Disusun Oleh :
Raudhatun Nissa (0801193359)
IKM 6 SEM 3
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak
akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makalah “Kelainan Sex Pada Remaja” dapat diselesaikan. Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Dasarr Kesehatan Reproduksi. Penulis berharap makalah
ini, baik terkait penulisan maupun konten, penulis memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam lingkup perilaku seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal dan
apa yang tidak sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Berbagai pola perilaku seksual
yang dianggap abnormal di inis beag seperti masturbasi, hubungan seks premarital, dan
seks oral genital dikatakan normal pada masyarakat Amerika. Perilaku seksual dapat
dianggap abnormal jika hal tersebut bersifat self-defeating, menyimpang dari norma sosial,
menyakiti orang lain, menyebabkan distress personal, atau memengaruhi kemampuan
seseorang untuk berfungsi secara normal. Gangguan yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah kelainan identitas gender, paraphilia, dan disfungsi seksual yang mempunyai satu
atau lebih kriteria abnormalitas. Dalam mengeksplorasi gangguan'gangguan ini, kita
menyentuh pertanyaan yang menggali batas antara normal dan abnormal.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Seksualitas
Seksualitas adalah dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah. Seksualitas adalah
keinginanan untuk berhubugan, berbicara, bergandengan tangan (iyus & titin..2009). Seksualitas
mengandung arti yang luas bagi manusia, karna sejak manusia hadir ke muka bumi ini hal tersebut
sudah menyertainya.
Dengan demikian, maka seks juga bio-psiko-sosial, karna itu pendidikan mengenai seks harus
holistic pula, bila dititk beratkan pada salah satu aspek saja, maka akan terjadi gangguan
keseimbangan dalam hal ini pada individu atau pada masyarakat dalam jangka pendek atau jangka
panjang, umpanya hanya aspek biologi saja yang diperhatikan atau hanya aspek psikologik ataupun
social saja yang dipertimbangkan.
2.2. Macam-macam Kelainan Seksualitas
2.2.1. Ekshibisionisme
Eksibisionisme merupakan asal kata dari Exhibit yaitu memamerkan atau menunjukan. Sehingga
Eksibisionisme sendiri adalah perilaku yang selalu memamerkan hal yang biasanya tertutup di
khalayak umum. Misalnya : Payudara, Alat Kelamin, atau Pantat. Sehingga hal tersebut dapat memicu
dan mengundang hasrat orang-orang dari sekelilingnya.
Gangguan Eksibisionisme merupakan penyakit kesehatan mental yang berpusat mengekspos alat
kelamin seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual. Biasanya orang yang menderita gangguan
Eksibisionisme menunjukan kemaluannya kepada orang asing yang tidak dikenal dan tidak memiliki
kecurigaan sama sekali, khususnya kepada kaum ibu-ibu dan anak-anak. Yang paling sering
melakukan perilaku memamerkan adalah laki-laki karena sering menunjukan organ seksualnya
kepada wanita, anak-anak dan sebagian besar kepada anak gadis. Tindakan yang memamerkan alat
kelamin biasanya disertai dengan gerakan sugesti dan memunculkan kepuasan tersendiri. Seorang
eksibisionis merasa mendapatkan kenikmatan seksual ketika ia menunjukkan alat kelaminnya di
depan orang lain kemudian orang lain menunjukkan reaksi kaget ataupun takut terhadap kejadian
tersebut.
Gejala-gejala utamanya mencakup kekambuhan, dorongan seksual yang tinggi dan fantasi-fantasi
getaran seksual, lamanya paling sedikit 6 bulan, menc. memamerkan alat kelamin seseorang pada
orang asing (APA, 1987). Untuk rangsangan dan pemuasan seksual, seorang exhibionist harus
memperlihatka¬genitalianya di depan umum. Masturbasi dapat terjadi selama ekshibisionisme. Koncs
ini rupanya hanya terjadi pada pria dan korbannya 99% dari kasus-kasus yang act adalah wanita
(Abel, 1989).
