Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KESEHATAN REPRODUKSI

INFEKSI OPORTUNISTIK HIV/AIDS DAN PENCEGAHANNYA


Mata Kuliah : DASAR KESPRO/KIA
Dosen Pengampu : Mariani ,SST, M.K.M

Disusun Oleh :
Raudhatun Nissa (0801193359)
IKM 6 SEM 3

FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak
akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makalah “infeksi oportunistik hiv aids dan pencegahannya” dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Dasarr Kesehatan Reproduksi.
Penulis berharap makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, penulis memohon
maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Medan, Januari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

1.1. Latar Belakang..............................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3. Tujuan Masalah..............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2

2.1. Definisi Infeksi Oportunistik ........................................................................2


2.2. Epidemiologi Infeksi Portunistik Pada Penderita HIV/AIDS ......................2
2.3. Patogenesis Infeksi Opirtunistik Pada Penderita HIV/AIDS .......................3
2.4. Pencegahan Infeksi Oportunistik Penderita HIV/AIDS ...............................5

BAB III PENUTUP.......................................................................................................10

3.1. Kesimpulan.....................................................................................................10
3.2. Saran..............................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
. Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya jumlah sel T
CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan penatalaksanaan yang
tepat. Lima IO tersering di Indonesia adalah tuberkulosis, diare kriptosporidial,
kandidiasis mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta pneumonia Pneumocystis.
Intervensi terhadap IO yang paling bermakna adalah pemberian ART, di samping terapi
antimikrobial spesifik untuk IO. Angka kejadian IO menurun drastis sejak
diperkenalkannya kombinasi ART yang efektif dan diimplementasikannya profilaksis IO
sehingga meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di
sisi lain juga berpotensi menimbulkan IRIS sehingga perlu dipertimbangkan dalam
menentukan dimulainya rejimen ART, terutama pada pasien yang juga mendapat terapi
spesifik untuk IO.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Infeksi Oportunistik?


2. Jelaskan tentang Epidemiologi Infeksi Oportunistik?
3. Jelaskan tentang Patogenesis Infeksi Oportunistik?
4. Bagaimana Pencegahan Infeksi Oportunistik?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa itu infeksi oportunistik


2. Untuk mengetahui tentang epidemiologi Infeksi Oportunistik
3. Untuk mengetahui tentang Patogenesis Infeksi Oportunistik
4. Untuk mengetahui pencegahan Infeksi Oportunistik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Infeksi Oportunistik


Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat invasif
namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada orang yang
terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh patogen yang berasal dari luar
tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa), maupun oleh mikrobiota sudah ada
dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh sistem imun (seperti
flora normal usus). Penurunan sistem imun berperan sebagai “oportuniti” atau
kesempatan bagi patogen tersebut untuk menimbulkan manifestasi penyakit.
Centers for Disease Control (CDC) mendefinisikan IO sebagai infeksi yang
didapatkan lebih sering atau lebih berat akibat keadaan imunosupresi pada penderita HIV.
Infeksi oportunistik yang digolongkan CDC sebagai penyakit terkait AIDS (AIDS-
defining illness) adalah kriptosporidiosis intestinal (diare kronis >1 bulan); Pneumonia
Pneumocystis carinii (PCP); strongiloidosis selain pada gastrointestinal (GI);
toksoplasmosis dan CMV selain pada hati, limfa dan kelenjar getah bening (KGB);
kandidiasis esofagus, bronkus atau paru; kriptokokosis sistem saraf pusat (SSP) atau
diseminata; Mycobacterium avium dan M. kansasii selain pada paru dan KGB; virus
herpes simpleks mukokutaneus kronis, paru dan GI; progressive multifocal
leucoencephalopathy (PML); sarkoma Kaposi pada usia <60 tahun; limfoma otak;
histoplasmosis diseminata; isosporiasis intestinal; limfoma nonHodgkin; pneumonitis
interstitial limfoid dan bakteri piogenik multipel pada usia <13 tahun; kokidioidomikosis;
ensefalopati HIV; Mycobacterium tuberculosis; wasting syndrome; bakteremia
Salmonella; pneumonia bakteri rekuren; serta kanker serviks invasif.

