Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH STUDI MEDIA DAN BUDAYA POPULER ( MKM A )

GENDER DAN MEDIA

Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Firdaus, M.Si

Disusun Oleh :

1. Dimas Prayoga : 1901110519


2. Deski Tegar Wijayanto : 1901110575
3. Nurhasanah : 1901110521
4. Elisa Suryani : 1901110581
5. Mefi Septiandini : 1901110618
6. Nisa Sabrina : 1901110626
7. Rini Fazriyaningsih : 1901110656

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNVERSITAS RIAU
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah dengan
judul “ GENDER DAN MEDIA ” tepat pada waktunya.
Dengan sepenuh hati dan rasa hormat yang tidak terhingga kami sampaikan terima
kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Studi Median dan Budaya Populer yaitu Bapak
Dr. Muhammad Firdaus M.Si yang telah menuntun kami dalam penyelesaian tugas ini
dengan baik.
Makalah ini tidak terlepas dari segala kekurangan dalam penyusunannya, oleh karena
itu saran dan kritik dari pembaca akan sangat membantu kami dalam mengevaluasi
penyusunan paper ini. Akhir kata, kami berharap semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Pekanbaru, 27 Maret 2022

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

1.1. Latar Belakang............................................................................................................4

1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................................5

1.3. Tujuan..........................................................................................................................6

BAB II........................................................................................................................................6

PEMBAHASAN........................................................................................................................6

2.1. Pengertian Gender dan Media.....................................................................................6

2.1.1. Definisi Media......................................................................................................6

2.1.2. Definisi Gender....................................................................................................7

2.2. Relasi Kekuasaan, Media dan Gender.........................................................................8

2.3. Studi Kebudayan mengenai Feminisme....................................................................10

2.4. Culture Negotiation...................................................................................................12

2.5. Representasi perempuan dalam media......................................................................15

2.6. Contoh Kasus............................................................................................................18

BAB III....................................................................................................................................20

PENUTUP................................................................................................................................20

3.1. Kesimpulan................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21
BAB I

1.1. Latar Belakang


Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda.
Pembedaan yang terbentuk dalam masyarakat tidak terjadi secara alamiah, akan tetapi
terkonstruksi sudah sejak lama. Setiadi (2011) mengatakan bahwa terdapat perbedaan
mendasar antara gender dan jenis kelamin (seks), jenis kelamin lebih mengarah pada
pembagian fisiologi atau anatomi manusia secara biologis. Adapun konsep gender
merupakan istilah yang digunakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan
yang didasarkan pada aspek sosiokultural, gender merupakan atribut dan perilaku
yang terbentuk melalui proses sosial. Adanya pelabelan terhadap pihak-pihak tertentu
muncul sebagai akibat adanya pembedaan dalam konsep gender. Peran gender
memberikan warna dan pengaruh dalam menentukan penggunaan satu obyek atau
material tertentu.
Revolusi industri yang memunculkan teknologi-teknologi baru menguatkan
pembagian kerja secara seksual. Interseksionalitas antar gender dan teknologi dapat
dilihat dengan banyaknya perempuan dan laki-laki yang memanfaatkan teknologi dan
mendapatkan manfaat dari teknologi tersebut. Hubungan yang telah terbentuk
bukanlah hubungan yang baku, kaku dan statis, tetapi hubungan yang bisa berubah
dan diubah. Stereotype perempuan dengan segala feminitasnya dan penggunaan
perasaan ketimbang rasio menjadi salah satu hal yang dijadikan untuk mematahkan
semangat perempuan dalam lingkup ilmu pengetahuan. Adanya kesenjangan gender
salah satunya yaitu asumsi masyarakat terhadap perempuan bahwasannya perempuan
tidak boleh berpendidikan tinggi karena pada akhirnya perempuan akan menjadi ibu
rumah tangga , sepatutnya hal tersebut sudah bukan harus dipermasalahkan lagi,
karena siapapun berhak untuk berpendidikan tinggi.
Media memiliki arti sebagai alat atau sarana yang digunakan untuk
memberikan pesan dari pembicara kepada audiensnya. Saat ini tersedia ratusan
saluran media seperti televisi, internet, serta media online yang mampu memberi
akses peluang kepada masyarakat dengan menyesuaikannya sesuai kebutuhan,
menggunakannya sesuai selera, kemudian membuat kreasi dari isi media. Dengan
demikian, pemanfaatan penggunaan saluran tersebut dapat menjangkau seluruh
lapisan elemen masyarakat yang membutuhkan informasi (Rustan&Hakki, 2017: 46).
Salah satu informasi yang bisa diberikan media berkaitan dengan perannya
dalam menjadi agen sosialisasi gender. Berbagai macam bentuk eksploitasi gender
yang dikemas oleh media tanpa sadar menciptakan stereotip gender dalam
masyarakat. Media menjadi arena dalam menempatkan tanda-tanda maskulin pada
posisi dominan. Sedangkan tanda-tanda feminin sendiri ada pada kondisi yang
marginal atau terpinggirkan.
Maka dari itu, berdasarkan dari Latar Belakang, makalah ini akan membahas
bagaimana Gender dihadapan Media saat ini.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Gender?
2. Apa yang dimaksud dengan media?
3. Bagaimana relasi kekuasaan, Gender, dan Media?
4. Apa yang dimaksud dengan Feminist Cultural Studies?
5. Apa yang dimaksud dengan Cultural Negotiations?
6. Apa yang dimaksud dengan Representasi?
7. Bagaimana contoh kasus terhadap Gender dan Media ?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mengenai Gender.
2. Untuk mengetahui pengertian mengenai Media.
3. Untuk memahami tentang Relasi Kekuasaan, Gender, dan Media.
4. Untuk mengetahu maksud dari Feminist Cultural Studies.
5. Untuk mengetahui maksud dari Cultural Negotiations.
6. Untuk Memahami tentang pengertian dari Representasi.
7. Untuk mengetahui contoh kasus dari Gender dan Media.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Gender dan Media


