Anda di halaman 1dari 19

MEDIA DAN GENDER

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah
Media Dan Gender
Dosen Pengampu : Aditya Darma, M. Pd

OLEH:
Ilmu Komunikasi 2 Humas / Kelompok 1

Tasya Ardyah Rahmadani NIM 0105192043


Dian Paramita NIM 0105192058
Mitha Suheni NIM 0105193099

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kita
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Media dan
Gender yang berjudul “Pengantar: Media dan Gender”.
Selain itu, tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan
pengetahuan penyusunan makalah ini tentu saja untuk menambah wawasan pengetahuan
tentang Media dan Gender secara lebih mendalam. Kami mengucapkan terimakasih kepada
dosen pengampu mata kuliah ini bapak Aditya Darma, M. Pd yang telah membimbing kami
sehingga dapat menyelsaikan makalah ini.
Kami menyadari didalam penyusunan makalah ini masih terdapat beberapa
kekurangan dan kesalahan meskipun kami sudah mencoba berusaha dengan baik untuk para
pembaca. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritikan dan saran positif agar selanjutnya
dapat menjadi lebih baik lagi makalah ini.

Medan, 22 September 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................1

A. Latar Belakang .................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan .............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................2

A. Seks VS Gender ...............................................................................................................2

B. Studi Media=Studi Kebudayaan .................................................................................... 4

C. Kasus-Kasus Gender.......................................................................................................6

D. Media Massa sebagai Penyebar Ideologi Gender ........................................................ 7

E. Peta Persoalan Media dan Gender ..............................................................................10

F. Praktek Representasi Gender di Media Massa .......................................................... 11

BAB III PENUTUP .............................................................................................................13

A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 13

B. Saran................................................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia yang semakin maju membukakan kesempatan bagi setiap orang
baik laki-laki maupun perempuan untuk berkiprah secara terbuka di berbagai bidang
kehidupan. Hal tersebut tidak lepas dari peran sosok perempuan yang hari ini kiprahnya tak
bisa dikesampingkan sehingga mengonstruksi kesetaraan gender yang berarti klaim bahwa
manusia antara laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan sebagai makhluk dan
perbedaan pun hanyalah terletak pada kualitas dan kadar ketakwaannya. Tak ayal di zaman
sekarang banyak bidang yang semula dipegang oleh kaum Adam kini bergeser mampu
ditempati oleh kaum Hawa. Peran perempuan di sini ternyata mampu setara dengan kaum
laki-laki.
Didalam makalah ini akan diuraikan tentang dasar-sasar pemahaman terkait gender dan
bagaimana peran media massa menyebarkan ideologi tentang gender, yang akan lebih lanjut
dibahas di Bab II Pembahasan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Seks vs Gender ?
2. Apa itu studi media kebudayaan ?
3. Bagaimana media massa menyebar ideologi gender ?
4. Bagaimana peta persoalan media dan gender ?
5. Bagaimana praktek representasi gender di media ?

C. Tujuan
Untuk mengetahui mengetahui pengertian dari seks dan gender, mengetahui apa itu
studi media kebudayaan. Serta mengetahui bagimana media massa menyebar ideologi
gender, isi dari peta persoalan media dan gender, dan mengetahui praktek representasi
gender pada media.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. GENDER VS SEKS

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan
perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat
bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil.1 Secara umum adanya
gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi, dan bahkan ruang dan
tempat saat manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada
cara pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang
permanen dan abadi sebagaimana kepermanenan dan keabadian ciri biologis yang dimiliki
oleh perempuan dan laki-laki.2

Istilah gender, belum ada dalam perbendaharaan kamus besar Bahasa Indonesia. Kata
gender berasal dari Inggris, gender berarti jenis kelamin. Gender dapat diartikan sebagai
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan perilaku. Secara kodrat,
memang diakui adanya perbedaan (discrimination) antara laki-laki dengan perempuannya
yaitu dalam aspek biologis. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dengan perempuan
yaitu senantiasa digunakan untuk menentukan dalam relasi gender, seperti pembagian status,
hak-hak, peran, dan fungsi di dalam masyarakat.3

Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “ the Grouping of words into
masculine,feminine and neuter according as the are regarded as male, female or without sex”.
Gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat maskulin, feminine, atau tanpa
keduanya, netral.4

Pengertian seks secara gambalang, kata seks berasal dari bahasa Inggris sex, berarti jenis
kelamin (Jhon M. Echols dan hasan Shadily, 1983). Pemahaman ini diperjelas dalam kamus
lainnya bahwa “sex is the characteristics which distinguish the male from the female”, yakni
ciri-ciri yang membedakan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat

1
Sri Sundari Sasongko, Konsep Dan Teori Gender, Program Pembinaan Jarak Jauh
Pengarusutamaan gender Modul 2, Cet.2, (Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas
Perempuan, 2009), Hal.6
2
Herien Puspitawati, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, (Bogor: PT IPB Press:
2012), hlm. 23
3
Nasaruddin Umar, Argument Kesetaraan Jender Perspektif Al-4XU·DQ, (Jakarta: Paramadina, 2001),
hlm. 33.
4
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminis, 53-54.

2
biologis. Seks disebut juga jenis kelamin, merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.

Alat-alat secara biologis tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada
manusia laki-laki dan perempuan. Jika didefinisikan secara seks laki-laki adalah manusia
yang memiliki penis, jakun (kala manjing), dan memproduks sperma. Sedangkan secara Seks
perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk
melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Hal tersebut
adalah ketentuan biologis yang secara permanen tidak berubah dan atau sering dikatakan
sebagai ketentuan Tuhan (kodrat).5

Setiap bulannya perempuan menstruasi, misalnya, dapat dijadikan bukti yang signifikan
adanya perbedaan tersebut. Sekaligus hal itu menunjukkan bahwa pada organ-organ tertentu
di dalam tubuh perempuan sangat sangat berbeda dari yang ada pada laki-laki, seperti organ
reproduksi, dan lain-lain. Perempuan melahirkan anak, sedang pria tidak. Tetapi pada organ-
organ yang fungsinya tidak berbeda, seperti tangan, kaki, alat pencernaan, otak, jantung, dan
sebagainya, maka konstruksi dan bentuknya secara umum juga tak berbeda antara laki-laki
dan perempuan.6

Secara fisik perempuan dan laki-laki memang terlihat berbeda sejak kelahirannya, tetapi
perbedaan tersebut semakin hari semakin nyata sejalan dengan pertumbuhan usianya.
Misalnya, rambut kepala perempuan tumbuh lebih subur sehingga lebih panjang dan lebih
halus dibandingkan rambut laki-laki, ketika sudah dewasa laki-laki tumbuh rambut pada dagu
(jenggot), di atas bibir (kumis), dan tidak jarang pula pada dadanya. Kerongkongannya pun
lebih menonjol daripada perempuan. Demikian dengan suara, laki-laki dan perempuan
sangatlah berbeda suara perempuan lebih halus dan suara laki-laki lebih terdengar besar dan
berat.

Para pakar kedokteran dan psikologi dalam Dia Dimana-mana, perbedaan laki-laki dan
perempuan yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang antara lain, masing-masing dari
laki-laki dan perempuan mempunyai hormon khusus dan ciri biologis tertentu yang kadarnya
berbeda antara satu dengan yang lain. Darahnya pun memiliki perbedaan jumlah butir-butir
darah merah pada perempuan lebih sedikit ketimbang laki-laki, kemampuan bernafas pun

5
Sugihastuti dan Siti Hariti Sastriyani, Glosarium Seks dan Gender, (Yogyakarta: carasvatiBooks, Juli
2007), hlm 211-212.
6
Nasaruddin Baidan, Tafsir bi al Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar September 1999), Hlm 24

3
lebih rendah daripada laki-laki dan kemampuan perempuan dalam melawan kuman dan virus
lebih besar daripada laki-laki. Karena itu pula usia rata-rata perempuan melebihi usia rata-
rata laki-laki.7

Masa pubertas pada perempuan berlangsung antara usia 9-13 tahun, sedangkan pada anak
laki-laki antara usia 10-14 tahun. Namun, laki-laki menghasilkan sperma yang tetap subur
sejak masa pubertas hingga akhir hayatnya, berbeda dengan perempuan. Sel telur perempuan
habis setelah mencapai usia sekitar 51. Siklus menstruasi perempuan ketika itu berhenti dan
ia tidak dapat lagi melahirkan.8

B. STUDI MEDIA DAN KEBUDAYAAN

1. Pengertian Kajian Kebudayaan

Kajian budaya dikenal dengan "cultural studies" adalah sebuah formasi diskursif.
Menurut stuart Hall (1997) kajian budaya adalah sebuah kluster atau formasi ide-ide,
gambaran (images), praktik-praktik (practices) yang menyediakan cara menyatakan,
bentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait dengan topik tertentu, aktivitas sosial atau
tindakan institusi dalam masyarakat.