2.2.2. Voyeurisme
Voyeurisme atau skopofilia ialah keadaan seseorang yang harus mengara tindakan seksual atau
ketelanjangan (orang lain) untuk memperoleh rangsanca¬dan pemuasan seksual. Penyimpangan ini
diidentifikasikan dengan dorongan seks-a. yang kuat dan fantasi-fantasi getaran seksual berulang,
lamanya paling sedik bulan, meliputi tindakan mengamati orang-orang yang tidak dicurigai, biasanya
ora-: orang asing, yang telanjang, menanggalkan pakaian atau terlibat dalam aktivitas seksual (APA,
1987). Kenikmatan seksual dicapai melalui tindakan melihat dan ticas kontak dengan orang yang
didekati. Masturbasi biasanya menyertai tindaka-mengintip tapi mungkin terjadi lebih lanjut saat
individu-individu berfantasi tentang tindakan voyeuristik.
a. Faktor-Faktor Penyebab
Pernah melihat orang tua atau orang-orang terdekat tidak memakai pakaian di
hadapannya. Hal ini mungkin dianggap biasa oleh beberapa orang tetapi dalam
beberapa kasus hal seperti inilah yang bisa memicu timbulnya Scopophilia saat anak
tersebut dewasa.
Efek dari seringnya melihat tayangan porno yang tidak jelas sumbernya. Mungkin dari
teman ataupun orang-orang terdekat.
b. Ciri-ciri Voyeurisme
Di dalam DSM-IV-TR, pengidap Voyeourisme memiliki ciri-ciri seperti:
Berulang, intens, dan terjadi selama periode 6 bulan, fantasi, dorongan, atau perilaku
yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan tindakan mengintip orang
lain yang sedang tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual tanpa
diketahui yang bersangkutan.
Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan
fantasi menyebabkan orang tersebut sangat menderita atau mengalami masalah
interpersonal.
2.2.3. Froteurisme
Pelakunya mendapat kepuasan seksual dengan menggesekkan kelamin pada tubuh orang yang tak
dikenal. Dalam kebanyakan kasus, pelaku terdorong untuk melakukannya di tempat umum yang
penuh sesak seperti bus atau kereta. Perilaku ini cenderung mengundang masalah hukum karena
terjadi kontak alat kelamin tanpa izin.
a. Gejala Froteurisme
Menurut DSM-5, yaitu buku panduan diagnosa gangguan mental, froteurisme melibatkan:
Fantasi, keinginan, dan rangsangan seksual intens yang berpusat pada tindakan
menyentuh bagian-bagian tubuh orang lain tanpa persetujuan atau menggesekkan bagian
tubuh, terutama kelamin, pada orang lain dan biasanya dari belakang.
3
Tindakan froteurisme biasanya berulang dan terjadi di ruang publik yang ramai, seperti
kereta, bus, lift, bahkan jalanan yang penuh sesak.
Memiliki IQ rendah.
2.2.5. Sadomasokis
Pelaku mendapat kepuasan seksual dari rasa sakit. Rasa sakit akibat kekerasan verbal atau non-
verbal yang sengaja disebabkan oleh diri sendiri atau disebabkan oleh pasangan. Kata-kata kasar dan
makian merupakan kepuasan seksual bagi si pelaku. Aktivitas seksual yang dilakukan sering kali
menyerempet bahaya. Misalnya, mencekik hingga tubuh mencapai kondisi kekurangan oksigen
dengan tujuan mencapai orgasme. Tindakan memukul, mengiris, gigitan, diikat, mencekik, bahkan
dicambuk yang berbahaya justru menjadi kepuasan tersendiri bagi si pelaku. Biasanya sudah ada
kesepakatan di antara pasangan tersebut untuk melakukan aktivitas seperti ini. Hingga pelaku jarang
terjerat masalah hukum.
a. Gejala Sadomasokis
Berikut ini adalah beberapa gejala yang ditimbulkan dari seorang pengidap masokis:
Memiliki gairah seksual berulang dan intens seperti dipukul, diikat, dihina, atau dari
bentuk penyiksaan lainnya.