2.1.1. Definisi Media
Kata media, berasal dari bahasa latin, median, yang merupakan bentuk jamak dari
medium secara etimologi yang berarti alat perantara (forum.Upi.edu/index.php. Diakses pada
tanggal 10 Mei 2012). Wilbur Schraamm mendefinisikan media sebagai teknologi informasi
yang dapat digunakan dalam pengajaran (forum.Upi.edu/index.php. Diakses pada tanggal 10
Mei 2012) hal?. Secara spesifik, yang dimaksud dengan media adalah alat-alat fisik yang
menjelaskan isi pesan atau pengajaran, seperti buku, film, video kaset, slide, dan sebagainya.
Para ahli di dalam memberikan batasan media berbeda-beda pendapat, tetapi arah dan
tujuannya sama, yang tidak lepas dari kata medium. Menurut Santoso S. Hamidjojo dalam
Amir Achsinhal, media adalah semua bentuk perantara yang dipakai orang menyebar ide,
sehingga ide atau gagasan itu sampai pada penerima. Mc. Luhan dalam Arif S. Sadiman hal?
berpendapat bahwa media adalah sarana yang juga disebut channel, karena pada hakekatnya
media memperluas atau memperpanjang kemampuan manusia untuk merasakan,
mendengarkan, dan melihat dalam batas-batas jarak, ruang, dan waktu yang hampir tak
terbatas lagi. Dalam kaitannya dengan komunikasi interaksi dalam bentuk organisasi Oemar
Hamalik hal? berpendapat bahwa media komunikasi adalah suatu media atau alat bantu yang
digunakan oleh suatu organisasi untuk mencapai efisiensi dan efektivitas kerja dengan hasil
yang maksimal.
Budaya media (media culture) menunjuk pada suatu keadaan dimana tampilan audio dan
visual atau tontotantontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi
industri hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai
materi untuk membentuk identitas seseorang (Kellner hal? dalam Yayan, 2005: 3). Media
cetak, radio, televisi, film, internet dan bentukbentuk teknologi media lainnya telah
menyediakan definisidefinisi untuk menjadi laki-laki atau perempuan, membedakan status-
status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun seks.
Media massa diyakini tidak akan menjadi lembaga yang netral. Media massa akan
senantiasa berada dalam tarikmenarik antar berbagai kepentingan yang semuanya bersumber
pada interest politik dan ekonomi. Dalam masyarakat kapitalis, media massa memperoleh
kedudukan yang sangat tinggi dan strategis, serta berusaha untuk menciptakan hegemoni
karena media massa memperoleh kebebasan penuh. Oleh karena itu, media massa akan selalu
menjadi ajang pertarungan kepentingan ekonomi dan politik melalui mekanisme industri dan
bisnis media massa bersangkutan, serta mencqwoba mempengaruhi agenda media massa dari
waktu ke waktu.