Tradisi kajian budaya menjadi tradisi studi yang banyak di lakukan awal kemunculan
nya oleh para akademisi dan peneliti di Centre For Contemporary Cultural Studies,
Univesitas Birmingham di Inggris tahun 1960. Sejak saat itu kajian budaya menjadi
tradisi yang meluas di kalangan intelektual di negara Amerika, Afrika, Australia, Asia,
Amerika Latin, dan Eropa dengan formasi berbeda setiap objek kajiannya.

Barker (2012:2) dalam bukunya membagi definisi kajian budaya (cultural studies)
dalam empat elemen: pertama, kajian budaya adalah kajian interdisipliner ( antar disiplin
ilmu ) dimana perspektif dari disiplin ilmu yang berbeda dipakai untuk menjelaskan
tentang budaya dan kekuasaan (culture and power). Kedua, kajian budaya begitu
memperhatikan semua praktik-praktik, institusi-institusi (sosial, politik, ekonomi, budaya,
dsb), dan sistem-sistem klasifikasi yang terjadi dalam komunitas-komunitas, dengan nilai
budaua tertentu, kepercayaan tertentu, kompetisi tertentu, kehidupan rutin tertentu, dan
bentuk-bentuk kebiasaan tindakan mereka. Ketiga, kajian budaya mempersoalkan dan
mempertanyakan bentuk kekuasaan yang bervariasi dan berbeda meliputi gender, ras,

7
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks, Hlm. 8-9
8
Ibid.11

4
kelas, kolonialisasi, dsb. Keempat, kajian budaya mencoba mencari hubungan diluar
akademik dengan gerakan-gerakan atau perubahan sosial dan politik, pekerja dalam
institusi budaya dan manajemen budaya.

2. Konsep Kunci Kajian Budaya

Menurut Barker (2012: 7-10), konsep kunci kajian budaya antara lain yaitu :

1. Praktik-praktik budaya (signifying practices), dalam masyarakat yang


menghasilkan makna. Budaya yg di maksud adalah makna sosial yg dibagi, yaitu
bagaimana dunia dan kehidupannya dimaknai. Bahasa, bagia kajian budaya
bukanlah medium yg netral bagi formasi makna dan pengetahuan tebtang dunia
objek yg independen atau diluar.

2. Representasi, pertanyaan dasar dari studi budaya adalah pada representasi-


representasi, yakni bagaimana dunia dikonstruksi secara sosial dan dipresentsikan
kepada dan oleh kita dalam cara cara yang bermakna. Dalam hl ini studi buaya
mengajarkan kita bagaimana makna di produksi dalam berbagai konteks.

3. Materialisme dan Non-reductionism, kajian budaya mengembangkan kajian


yang mengarah pada bentuk materialisme budaya dan yang menekankan pada
kajian bagaimana dan mengapa makna di hasilkan seperti itu pada kondisi atau
saat di produksi. Non-redustionism yang si maksud adalah kajian budaya selama
ini dalam tradisinya melihat budaya mempunyai makna spesifik sendiri, aturan
dan praktik yang tidak dapat dikurangi atau tidak bisa dijelaskan sendiri dalam
terminologi kategori lain atau level tingakatan formasi sosial. Non-reductionims
dalam kajian budaya mempertanyakan soal kelas, gender, ras, sexualitas,
etnisitas, kebangsaan dan uaia yang mempunyai kekhasan tertentu yang tidak
dapat di kurangi baik oleh ekonomi politik maupun sebaliknya.

4. Artikulasi, konsep artikulasi adalah upaya melakukan representasi/ekspresi dan


membawa bersama atau "putting together" .

5. Kekuasaan(power), kekuasaan selalu ada di setiao tingkatan hubungan sosial.


Kekuasaan tidak hanya menyatukan kebersamaan sosial atau keseragaman, atau
menekankan tekanan melalui subordinasi terhadapa proses dan tindakan sosial,
dan hubungan yang terjadi. Kajian budaya begitu memperhatikan kelompok yang

5
tersubordinasi baik kelas sosial, ras, gender, bangsa, kelompok usi, dan
sebagainya.

6. Budaya populer, budaya pop yang di produksi melairkan banyak sekali praktik
produksi makna yang beragam. Dalam budaya pop, nilai iedologi, subordinasi,
representasi, dan eksistensi kekuasaan dan ekonomi politik di artikulasikan.