Memiliki fantasi seksual yang intens dan berulang, dorongan seksual, perilaku dari
tindakan dihina, dipukuli, diikat, atau dibuat menderita, perilaku tersebut setidaknya
selama enam bulan.
Kelainan seksual ini secara signifikan mengakibatkan masalah dalam bidang sosial,
pekerjaan, atau bidang penting lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Penyebab Sadomasokis
Tidak ada teori yang secara universal yang menjelaskan apa penyebab penyimpangan seksual ini.
Namun, ada beberapa teori berusaha menjelaskan keberadaan paraphilia seksual pada
umumnya.Berikut beberapa teori yang mungkin menjadi penyebab sadomasokis:
5
1. Trauma
Menurut teori yang berasal dari psikoanalisis menunjukkan bahwa trauma masa kanak-kanak
seperti pelecehan seksual atau pengalaman masa kecil yang signifikan, dapat memicu penyimpangan
seksual ini. Seiring waktu, pengalaman tersebut dapat mengindikasikan untuk memiliki
kecenderungan penyimpangan seksual yang justru menikmati kesakitan dari trauma atau pelecehan
seksual.
2. Pelarian
Teori lain menunjukkan bahwa perilaku sadomasokistik (aktivitas seksual yang menyiksa
pasangan) adalah bentuk pelarian. Melalui fantasi seksualnya, pengidap akan merasa baru dan
berbeda.
3. Fantasi Seksual
Penyimpangan seksual awalnya mungkin karena memiliki fantasi seksual terlarang, gairahnya
akan menjadi lebih kuat ketika ditekan. Ketika mempraktikannya, seseorang dalam keadaan tertekan
akan semakin terangsang. Dalam kasus masokisme seksual, perilaku masokistik menjadi terkait erat
dengan perilaku seksual.
4. Kekerasan Seksual
Meskipun sepenuhnya tidak dapat dipastikan, memiliki pengalaman buruk terhadap kekerasan
seksual dapat menjadi penyebab seseorang mengidap masokis. Selain kekerasan seksual, pengalaman
yang menjadi pemicunya juga bisa dikarenakan kekerasan fisik hingga kesedihan yang mendalam.
5. Faktor Lingkungan
Kelainan seksual ini dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang memengaruhi pola pikir,
perilaku, kecenderungan seksual dan gaya hidup. Faktor lingkungan ini bisa didapat karea masalah
keluarga, kekerasan, atau masalah lainnya yang memicu seseorang menjadi masokis. Prevalensi
gangguan masokis pada umumnya tidak diketahui. Namun, sebuah penelitian di Australia
memperkirakan bahwa sekitar 2,2% pria dan 1,3% wanita telah terlibat dalam perbudakan dan disiplin
(BDSM), setidaknya selama 12 bulan.
2.2.6. Sadisme
Pelaku mendapat kepuasan seksual ketika menyiksa pasangannya. Penderitaan fisik atau psikologis
pasangan akan membawa kesenangan bagi si pelaku. Penderitaan korban bukan motif si pelaku. Rasa
sakit korban juga tak meningkatkan gairah si pelaku. Orang dengan kelainan ini merasa dirinya
berkuasa atas pasangannya. Tujuannya adalah berkuasa sehingga tak jarang terjadi pemerkosaan,
bahkan pembunuhan. Pada kasus ekstrem, kematian pasangan akan membawa kegembiraan bagi si
pelaku.
Istilah sadisme seksual (sexual sadism) berasal dari nama Marquis de Sade (1740-1814), seorang
bangsawan sekaligus tentara berkebangsaan Prancis pada abad ke-18 yang terkenal. Dalam tulisannya
ia menggambarkan seorang tokoh yang memperoleh kepuasan seks dengan cara menyiksa
pasangannya dengan kejam. Gangguan sadisme seksual mencapai stimulasi dan pemuasan seksual
dengan menimbulkan penderitaan fisik atau psikis pada pasangan seksualnya. Seorang sadisme akan
memperoleh kepuasan seksual melalui jeritan dan teriakan pasangannya yang menderita karena
siksaan fisik yang dilakukannya selama berhubungan seksual.
