Anda di halaman 1dari 22

Referat

TUBERKULOSIS PADA HIV


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Pulmunologi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Cut Rizka Balqis Putri, S.Ked


2006111070

Preseptor :
dr. Puspa Rosfadilla, M.Ked (Paru), Sp.P

BAGIAN ILMU/SMF PULMONOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan
kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini dengan judul
"Tuberkulosis Pada HIV". Penyusunan referat ini merupakan pemenuhan syarat
untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF/Ilmu
Pulmonologi Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Aceh Utara.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya referat ini, dengan rasa hormat
dan rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. Puspa Rosfadilla, M.Ked (Paru), Sp.P atas arahan dan
bimbingannya dalam penyusunan referat ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF/Ilmu
Pulmonologi Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit
Umum Cut Meutia Aceh Utara, yang telah membantu dalam bentuk
motivasi dan dukungan semangat.
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa
dalam penyusunan referat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat
mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan
referat ini. Semoga reafarat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Lhokseumawe, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................15

2.1 Defenisi...................................................................................................15

2.2 Etiologi....................................................................................................15

2.3 Epidemiologi...........................................................................................17

2.4 Patogenesis..............................................................................................17

2.5 Diagnosis.................................................................................................20

2.6 Tatalaksana..............................................................................................25

2.7 Pencegahan TB pada ODHA...................................................................27

2.8 Komplikasi..............................................................................................27

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................29

BAB IV DAFTAR PUSTAKA.............................................................................30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human


Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan melemahnya sistem
kekebalan tubuh seseorang, membuatnya lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan bisa
menyebabkan kematian. Hubungan heteroseksual, penggunaan jarum suntik
bersama pada pengguna narkoba suntik (penasun), penularan dari ibu ke bayi
selama periode kehamilan, kelahiran dan menyusui, tranfusi darah yang tidak
aman dan praktik tato merupakan cara penularan HIV pada umumnya.1
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara
sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat
kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif
tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa
pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan
seks biasa dan seks oral.2
Tuberkulosis dan infeksi HIV/AIDS memiliki hubungan yang kuat dan
dengan adanya infeksi HIV maka insidensi penyakit TB semakin meningkat.
Orang yang hidup dengan HIV memiliki 20 kali lipat peningkatan risiko untuk
mengembangkan penyakit TB. 3
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
berbentuk batang, Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini biasanya menyerang
paru-paru (TB paru), tetapi dapat menyerang organ-organ tubuh lainnya (TB
ekstra paru). Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia.4
Presentase kasus koinfeksi TB-HIV tertinggi terdapat di Afrika (58%)
namun angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit koinfeksi dan oportunistik
paling banyak di Asia Tenggara. Situasi di Asia berpotensi untuk menyebabkan
peningkatan koinfeksi ini karena beberapa alasan yaitu karena prevalensi TB laten
di Asia lebih tinggi dibandingkan Afrika, 40-45% di Asia dan 30% di Afrika.5

3
4

Tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS (TB-HIV) sering dijumpai dengan


prevalensi 29-37 kali lebih banyak dibandingkan dengan TB tanpa HIV. Untuk
menurunkan prevalensi koinfeksi TB/HIV, penemuan dini TB pada pasien HIV
dan deteksi dini HIV pada pasien TB perlu dilakukan dan diberikan pengobatan
segera dengan tata laksana yang tepat agar dapat meningkatkan keberhasilan
pengobatan.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
kelompok Mycobacterium, yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dikenal
sebagai bakteri tahan asam (BTA). Penyakit ini dapat menyerang semua orang,
baik anakanak maupun dewasa. Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB
dengan BTA positif melalui percikan dahak yang dikeluarkannya. Infeksi akan
terjadi apabila orang lain menghirup percikan dahak yang mengandung bakteri TB
tersebut.7
HIV merupakan virus yang menyerang dan merusak sistem kekebalan
tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang rusak atau lemah akan mudah terserang
berbagai penyakit. Kumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh disebut
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Virus ini menyerang sel darah
putih sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Tingginya kasus
infeksi HIV/AIDS yang terus bertambah terutama dari kalangan usia muda atau
remaja merupakan permasalahan yang serius.8
2.2 Etiologi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) menginfeksi sel limfosit CD4. Sel
ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat
mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV
akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya
homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini
akan menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum yang luas.9
Hal ini dapat membuat pederitanya lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan bisa
menyebabkan kematian. Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama,
yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah
melalui jarum suntik, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin.9