7. Teks dan pembaca/penonton, teks tidak hanya berupa tulisan, melainkan


gambar, suaara, objek, dan aktivitas. Selama hal ini merupakan sistem tanda dan
bisa disamakan sebagai mekanisme 'bahasa' maka hal-hal ini disebut sebagai 'teks
budaya' atau cultural texts.

8. Subjektifitas dan identitas, Momen konauamai teks yang dilakukan oleh


pembaca atau penonton merupakan proses yg dibentuk oleh subjektifitas dan
identitas lalu menjadi isu sentral bagi kajian budaya ditahun 1990an. Kajian
budaya lalu mengungkapkan bagiman kita di produksi sebagai subejk dan
bagaimana kita mnegidentifikasi dengan deskripsi tentang diri kita sebagai laki-
laki atau perempuan, sebagai orang tua atau mudan, dan berkulit putih atau
hitam.9

C. KASUS-KASUS GENDER : GENDER TALK/STEREOTYPE


Terdapat banyak kasus gender yang telah ditampilkan oleh media massa, salah satu
contoh kasusnya seperti berikut:
“Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah dan Trisakti menjadi korban pelecehan seks oleh PNS
BPKP DA, ketika korban naik bus TransJakarta darishelter Cempaka Putih menuju
Harmoni. Tersangka pada awalnya mencium tangan korban saat bus melakukan pengereman
mendadak, namun melihat korban tak melawan, tersangka melanjutkan aksinya lebihjauh
hingga meraba payudara. Akibat merasa dibiarkan, DA pun terus saja menggerayangi kedua
mahasiswi tersebut. Pelaku adalah seorang pegawai negeri yang harusnya menjadi panutan
masyarakat.” 10
Dari kasus diatas adalah bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai kasus kekerasan
gender. Kasus ini sering terjadi dikalangan perempuan itu sendiri menunjukkan
ketidaksetaraan gender sering terjadi di masyarakat. Berdasarkan contoh kasus diatas

9
Rachmach ida, Metode Penelitian: kajian media dan budaya,( jakarta: perpustakaan nasional: katalog
dalam terbitan (KDT), april 2016), Hal. 2-9
10
https://news.detik.com/berita/d-1411983/mahasiswi-uin--trisakti-dicabuli-pns-bpkp-di-transj

6
menunjukan sikap para laki laki lebih hebat daripada perempuan sehingga laki laki berani
melakukan hal tersebut. Padahal didalam teori konflik memang menjelaskan bagaimana
kepentingan (interest) dan kekuatan (power) yang merupakan hal terpenting dari hubungan
antara laki laki dan perempuan. Oleh sebab itu contoh kasus diatas akan menimbulkan
konflik yang berakibat mengubah posisi dan hubungan antara laki laki dan perempuan . Dua
hal besar faktor konflik :
 Kepentingan (Interest)
Laki laki terhadap nafsu dan syahwat untuk melecehkan perempuan itu muncul dari
perempuannya itu sendiri karena penampilan atau style nya yang menimbulkan nafsu
syahwat laki laki muncul diantara itu juga faktor atau keadaan didalam angkutan umum
yang penuh sehingga bisa menghidupkan peluang. Disebutkan juga dalam aliran feminis
radikal dalam kelompok teori bahwa penguasaan fisik laki laki terhadap perempuan yang
melecehkan kaum perempuan adalah bentuk penindasan terhadap perempuan tetapi
menurut teori konfik hal ini adalah kepentingan atau interest laki laki terhadap hasratnya
pada perempuan yang belum terpenuhi.
 Kekuatan (Power)
Laki laki pada dasarnya memiliki kekuatan yang lebih dibanding perempuan,tetapi
setelah ada emansipasi wanita muncul argument bahwa perempuan dengan laki laki
derajatnya sama tetapi pada dasarnya power yang menentukna derajat seseorang jaman
sekarang, selama para laki laki mengaggap dirinya paling kuat dan tertinggi wanita akan
selalu dilecehkan seperi yang terjadi didalam contoh diatas perempuan atau mahasiswa
selalu terkena kasus pelecehan seksual karena laki laki merasa memiliki power yang besar
terhadap perempuan sehingga peristiwa itu dapat terjadi apalagi terjadi di dalam busway
yang sehari hari digunakan warga Jakarta jika pergi ke kampus atau kantor sisi padat nya
menjadi tameng terhadap "power of men" itu sendiri.
D. MEDIA MASSA SEBAGAI PENYEBAR IDEOLOGI GENDER