Penyiksaan yang dilakukan penderita gangguan bisa secara fisik (penganiayaan seperti memukul,
membakar, menendang, mencambuk, menggigit, mencakari, menusuk dengan benda tajam, juga
berkeinginan untuk bisa mengencingi dan juga membuang air besar) bisa juga secara psikis
(menghina, atau memaki-maki).
Gangguan sadisme seksual dapat terjadi dalam gangguan heteroseksual dan homoseksual.
Biasanya, yang menjadi sasaran penderita adalah pelacur yang mau diperlakukan secara sadis, atau
seorang penderita masokisme (masochism). Jika penderita gangguan sadisme seksual sumber
kenikmatan seksualnya dengan menyiksa, maka penderita gangguan masokisme adalah sebaliknya,
yaitu menjadikan penyiksaan yang diterimanya sebagai sumber kenikmatannya.
Penderitaan korban inilah yang membuatnya merasa bergairah dan puas. Intensitas perbuatan
menyakiti tersebut bervariasi, mulai dari sekadar mengangan-angankannya sampai melakukan
pemotongan bagian tubuh, bahkan sampai membunuhnya. Kadang-kadang, sadisme seksual
membunuh dan memutilasi dan beberapa di antaranya termasuk pada penjahat seksual yang dipenjara
karena menyiksa korbannya, yang sebagian besar adalah orang yang tidak dikenal pelaku (Dietz,
Hazelwood, & Warren, 1990).
Menurut A. Hesnard, sadisme terdiri dari tiga jenis:
Sadis Besar (Les Grands sadique criminels). Sadisme psikopatis seperti ini sangat berbahaya
bagi masyarakat dan tergolong kriminalitas. Contohnya penganiayaan, pemerkosaan,
mutilasi,dan sebagainya.
Sadis Kecil dan Menengah (Les Petits et moyens sadique pervers). “Korban” dari sadisme ini
sepenuhnya sadar dan rela menerima perlakuan sadis.
Sadis Moral (Les Sadique morals). Contohnya pelecehan, perpeloncoan, praktik menakut-
nakuti orang, dan sebagainya.
Perilaku sadisme secara umum dapat dicegah maupun menekan perkembangan tingkat
keparahannya. Berikut beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan:
1. Pencegahan primer
Merupakan upaya untuk menghilangkan kemungkinan munculnya gangguan dan mengembangkan
kesehatan mental yang positif. Pencegahan yang dapat dilakukan di antaranya:
- Tidak melakukan aktivitas seksual yang menyimpang dengan makukan hal-hal positif.
- Memperkuatkan iman.
- Self control dengan mengontrol dorongan rasa ingin tahu.
2. Pencegahan sekunder
7
Merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan berkembangnya masalah
gangguan yang telah ada, agar tidak menjadi parah. Pencegahan ini menekankan deteksi dini dan
penanganan segera terhadap tingkah laku maladaptif dalam keluarga dan komunitas. Dapat dilakukan
dengan memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan
baik dan menunjukkan efek negatif yang timbul apabila tidak dilakukan penanganan, memberikan
intervensi paradoksikal, dengan mengekspresikan keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi
untuk menjalani perawatan.
3. Pencegahan tersier
Upaya untuk mengurangi konsekuensi jangka panjang gangguan atau masalah yang serius.
Pencegahan ini dapat dilakukan dengan berkonsultasi dengan pihak yang berwajib, seperti rumah
sakit, psikiater, dan lain-lain.
2.2.7. Transvetitisme
Transvestitisme atau transvestisme ialah keadaan seseorang yang mencari rangsangan dan
pemuasan seksual dengan memakai pakaian dan berperan sebagai seseorang dari sex yang berlainan.
Jenis kelainan ini biasanya dimulai pada saat anak-anak atau remaja. Awalnya hanya cross-
dressing persial atau hanya mengenakan BH dan celana dalam wanita hingga lama kelamaan menjadi
cross-dressing total atau mengenakan pakaian lengkap.