15
16

Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium


tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium
microti and Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan menular antar manusia
melalui rute udara. Tidak ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan
M.TB. Namun, M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan
melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi jaringan limfe
orofaring saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi tersebut.
Angka kejadian infeksi M.bovis pada manusia sudah mengalami penurunan
signifikan di negara berkembang, hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan
telah diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak.
Infeksi terhadap organisme lain relatif jarang ditemukan. Tuberkulosis biasanya
menular dari manusia ke manusia lain lewat udara melalui percik renik atau
droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang yang terinfeksi TB paru
atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik juga dapat dikeluarkan saat
pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang menghasilkan produk aerosol
seperti saat dilakukannya induksi sputum, bronkoskopi dan juga saat
dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium.
Percik renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter 1 sampai 5µm dapat
menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan di dalam
udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini
memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri
kemudian melakukan replikasi. Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :6
1. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume
ruang dan ventilasi.
3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang
17

paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius.9

2.3 Epidemiologi
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TB tahun 2017 pada laki-laki
1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Hal ini terjadi kemungkinan
karena laki-laki lebih terpapar faktor risiko TB misalnya merokok dan
ketidakpatuhan dalam minum obat. Hasil survei menemukan bahwa dari seluruh
partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
perempuan yang merokok.10
HIV (Human Immunodeficiency Virus)/AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) merupakan permasalahan kesehatan lainnya yang
juga mengancam Indonesia dan seluruh negara di dunia. Seiring dengan
perkembangan epidemi HIV/AIDS diperkirakan jumlah penderita HIV/AIDS juga
meningkat. Di Indonesia, estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada
populasi dewasa tahun 2017 sebanyak 141.432 orang.11 Infeksi HIV/AIDS ini
dapat ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak aman, penggunaan Napza
suntik (penasun), produk darah, maupun penularan dari ibu ke anak (perinatal).10
Koinfeksi TB dan HIV merupakan kombinasi penyakit yang mematikan.7
2.4 Patogenesis
Patogenesis infeksi TB pada pasien HIV berkaitan langsung dengan
menurunnya sistem imun, khususnya limfosit T CD4. Infeksi HIV akan
menyebabkan menurunnya limfosit T CD4 sehingga menurunkan respon
imunologi terhadap Mycobacterium tuberculosis. Hal ini akan mengakibatkan
reaktivasi dari masa laten TB menjadi infeksi aktif. Selain itu, keadaan ini
menyebabkan progresi cepat dari infeksi TB pada pasien HIV.12
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi paling sering pada penderita
HIV/AIDS akibat kerusakan cellular immunity oleh infeksi HIV yang
menyebabkan berbagai infeksi oportunistik seperti TB. Tuberkulosis (TB) dapat
terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko berkembangnya TB
18