Media massa sangat memiliki peran penting dalam melakukan perubahan stuktur sosial.
Namun dapat pula meningkatkan kesetaraan gender karena media dapat menanamkan nilai-
nilai kepada masyarakat dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media pun masih
sangat tinggi. Karena, masyarakat masih mengganggap apapun yang ditampilkan atau

7
diberitakan oleh media adalah suatu kebenaran. Dalam hal ini, peran media sebagai suatu
institusi yang dipercaya oleh masyarakat seharusnya memiliki perspektif gender.11

Media massa memiliki peran besar dalam meningkatkan serta menyebarluaskan wacana
dan peristiwa. Selain berfungsi menyampaikan fakta, media juga dapat digunakan sebagai
bekal untuk masuk dalam kawasan perjuangan tanda dimana perempuan tidak lagi
ditempatkan dalam posisi marjinal terus-menerus. Bahwa perjuangan Gender adalah
perjuangan mengubah relasi memandang dan dipandang. Artinya, perempuan harus lebih
mengarah pada political subject daripada political object karena dengan demikian ia punya
komitmen atas perubahan yang lebih baik bagi dunia dan peletakan sejarahnya sendiri serta
mengesampingkan anggapan-anggapan budaya yang terbentuk untuk memberikan peran lebih
luas kepada perempuan dan pada saat memperoleh hak yang sama dalam struktur sosial
sehingga relasi gender antara keduanya menjadi setara atau tidak timpang dalam memaknai
persoalan bias gender.
Muncul fenomena maraknya tayangan isu-isu perempuan oleh media massa, baik surat
kabar, majalah, televisi, maupun film. Kompas, suara pembaruan dan suara merdeka
merupakan beberapa contoh media massa surat kabar yang sering memuat isu dn wacana
tentang perempuan. Fenomena ini menarik mengingat isu-isu perempuan, terutama yang
bernuansa feminis masih dipimpin oleh Suharto yang cenderung mengambil kebijakan
menempatkan perempuan di sector domestic sebagai istri yang mengabdi pada suami atau ibu
yang setia menjaga keluarga dibandingkan sebagai pribadi yang memiliki otonomi. Disini
terlihat peran media massa amatlah besar sebagai wahana untuk menyuarakan isu-isu dan
kepentingan perempuan. media massa dengan kekuatannya telah menjadi alat control sosial
dan hanya yang disebut boudrillard sebagai silent majority yang tidak akan mampu berkutik
dan Hanya mampu menerima dengan nrimo. Televisi menjadi acuan nyata yang membuat
perempuan terpukau dan diam sribu Bahasa menerima apa saja yang ditawarkan olehnya.

Semangat UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negaranya berpartisipasi dalam
pembangunan di berbagai bidang. RUU terkait keadilan dan kesetaraan gender yang telah
digulirkan saat ini diharapkan juga dapat mendorong terwujudnya kesetaraan gender di
berbagai bidang, seperti sector ekonomi, sector politik dan pengambilan keputusan, sector
sosial, sektor perlindungan perempuan. Namun dalam pelaksaannya,berbagai unsur yang

11
http://elearning.iainkediri.ac.id/pluginfile.php/208807/mod_resource/content/1/MEDIA%20MASSA
%20DAN%20KESETARAAN%20GENDER.pdf

8
menyebabkan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki masih tetap ada. Isu kesetaraan
gender sebenarnya telak tereflesikan didalam RPJMN 2010-2014 yang mencakup upaya
peningkatan kesetaraan gender dalam pembangunan melalui pemenuhan 3 unsur, yaitu:
meningkatkan kualitas hidup, akses dan peran perempuan dalam segala bidang.

Fenomena realita kekerasan ini sesungguhnya kontra produktif /bertentangan dengan sila
kedua Pancasila yaitu “kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”, di mana deskripsi dari konsep
sila tersebut lebih mengedepankan pada pengakuan public untuk memperlakukan manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang maha Esa; pengakuan
atas persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asusi setiap manusia, tanpa membeda-
bedakan agama, kepercayaan, jenis kelamin/gender, warna kulit, keturunan, suku dan
kedudukan sosial, serta konsep sila ini menitiberatkan pada pengembangan sikap saling
mencintai sesame manusia. Salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan lemahnya
perlindungan hukum bagi Wanita korban di Indonesia, kemungkinan dikarenakan eksistensi
dari adanya system budaya patriarkal dimasyarakat, di mana system pranata sosial ini
mendasarkan pada relasi yang timpang menurut kategori kuat – lemah, pihak yang kuat
menguasai dan menindas pihak yang lemah ataupun system budaya sosial yang
memarjinalkan posisi wanita secara tetap di masyarakat, di mana seolah-olah melegitimasi
berbagai macam ketidak adilan, perampasan dan penindasan yang dilakukan pelau atas hak
asasi Wanita korban.