2.1.2. Definisi Gender


Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari konsep seks atau jenis kelamin secara
biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen
(tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan
merupakan pemberian Tuhan: sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan (Bahan
Informasi Pengarusutamaan Gender, 2002).
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang
akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan
memproduksi sperma. Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia
mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui
(payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini
sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan
satu sama lain. Meskipun demikian, upaya untuk mendefinisikan konsep gender tetap
dilakukan dan salah satu definisi gender telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang
sejarawan, sebagai “a constitutive element of social relationships based on perceived
differences berween the sexes, and...a primary way of signifving relatonships of power."
(Khalig, 2005) Perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa
seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja
di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih
cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah)
maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena itu dibentuk oleh manusia. Perbedaan
gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan
gender (gender ineguality). Namun timbul persoalan dimana perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan
menjadi korban ketidakadilan gender tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi
tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender antara
lain seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, Subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, stereotype atau pelabelan negative, kekerasan, beban kerja
lebih panjang dan lebih banyak, sosialisasi ideology nilai peran gender (Fakih, 1996:12).
Menurut Unger & Crawford (1992) gender merupakan perbedaan antara perempuan dan
laki yang dikontruksi secara sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis semata. Hal yang
hampir sama dikemukakan Moser (1993) gender adalah peran sosial yang terbentuk dalam
masyarakat. Perbedaan peran gender ini terbentuk oleh faktor-faktor ideologis, sejarah, etnis,
ekonomi dan kebudayaan. Gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan
bukan secara biologis, melainkan terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Gender dapat
berubah sementara jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah (Grewal & Kaplan, 2002).
Sementara itu menurut Mosse (1996) gender merupakan seperangkat peran yang
diberikan kepada perempuan dan laki-laki, bukan secara biologis dan peran ini dapat berubah
sesuai dengan budaya, kelas sosial, usia dan latar belakang etnis. Gender menentukan
berbagai pengalaman hidup, yang dapat menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-
alat dan sumber daya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan pengertian gender berbeda dengan jenis kelamin,
jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, berlaku secara
umum, tidak dapat berubah, dan merupakan kodrat dari Tuhan. Sedangkan gender lebih
berhubungan dengan perbedaan perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial,
budaya dan psikologis.

2.2. Relasi Kekuasaan, Media dan Gender


Seperti yang kita ketahui bersama Relasi Kekuasaan, Gender dan Media sangat erat
kaitannya dengan perempuan, bukan hanya itu gender dari laki-laki juga ada kaitannya.
Namun, yang sering ditampilkan pada Media selalu yang diutamakan sebagai objeknya
adalah yang bergender Perempuan.
Pada dasarnya Media yang kita kenal saat ini bukan lagi sebagai Media penyampaian
pesan, tetapi menjadi sebuah Media yang dapat mempengaruhi opini public mengenai objek
yang di tampilkan pada Media Massa. Dalam hal ini menjadi faktor utama mendapatkan
relasi kekuasaan ialah diawali dari Media Massa tersebut. Maka, Gender menjadi persoalan
pertama untuk dirundungi.
Media massa yang kita kenal dan masih digunakan sampai saat ini adalah Televisi, hal
tersebut menunjukkan peran yang penting dalam menciptakan persepsi masyarakat tentang
peran yang dimainkan oleh televisi mengenai pengembangan kehidupan sosial, ekonomi dan
politik dalam masyarakat. konten yang ada di dalamnya, baik berupa informasi, hiburan
maupun opini yang dipublikasikan atau disiarkan kepada khalayaknya secara gratis.

2.2.1 Media dan Kekuasaan

Penyiaran televisi dianggap terlalu memiliki pengaruh yang kuat untuk jatuh ke
tangan kepentingan tertentu tanpa batasan jelas dalam melindungi publik dari bahaya atau
manipulasi yang potensial. Televisi sebagai saluran komunikasi massa dianggap hampir
tidak pernah menayangkan sesuatu yang sesuai dengan realitas sesungguhnya. Hampir
semua televisi menayangkan realitas tangan kedua, dimana selalu ada setting cerita yang
dimainkan dengan potensi manipulasi yang cukup tinggi. Televisi juga dianggap sebagai
pemberi informasi publik yang tidak informal, namun secara umum tetap dapat dipercaya
(McQuail, 2011).
Peranan lain media televisi adalah sebagai pengajar bagi anak-anak di sekolah dan
orang dewasa di rumah. Sebuah ciri yang bertahan dari daya tarik televisi terletak pada
fakta bahwa televisi merupakan media yang menyatukan orang untuk berbagi pengalaman
yang sama dalam masyarakat yang terbagi-bagi dan individual keluarga. Sebagaimana
disampaikan Maulana dan Nugroho bahwa media massa (dalam hal ini televisi) adalah
faktor lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses pelaziman klasik,
pelaziman operan, atau proses imitasi (Maulana & Nugroho, 2018).
Menurut McQuail (2011) kondisi kekuatan media yang efektif secara umum termasuk
pada kemampuan industri media nasional dalam menjangkau sebagian besar populasi,
tingkat kesepahaman dalam pesan yang disebarkan (kemanapun arahnya), dan penilaian
atas kredibilitas dan kepercayaan media oleh khalayak (McQuail, 2011).
McQuail (2011) menyampaikan bahwa terdapat dua model dalam kekuatan media
yaitu model media dominan (model of dominant media) yaitu media sebagai kekuatan
yang mewakili lembaga kuat lainnya dan model pluralis (pluralist media) yang
memungkinkan lebih banyak keragaman dan kemungkinan, tidak ada elit yang dominan
atau satu, dan perubahan serta kontrol demokratis mungkin terjadi (McQuail, 2011).
Komunikasi atau kekuatan simbolik berbeda dengan kekuatan jenis lain karena tidak
menggunakan faktor non-material (kepercayaan, rasionalisasi, penghargaan, kasih sayang,
dan lain-lain). Adapun tipe-tipe utama dalam menggunakan kekuatan simbolik pada
kekuasaan komunikasi yaitu dengan cara informasi, menstimulasi aksi, mengarahkan
perhatian secara berbeda, persuasi, mendefinisikan situasi dan memberikan kerangka
terhadap dunia nyata (McQuail, 2011). Dalam beberapa keadaan (terutama dalam hal
kurangnya dan lemahnya pertahanan terhadap efek), banyak efek media terjadi sebagai
hasil mendefinisikan suatu situasi dan framing pada dunia nyata, penentuan informasi dan
pembedaan arah perhatian (termasuk penguraian ide atau citra tertentu) daripada persuasi
atau simulasi aksi.