2.2 Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV/AIDS

Infeksi oportunistik merupakan alasan utama rawat inap dan penyebab kematian
pasien dengan HIV/AIDS sehingga harus selalu diperhatikan dalam evaluasi 5 pasien
dengan HIV/AIDS. Sejak ditemukannya kemoprofilaksis dan kombinasi ART yang
efektif, angka kematian akibat IO menurun drastis walaupun tetap masih menjadi
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV. The Joint United Nations
Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan sebanyak 1,2 juta kematian akibat
penyakit terkait AIDS sepanjang tahun 2014 dengan penyebab terbanyak (1 dari 5
kematian) diakibatkan oleh tuberkulosis. Angka ini telah menurun sebesar 42%
dibandingkan puncaknya pada tahun 2004.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif
penderita AIDS (infeksi HIV dengan IO) di Indonesia dari tahun 1987 hingga September
2014 mencapai 55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus HIV. Case Fatality
Rate AIDS di Indonesia juga mengalami penurunan bertahap mulai 13,86% pada tahun
2004 hingga mencapai 0,46% pada tahun 2014.

Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing wilayah. Infeksi yang


sering dijumpai di Amerika dan Eropa antara lain Pneumocystis jirovecii pneumonia
(PCP), meningitis Kriptokokal, Cytomegalovirus (CMV) dan Toksoplasmosis, sedangkan
di negara berkembang seperti Asia Tenggara, TB menjadi IO yang tersering. Beberapa
penelitian di India mendapatkan bahwa secara umum kandidiasis orofaringeal, TB dan
diare oleh kriptosporidia merupakan IO yang tersering. Hal yang serupa juga didapatkan
di Indonesia. Laporan Surveilans AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun
1987 sampai dengan 2009 mendapatkan bahwa IO yang terbanyak adalah TB, diare
kronis dan kandidiasis orofaringeal. Data mengenai profil IO di Bali masih sedikit,
terdapat satu penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar Bali pada
tahun 2014 yang mendapatkan IO tersering adalah TB, Toksoplasmosis, kandidiasis oral,
IO multipel dan pneumonia.

2.3 Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV/AIDS

Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul reseptor membran
CD4+ , terutama sel limfosit T. Infeksi HIV menimbulkan disfungsi imun melalui
penurunan sel T CD4+ (imunodefisiensi) dan aktivasi imun (imunosupresi) yang 6
meliputi respon imun spesifik HIV dan aktivasi imun terhadap sel sekitar (bystander).
Limfosit T CD4+ berperan penting dalam pengaturan respon imun terhadap patogen
dengan menjalankan berbagai fungsi, antara lain aktivasi sel pada sistem imun bawaan
(limfosit B, sel T sitotoksik dan sel nonimun), serta berperan dalam supresi reaksi imun.
Rendahnya jumlah limfosit T CD4+ akan menurunkan sistem imun melawan patogen
sehingga penderita menjadi rentan terhadap IO.

Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2, Th17, sel T
regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan fungsi yang berbeda-
beda. Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen intraseluler, autoimunitas spesifik organ,
serta menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang meningkatkan aktivitas fagositik
makrofag dan sel mikroglial. Sel Th2 berfungsi pada respon imun terhadap parasit
ekstraseluler, seperti cacing, serta berperan penting dalam menginduksi berbagai penyakit
alergi. Sel Th17 merupakan mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen
ekstraseluler seperti bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar epitel
usus. Hilangnya sel ini akan mengganggu integritas mukosa usus, meningkatkan
permeabilitas terhadap produk mikroba serta berperan dalam aktivasi imun kronis. Sel
Treg berperan penting dalam mempertahankan toleransi imunologis terhadap antigen dan
menurunkan respon imun setelah patogen tereliminasi. Treg dalam keadaan normal
berperan dalam menekan respon imun sel T, namun pada infeksi HIV terjadi perubahan
distribusi diferensiasi sel T CD4+ berupa peningkatan jumlah Treg serta penurunan
diferensiasi sel T lainnya.20 Sel Thf berinteraksi dengan sel B spesifik antigen pada
jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas antibodi, maturasi serta diferensiasi
sel B menjadi sel memori dan sel plasma. Infeksi HIV menyebabkan ekspansi Thf dan
meningkatkan antibodi autoreaktif sehingga menghasilkan kerusakan berat termasuk
hancurnya sel CD4.

Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi akibat penghancuran


langsung oleh HIV, namun juga melibatkan hubungan yang lebih kompleks antara sistem
imun pejamu dan efek dari replikasi aktif HIV. Berkurangnya jumlah limfosit T CD4+
setelah infeksi HIV terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu 7 terganggunya produksi
limfosit T de novo oleh timus, efek bystander dari pembentukan sinsitium, perubahan
permeabilitas membran, disfungsi mitokondria, penghancuran oleh sel T sitotoksik
spesifik HIV atau melalui kadar respon imun yang berlebihan. Mekanisme utama
berkurangnya sel T CD4+ adalah akibat apoptosis, tidak hanya pada sel yang terinfeksi
HIV namun juga pada sel bystander melalui kematian sel yang diinduksi aktivasi dan
pembentukan sinsitia. Sinsitia terbentuk oleh fusi sel yang terinfeksi HIV dengan target
yang tidak terinfeksi dan selanjutnya akan mengalami apoptosis yang diperantarai p53.
Destruksi jaringan sel retikuler fibroblastik, deposisi kolagen dan berkurangnya
interleukin 7 sebagai faktor pertahanan hidup sel T selanjutnya juga berperan dalam
berkurangnya limfosit T CD4 + naїve.

Virus mentargetkan populasi CD4+ yang telah terdiferensiasi terminal dan


membiarkan prekursor populasi CD4+ yang dapat memproduksi sel T baru secara
kontinu sehingga virus selalu memiliki cadangan target baru untuk melangsungkan
replikasinya. Kerusakan CD4+ terdiferensiasi dengan segera diikuti oleh peningkatan
proliferasi CD4+ baru yang secara parsial dapat menggantikan CD4+ yang mati, namun
proses regenerasi ini tidak stabil dan makin berkurang seiring waktu hingga akhirnya
tidak mampu mengimbangi hilangnya CD4+ dan timbullah manifestasi imunodefisiensi.
Jumlah limfosit T CD4+ pada orang normal adalah 500-1600 sel/µL darah.
Jumlah ini secara bertahap akan berkurang seiring dengan perkembangan infeksi HIV dan
menyebabkan penderita menjadi rentan terhadap IO. Jumlah limfosit T CD4+ merupakan
indikator terbaik dalam menentukan kerentanan terhadap IO sehingga menjadi panduan
dalam pemberian kemoprofilaksis. Penderita dengan jumlah limfosit T CD4+ yang telah
mencapai 200 sel/µL hampir seluruhnya telah terinfeksi IO dan bermanifestasi sebagai
AIDS. Periode rata-rata mulai dari infeksi HIV hingga mencapai AIDS adalah 8-10 tahun
dengan penurunan limfosit T CD4+ sekitar 50-100 sel/µL pertahunnya. Jumlah limfosit T
CD4+ yang telah turun di bawah 50 sel/µL merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan
pasien umumnya akan mengalami kematian.

2.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik Penderita HIV/AIDS

2.4.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering (40%) pada infeksi HIV


dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada ODHA. Infeksi TB dan HIV saling
berhubungan, HIV menyebabkan progresivitas infeksi TB menjadi TB aktif, sebaliknya
infeksi TB membantu replikasi dan penyebaran HIV serta berperan dalam aktivasi infeksi
HIV yang laten. Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit TB
karena mempunyai sistem imun yang baik, dan dikenal sebagai infeksi TB laten. Infeksi
TB laten tersebut tidak infeksius dan asimtomatis, namun dengan mudah dapat
berkembang menjadi TB aktif pada orang dengan sistem imun yang menurun, seperti
pada ODHA.

Pasien TB dengan HIV positif atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-
infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB- HIV di
dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan 3 juta pasien terdapat di Asia Tenggara.
Epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB sehingga
pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa upaya pengendalian HIV.

Sebagian besar infeksi TB menyerang jaringan paru, namun dapat juga


menyerang organ lain yang disebut TB ekstraparu. Gejala klinis TB paru adalah batuk
berdahak 2-3 minggu atau lebih yang dapat disertai darah, sesak nafas, badan lemas, berat
badan menurun, malaise, keringat malam dan demam meriang lebih satu bulan. 29 Gejala
klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik, yang sering ditemukan adalah
demam dan penurunan berat badan yang signifikan (> 10%). 28 Gambaran radiologis dada
dapat dijumpai infiltrat fibronoduler pada lobus paru atas dengan atau tanpa kavitasi
(Gambar 1).

Infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4+ berapapun, namun pasien dengan
jumlah CD4+ <200cells/μl memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga direkomendasikan
pemberian ART dan obat anti TB (OAT). Penanganan ko- infeksi TB-HIV selalu
mendahulukan terapi TB sebelum inisiasi ART dengan pertimbangan menghindari
interaksi OAT dengan ARV, toksisitas obat, kepatuhan minum obat dan juga mencegah
terjadinya IRIS.

2.4.1.1Pencegahan Koinfeksi TB-HIV

Pencegahan paparan terhadap infeksi TB di fasilitas pelayanan kesehatan dapat


dilakukan dengan menempatkan pasien TB atau yang dicurigai TB secara terpisah dari
pasien lain terutama pasien HIV. Pusat pelayanan kesehatan, pelayanan paru rumah sakit,
lembaga permasyarakatan, penampungan tuna wisma atau populasi imigran tertentu dapat
menjadikan pasien berisiko tinggi terpapar M. tuberculosis. Pasien dapat dikonseling
mengenai risiko aktivitas tersebut dan manfaat penggunaan masker untuk mencegah
penularan.

Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memberikan terapi pada infeksi TB


laten. Pasien HIV yang pertama kali diidentifikasi, harus dites akan adanya infeksi M.
tuberculosis, salah satunya dengan tes kulit tuberkulin (tuberculin skin test/TST). Semua
pasien HIV, tanpa mempertimbangkan umur, dengan hasil tes positif untuk infeksi M.
tuberculosis namun tanpa adanya bukti TB aktif dan tanpa riwayat terapi untuk TB aktif
atau laten harus diterapi sebagai infeksi TB laten. Terapi pilihan untuk TB laten adalah
isoniazid 300 mg/hari peroral (PO) selama 9 bulan, dengan efektivitas dan tolerabilitas.

Rejimen alternatif dapat menggunakan rifampin 600 mg/hari PO atau rifabutin


selama 4 bulan. Kombinasi rifampin ditambah pirazinamid selama 2 bulan telah terbukti
bermanfaat, namun didapatkan hepatotoksisitas berat dan kematian pada beberapa pasien
HIV yang mendapatkan rejimen ini, sehingga rejimen ini tidak dipergunakan.

Pencegahan relaps atau rekurensi dengan terapi pemeliharaan jangka panjang


tidak diperlukan karena TB jarang kambuh setelah menyelesaikan rejimen terapi secara
lengkap, dengan catatan organisme penyebab sensitif terhadap agen kemoterapi yang
digunakan.

2.4.2 Diare Kriptosporidial


Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada ODHA, yaitu
didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan mencapai 90% di negara berkembang.
Parasit protozoa Kriptosporidium menjadi patogen utama dari diare kronis pada
kelompok tersebut, dengan penyebab terbanyak adalah Cryptosporidium parvum
(71.4%). Kriptosporidiosis termasuk dalam penyakit terkait AIDS sesuai panduan CDC
yang umumnya terjadi saat jumlah sel T CD4+

<200cells/μL. Gambaran klinis kriptosporidiosis adalah diare kronis (>1 bulan) dengan
kotoran yang cair, dehidrasi, nyeri perut dan penurunan berat badan

2.4.2.1 Pencegahan Diare Kriptosporidial

Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui penyebaran fekal-


oral dari manusia ke manusia atau hewan ke manusia (Gambar 2). Penyebaran ini terjadi
melalui kontak langsung atau melalui air yang terkontaminasi. Anak- anak di pusat
penitipan merupakan salah satu reservoir, begitu pula dengan kucing dan anjing yang
masih kecil. Didapatkan pula wabah kriptosporidiosis terkait air minum publik dan kolam
renang, yang diperkirakan karena parasit sangat resisten terhadap klorinasi. Kontak
seksual, terutama kontak yang melibatkan hubungan rektal, juga merupakan cara
penyebaran organisme ini. Pasien HIV dapat mengurangi kemungkinan terkena
kriptosporidia dengan menghindari paparan terhadap sumber penularan tersebut.