Tidak hanya isu-isu global mengenai HAM dan demokrasi, media massa juga telah
berperan penting dalam menyebabkan wacana tentang perempuan. Informasi yang dibawa
oleh media massa sejak komperensi di Meksiko City tahun 1975 hingga Beijing tahun 19965
mengilhami kaum perempuan di berbagai negara mendirikan organisasi perempuan untuk
memperjuangkan kepentingan perempuan.

Media massa berguna untuk menyampaikan fakta. Oleh sebab itu, gambaran tentang
perempuan dalam media massa adalah cerminan realitas yang ada dalam masyarakatnya.
Mengharapkan setara dalam segala sesuatu adalah sebuah mimpi. Meskipun, kaum Wanita
bisa saja mengatakan itu adalah cita-cita dan perjuangan. Dari pada mempersoalkan terus-
menerus mengenai kesetaraan gender, feminis-maskulin, akan lebih baik jika perempuan

9
lebih menampilkan prestasi, karya, kecakapan dan peran dalam masyarakat yang tidak kalah
dengan golongan laki-laki.12

E. PETA PERSOALAN MEDIA DAN GENDER

Kesenjangan gender di skala global dinilai masih sangat lebar, sehingga memerlukan
waktu sekitar 132 tahun untuk mencapai kondisi kesetaraan penuh. Hal ini tercatat dalam
laporan Global Gender Gap Report 2022 yang dirilis World Economic Forum (WEF) pada
Rabu (13/7/2022). Laporan tersebut mengkaji kesenjangan gender di empat bidang, yakni
pemberdayaan politik, partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, serta
kesehatan dan kelangsungan hidup. WEF kemudian memberikan skor untuk tiap negara
dengan rentang skala 0-1. Skor "0" berarti kesenjangan gender sangat lebar, sedangkan "1"
artinya kesetaraan gender penuh. Adapun peringkat 5 besar negara dengan kesetaraan gender
terbaik 2022 tak berbeda dari tahun lalu. Islandia masih menduduki posisi puncak dengan
skor 0,908 dari skala 0-1. Diikuti Finlandia, Norwegia, Selandia Baru, dan Swedia dengan
rincian skor seperti terlihat pada grafik. Kemudian Rwanda naik satu peringkat dari tahun lalu
menjadi urutan keenam pada tahun 2022. Diikuti Nikaragua di posisi ketujuh. Namibia turun
ke peringkat delapan, Irlandia bertahan di posisi kesembilan, dan Jerman masuk ke posisi
kesepuluh. Jerman dan Nikaragua menjadi pendatang baru di daftar 10 besar negara dengan
kesetaraan gender terbaik tahun ini, menggantikan Lithuania dan Swiss pada tahun lalu.
12
Ernawati, Erwan Baharuddin, PERANAN MEDIA MASSA DALAM AKTIVITAS PERJUANGAN GENDER,
https://www.researchgate.net/publication/334735988, Februari 2019

