Disusun Oleh :
Raudhatun Nissa (0801193359)
IKM 6 SEM 3
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak
akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makalah “infeksi oportunistik hiv aids dan pencegahannya” dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Dasarr Kesehatan Reproduksi.
Penulis berharap makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, penulis memohon
maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................10
3.2. Saran..............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
. Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya jumlah sel T
CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan penatalaksanaan yang
tepat. Lima IO tersering di Indonesia adalah tuberkulosis, diare kriptosporidial,
kandidiasis mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta pneumonia Pneumocystis.
Intervensi terhadap IO yang paling bermakna adalah pemberian ART, di samping terapi
antimikrobial spesifik untuk IO. Angka kejadian IO menurun drastis sejak
diperkenalkannya kombinasi ART yang efektif dan diimplementasikannya profilaksis IO
sehingga meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di
sisi lain juga berpotensi menimbulkan IRIS sehingga perlu dipertimbangkan dalam
menentukan dimulainya rejimen ART, terutama pada pasien yang juga mendapat terapi
spesifik untuk IO.
Infeksi oportunistik merupakan alasan utama rawat inap dan penyebab kematian
pasien dengan HIV/AIDS sehingga harus selalu diperhatikan dalam evaluasi 5 pasien
dengan HIV/AIDS. Sejak ditemukannya kemoprofilaksis dan kombinasi ART yang
efektif, angka kematian akibat IO menurun drastis walaupun tetap masih menjadi
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV. The Joint United Nations
Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan sebanyak 1,2 juta kematian akibat
penyakit terkait AIDS sepanjang tahun 2014 dengan penyebab terbanyak (1 dari 5
kematian) diakibatkan oleh tuberkulosis. Angka ini telah menurun sebesar 42%
dibandingkan puncaknya pada tahun 2004.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif
penderita AIDS (infeksi HIV dengan IO) di Indonesia dari tahun 1987 hingga September
2014 mencapai 55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus HIV. Case Fatality
Rate AIDS di Indonesia juga mengalami penurunan bertahap mulai 13,86% pada tahun
2004 hingga mencapai 0,46% pada tahun 2014.
Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul reseptor membran
CD4+ , terutama sel limfosit T. Infeksi HIV menimbulkan disfungsi imun melalui
penurunan sel T CD4+ (imunodefisiensi) dan aktivasi imun (imunosupresi) yang 6
meliputi respon imun spesifik HIV dan aktivasi imun terhadap sel sekitar (bystander).
Limfosit T CD4+ berperan penting dalam pengaturan respon imun terhadap patogen
dengan menjalankan berbagai fungsi, antara lain aktivasi sel pada sistem imun bawaan
(limfosit B, sel T sitotoksik dan sel nonimun), serta berperan dalam supresi reaksi imun.
Rendahnya jumlah limfosit T CD4+ akan menurunkan sistem imun melawan patogen
sehingga penderita menjadi rentan terhadap IO.
Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2, Th17, sel T
regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan fungsi yang berbeda-
beda. Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen intraseluler, autoimunitas spesifik organ,
serta menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang meningkatkan aktivitas fagositik
makrofag dan sel mikroglial. Sel Th2 berfungsi pada respon imun terhadap parasit
ekstraseluler, seperti cacing, serta berperan penting dalam menginduksi berbagai penyakit
alergi. Sel Th17 merupakan mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen
ekstraseluler seperti bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar epitel
usus. Hilangnya sel ini akan mengganggu integritas mukosa usus, meningkatkan
permeabilitas terhadap produk mikroba serta berperan dalam aktivasi imun kronis. Sel
Treg berperan penting dalam mempertahankan toleransi imunologis terhadap antigen dan
menurunkan respon imun setelah patogen tereliminasi. Treg dalam keadaan normal
berperan dalam menekan respon imun sel T, namun pada infeksi HIV terjadi perubahan
distribusi diferensiasi sel T CD4+ berupa peningkatan jumlah Treg serta penurunan
diferensiasi sel T lainnya.20 Sel Thf berinteraksi dengan sel B spesifik antigen pada
jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas antibodi, maturasi serta diferensiasi
sel B menjadi sel memori dan sel plasma. Infeksi HIV menyebabkan ekspansi Thf dan
meningkatkan antibodi autoreaktif sehingga menghasilkan kerusakan berat termasuk
hancurnya sel CD4.
2.4.1 Tuberkulosis
Pasien TB dengan HIV positif atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-
infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB- HIV di
dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan 3 juta pasien terdapat di Asia Tenggara.
Epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB sehingga
pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa upaya pengendalian HIV.
Infeksi TB dapat terjadi pada jumlah CD4+ berapapun, namun pasien dengan
jumlah CD4+ <200cells/μl memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga direkomendasikan
pemberian ART dan obat anti TB (OAT). Penanganan ko- infeksi TB-HIV selalu
mendahulukan terapi TB sebelum inisiasi ART dengan pertimbangan menghindari
interaksi OAT dengan ARV, toksisitas obat, kepatuhan minum obat dan juga mencegah
terjadinya IRIS.
<200cells/μL. Gambaran klinis kriptosporidiosis adalah diare kronis (>1 bulan) dengan
kotoran yang cair, dehidrasi, nyeri perut dan penurunan berat badan
Spesies Kandida merupakan komensal yang sangat umum, dan didapatkan pada
75% populasi dari rongga mulut maupun saluran genitalia. Kandidiasis orofaringeal
merupakan IO tersering pada penderita HIV, mencapai 80-90% kasus pada masa pre-
ART. Sebagian besar kasus disebabkan oleh Candida albicans dan paling sering
didapatkan pada jumlah sel T CD4+ <200 cells/µL. Hasil penelitian di Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan bahwa IO yang tersering adalah kandidiasis
orofaringeal (80,8%), demikian juga di RSUP dr. Kariadi Semarang yang mendapatkan
kandidiasis orofaringeal pada 79% kasus.