2.2.2 Media dan Gender

Media dan gender mengacu pada hubungan antara media dan gender, dan bagaimana
representasi dari berbagai gender diciptakan oleh media massa.
Bagaimana Gender di Media
1. Banyak majalah memuat gambar-gambar seksual di sampul depan wanita.
2. Belakangan ini, media mencoba menarik khalayaknya dengan citra perempuan
dengan pakaian minim, ekspresi seksual, bahasa tubuh, dan gerak tubuh.
3. Media mengajari orang dan anak-anak bahwa hal-hal ini adalah yang penting daripada
hal-hal penting yang sebenarnya terjadi di dunia.

2.2.3 Stereotip Gender


 Stereotip gender diartikan sebagai generalisasi yang berlebihan terhadap karakteristik,
perbedaan dan atribut suatu kelompok tertentu berdasarkan gendernya.
 Stereotip mencerminkan bagaimana kita menganggap anggota yang berbeda dari
kelompok yang berbeda benar-benar berperilaku.
 Stereotip gender menciptakan penilaian atau suatu hal yang diterima secara luas
tentang karakteristik atau sifat tertentu yang berlaku untuk setiap gender.
 Ketika ketidaksetaraan gender terjadi dengan latar belakang stereotip gender, ini
disebut seksisme.

2.3. Studi Kebudayan mengenai Feminisme


Diskursus tentang kaum perempuan dan kedudukannya dalam kehidupan sosial
sealalu menjadi topik yang menarik. Dalam struktur sosial yang berkembang di masyarakat
perempuan ditempatkan di dalam posisi minoritas. Apalagi dalam masyarakat yang secara
umum bersifat patrilineal yang berarti memuliakan kaum lelaki dalam semua aspek
kehidupan. Penelitian feminisme pada dasarnya harus memperhatikan konstruksi budaya dari
dua makhluk hidup yakni pria dan wanita. Studi ini mencoba untuk menguji perbedaan dan
persamaan, pengalaman dan interpretasi keduanya dalam berbagai konteks dan jenis
hubungan sosial.
Model pendekatan dalam penelitian feminism yang menunjukkan kategorisasi dari
subtansi kajiannya yaitu sebagai berikut:
1. feminism, berbicara mengenai diskriminasi seks
2. Difference feminism, merupakan perbedaan gender yang berakar kuat dan
sebagian secara biologis
3. Postmodern feminism, berbicara mengenai konstruksi budaya secara sewenang-
wenang menguntungkan orang-orang yang berkuasa.

Christine Sylvester menerapkan tipologi menarik dalam memandang masyarakat


untuk menganalisis hubungan International adalah sebagai berikut:
1. Feminist empiricism, melihat bahwa negara dan sistem antar negara dilihat
secara struktur gender dalam dominasi dan interaksi. struktur dominasi gender
dan interaks.
2. Feminist standpoint, berpendapat bahwa pengalaman perempuan di kehidupan
politik memberi perspektif tentang isu sosial yang memberikan wawasan valid
ke dunia politik. Feminis ini menawarkan kritik terhadap teori yang dibangun
oleh pembuat kebijakan.
3. Feminist pastmodernism, adalah istilah sulit untuk menentukan dan untuk
menutupi berbagai kecenderungan. Harding dan Sylvester berargumen bahwa
esensi feminis ini merupakan perlawanan terhadap konsepsi dari “satu kisah
nyata” ke “perspektif universal yang salah”.