10
Adapun Indonesia mendapatkan skor 0,697, menjadikannya berada di peringkat ke-92 dari
146 negara yang disurvei.13

Dikutip dari laman https://kemenpppa.go.id/ pada tahun 2020, Deputi Bidang Partisipasi
Masyarakat Kemen PPPA, Indra Gunawan mengatakan saat ini, seringkali pemberitaan di media
massa cenderung menyudutkan dan mengeksploitasi perempuan, bahkan menempatkan
perempuan sebagai objek. Tak jarang media massa hanya menonjolkan peran perempuan di ranah
domestik, baik dalam tayangan iklan, sinetron, maupun artikel. Menurut Indra Gunawan, hal itu
menggambarkan banyak pemberitaan media yang belum memiliki perspektif gender. Untuk itu,
diperlukan upaya peningkatan proporsi perempuan di meja redaksi dan memberikan pelatihan
gender secara menyeluruh kepada para jurnalis baik laki-laki maupun perempuan.
Keterbatasan jumlah jurnalis yang telah mendapatkan pelatihan gender, masih menjadi
persoalan saat ini. Padahal media berperan penting dalam memberikan informasi kepada publik,
untuk mengubah persepsi serta pandangan masyarakat dalam mempercepat terwujudnya
kesetaraan gender dalam pembangunan bangsa.
Indra menuturkan seringkali masyarakat mengabaikan isu kesetaraan gender dalam proses
pembangunan ini, persepsi perempuan sendiri juga belum banyak terakomodir untuk
merepresentasikan perspektifnya dalam pembahasan isu publik. Beberapa hal yang menjadi
faktor penyebab masih banyaknya pemberitaan yang belum memiliki perspektif gender,
diantaranya belum tercapainya kesetaraan gender di ruang redaksi, minimnya jurnalis perempuan
di suatu media, masih sedikitnya jurnalis perempuan yang menempati posisi penting dalam
pengambil keputusan di redaksi, jurnalis perempuan rentan menjadi korban pelecehan seksual
selama bertugas, serta masih melekatnya stereotip kepada jurnalis perempuan yang seringkali
membuat mereka sulit mendapat jabatan.14
F. Praktek Representasi Gender di Media Massa
1. Pemberitaan kasus hoaks yang melibatkan nama tokoh aktivis perempuan Ratna S.
Paet pada beberapa waktu lalu sempat viral dan menjadi perhatian media. Hoaks Ratna
S. Paet dengan cepat menyebar ke sejumlah politisi dan menjadi sorotan publik. Ratna
dikabarkan mengalami tindak penganiayaan yang menyebabkan luka lebam disekitar
wajahnya, saat berada di Bandung pada 21 September 2018 lalu oleh tiga orang pria
tidak dikenal. Dimana awal dari kasus tersebut bermula, disebabkan oleh tersebarnya
foto wajah lebam dirinya yang pertama kali diunggah oleh pemilik akun facebook Swary
Utami Dewi. Kasus tersebut kian bergulir, ramai, hingga menuai sejumlah tanggapan

13
https://databoks.katadata.co.id/datapublish
14
https://kemenpppa.go.id/

11
politisi dari kubu pemenangan Prabowo-Sandi terkait kasus kejadian.
(megapolitan.kompas.com) Seiring dengan perkembangan kasus tersebut, Ratna muncul
dengan pengakuannya dan memohon maaf atas klaim penganiayaan yang menimpa
dirinya kepada pihak media. Meski melalui konferensi pers yang diselenggarakannya
tersebut Ratna telah mengakui kesalahannya dan meminta maaf, akan tetapi media masih
kerap memberitakan kasus hoaks yang menyeret nama tokoh aktivist perempuan tersebut
dengan media abuse atau mendeskripsikan perempuan dengan nilai-nilai yang
merendahkannya melalui “gender-specific-terms” Idealnya, media massa seharusnya
berperan dalam menciptakan keadilan dan kesetaraan gender, sekalipun media massa
memiliki kuasa dalam menyudutkan gambaran perempuan atas pemberitaan yang
disajikan. Akan tetapi permasalahan pada fakta yang ditemukan, Peran media massa
sebagai representasi simbolis dan nilai masyarakat, telah turut dalam pembentukan
streotipe yang turut dalam pembentukan streotipe yang memarjinalkan kaum
perempuan.15
2. Eksistensi berita kekerasan seksual terhadap perempuan dalam berbagai media
masih memposisikan perempuan sebagai objek pencitraan. Hal ini mengisyaratkan
bahwa perempuan masih dalam peran objek atau dengan kata lain masih dalam
kekuasaan laki-laki. Wacana seksualitas tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, dalam
hal ini seksualitas tidak hanya semata memandang relasi gender laki-laki dan perempuan
hanya dari sisi seks, birahi atau tubuh, tetapi juga konstruksi sosial, politik, budaya bahan
Tuhan. Keadaan ini tentunya cukup berpengaruh pada cara pandang media yang masih
menggunakan subjektivitas laki-laki dalam menyikapi peristiwa termasuk di dalamnya
cara memandang perempuan. Contohnya pada berita dibawah ini.16

https://bali.tribunnews.com/2018/06/06/aksi-
mesum-pria-yang-minta-5-kali-dilayani-bidan-
cantik-ternyata-direkam-lalu-disebar-di-
whatsapp

15
Tania Adesari, Representasi Perempuan dalam Persfektif Gender (Analisa Wcana Kritis Van Dijk Pada
Pemberitaan Kasus Hoaks Ratna S, Paet dalam Media Massa Republik dan Kompas.com, Journal of Scientific
Communication Volume 1 Issue 2, Oktober 2019
16
Charisma Asri Fitrananda, REPRESENTASI GENDER DALAM BERITA KRIMINAL DI TRIBUN.COM, ArtComm – Jurnal
Komunikasi dan Desain Volume 01 No. 02, November 2018