Seiring bertambahnya usia, kelainan ini bisa berkurang atau bahkan hilang, tapi tidak sedikit pula
penderita transvetisme yang malah memutuskan untuk hidup sebagai wanita seutuhnya karena tidak
lagi mendapatkan kepuasan hanya dengan mengenakan pakaian wanita saja atau cross-dressing.
Dalam kasus tersebut, istilah transvetisme berubah menjadi transeksualisme.
Ada transvestite yang melakukannya dikamar tidurnya tanpa kehadiran orang lain, memandang
dirinya pada kaca. Pada waktu cross dressed, terjadi ereksi penis. Orgasme dapat menjadi spontan
atau dengan melakukan masturbasi. Transvestite lain terdorong untuk berjalan mondar mandir di
jalan, berpakaian wanita lengkap dengan wig, make up dan perhiasan. Ia dapat begitu teliti dan mahir
sehingga penampilannya tampak sekali mirip dengan wanita. Namun bila tanpa cross-dressing akan
terlihat jelas kelaki lakiannya. Dalam masyarakat kita dikenal dengan istilah banci atau waria.
Pada beberapa budaya, praktek transvetisme dilakukan karena alasan agama, tradisional atau
upacara adat. Seperti yang dilansir dari Wikipedia.org, sebagai contoh, di India beberapa pria yang
menggemari dewa Krishna, terutama di Mathura dan Vrindavan, mengenakan pakaian wanita untuk
berperan sebagai permaisurinya yakni dewi Radha untuk menunjukkan sebuah pengabdian.
2.2.8. Nekrofilia
Pelaku mendapat kepuasan seksual ketika melakukan aktivitas seksual pada mayat. Parafilia jenis
ini jarang ditemukan atau diungkap ke umum.
Para pengidap nekrofilia bisa mendapatkan akses tubuh manusia yang sudah meninggal dengan
berbagai cara, seperti:
Menggali kuburan
Membunuh orang
Nekrofilia tidak berkaitan dengan gangguan mental lain seperti depresi atau skizofrenia. Namun,
diambil dari riwayat orang-orang nekrofilik yang ada, beberapa dari mereka memang mengidap
depresi dan skizofrenia jenis vampirisme dan kanibalisme.
a. Jenis jenis nekrofilia
Beberapa ahli telah membuat pengelompokan mengenai perilaku nekrofilia. Salah satu
pengelompokan yang paling umum adalah yang dibuat oleh Drs. Jonathan Rosman dan Phillip
Resnick. Mereka membagi nekrofilia ke dalam tiga jenis dasar, yaitu:
- Necrophilic homicide
- Regular necrophilia
- Necrophilia fantasy
Namun ahli lainnya, Anil Aggrawal mengelompokkan nekrofilian ke dalam 10 kelas yang lebih
spesifik. Semakin tinggi kelasnya, maka semakin parah kondisinya. Berikut ini :
- Kelas I: Nekrofilia role player
- Kelas II: Nekrofilia romantis
- Kelas III: Nekrofilia fantasi
- Kelas IV: Nekrofilia taktil
- Kelas V: Nekrofilia fetis
- Kelas VI: Nekromutilomania
- Kelas VII: Nekrofilia oportunistik
- Kelas VIII: Nekrofilia reguler
- Kelas IX: Nekrofilia pembunuhan
- Kelas X: Nekrofilia eksklusif
Penyebab munculnya nekrofilia hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Namun menurut
Katherine Ramsland, seorang ahli psikologi yang melakukan penelitian soal kondisi ini
mengungkapkan bahwa dari para nekrofilik yang pernah ia wawancarai, mereka memiliki alasan yang
berbeda-beda hingga bisa tertarik dengan tubuh yang sudah tidak bernyawa.
9
Penanganan nekrofilia dilakukan oleh psikiater. Pengobatan utamanya adalah dengan terapi seksual
yang dilakukan oleh terapis yang memiliki keahlian untuk menangani nekrofilia. Terapi seksual
dilakukan dalam puluhan sesi yang tujuannya untuk mengubah pola pikir penderita dalam
ketertarikan seksualnya. Dan saat ini belum ada hal spesifik yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya nekrofilia.