meningkat secara tajam seiring dengan memburuknya sistem kekebalan tubuh. TB


juga merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada pasien HIV/AIDS.
Pada orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 x lebih besar untuk mendapat TB
dibanding HIV negatif. Masalah koinfeksi HIV- TB tersebut merupakan masalah
yang sering dihadapi di Indonesia. 13
Tuberkulosis dan HIV keduanya memiliki efek terhadap sistem imun.
Imunopatogenesis dan infeksi oportunistik saling mempengaruhi dan
memperberat kedua penyakit tersebut. M. tuberculosis masuk melalui reseptor
makrofag menyebabkan upregulation gen-gen pembentuk sitokin proinflamasi.
Sitokin yang terbentuk akan meningkatkan replikasi HIV, sehingga pada koinfeksi
HIV-TB akan mempercepat progresifitas HIV ke stadium lanjut.13
M. tuberculosis mempunyai komponen penting yaitu Lipoarabinomannan
(LAM) yang memiliki kemampuan luas menghambat pengaruh imunoregulator.
LAM merupakan kompleks heteropolisakarida yang tersusun dari
pospatidilinositol, berperan langsung dalam pengendalian pengaruh sistem imun
sehingga M. tuberculosis tetap mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Dalam upaya mempertahankan kehidupannya tersebut M. tuberculosis juga
menekan proliferasi limfosit T, menghambat aktivitas makrofag, dan menetralisasi
pengaruh toksik radikal bebas. Di sisi lain LAM mempengaruhi makrofag dan
sebagai induktor transkripsi mRNA sehingga mampu menginduksi produksi dan
sekresi sitokin termasuk TNF, granulocyte macrophage- CSF, IL-1α, IL-1β, IL-6,
IL-8 dan IL-10. Pengaruh sitokin tersebut menghambat peran antimikrobial,
memicu gejala demam, mengakibatkan nekrosis jaringan. Tetapi LAM tidak
menginduksi transkripsi mRNA dari sitokin yang mestinya diproduksi limfosit
seperti limfositokin, IFN-γ, IL-2, IL-3, IL-4. Struktur yang lebih sederhana dari
LAM adalah Limpomannan (LM) dan phosphatidylinositol mannosides (PIM).
LM tidak memiliki Arabian, sementara PIM memiliki arabain dan residu mannan.
LAM, LM dan PIM menginduksi transkripsi mRNA sitokin sehingga dapat
memicu munculnya manifestasi klinis tuberkulosis seperti demam, penurunan
berat badan, dan nekrosis jaringan. Ada tiga mekanisme yang menyebabkan
terjadinya TB pada penderita HIV, yaitu reaktivasi dari masa laten TB menjadi
19

infeksi aktif yang progresif serta terinfeksi. Penurunan CD4+ yang terjadi dalam
perjalanan penyakit infeksi HIV akan mengakibatkan reaktivasi kuman TB yang
famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasarkan
strukturnya HIV termasuk famili retrovirus obligat intraseluler dengan replikasi
sepenuhnya di dalam sel host, dan merupakan virus RNA dengan berat molekul
9,7 kb (kilobase).13
Manifestasi TB pada HIV dapat berupa TB paru atau infeksi di luar paru.
TB ekstra pulmonal lebih sering terjadi pada penderita HIV sampai 70%
dibanding populasi umum, dapat berupa limfadenitis TB, infeksi pada saluran
genital, saluran kencing, susunan saraf pusat dan sumsum tulang.13
. Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang
yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Setelah inhalasi,
nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-bronkial dan dideposit
di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di mana nukleus percik renik
tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang kemudian akan memproduksi
sebuah respon nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas
virulensi bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang
mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme pertahanan
awal ini, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag.6
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun
eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi.
Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan
mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan
sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin
skin test. Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk
berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon
imun.6
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar
melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah
20

dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki
resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan
hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan dideposit di
bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi organ-organ
tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa
kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun
seluler spesifik yang dapat membatasi multiplikasinya.6

2.5 Diagnosis
Deteksi dini HIV pada pasien TB terdapat pada standar 14 ISTC. Semua
pasien TB harus mengetahui status HIV nya sesuai dengan undang-undang yang
berlaku. Bila pasien belum bersedia untuk pemeriksaan HIV, maka pasien harus
menandatangani surat penolakan. Konseling dan tes HIV perlu dilakukan untuk
semua pasien dengan, atau yang diduga TB kecuali sudah ada konfirmasi hasil tes
yang negatif dalam dua bulan terakhir. Karena hubungan yang erat antara TB dan
HIV, pendekatan yang terintegrasi untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan
baik infeksi TB maupun HIV direkomendasikan pada daerah dengan prevalensi
HIV yang tinggi. Pemeriksaan HIV terutama penting sebagai bagian dari tata
laksana rutin di daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi pada populasi umum,
pada pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi terkait HIV, dan pada pasien
yang memiliki riwayat risiko tinggi terpajan HIV.6
Pada penegakan diagnosis TB pada pasien HIV perlu mempertimbangkan
beberapa hal berikut:6
1. Gambaran klinis Pada orang dengan HIV AIDS (ODHA) adanya
demam dan penurunan berat badan merupakan gejala yang penting
dapat disertai dengan keluhan batuk berapapun lamanya. Tuberkulosis
ekstra paru perlu diwaspadai karena kejadiannya lebih sering
dibandingkan TB dengan HIV negatif. Adanya Tuberkulosis ekstra paru
pada ODHA merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah lanjut.
21