2.4.3. Kandidiasis Mukokutaneus

Spesies Kandida merupakan komensal yang sangat umum, dan didapatkan pada
75% populasi dari rongga mulut maupun saluran genitalia. Kandidiasis orofaringeal
merupakan IO tersering pada penderita HIV, mencapai 80-90% kasus pada masa pre-
ART. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Candida albicans dan paling sering
didapatkan pada jumlah sel T CD4+ <200 cells/µL. Hasil penelitian di Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan bahwa IO yang tersering adalah kandidiasis
orofaringeal (80,8%), demikian juga di RSUP dr. Kariadi Semarang yang mendapatkan
kandidiasis orofaringeal pada 79% kasus.

2.4.3.1 Pencegahan Kandidiasis Mukokutaneus

Kandida sangat banyak terdapat di lingkungan. Semua manusia dikolonisasi oleh


organisme ini sehingga pencegahan paparan Kandida bukan merupakan langkah yang
akan berhasil untuk mengurangi insiden penyakit Kandida. Kandida yang resisten
flukonazol sering ditemukan pada tempat pelayanan kesehatan, sehingga perlu
penggunaan barrier pencegahan untuk mengurangi superinfeksi pada pasien.

Kemoprofilaksis primer dengan flukonazol efektif untuk menurunkan frekuensi


kandidiasis namun pemberian jangka panjang berbiaya mahal, terkait dengan toksisitas
dan interaksi obat serta menyebabkan terbentuknya ragi yang resisten azol. Tambahan
pula, Kandida hampir tidak pernah menyebabkan penyakit invasif. Kandidiasis mukosal
dapat diterapi dengan segera pada sebagian besar kasus, sehingga sebagian besar klinisi
tidak merekomendasikan profilaksis primer untuk kandidiasis.

Terapi pemeliharaan jangka panjang setelah kandidiasis akut membaik juga tidak
direkomendasikan oleh sebagian besar ahli dengan alasan yang sama. Profilaksis
sekunder dengan flukonazol atau itrakonazol dapat dipertimbangkan pada pasien yang
sering mengalami relaps atau dengan penyakit sangat berat.

2.4.4. Pneumonia Pneumocystis

Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur Pneumocystis


jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan. Taksonomi organisme ini telah berubah,
yang awalnya dikenal dengan sebutan Pneumocystis carinii saat ini hanya ditujukan
untuk pneumosistis yang menginfeksi binatang pengerat. Spesies yang menginfeksi
manusia diberi nama Pneumocystis jirovecii, walaupun untuk singkatannya masih
digunakan is

Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-kanak awal dan PCP
terjadi akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau akibat paparan baru melalui udara.
Gambaran klinis PCP terkait HIV berupa demam, batuk tidak berdahak dan dispnea.
Radiografi dada merupakan landasan diagnostik dan menunjukkan opasitas bilateral,
simetris, interstitial atau granuler.

Insiden PCP telah menurun signifikan sejak digunakannya profilaksis dan ART
secara luas. Sebelumnya, PCP didapatkan pada 70-80% pasien dengan AIDS dengan
angka mortalitas 20-40% walaupun telah mendapat pengobatan. Hampir 90% kasus
terjadi pada jumlah sel T CD4+ <200 sel/µL atau <14%. Faktor lain yang terkait dengan
peningkatan risiko PCP meliputi episode PCP sebelumnya, kandidiasis oral, pneumonia
bakteri rekuren, penurunan berat badan serta viral load plasma yang tinggi.

2.4.4.1 Pencegahan Pneumonia Pneumocystis


Infeksi P. jiroveci terutama menyebar dari manusia ke manusia, walaupun
mungkin terdapat sumber di lingkungan. Pencegahan paparan dapat diupayakan dengan
mengisolasi pasien HIV yang rentan dari individu yang menderita PCP walaupun
keefektifannya belum diketahui.

Kemoterapi telah terbukti mencegah PCP dan memperpanjang kelangsungan


hidup pada pasien HIV. Pasien dengan jumlah sel T CD4+ <200 sel/mm3 atau <14%, serta
pasien dengan riwayat PCP dan kandidiasis orofaringeal harus diberi kemoprofilaksis
PCP.