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Gender dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan perilaku. Secara kodrat, memang diakui adanya perbedaan (discrimination) antara
laki-laki dengan perempuannya yaitu dalam aspek biologis. Perbedaan secara biologis antara
laki-laki dengan perempuan yaitu senantiasa digunakan untuk menentukan dalam relasi
gender, seperti pembagian status, hak-hak, peran, dan fungsi di dalam masyarakat. Seks
disebut juga jenis kelamin, merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Alat-alat secara
biologis tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki
dan perempuan.

Menurut stuart Hall (1997) kajian budaya adalah sebuah kluster atau formasi ide-ide,
gambaran (images), praktik-praktik (practices) yang menyediakan cara menyatakan, bentuk
pengetahuan dan tindakan yang terkait dengan topik tertentu, aktivitas sosial atau tindakan
institusi dalam masyarakat. Media massa sangat memiliki peran penting dalam melakukan
perubahan stuktur sosial. Namun dapat pula meningkatkan kesetaraan gender karena media
dapat menanamkan nilai-nilai kepada masyarakat dan tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap media pun masih sangat tinggi.

Karena, masyarakat masih mengganggap apapun yang ditampilkan atau diberitakan oleh
media adalah suatu kebenaran. Dalam hal ini, peran media sebagai suatu institusi yang
dipercaya oleh masyarakat seharusnya memiliki perspektif gender peringkat 5 besar negara
dengan kesetaraan gender terbaik 2022 tak berbeda dari tahun lalu. Islandia masih menduduki
posisi puncak dengan skor 0,908 dari skala 0-1. Diikuti Finlandia, Norwegia, Selandia Baru,
dan Swedia dengan rincian skor seperti terlihat pada grafik.

B. SARAN

Dengan berakhirnya pemaparan materi mengenai Media dan Gender pada makalah ini,
tentu penyusun mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca agar menuai informasi dan
materi yang lebih luas lagi terkait materi ini. Maka dari itu, penyusun menyarankan kepada
pembaca untuk menambah bahan bacaannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Adesari, Tania. 2019. Representasi Perempuan dalam Persfektif Gender (Analisa Wcana
Kritis Van Dijk Pada Pemberitaan Kasus Hoaks Ratna S, Paet dalam Media Massa
Republik dan Kompas.com, Journal of Scientific Communication Volume 1 Issue 2,
Oktober
Baharuddin, Erwan, Ernawati, PERANAN MEDIA MASSA DALAM AKTIVITAS
PERJUANGAN GENDER, 2019.
https://www.researchgate.net/publication/334735988,
Fitrananda, Charisma Asri. 2018. REPRESENTASI GENDER DALAM BERITA KRIMINAL
DI TRIBUN.COM, ArtComm – Jurnal Komunikasi dan Desain Volume 01 No. 02,
November
Ida, Rachmach. 2016. Metode Penelitian: kajian media dan budaya. Jakarta: Perpustakaan
Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)

Maggie Humm, Ensiklopedia Feminis


Nasaruddin Baidan. 1999. Tafsir bi al Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al
Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar September
Puspitawati, Herien. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor:
PT IPB Press
Sasongko,Sri Sundari. 2009. Konsep Dan Teori Gender, Program Pembinaan Jarak Jauh
Pengarusutamaan gender Modul 2, Cet.2. Jakarta: Pusat Pelatihan Gender dan
Peningkatan Kualitas Perempuan
Sastriyani, Siti Hariti dan Sugihastuti. 2007. Glosarium Seks dan Gender. Yogyakarta:
carasvatiBooks
Shihab,M. Quraish. Perempuan: dari Cinta sampai Seks
Umar,Nasaruddin. 2001. Argument Kesetaraan Jender Perspektif Al-4XU·DQ. Jakarta:
Paramadina
http://elearning.iainkediri.ac.id/pluginfile.php/208807/mod_resource/content/1/MEDIA%20
MASSA%20DAN%20KESETARAAN%20GENDER.pdf
https://databoks.katadata.co.id/datapublish
https://kemenpppa.go.id/
https://news.detik.com/berita/d-1411983/mahasiswi-uin--trisakti-dicabuli-pns-bpkp-di-transj

14
15

Anda mungkin juga menyukai