Sedangkan pendekatan teoritis utama pada gender atau feminisme, yaitu sebagai
berikut:
1. Feminisme liberal memiliki hirauan utama yaitu hak-hak yang sama bagi laki-
laki dan perempuan dengan adanya kebebasan dan kebahagiaan manusia
perorangan. Aliran feminisme Liberal berakar dari filsafat liberalism yang
memiliki konsep bahwa kebebasan merupakan hak setiap individu sehingga ia
harus diberi kebebasan untuk memilih tanpa terkekang oleh pendapat umum dan
hukum. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas.
2. Feminisme marxis/sosialis menggambarkan posisi endah perempuan dalam
struktur ekonomi, sosial, dan politik dari sistem kapitalis, serta adanya analisis
patriarki (pemusatan pada laki-laki). Fokusnya adalah kapitalisme dan patriarki
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak istimewa. Mereka berpendapat
bahwa penghapusan sistem kapitalis merupakan cara agar perempuan mendapat
perlakuan yang sama. Aliran ini memandang masalah perempuan dalam
kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya, sumber penindasan perempuan berasal
dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Status perempuan jatuh karena adanya
konsep kekayaan pribadi (private property) kegiatan produksi yang semula
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan
pertukaran (exchange). Feminisme sosial muncul sebagai kritik terhadap
feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul
sebelum kapitalisme, dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Feminism sosial menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami
penindasan perempuan.
3. Feminisme radikal mengembangkan feminis yang lebih nyata dan lebih
merdeka sepenuhnya sehingga dapat mencegah penyubordinatan gender pada
agenda tradisional. Oleh karenanya mereka menolak setiap kerjasama dan
menjalankan langkah praktis dan teoritis untuk mengembangkan analisis
gender. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap
perempuan terjadi akibat sistem patriarki (sistem yang berpusat pada laki-laki).
Pada pokoknya, aliran ini berupaya menghancurkan sistem patriarki, yang
fokusnya terkait fungsi biologis tubuh perempuan.
4. Feminisme Teologis. Teori ini dikembangkan berdasarkan paham teologi
pembebasan yang menyatakan bahwa system masyarakat dibangun berdasarkan
ideologi, agama, dan norma-norma masyarakat. mereka berpendapat bahwa
penyebab tertindasnya perempuan oleh laki-laki adalah teologi atau ideologi
masyarakat yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki (subordinasi).
5. Ekofeminisme. Aliran ini merupakan jenis feminisme yang menyalahi arus
utama ajaran feminisme, sebab cenderung menerima perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Ekofeminisme mengkritik pemikiran aliran-aliran sebelumnya
yang menggunakan prinsip maskulinitas (ideologi untuk menguasai) dalam
usaha untuk mengakhiri penindasan perempuan akibat sistem patriarki.

2.4. Culture Negotiation


Ada terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi negosiasi budaya dalam mengukur
sebuah kultur di masyarakat lintas negara menurut Geert Hofstede. Dimensi budaya mewakili
prefensi independen untuk satu keadaan di atas keadaan lain yang membedakan negara satu
(bukan individu) dengan negara lain. Nilai seuah negara pada satu dimensi bersifat relative,
karena penelitian berdasarkan manusia yang mana satu dengan yang lain memiliki keunikan
yang berbeda. Dengan kata lain, budaya hanya bisa digunakan secara bermakna dengan
perbandingan.

a. Empat aspek yang mempengaruhi negosiasi budaya menurut Geert Hofstede


1. Kekuatan jarak

Di beberapa negara, tingkat kekuasaan sangat berbeda dan cukup sulit untuk dipahami
secara internal. Tetapi mungkin tidak terlihat oleh orang luar. Misalnya, di Rusia, kekuasaan
cenderung terkonsentrasi di atas. Seperti eksekutif atau pejabat pemerintah yang dapat
merundingkan kesepakatan, hanya untuk dinegosiasikan ulang oleh pejabat tingkat yang lebih
tinggi.
Negosiasi yang kita lakukan mungkin juga berada di bawah pengaruh jarak kekuasaan
yang tinggi, sementara kita mungkin lebih suka berurusan langsung dengan pembuat
keputusan, kita mungkin menemukan bahwa pihak negosiasi yang berurusan dengan kita
hanyalah awal dari rantai orang-orang yang perlu kita tangani. Di negara dengan jarak
kekuasaan yang rendah, negosiator biasanya memiliki wewenang untuk membuat
kesepakatan, dalam budaya jarak kekuasaan yang tinggi, kesepakatan pada akhirnya perlu
diratifikasi oleh seseorang yang lebih tinggi.
2. Individualisme atau Kolektivisme

Orang-orang dalam suatu budaya mungkin menganggap diri mereka sebagai individu
atau sebagai anggota kelompok yang saling terhubung, atau kolektif. Di Amerika Serikat,
orang-orang cenderung memiliki nilai individualism, sementara negara-negara Lingkar
Pasifik, seperti Cina dan Jepang cenderung lebih kolektivis. Tentu proses pemikiran ini
mempengaruhi cara masyarakat diorganisasikan dan keputusan dibuat.
3. Maskulinitas dan Feminitas