2.2.9. Zoofilia
Pelaku mendapat kepuasan ketika melakukan aktivitas seksual dengan binatang. Tak sebatas fisik,
pelaku juga menjalin hubungan emosi dengan binatang tersebut. Ini yang membedakannya dengan
beastiality.
Sejauh ini, para ahli menggolongkan zoofilia sebagai parafilia atau selera seks (atau pasangan
seksual) yang sangat tidak biasa. Umumnya kasus-kasus zoofilia melibatkan anjing, kucing, kuda,
babi, serta unggas seperti angsa dan bebek. Para ahli menduga bahwa binatang-binatang ini sering
menjadi sasaran para penderita zoofilia karena sifat binatang tersebut yang jinak dan mudah menurut.
Biasanya orang dengan penyimpangan seksual zoofilia akan menyembunyikan kecenderungan ini
akibat banyaknya kecaman dari masyarakat. Di berbagai negara, sudah ada hukum yang mengatur
penyimpangan perilaku ini. Seperti yang dilaporkan sebuah studi dalam Journal of Sexual Medicine,
laki-laki lebih sering dilaporkan dengan zoofilia daripada perempuan. Namun, zoofilia sendiri
termasuk penyimpangan seksual yang langka, lebih jarang diketahui dibandingkan pedofilia atau
sadisme.
2.2.10. Beastiality
Pelaku mendapat kepuasan ketika melakukan aktivitas seksual dengan binatang. Perilaku ini hanya
sebatas kontak fisik, tanpa melibatkan hubungan emosi.
11
Abnormalitas seksual dapat dipengaruhi oleh beberapa penyebab. Penyebab yang mendasari
seseorang menderita abnormalias seksual, menurut Kartono (1989), adalah:
a. Faktor keturunan (herediter)
Idiopati (penyakit yang timbul dari dalam organ tubuh)
Psikosis (penyakit mental yang parah)
Neurosis (penyakit saraf)
Idiosi (ketidaksempurnaan mental pada tingkat terendah)
Psikosis sifilitik (penyakit mental karena komplikasi penyakit sifilis)
b. Faktor sebelum lahir (prenatal), yang terjadi pada ibu karena:
Kekurangan nutrisi
Infeksi
Luka
Keracunan
Ibu saat mengandung menderita penyakit
Ibu mengalami psikosis
Trauma pada kandungan
c. Faktor ketika persalinan
Kelahiran dengan tang (tangverlossing)
Asfiksia (lahir tanpa napas yang seolah-olah tercekik)
Premature (lahir sebelum waktunya)
Primogenitur (primi-para = kelahiran pertama)
d. Faktor setelah lahir (postnatal atau pascanatal)
Pengalaman traumatic
Kekurangan nutrisi
Faktor psikologis
2.5 Pencegahan Penyimpangan Seksualitas
a) Sikap dan pengertian orang tua
Pencegahan abnormalitas masturbasi sesungguhnya bias secara optimal diperankan oleh orang tua.
Sikap dan reaksi yang tepat dari orang tua terhadap anaknya yang melakukan masturbasi sangat
penting. Di samping itu, orang tua perlu memperhatikan kesehatan umum dari anak-anaknya juga
kebersihan di sekitar daerah genitalia mereka. Orang tua perlu mengawasi secara bijaksana hal-hal
yang bersifat pornografis dan pornoaksi yang terpapar pada anak.
b) Pendidikan Seks
Sex education (pendidikan seks) sangat berguna dalam mencegah remaja pada kebiasaan
masturbasi. Pendidikan seks dimaksudkan sebagai suatu proses yang seharusnya terus-menerus
dilakukan sejak anak masih kecil. Pada permulaan sekolah diberikan sex information dengan cara
terintegrasi dengan pelajaran-pelajaran lainnya, dimana diberikan penjelasan-penjelasan seksual yang
sederhana dan informatif.
c) Pendidikan Seks
Biasanya anak-anak dengan kebiasaan masturbasi jarang dibawa ke dokter, kecuali kebiasaan ini
sangat berlebihan. Masturbasi memerlukan pengobatan hanya apabila sudah ada gejala-gejala
abnormal, bias berupa sikap yang tidak tepat dari orang tua yang telah banyak menimbulkan
kecemasan, kegelisahan, ketakutan, perasaan bersalah/dosa, menarik diri atau adanya gangguan jiwa
yang mendasari, seperti gangguan kepriadian neurosa, perversi maupun psikosa.
d) Psikoterapi
Psikoterapi pada kebiasaan masturbasi mesti dilakukan dengan pendekatan yang cukup bijaksana,
dapat menerima dengan tenang dan dengan sikap yang penuh pengertian terhadap keluhan penderita.