2. Pemeriksaan sputum BTA dan TCM TB Penegakan diagnosis TB pada


pasien HIV secara klinis sulit dan pemeriksaan sputum BTA lebih
sering negatif sehingga diperlukan pemeriksaan TCM TB.
3. Pemeriksaan Biakan M. TB dan uji kepekaan OAT.
4. Foto toraks
Gambaran foto toraks TB pada pasien HIV stadium awal dapat
menyerupai gambaran foto toraks TB pada umumnya, namun pada HIV
lanjut gambaran foto toraks sangat tidak spesifik dan dapat ditemukan
gambaran TB milier. Pemeriksaan foto toraks pada ODHA merupakan
pemeriksaan rutin untuk deteksi dini TB. Pada ODHA terduga TB,
pemeriksaan foto toraks dilakukan sejak awal bersamaan dengan
pemeriksaan BTA dan atau TCM TB.
Lipoarabinomannan (LAM) adalah glikolipid yang terdapat pada
dinding sel semua spesies mikobakteri. Pemeriksaan TB-LAM AG
lateral flow assay (LF-LAM) mendeteksi LAM di urin pasien HIV.
Pemeriksaan ini direkomendasikan WHO untuk mendiagnosis TB pada
pasien HIV rawat inap dengan kadar CD4 ≤100 sel/µL dan pada pasien
yang sakit berat.
Pemeriksaan rontgen torak dilakukan pada pasien TB paru yang tidak
dapat dilakukan pemeriksaan dahak walaupun sudah dilakukan induksi sputum.
Namun tidak dibenarkan menegakkan diagnostik hanya berdasarkan pemeriksaan
rontgen semata. Pada pemeriksaan rontgen torak pada pasien TB tanpa AIDS
seringkali menunjukkan infiltrat pada apeks paru. Namun pada pasien ODHA,
terutama pada stadium lanjut, seringkali menunjukkan infiltrate TB Paru adalah
penyakit infeksi yangdisebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala
seperti batuk lebih dari 2 minggu, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada, dan
demam yang bersifat hilang timbul. Gejala tersebut bervariasi diantara pasien, dari
mulai tidak ada gejala yang khas sampai menimbulkan gejala yang cukup berat
tergantung luas lesi paru.14
Koinfeksi TB sering terjadi pada pasien ODHA. Orang dengan HIV
mempunyai kemungkinan sekitar 30 kali berisiko untuk sakit TB dibandingkan
22

dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25% kematian pada pasien
ODHA disebabkan oleh TB. Sekitar 320.000 orang meninggal karena HIV terkait
dengan TB. Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang sering dijumpai
pada ODHA selain kandidiasis, PCP, toksoplasmosis, kriptospiroidosis.
Seseorang dengan koinfeksi TB/HIV memiliki masalah kesehatan yang serius dan
dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu penatalaksanaan yang cepat dan
tepat sangat diperlukan.10
Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA pada prinsipnya sama dengan
orang HIV negatif. Diagnosis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan konfirmasi
bakteriologis, yaitu pemeriksaan mikrobiologis langsung, tes cepat, atau biakan.
Apabila hasil pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakkan diagnostik TB dapat dilakukan dilakukan secara klinis menggunakan
hasil pemeriksaan penunjang, seperti hasil pemeriksaan rontgen torak yang
sesuai.14
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada alur pemeriksaan alur
diagnosis TB paru pada ODHA, antara lain: Pemeriksaan mikroskopis langsung:
pemeriksaan ini dapat dilakuan dengan uji dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS).
Jika salah satu dari pemeriksaan ini menunjukkan hasil posttif, maka dapat
dinyatakan sebagai pasien TB paru; Pemeriksaan tes cepat molekuler: oleh karena
pemeriksaan BTA sputum pada pasien ODHA sering menunjukkan hasil negatif,
maka pemeriksaan cepat molekuler sepertiTCM dapat membantu menegakkan
diagnosis TB paru dan mengetahui adanya Mycobacterium tuberculosa yang
sensitive atau resisten; Pemeriksaan biakan dahak: pemeriksaan dilakukan pada
pasien yang menunjukkan Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap
rifampisin. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui resistensi OAT lainnya;
Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis pada ODHA tidak
direkomendasikan. Pemberian antibiotik pada alur diagnostik TB paru pada pasien
ODHA sudah tidak direkomendasikan lagi. Hal tersebut akan membutuhkan
waktu diagnostik lagi. Pemberian antibiotik pada pasien TB paru dengan ODHA
dilakukan jika ada infeksi bakteri sekunder pada waktu bersamaan; Pemeriksaan
23

