Dosen Pengampu:
Drs. Rasimin, M.Pd.
Dr. Siti Amanah, S.Pd., M.Pd., Kons.
Affan Yusra, S.Pd., M.Pd
Muhammad Ferdiansyah, S.Pd., M.Pd.,Ko
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah- Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “GANGGUAN
SEKSUAL DAN GENDER IDENTITY”
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Gangguan Seksual Dan Gender
Identity ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................6
2.1 Gangguan Identitas Gender...............................................................................................................6
2.2 Gangguan Paralifia............................................................................................................................7
2.3 Pemerkosaan....................................................................................................................................10
2.4 Disfungsi Seksual............................................................................................................................11
2.5 Contoh Kasus......................................................................................................................................12
BAB III PENUTUP...................................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................14
3.2 Saran................................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan seksual dan identitas gender merupakan dua bidang yang kompleks dan
memerlukan pemahaman mendalam dalam konteks kesehatan mental dan hak asasi manusia.
Gangguan seksual mencakup berbagai kondisi yang mempengaruhi fungsi seksual seseorang,
seperti gangguan dorongan seksual, disfungsi ereksi, dan gangguan orgasme. Sementara itu,
identitas gender berkaitan dengan cara seseorang mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai laki-
laki, perempuan, atau gender lainnya.
Dalam masyarakat, stigma dan ketidakpahaman terkait dengan gangguan seksual dan
identitas gender seringkali dapat memperburuk masalah ini. Orang yang mengalami gangguan
seksual atau memiliki identitas gender yang tidak sesuai dengan norma sosial seringkali
menghadapi diskriminasi, pelecehan, dan ketidaksetaraan dalam berbagai aspek kehidupan
mereka.
Penting untuk mencatat bahwa identitas gender bukanlah sesuatu yang dapat dipilih,
melainkan merupakan pengalaman internal yang kompleks. Individu yang mengidentifikasi diri
mereka sebagai transgender atau non-biner dapat menghadapi tantangan yang unik dalam
mengakui dan merayakan identitas mereka, terutama dalam konteks sosial dan keluarga.
PEMBAHASAN
Rasa diri sebagai laki-laki atau perempuan, sebagai identitas gender kita, tertanaman
sangat dalam sejak awal masa kanak-kanak sehingga apa pun stres yang dialami pada satu
waktu, sebagian besar orang tetap sangat yakin akan gender mereka. Secara kontras, identitas
seksual atau orientasi seksual adalah preferensi yang kita miliki terhadap jenis kelamin pasangan.
Contohnya, seorang laki-laki dapat tertarik pada orang-orang yang berjenis kelamin sama
dengannya tanpa meyakini bahwa dirinya adalah seorang perempuan.
Orang-orang yang mengalami gangguan identitas gender (GIG) yang kadang disebut
sebagai transeksualisme, merasa bahwa jauh didalam dirinya,biasanya sejak awal masa kanak-
kanak, mereka adalah orang yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya saat ini. Mereka tidak
menyukai pakaian dan aktifitas yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Bukti-bukti anatomi
(alat kelamin) normal dan karakteristik jenis kelamin sekunder yang umum, seperti tumbuhnya
cambang pada laki-laki dan membesarnya payudara pada perempuan tidak membuat mereka
merasa bahwa mereka adalah orang dengan jenis gender yang dilihat orang lain pada mereka.
(1) Faktor biologis, secara spesifik identitas gender dipengaruhi oleh hormon.
(2) Faktor psikologis. Kurang memiliki hubungan yang dekat dengan ayah atau ibu mereka,
merupakan faktor yang dapat menyebabkan anak tidak memiliki aspek-aspek maskulin dan
feminin yang berhubungan dengan peran gendernya.
(3) Faktor-faktor lingkungan atau sosial, lingkungan pergaulan merupakan salah satu pendorong
munculnya perilaku GIG.
Parafilia adalah kelainan di mana seseorang merasa terangsang ketika berfantasi dan
melakukan perilaku seksual yang tidak biasa. Parafilia atau kelainan orientasi seksual sendiri
bisa melibatkan pihak atau objek lain seperti anak kecil, hewan, atau baju. kelainan orientasi
seksual juga bisa muncul karena rangsangan terhadap diri sendiri.
1. Berhubungan seksual dengan anak di bawah umur (biasanya usia <13 tahun).
2. Menunjukkan alat kelamin kepada orang lain atau depan umum.
3. Kepuasan seksual muncul saat melihat atau mengintip sesuatu yang porno atau telanjang
dan aksi berhubungan seksual.
4. Memperoleh kepuasan seksual dengan menyakiti pasangan baik fisik (memukul,
menendang, atau memperkosa) dan psikis (menghina atau memaki).