Menciptakan suasana dimana penderita dapat menumpahkan semua masalahnya tanpa ditutup-tutupi
merupakan tujuan awal psikoterapi.
e) Gennital Mutilation (Sunat)
Ini merupakan pendekatan yang tidak lazim dan jarang dianjurkan secara medis.Pada beberapa
daerah dengan kebudayaan tertentu, dengan tujuan mengurangi/membatasi/meniadakan hasrat seksual
seseorang, dilakukan mutilasi genital dengan model yang beraneka macam.
f) Menikah
Bagi remaja/adolescent yang sudah memiliki kesiapan untuk menikah dianjurkan untuk
menyegerakan menikah untuk menghindari/mencegah terjadinya kebiasaan masturbasi.
13
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kelainan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan
kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang
tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini
bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan.
Ada beberapa cara yang dapat di gunakan dalam mengatasi kelainan seksualitas yang ada di
masyarakat yaitu pendidikan seks dan pemahaman orang tua tentang pentinganya mengenali
kelainan seksualitas
3.2 Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adikusuma, I.W.R, Mariyah, E., Pangkahila, A., dan Sirtha, I.N. 2008. The Youth’s Attitude To
Free Sex in Negara City: A perspective From Cultural Studies: Program Pendidikan Doktor (S3)
Universitas Udayana
Angora, L. 2003. Perilaku Seksual Mahasiswa Surabaya. Jurnal Psikologi. Edisi 6. Vol. 6. hal
10-16.
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Azwar, S. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Blogger Dwi Septia. 2012. Cara cepat untuk Mencegah Penyimpangan Seksual. Jakarta. Google
Chrome ( Blogger.com ).
Dayakisni dan Huddaniah. 2003. Psikologi Sosial. Malang: Universitas Muhammadiyah.
Desiderato, M. 2000. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pendidikan Seks dengan Kenakalan
Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: UGM.
Dharoko, M. 2009. Perumahan dan Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dianawati.
2003. Pengetahuan Populer Remaja : Pendidikan Seks untuk Remaja. Jakarta: Kawan Pustaka.
Dini. 2008. Isu Utama : Anak, Kemiskinan, dan Prostitusi.
http://www.menegpp.go.id/templates/rt_versatility_ii_sienna_j15/favic
Engel, James F. Blacwell, Roger D. Miniard, Paul W. 2005. Perilaku Konsumen. Terjemahan
M. Ikwan. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Gunarsa, S.D, dan Yulia S.S.D. 2002. Psikologi untuk Muda-mudi. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Hadi, S. 1998. Metodologi Research I. Yogyakarta: Andi Offset ______. 2000. Analisis Regresi.
Yogyakarta: Andi Offset.
Hadi, S. dan Pamardiningsih, Y. 2000. Manual SPS Paket Midi. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Handoyo. 2000. Indahnya Perceraian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hapsari, M. 2004. Pengaruh Pendidikan Seks Terhadap Seks bebas pada Remaja Yogyakarta .
Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: UGM.
Rejal, Muhammad. 2014. Makalah Penyimpangan Seksual. Https://Kebeletp1p1s.Blogspot.Com
(22 September2018).
Stuar, W Gail. 2002. Buku Saku Keperawan Jiwa. Edisi 5. Jakarta : EGC
Sunaryo,. 2010. Psikologi untuk Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Yosep, H, Iyus, Titin, Sutini. 2009. Buku Ajar Keperawataan Jiwa. Bandung : PT Reffika
Aditama.s
14