongesti akan
tahapan akhir proses kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti sel
yang mati dapat terlihat lebih kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi
berlipat-lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-
Tartrazine merupakan salah satu zat warna sintetik golongan azo yang
mempergunakan zat warna azo dalam penelitiannya, karena hampir 90% dari
bahan pewarna pangan terdiri dari zat warna azo (Cahyadi, 2012). Ikatan molekul
pada golongan azo merupakan ikatan yang bersifat paling labil sehingga dapat
dengan mudah diurai oleh enzim azo-reduktase yang terdapat dalam tubuh. Enzim
54
antara lain hati, ginjal, paru-paru, jantung, otak, limpa, dan jaringan otot. Aktivitas
terbesar dalam penguraian ikatan azo tersebut terjadi pada hati dan ginjal, dan
apabila ikatan azo tersebut sudah terakumulasi dengan cukup tinggi, akan
meningkatkan kinerja metabolisme dari hati dan ginjal, yang apabila terpapar
secara terus menerus dapat merusak dari organ tersebut. Jika pada hati akan
(SGOT) dan Serum Glutamic Pyruvate Transaminase (SGPT). Penelitian ini tidak
menghitung kadar SGOT dan SGPT pada hepar lebih lanjut, hanya menghitung
Kerusakan hepar dapat disebabkan oleh zat kimia. Hal ini disebabkan oleh
ketika mengalami stres fisiologis atau rangsangan patologis, sel dapat beradaptasi
adaptasi utama dapat berupa atrofi, hipertrofi, hiperplasia dan metaplasia. Jika
kemampuan adaptif berlebihan, sel akan mengalami jejas. Bahan kimia dapat
menyebabkan jejas dan bahkan pada zat tidak berbahaya seperti glukosa atau
2007).
55
hepatosit yang berbanding lurus dengan peningkatan dosis Tartrazine pada tiap
7.1 Kesimpulan
7.2 Saran
56
57
Al-Dahlan, MAH., AL-Samawy, ERM., AL-Kaisei, BI., Jarad, AS., 2014. Effect
of synthetic colorants (Sunset Yellow and Ponceau 4R) in some biochemical and
histopathological parameters of albino rats. Al-Qadisiya Journal of Vet. Med. Sei,
vol.13, No. 1.
Amin, K.A., Hameid, A., Elsttar, A., 2010. Effect of Food Azo Dyes Tartrazine
and Carmoisine On Biochemical Parameters Related to Renal, Hepatic Function
and Oxidative Stress Biomarkers in Young Male Rats [serial online] [cited 2017
March 17]. Available from: URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20678534.
Arisman., 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi Keracunan Makanan. EGC, Jakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI., 2013. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI 2013 Nomor 37 tahun 2013 tentang batas
maksimum penggunaan bahan tambahan pangan pewarna. BPOM, Jakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI., 2013.Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan RI 2013 Nomor 37 tahun 2013 tentang batas maksimum
penggunaan bahan tambahan pangan pewarna. BPOM, Jakarta.
Cahyadi, W., 2012. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. edk
2. Bumi Aksara, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI., 2014. Situasi dan analisis hepatitis 2014. Pusat data
dan informasi Kementerian Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI., 2009. Laporan hasil riset kesehatan dasar provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam 2007, (Triono, Ketua tim). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI., 2013. Riset kesehatan dasar 2013, (Triono, Ketua
tim), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Ekasari, D., 2010. Analisa pendeteksi kadar dan jenis zat warna pada makanan
atau minuman dengan metode hidden markov model. [Skripsi]. Fakultas Teknik
Universitas Indonesia.
Eroschenco, VP., 2012. Atlas histologi difiore: dengan korelasi fungsional. edk
11. diterjemahkan oleh: Pendit. EGC, Jakarta.
58
59
Gartner, LP., Hiatt, JL., 2012. Atlas berwarna histologi. edk 5. Binarupa Aksara,
Tangerang.
Gibson, J., 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern. edk 2. EGC, Jakarta.
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edk 11,
diterjemahkan oleh: Irawati, Ramadhani, Indriyanti, Dany, Nuryanto, Rianti,
Resmisari, Suyono. EGC, Jakarta.
Hamidy, M., Yulis, Malik, Zulkifli, Mutiara Machyar, Ryan., 2009. Gambaran
Histopatologi Kerusakan Hati Mencit yang Diproteksi dengan Air Rebusan Daun
Sirih (Piper Betle Lin).[cited 2017 May 2]. Available from: URL:
http://www.portalgaruda.org/pdf.
Himri, I., Bellahcen, S., Souna, F., Belmekki, F., Aziz, M., Bnouham, M., Zoheir,
J., Berkia, Z., Mekhfi, H., dan Saalaoui, E., 2011. A 90-day oral toxicity of
Tartrazine, A sinthetic food dye, in wistar rats. Int. J. Pharm. Pharm. Sci.
3(3):159-169. [cited 2018 Feb 5]. Available from: URL:
http://www.ijppsjournal.com
Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, 2002. Metals and Arsenic
Specifications Revised at the 59th JECFA [serial online] [cited 2017 May 2].
Available from: URL:
http://www.fao.org/ag/agn/jecfa-additives/specs/Monograph1/Additive-458.pdf.
Junqueira, Luiz C., dan J. Carneiro., 2012. Histologi Dasar : Teks dan Atlas. edk
10. EGC, Jakarta.
60
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins, S.L., 2007. Buku Ajar Patologi. edk
7.diterjemahkan oleh: Pendit. EGC, Jakarta.
Mahedi, N., Mokrane, N., Alami, o., Tabet, S.A., Zaoui C., Kheroua, O. dan
Saidi, D., 2013. A thirteen week ad libitum administration toxicity study of in
swiss mice. 12(28):4519-4529. [cited 2018 Feb 13]. Available from: URL:
http://academicjournals.org
Nugraheni, M., 2014. Pewarna Alami; Sumber dan Aplikasinya pada Makanan
dan Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Price, S.A., dan Wilson, L.M., 2012. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses
penyakit, edk 6, vol 1. diterjemahkan oleh: Pendit, Hartono, Wulansari,
Mahanani.EGC,Jakarta.
Sherwood, L., 2012. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. edk 6. diterjemahkan
oleh: Pendit. EGC, Jakarta.
Sihombing, M., Raflizar., 2010. Status Gizi dan Fungsi Hati Mencit (Galur CBS-
Swiss) dan Tikus Putih (Rattus norvegicus) di Laboratorium Hewan Percobaan
Puslitbang Biomedis dan Farmasi [serial online] [cited 2017 March 13]. Available
from: URL: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/2844
Sloane, E., 2014. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. diterjemahkan oleh:
Veldman. EGC, Jakarta.
Sudirman, K., 2007. Pengaruh Konsentrasi Jus Pegagan terhadap Eritrosit dan
Kadar Hemoglobin Darah Tikus Putih Betina.[Skripsi]. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhamadiyah.
Winarno, F.G., 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.