Negosiasi budaya dalam maskulinitas dan feminitas ini mengacu pada sejauh mana
masyarakat mendukung apa yang dianggap sebagai karakteristik tradisional atau stereotip
maskulin dan feminin. Misalnya, agresivitas dan persaingan sering dianggap sebagai
karakteristik "laki-laki", sedangkan fokus pada hubungan dan kerja sama adalah karakteristik
"perempuan" tradisional. Banyak negara Skandinavia yang sangat menjunjung tinggi pada
kualitas hidup dalam hubungan, sementara budaya lain, seperti Amerika Serikat dan
Meksiko, cenderung mengadaptasi budaya dalam kompetisi.
Mengenai pentingnya hubungan dalam negosiasi berkarakteristik maskulin dan
feminin dari suatu budaya ikut berperan. Orang-orang dari budaya yang lebih feminin akan
lebih peduli tentang hubungan, dan mungkin juga cenderung lebih kolektivis dalam
pemikiran mereka. Negosiator dari negara yang lebih maskulin mungkin lebih cenderung
menggunakan tawar-menawar distributive, seperti pendekatan negosiasi yang lebih
kompetitif. Budaya Amrerika Serikat lebih cenderung melihat penggunaan kekuasaan dengan
negosiator dari budaya maskulin, mereka mungkin juga mengandalkan aturan daripada
membengkokkannya untuk mencari penyelesaian yang kooperatif.
Negosiasi dengan orang-orang dari negara-negara kolektivis lebih sering terjadi dengan
kelompok, daripada antar individu. Itu sebabnya mengharapkan untuk melakukan negosiasi
satu lawan satu dengan seseorang dari Jepang atau China mungkin tidak realistis. Kita juga
dapat mengharapkan waktu yang lebih lama untuk mencapai konsensus, karena kecepatan
negosiasi akan lebih lambat dalam budaya kolektivis.
4. Penghindaran Ketidakpastian

Penghindaran ketidakpastian mengacu pada sejauh mana seseorang merasa nyaman dengan
situasi yang tidak terstruktur atau tidak pasti. Beberapa budaya tidak nyaman dengan
ambiguitas dalam negosiasi. Sementara orang Amerika cenderung nyaman dengan
ketidakpastian. Karena orang Amerika menganggap negosiasi yang mengandung unsur
ambiguitas itu merupakan suatu hal yang baik-baik saja. Tentu hal ini mempunyai alasan
tersendiri, dimana orang Amerika justru mengharapkan satu atau dua kejutan setelah
negosiasi dilakukan. Sedangkan budaya lain tidak akan nyaman dengan kejutan.
b. Negosiasi budaya dalam dimensi gender dan struktur sosial – Maskulinitas dan
Feminitas

Adapun tanda-tanda dalam iklan yang kerap memanfaatkan peran stereotype


mengenai feminitas dan maskulinitas. Misalnya laki-laki yang dianggap dominan, kuat, serta
aktif. Iklan seringkali menampilkan kegiatan fisik yang membutuhkan banyak energi dan
lekat dengan citra maskulin seperti halnya olahraga. Maskulinitas itu sendiri adalah imaji
kejantanan, ketangkasan, keperkasaan, keberanian untuk menantang bahaya, keuletan,
keteguhan hati, hingga keringat yang menetes, otot laki-laki yang menyembul atau bagian
tubuh tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki yang terlihat secara ekstrinsik.
Citra maskulin digunakan dalam iklan untuk menarik perhatian khalayak. Tokoh
dalam iklan digambarkan seaktif dan sejantan mungkin untuk membentuk sosok ideal
seorang laki-laki. Dalam kegiatan berolahraga, ketangkasan dan otot tokoh dalam sebuah
iklan dapat digambarkan sedemikian rupa hebatnya dengan menggunakan berbagai teknik
pengambilan gambar dan editing. Olahraga dapat digunakan dalam mengeksplor segala sisi
maskulin seorang laki-laki.
Sedangkan pada iklan produk khusus untuk perempuan, masalah yang berkaitan dengan
penampilan menjadi fokus utama. Perempuan memiliki hasrat lebih untuk tampil cantik dan
memiliki sasaran empuk bagi iklan. Teks-teks iklan yang bertutur tentang kecantikan
perempuan semuanya menunjukkan betapa kecantikan memilik peran dan arti yang sangat
penting bagi perempuan sendiri. Iklan seolah menggambarkan bahwa hidup akan lebih indah
dan mudah jika memiliki penampilan yang menarik. Ingin tampil menarik bukanlah suatu
kesalahan. Namun, definisi menarik yang ada di benak perempuan pengkonsumsi media
adalah definisi yang memang sengaja dibentuk untuk menjual nilai dan prduk yang
ditampilkan.