Kotrimoksazol forte (960 mg) PO satu tablet perhari merupakan agen profilaksis
pilihan. Agen ini lebih efektif dibandingkan agen lainnya, dapat ditoleransi dengan baik
dan memiliki aktivitas profilaksis tambahan terhadap toksoplasma dan beberapa bakteri
termasuk Salmonella spp. dan Streptococcus pneumoniae. Pasien yang tidak dapat
mentoleransi TMP-SMX dan bila toksisitas tidak mengancam jiwa, seringkali dapat
dengan sukses melalui desensitisasi bertahap dengan rejimen oral.

Dapson 2x50 mg/hari PO atau dapson 50 mg/hari + pirimetamin 50 mg/minggu


PO merupakan alternatif TMP-SMX yang memiliki keberhasilan tinggi. Pentamidin
aerosol 300 mg/bulan dan atovakuon 1.500 mg/hari PO juga dapat menjadi alternatif,
namun pentamidin memerlukan fasilitas khusus dan menginduksi batuk, sedangkan
atovakuon mahal dan absorpsinya tergantung makanan.

Profilaksis terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah
menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+yang meningkat >200 sel/µL
paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T
CD4+ selanjutnya turun di bawah kadar tersebut.

Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien HIV yang
bertahan hidup setelah episode PCP, kecuali bila pasien memulai ART dan jumlah
limfosit T CD4+ meningkat >200 sel/mm3 selama ≥3 bulan. Profilaksis PCP harus
diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 + turun di bawah 200 sel/mm 3 akibat
kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya jumlah sel T
CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat.
Lima IO tersering di Indonesia adalah tuberkulosis, diare kriptosporidial, kandidiasis
mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta pneumonia Pneumocystis. Intervensi terhadap
IO yang paling bermakna adalah pemberian ART, di samping terapi antimikrobial spesifik
untuk IO. Angka kejadian IO menurun drastis sejak diperkenalkannya kombinasi ART
yang efektif dan diimplementasikannya profilaksis IO sehingga meningkatkan harapan dan
kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di sisi lain juga berpotensi menimbulkan
IRIS sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan dimulainya rejimen ART,
terutama pada pasien yang juga mendapat terapi spesifik untuk IO.

3.2. Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
keterbatasannya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya
dengan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Register pasien poli Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar 1. The Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS. Global AIDS statistic 2014. World Health Organization; 2015. p. 1-8.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan analisis HIV/AIDS. Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p. 1-8. tahun
2004-2014. Tidak dipublikasikan.
3. Kaplan, J.E., Masur H. Preventing opportunistic infections among HIV- infected
persons. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N.,
Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed.
New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1423- 41.
4. Sandhu, A., Samra, A.K. Opportunistic infections and disease implications in
HIV/AIDS. IJPSI. 2013; 2(5): 47-54.
5. Decker, C.F., Masur, H. Clinical management of HIV infection: management of
opportunistic infections. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P.,
Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1441-67
6. Agarwal, S.G., Powar, R.M., Tankhiwale, S., Rukadikar, A. Study of opportunistic
infections in HIV-AIDS patients and their co-relation with CD4+ cell count. Int J
Curr Microbiol App Sci. 2015; 4(6): 848-61.
7. Kumar, A., Singh, A.K. HIV related opportunistic infections: a system wise
approach. J Evolution Med Dental Sci. 2014; 3(58): 13152-61.
8. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan triwulan situasi perkembangan
HIV&AIDS di Indonesia sampai dengan 31 Desember 2009. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2010. p. 1-28.
9. Ariani W., Arya L.N., Suryana K. "Spektrum infeksi oportunistik pada klien Klinik
Merpati RSUD Wangaya periode Januari-Februari 2014." E-Jurnal Medika
Udayana. 2015; 4(2): 1-7.
10. Seddon, J., Bhagani, S. Antimicrobial therapy for the treatment of opportunistic
infections in HIV/AIDS patients: a critical appraisal. HIV/AIDS - Res Palliative
Care. 2011; 3: 19–33.
11. Balkhair, A.A., Al-Muharrmi, Z.K., Ganguly, S., Al-Jabri, A.A. Spectrum of AIDS
defining opportunistic infections in a series of 77 hospitalised HIV- infected Omani
patients. Sultan Qaboos University Med J. 2012; 12(4): 442-8.

Anda mungkin juga menyukai