5. Mengalami gairah seksual saat menyakiti diri sendiri atau disakiti oleh pasangannya, baik
secara fisik dan psikis.
6. Memperoleh gairah seksual dengan memakai benda terutama benda aksesoris wanita,
seperti pakaian dalam wanita, sepatu, kaus kaki, dan lain-lain.
7. Mengalami gairah seksual jika memakai pakaian lawan jenis.
8. Menyentuh tubuh wanita tanpa seizinnya.
9. Menyentuhkan alat kelaminnya (biasa pria) ke bagian tubuh wanita (paha atau bokong).
1. Pola asuh orang tua yang permisif (tidak ada komunikasi dua arah antara anak dengan
orang tua).
2. Ibu yang terlalu dominan dalam pengasuhan.
3. Orang tua yang tidak memberikan pendidikan seks kepada anak.
4. Lingkungan bermain, belajar, dan masyarakat yang mendukung untuk berkembangnya
penyimpangan seksual.
5. Punya pengalaman menjadi korban pemerkosaan atau pelecehan seksual.
6. Penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang.
1. Voyeursitic
Penderita mengalami gairah seksual (fantasi, dorongan atau perilaku) yang berulang dan
sangat kuat dengan mengamati orang yang telanjang, sedang dalam proses melepas pakaian, atau
sedang dalam aktivitas seksual yang berlangsung selama 6 bulan. Penderita harus minimal
berusia 18 tahun.
2. Exhibitionistic
Penderita mengalami gairah seksual (fantasi, dorongan, atau perilaku) yang bergejolak
dan berulang dengan mengekspos alat kelaminnya ke orang asing. Gejala harus hadir setidaknya
selama 6 bulan.
3. Frotteuristic
Penderita mengalami gairah seksual (fantasi, dorongan, atau perilaku) secara berulang
dan intens dengan melibatkan sentuhan dan gesekan terhadap orang tanpa persetujuannya. Gejala
harus hadir setidaknya selama 6 bulan.
4. Sexual Masochism
Penderita mengalami gairah seksual (fantasi, dorongan, atau perilaku) yang berulang dan
intens yang melibatkan tindakan berupa dihina, dipukuli, diikat, atau dibuat menderita. Gejala
harus hadir setidaknya selama 6 bulan.
5. Sexual Sadism
Penderita mengalami gairah seksual (fantasi, dorongan, atau perilaku) yang berulang dan
intens dari penderitaan psikologis atau fisik orang lain. Gejala harus hadir setidaknya selama 6
bulan.
6. Pedophilic
Penderita memiliki khayalan seksual yang berulang dan intens, dorongan seksual, atau
perilaku yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak atau anak pra remaja (umumnya ≤13
tahun). Gejala harus hadir setidaknya selama 6 bulan. Penderita berusia minimal 16 tahun dan
setidaknya 5 tahun lebih tua dari korban, mereka yang ada di masa remaja akhir yang terlibat
dalam hubungan seksual yang sedang berlangsung dengan anak berusia 12 atau 13 tahun
dikecualikan.
7. Fetishistic
Penderita mengalami gairah seksual (fantasi, dorongan, atau perilaku) secara mendalam
dan berulang dengan menggunakan benda-benda mati. Gejala harus hadir setidaknya selama 6
bulan. Fetish tidak terbatas pada pakaian wanita yang digunakan dalam cross-dressing (seperti
pada gangguan transvestic) atau perangkat yang dirancang untuk merangsang alat kelamin
(misalnya, vibrator).
8. Transvestic
Penderita mengalami gairah seksual (fantasi, dorongan, atau perilaku) yang berulang dan
intens dari cross-dressing. Gejala harus hadir setidaknya selama 6 bulan.
2.3 Pemerkosaan
Pemerkosaan adalah tindakan kekerasan seksual yang melibatkan pemaksaan hubungan
seksual tanpa persetujuan dari salah satu pihak yang terlibat. Ini merupakan serangan serius
terhadap hak asasi manusia dan dapat menyebabkan dampak psikologis dan fisik yang parah bagi
korban.
Tindak pidana pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan
yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan seksual
laki-laki. Tindak pidana pemerkosaan merupakan kejahatan yang serius dan mendapat perhatian
di kalangan masyarakat. Sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu dan dapat
dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan
kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun
mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana pemerkosaan ini tidak
hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau
pengetahuan hukumnya, tetapi kejahatan ini juga terjadi di pedesaan yang relatif masih
memegang nilai tradisi dan adat istiadat.