2.5. Representasi perempuan dalam media


Stereotipe terhadap perempuan
Stereotipe memproyeksikan pola pikir masyarakat pada perempuan. Kalangan feminis pasca-
modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan tersebut kemudian dibesarkan oleh
industri media.Pendekatan feminis-strukturalis Simone de Beauvoir telah mengilhami Ortner
dalam Asrini(2013), dalam menilai bahwa subordinasi perempuan secara universal adalah
dampak dan fungsi khas mereka dalam tradisi dan budaya yang melekat di masyarakat.
Perempuan dianggap sebagai pengasuh dan orang yang membesarkan anak.Perempuanselalu
diidentifikasi pada ranah domestik.
Pada posisi yang berbeda, hieraki gender menempatkan laki-laki sebagai gender yang
perkasa, selalu menang, tak pernah menangis, dan hanya bertanggungjawab secara publik,
bukan secara domestik. Hal inilah yang membuat orang-orang di luar hierarki menjadi
kesulitan untuk diterima dalam nilai-nilai tersebut. Padahal, di luar dua kelompok gender
tersebut ada juga kelompok lesbian, gay, biseksual, transeksual (LGBT), yang keberadaannya
dipinggirkan (Asrini, 2013).
Konstruksi gender dalam konteks patriarki membuat perempuan sulit untuk
mengubah―takdirnya. Bukan hanya perempuan, orang-orang yang hidup diluar hierarki
gender pun terpinggirkan, kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual,dan transgender),
menjadi sulit diterima dan sulit dibahasakan di kalangan masyarakat.DiBarat, hierarki gender
terjadi sejak manusia mengkonstruksikannya. Walaupun konstruksi ini terus berubah, namun
sepanjang sejarah--sejak masa pemerintahan demokrasi modern, masa Revolusi Industri di
Eropa di abad 16, hingga sekarang-- perempuan tak pernah lepas dari penilaian, dari
konstruksi. Konstruksi ini pun merasuk dalam seni dan kebudayaan sehari-hari. Pada masa
Revolusi Industri, konstruksi ini mengemuka dalam Monalisa karya Leonardo da Vinci. Hari
ini, mengejawantah dalam boneka Barbie (Luviana, 2010)
Stereotipe yang melekat pada perempuan dan hierarki gender yang baru ini kemudian
menimbulkan sejumlah persoalan baru yang terjadi di masyarakat. Misalnya, perempuan
mengalami berbagai hambatan karena nilai-nilai yang melekat dalam masyarakat membatasi
akses dan kesempatannya. Stereotipe inilah melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap
perempuan, dan industri media kita merupakan propagandis terdepan dalam
mengkampanyekan stereotipe tersebut.
Pada masyarakat tontonan (society of spectacle), perempuan berfungsi dominan sebagai
pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditas (misalnya salesgirl, covergirl
dan modelgirl). Menurut Guy Debord, seperti dikutip Yasraf Amir Piliang dalam Hidayati
(2006), masyarakat tontonan adalah masyarakat yang dalam dirinya setiap sisi kehidupan
menjadi komoditas. Setiap komoditas itu menjadi ―tontonan. Dalam masyarakat tontotan,
tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk menjual komoditas - atau tubuh itu sendiri
sebagai suatu komoditas tontonan – mempunyai peran yang sangat sentral.
Menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan adalah jembatan atau jalan
pintas untuk masuk ke dunia populer, meraih popularitas, mengejar gaya hidup, dan buat
mencapai kepuasan material. Dalam kondisi ini, perempuan tanpa menyadari sesungguhnya
mereka telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal yakni dunia objek,
dunia citra, dan dunia komoditas. Karena pencitraan perempuan dalam masyarakat tontonan
seperti itu, kerap media massa khususnya TV, dituduh hanya menampilkan perempuan
sebagai pemikat biologis semata. Inilah yang acapkali dilontarkan kaum feminis sebagai
kritikan kepada media massa.
Bagaimanapun, media massa memiliki manfaat yang cukup penting dalam masyarakat.
Tokoh emansipasi kita, RA Kartini yang hari kelahirannya 21 April diperingati setiap tahun
sebagai Hari Kartini pun, mendobrak tradisi yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat
kaum wanita lewat bacaan-bacaannya yakni majalah wanita ketika itu. Karena itu, gambaran
positif tentang perempuan dalam media massa akan memperbaiki citra mereka.
Peranan Media dalam Menciptakan Stereotipe tentang Perempuan
Media massa berfungsi menyampaikan fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media
massa merupakan cermin realitas yang ada dalam masyarakatnya. Mengharapkan setara
dalam segala sesuatu adalah sebuah utopia. Meskipun, kaum wanita bisa saja berdalih itu
adalah cita-cita dan perjuangan. Ketimbang mempersoalkan terus-menerus mengenai.
kesetaraan gender, feminis – maskulin, alangkah lebih baiknya jika perempuan lebih