foto toraks: pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk membantu diagnostik


bakteriologis. Selain pada daerah basal paru dan juga gambaran milier.14
24
25

2.6 Tatalaksana
Prinsip tata laksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV sama
seperti pasien TB tanpa HIV. Obat TB pada pasien HIV sama efektifnya dengan
pasien TB tanpa HIV. Pada koinfeksi TB HIV sering ditemukan infeksi hepatitis
sehingga mudah terjadi efek samping obat yang bersifat hepatotoksik.6

Rekomendasi WHO untuk pengobatan TB HIV pada fase intensif dan lanjutan
diberikan setiap hari, tidak direkomendasikan terapi intermiten
Rekomendasi A

Standar 15 ISTC
Pada pasien dengan infeksi HIV dan TB yang menderita imunosupresi berat (hitung
CD4 kurang dari 50 sel/mm3), ARV harus dimulai dalam waktu 2 minggu setelah
dimulainya pengobatan TB kecuali
jika ada meningitis tuberkulosis.
Untuk semua pasien dengan HIV dan TB, terlepas dari hasil hitung CD4, terapi
antiretroviral harus dimulai dalam waktu 8 minggu semenjak awal pengobatan TB.
Pasien dengan infeksi TB dan HIV harus diberikan kotrimoksazol untuk
pencegahan infeksi lain.
International standard for TB care, 3rd edition
Dosis

Dosis OAT dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT). Prinsip


pengobatan pasien TB/HIV mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV
dimulai sesegera mungkin setelah OAT dapat ditoleransi dalam 2-8 minggu
pengobatan fase awal tanpa mempertimbangkan nilai CD4. Apabila nilai CD4
kurang dari 50 sel/mm3, maka pemberian ARV dapat dimulai pada 2 minggu
pertama pemberian OAT fase awal dengan pemantauan, sedangkan pada TB
meningitis pemberian ARV diberikan setelah fase intensif selesai. Pada pemberian
OAT dan ARV perlu diperhatikan interaksi obat, tumpang tindih efek samping
26

obat, sindrom pulih imun (SPI) atau immune-reconstitution inflammatory


syndrome (IRIS) dan masalah kepatuhan pengobatan.6
Pada pengobatan ARV lini 1, Efavirenz (EFV) merupakan golongan
NNRTI yang baik digunakan untuk paduan ARV pada ODHA dalam terapi OAT.
Efavirenz direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang
lebih ringan dibanding nevirapin. Pengobatan HIV lini 2 menggunakan paduan
obat yang mengandung Lopinavir/Ritonavir (LPV/r), yang mempunyai interaksi
sangat kuat dengan rifampisin, karena rifampisin mengaktifkan enzim yang
meningkatkan metabolisme LPV/r sehingga menurunkan kadar plasma LPV/r
lebih rendah dari minimum inhibitory concentration (MIC). Pada kondisi seperti
ini, pilihannya adalah mengganti rifampisin dengan streptomisin. Jika rifampisin
tetap akan digunakan bersama LPV/r, terutama pada meningitis TB, maka
dianjurkan untuk meningkatkan dosis LPV/r menjadi 2 kali dari dosis normal.
Kedua obat tersebut bersifat hepatotoksik, maka perlu dipantau fungsi hati dengan
lebih intensif. Apabila ODHA mempunyai kelainan hati kronis maka pemberian
kombinasi tersebut tidak direkomendasi.6
Kotrimoksazol diberikan pada semua pasien TB HIV tanpa
mempertimbangkan nilai CD4 sebagai pencegahan infeksi oportunistik lain. Pada
ODHA tanpa TB, pemberian profilaksis kotrimoksazol direkomendasikan untuk
pasien dengan nilai CD4 <200 sel/mm3. Pemberian kotrimoksazol pada pasien
HIV dapat menurunkan mortalitas sampai 50%.6