Terapi pemeliharaan jangka panjang setelah kandidiasis akut membaik juga tidak
direkomendasikan oleh sebagian besar ahli dengan alasan yang sama. Profilaksis
sekunder dengan flukonazol atau itrakonazol dapat dipertimbangkan pada pasien yang
sering mengalami relaps atau dengan penyakit sangat berat.
Infeksi awal P. jirovecii umumnya terjadi pada masa kanak-kanak awal dan PCP
terjadi akibat reaktivasi fokus infeksi laten atau akibat paparan baru melalui udara.
Gambaran klinis PCP terkait HIV berupa demam, batuk tidak berdahak dan dispnea.
Radiografi dada merupakan landasan diagnostik dan menunjukkan opasitas bilateral,
simetris, interstitial atau granuler.
Insiden PCP telah menurun signifikan sejak digunakannya profilaksis dan ART
secara luas. Sebelumnya, PCP didapatkan pada 70-80% pasien dengan AIDS dengan
angka mortalitas 20-40% walaupun telah mendapat pengobatan. Hampir 90% kasus
terjadi pada jumlah sel T CD4+ <200 sel/µL atau <14%. Faktor lain yang terkait dengan
peningkatan risiko PCP meliputi episode PCP sebelumnya, kandidiasis oral, pneumonia
bakteri rekuren, penurunan berat badan serta viral load plasma yang tinggi.
Kotrimoksazol forte (960 mg) PO satu tablet perhari merupakan agen profilaksis
pilihan. Agen ini lebih efektif dibandingkan agen lainnya, dapat ditoleransi dengan baik
dan memiliki aktivitas profilaksis tambahan terhadap toksoplasma dan beberapa bakteri
termasuk Salmonella spp. dan Streptococcus pneumoniae. Pasien yang tidak dapat
mentoleransi TMP-SMX dan bila toksisitas tidak mengancam jiwa, seringkali dapat
dengan sukses melalui desensitisasi bertahap dengan rejimen oral.
Profilaksis terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah
menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+yang meningkat >200 sel/µL
paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T
CD4+ selanjutnya turun di bawah kadar tersebut.
Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien HIV yang
bertahan hidup setelah episode PCP, kecuali bila pasien memulai ART dan jumlah
limfosit T CD4+ meningkat >200 sel/mm3 selama ≥3 bulan. Profilaksis PCP harus
diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4 + turun di bawah 200 sel/mm 3 akibat
kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya jumlah sel T
CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat.
Lima IO tersering di Indonesia adalah tuberkulosis, diare kriptosporidial, kandidiasis
mukokutaneus, ensefalitis toksoplasmik serta pneumonia Pneumocystis. Intervensi terhadap
IO yang paling bermakna adalah pemberian ART, di samping terapi antimikrobial spesifik
untuk IO. Angka kejadian IO menurun drastis sejak diperkenalkannya kombinasi ART
yang efektif dan diimplementasikannya profilaksis IO sehingga meningkatkan harapan dan
kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di sisi lain juga berpotensi menimbulkan
IRIS sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan dimulainya rejimen ART,
terutama pada pasien yang juga mendapat terapi spesifik untuk IO.
3.2. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena
keterbatasannya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya
dengan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Register pasien poli Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar 1. The Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS. Global AIDS statistic 2014. World Health Organization; 2015. p. 1-8.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan analisis HIV/AIDS. Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p. 1-8. tahun
2004-2014. Tidak dipublikasikan.
3. Kaplan, J.E., Masur H. Preventing opportunistic infections among HIV- infected
persons. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N.,
Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed.
New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1423- 41.
4. Sandhu, A., Samra, A.K. Opportunistic infections and disease implications in
HIV/AIDS. IJPSI. 2013; 2(5): 47-54.
5. Decker, C.F., Masur, H. Clinical management of HIV infection: management of
opportunistic infections. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P.,
Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1441-67
6. Agarwal, S.G., Powar, R.M., Tankhiwale, S., Rukadikar, A. Study of opportunistic
infections in HIV-AIDS patients and their co-relation with CD4+ cell count. Int J
Curr Microbiol App Sci. 2015; 4(6): 848-61.
7. Kumar, A., Singh, A.K. HIV related opportunistic infections: a system wise
approach. J Evolution Med Dental Sci. 2014; 3(58): 13152-61.
8. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan triwulan situasi perkembangan
HIV&AIDS di Indonesia sampai dengan 31 Desember 2009. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2010. p. 1-28.
9. Ariani W., Arya L.N., Suryana K. "Spektrum infeksi oportunistik pada klien Klinik
Merpati RSUD Wangaya periode Januari-Februari 2014." E-Jurnal Medika
Udayana. 2015; 4(2): 1-7.
10. Seddon, J., Bhagani, S. Antimicrobial therapy for the treatment of opportunistic
infections in HIV/AIDS patients: a critical appraisal. HIV/AIDS - Res Palliative
Care. 2011; 3: 19–33.
11. Balkhair, A.A., Al-Muharrmi, Z.K., Ganguly, S., Al-Jabri, A.A. Spectrum of AIDS
defining opportunistic infections in a series of 77 hospitalised HIV- infected Omani
patients. Sultan Qaboos University Med J. 2012; 12(4): 442-8.