Korban pemerkosaan sering kali mengalami trauma yang mendalam, seperti stres pasca-
trauma, depresi, gangguan kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya. Selain itu, dampak
sosial dan emosional dari pemerkosaan dapat berlangsung dalam jangka panjang dan
mempengaruhi hubungan interpersonal korban. Pemerkosaan seringkali menyebabkan trauma
psikologis yang mendalam pada korban. Pengalaman tersebut dapat menghasilkan stres pasca-
trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD), kecemasan, dan depresi. Beberapa korban
mungkin mengalami flashback atau mimpi buruk yang terkait dengan kejadian tersebut.
Pemerkosaan bukan hanya masalah individu, tetapi juga merupakan isu sosial yang
memerlukan respons masyarakat dan sistem hukum yang kuat. Pendidikan mengenai
persetujuan, penghargaan terhadap batas pribadi, dan penolakan terhadap kekerasan seksual
merupakan langkah-langkah penting untuk mencegah pemerkosaan. Stigma sosial terkait dengan
pemerkosaan seringkali membuat korban merasa malu, bersalah, atau merasa bahwa mereka
bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Pendekatan psikologis dapat membantu meredakan
rasa bersalah ini dan mempromosikan pemahaman bahwa pemerkosaan selalu merupakan
kesalahan pelaku, bukan korban.
Disfungsi seksual akibat pemakaian kontrasepsi bergantung pada jenis kontrasepsi itu
sendiri. Dimana pada kontrasepsi hormonal akan berpengaruh pada efek umpan balik positif
estrogen (estrogen positive feedback) dan umpan balik negatif progesteron (progesteron negative
feedback). Pemberian hormon yang berasal dari luar tubuh seperti pada kontrasepsi hormonal
baik berupa estrogen maupun progesteron menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon
tersebut di darah, hal ini akan di deteksi oleh hipofisis anterior dan hipofisis anterior dan akan
menimbulkan umpan balik negatif dengan menurunkan sekresi hormon FSH dan LH dan dengan
keberadaan progesteron efek penghambatan estrogen akan berlipat ganda. Dalam jangka waktu
tertentu tubuh dapat mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi estrogen agar tetap dalam
keadaan normal namun dalam jangka waktu yang lama menyebabkan hilangnya kompensasi
tubuh dan menurunnya sekresi hormon terutama estrogen.
Disfungsi seksual wanita secara tradisional terbagi menjadi gangguan minat atau
keinginan seksual atau libido, gangguan birahi, nyeri atau rasa tidak nyaman dan hambatan untuk
mencapai puncak atau orgasme.
Agni yang hendak mengungkap terkait pelecehan yang dialaminya justru tidak mendapat
pembelaan. Bahkan ia mendapat nilai C pada mata kuliah KKN. Pihak kampus juga tidak
berbuat apa-apa kepada HS. Alasan tidak dapat mengeluarkan HS dari kampus lantaran harus
melalui prosedur pengajuan aduan ke komite etik UGM. Kasus pelecehan seksual yang dialami
Agni dianggap bukan pelanggaran berat.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesadaran dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap gangguan seksual dan
identitas gender penting untuk mengurangi stigmatisasi dan diskriminasi. Individu yang
mengalami gangguan seksual atau memiliki identitas gender yang berbeda memerlukan
dukungan emosional dan mental dari masyarakat serta keluarga untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka. Pelayanan kesehatan mental yang ramah dan dapat diakses secara luas
sangat penting untuk membantu individu yang menghadapi gangguan seksual atau kesulitan
terkait identitas gender.
3.2 Saran
Program-program kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk mengedukasi orang
tentang spektrum identitas gender dan mengurangi prasangka serta persepsi negatif terhadap
mereka. Peningkatan akses terhadap dukungan psikososial dan layanan kesehatan mental dapat
membantu individu yang mengalami gangguan seksual atau kesulitan identitas gender untuk
mengatasi tantangan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Chandra L. (2005). Gangguan fungsi atau perilaku seksual dan penanggulangannya. Jakarta:
Cermin Dunia Kedokteran.
Davidson, Gerald C. (2004). Abnormal Psychology. 9-ed: John Wiley & sons.
Guyton AC and Hall JE. (2008). Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Nasyuha, A. H. (2020). Sistem Pakar Mendiagnosa Kelainan Orientasi Seksual Pada Orang
Dewasa Menggunakan Metode Case Based Reasoning (Cbr). Device: Journal Of
Information System, Computer Science And Information Technology, 1(1), 1-5.
Nawangsih, E. (2017). Peran Teknik Aversi Dalam Menangani Kasus Remaja Yang Mengalami
Gangguan Identitas Gender. Schema: Journal of Psychological Research, 23-34.
Nevid J. S., Rathus S.A. (2003). Greene B., Psikologi Abnormal. Jakarta: Penerbit
Erlangga.