Jika rifampisin tetap akan digunakan bersama LPV/r, terutama pada


meningitis TB, maka dianjurkan untuk meningkatkan dosis LPV/r menjadi 2
kali dari dosis normal.
27

2.7 Pencegahan TB pada ODHA


Pengobatan Pencegahan Tuberkulosis diberikan sebagai bagian dari upaya
mencegah terjadinya TB aktif pada ODHA. PP TB diberikan pada ODHA yang
tidak terbukti TB dan tidak mempunyai kontraindikasi terhadap pilihan obat. Ada
beberapa pilihan regimen pemberian pengobatan pencegahan Tuberkulosis
menurut rekomendasi WHO: 6
1. Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) selama 6 bulan, dengan
dosis INH 300 mg/hari selama 6 bulan dan ditambah dengan B6 dosis
25mg/hari.
2. Pengobatan Pencegahan dengan menggunakan Rifapentine dan INH,
seminggu sekali selama 12 minggu ( 12 dosis), dapat digunakan sebagai
alternatif. Dosis yang digunakan adalah INH 15 mg/BB untuk usia > 12
tahun dengan dosis maksimal 900 mg dan dosis Rifapentine 900 mg
untuk usia >12 tahun dan BB > 50 Kg (untuk BB 32 – 50 kg = 750 mg)

Standar 16 ISTC
Pasien dengan infeksi HIV yang setelah dievaluasi secara seksama tidak
memiliki TB aktif harus diobati sebagai infeksi TB laten dengan Isoniazid
selama setidaknya 6 bulan.
International standard for TB care, 3rd edition

2.8 Komplikasi
Pemberian terapi OAT pada pasien TB dengan HIV perlu mendapat
perhatian khusus karena selain OAT sendiri dapat menimbulkan drug- induced
hepatitis, pemberian OAT dengan ARV harus dilakukan secara benar dan hati–
hati agar tidak timbul efek samping obat yang berbahaya pada pasien. Pada pola
pengobatan yang holistik tersebut diharapkan pasien dapat menyelesaikan
pengobatan dengan tuntas. 15
Regimen anti TB berbasis rifampisin dan regimen antiretroviral berbasis
efavirenz merupakan terapi lini pertama untuk pasien koinfeksi TB/HIV.
Penggunaan bersama kedua regimen ini menyebabkan high pill burden,
peningkatan risiko interaksi obat, dan efek samping yang tumpang tindih.
28

Penelitian sebelumnya membandingkan kejadian efek samping obat antara pasien


TB dengan/tanpa koinfeksi HIV. Diperoleh kejadian efek samping obat yang
serius lebih umum ditemukan pada pasien koinfeksi TB/HIV dengan efek
samping utama yang ditemukan ialah neuropati perifer dan muntah persisten.14
29

BAB III
KESIMPULAN

HIV merupakan virus yang menyerang dan merusak sistem kekebalan


tubuh. HIV (Human Immunodeficiency Virus) menginfeksi sel limfosit CD4. Sel
ini berfungsi sentral dalam sistem imun. Pada mulanya sistem imun dapat
mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV
akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, terganggunya
homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Keadaan ini
akan menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan spektrum yang luas. Sistem
kekebalan tubuh yang rusak atau lemah akan mudah terserang berbagai penyakit.
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi paling sering pada penderita
HIV/AIDS akibat kerusakan cellular immunity oleh infeksi HIV yang
menyebabkan berbagai infeksi oportunistik seperti TB. Tuberkulosis (TB) dapat
terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko berkembangnya TB
meningkat secara tajam seiring dengan memburuknya sistem kekebalan tubuh. TB
juga merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada pasien HIV/AIDS.
Manifestasi TB pada HIV dapat berupa TB paru atau infeksi di luar paru.
TB ekstra pulmonal lebih sering terjadi pada penderita HIV sampai 70%
dibanding populasi umum, dapat berupa limfadenitis TB, infeksi pada saluran
genital, saluran kencing, susunan saraf pusat dan sumsum tulang.
Pada penegakan diagnosis TB pada pasien HIV perlu mempertimbangkan
gambaran klinis pada orang dengan HIV AIDS (ODHA), pemeriksaan sputum
BTA dan TCM TB, pemeriksaan Biakan M. TB dan uji kepekaan OAT serta foto
toraks.
Prinsip tata laksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV sama
seperti pasien TB tanpa HIV. Obat TB pada pasien HIV sama efektifnya dengan
pasien TB tanpa HIV. Pada koinfeksi TB HIV sering ditemukan infeksi hepatitis
sehingga mudah terjadi efek samping obat yang bersifat hepatotoksik.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Getahun H, Kittikraisak W, Heilig CM, Corbett EL, Ayles H, Cain KP, et


al. Development of a Standardized Screening Rule for Tuberculosis in
People Living with HIV in Resource- Constrained Settings : Individual
Participant Data Meta- analysis of Observational Studies. J Plos Med.
2011;8(1):1–15.

2. Pratiwi NL. HIV-AIDS dan Perilaku Seks Tidak Aman di Indonesia. J Bul
Penelit Sist Kesehat. 2011;14(4):346–57.

3. Muna N, Cahyati WH. Determinan Kejadian Tuberkulosis pada Orang


dengan HIV/AIDS. Hig J Public Heal Res Dev. 2019;3(2):168–78.

4. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. jakarta: Badan Penerbit FK
UI; 2012.

5. UNAIDS. A guide to monitoring and evaluation for collaborative TB / HIV


activities. World Healrh Organization; 2017. p. 1–61.

6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. 1st ed. jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia; 2020. 1–156 p.

7. Cahyawati F. Tatalaksana TB pada Orang dengan HIV / AIDS. J Cermin


Dunia Kedokterab. 2018;45(9):704–8.

8. Komunitas JB, Aisyah S, Fitria A, Kebidanan A, Medan H. Hubungan


Pengetahuan dan Sikap Remaja Tentang HIV/AIDS dengan Pencegahan
HIV/AIDS di SMA Negeri 1 Montasik Kabupaten Aceh Besar. J
Kebidanan Komunitas. 2019;I(1):1–10.

9. PAPDI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. VI. Setiiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, B S, AF S, editors. Jakarta: Internal Publishing; 2021.

10. Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar. Vol. 15, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta; 2018.

11. Statistik BP. Prevalensi HIV pada Populasi Dewasa (15-49 Tahun) 2015-
2017. 2017.

12. Nasarudin J, Zn AU, Karjadi TH, Rumende CM. Prevalensi Kejadian


Resistensi Rifampisin pada Pasien TB-HIV dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi. Indones J Chest Crit Emerg Med. 2015;3(1):11–9.

30
13. Baedowi A, Zulfian, Rusmini H, Prasetia T. Hubungan Jumlah Viral Load
Dengan Kejadian TBC Pada Pasien HIV / AIDS yang Mendapatkan Terapi
ARV. J Ilmu Kesehat. 2020;1(3):233–40.

14. Dafitri IA, Medison I. Laporan Kasus TB paru koinfeksi HIV / AIDS Case
Report of Pulmonary TB with HIV / AIDS Coinfection. J Kedokt Yars.
2020;28(2):21–31.

15. Menezes C. An approach to the management of drug induced liver injury in


HIV-infected patients treated for TB Objectives of this talk : Gauteng;
2018.

31

Anda mungkin juga menyukai