menunjukkan prestasi, karya, kecakapan dan peran dalam masyarakat yang tidak kalah
dengan kaum laki-laki. Sehingga, gambaran ideal tentang perempuan pun akan tampil dalam
media massa.
Dalam media di Indonesia stereotipe tentang perempuan melekat dalam berbagai tayangan;
dari sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita. Gambaran tentang perempuan pemarah,
pencemburu, pendendam ada dalam tayangan sinetron. Tayangan infotainment
memprogandakan pasangan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan perempuan.
Jika seorang artis perempuan tidak berpasangan, maka ia akan terus dikejar-kejar pertanyaan
pekerja infotainment. Status lajang menjadi status buruk bagi perempuan yang dilekatkan
oleh infotainment di televisi kita.Hal lainnya adalah status cantik yang melekat dalam industri
media televisi. Siapa saja yang tampil menjadi selebritas di televisi harus selalu cantik. Jika
tak cantik, maka seorang perempuan akan mendapatkan ejekan: tak seksi, kurang putih,
mukanya kurang menjual, kalah pamor dari perempuan cantik lainnya(Asrini, 2013).
Stereotipe cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan di media, namun telah
menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televisi—stereotipe yang sangat jarang terjadi
di ruang redaksi di media cetak maupun radio.Stereotipe yang berkisar dalam hal kecantikan
inilah yang akhirnya membuat perempuan membenci tubuhnya. Para perempuan membenci
wajahnya yang kurang cantik, kakinya yang kurang panjang dan tubuhnya yang terlalu
gemuk. Akibatnya, perempuan menjadi pemimpi—ingin berubah wujud menjadi tubuh yang
diinginkan industri. Karena prasyarat cantik inilah yang kemudian digunakan untuk
menentukan identitas seseorang, yaitu dengan simbol-simbol, signifikasi, representasi dan
semua bentuk citra. Kriteria inilah yang sering dilabelkan pada seseorang atau kelompok
tertentu.
Tak hanya itu, industri media kemudian memecah-belah perempuan. Ada pengkotakan:
perempuan berwajah cantik vs perempuanberwajah pas-pasan,perempuan putih vs perempuan
berkulit hitam. Dan ini kemudian dibesarkan oleh mode, fashion dan juara ratu-ratuan
sejagat. Media televisi, dalam kultur indutri di Indonesia turut membesarkannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa iklan dalam media mengandung bias gender. Iklan-iklan yang
ada mendiskriminasi perempuan melalui citra, visual dan teks-teksnya. Pencitraan yang
paling menonjol dan menjadi sumber perdebatan berbagai kalangan adalah citra peraduan,
dimana elemen seksualitas perempuan ditonjolkan ketika ia menjadi pembawa pesan.
Dengan mengutip Busby dan Leichty (Suharko dalam Subandi, 1998) bahwa tubuh
perempuan digunakan sebagai simbol untuk men-ciptakan citra produk tertentu, atau paling
tidak berfungsi sebagai latar dekoratif suatu produk. Tubuh perempuan tampil sebagai simbol
kenikmatan minuman, keindahan produk furnitur, keanggunan dan kelincahan produk mobil
dan sebagainya. Bagi sebagian orang, penggunaan tubuh perempuan sebagai sebuah simbol
merupakan upaya komodifikasi tubuh perempuan, sementara bagi sebagian yang lain, para
praktisi periklanan khususnya, hal ini adalah sebuah keharusan karena dibutuhkan untuk
memperkuat daya jual sebuah produk.
Piliang dalam Ibrahim (1998) menjelaskan posisi perempuan dan tubuhnya melalui pisau
analisa ekonomi politik dalam dunia komoditi. Ia memaparkan bahwa ada tiga sisi yang dapat
dilihat dari tubuh perempuan ketika bicara kaitan antara (tubuh) perempuan dan ekonomi
politik, yaitu ekonomi politik tubuh (political –economy of body), ekonomi politik tanda
(political-economy of signs) dan ekonomi politik hasrat (political-economy of desire). Piliang
melihat iklan di media, tubuh dan perempuan dengan pisau analisa ekonomi politik, ia
mengkaitkannya dalam konteks kapitalisme. Kalau tadinya logika kapitalisme adalah berpijak
pada produksi kebutuhan (needs) sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi serendah
mungkin, kini logika itu telah bergeser menjadi menciptakan kebutuhan (needs) melalui
penciptaan citra (image) oleh biro-biro iklan. Disinilah media dan perempuan menempati
posisinya dalam kapitalisme wajah baru itu (Adian, 2002).
Kapitalisme bentuk baru ini menjadikan semua hal adalah tanda-tanda yang bisa
dikomodifikasi, yaitu : …proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana benda-
benda, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas‖ (Barker, 2005). Di dalam media,
perempuan dan tubuhnya digunakan di dalam berbagai aktivitas ekonomi berdasarkan
konstruksi sosial. Tubuh perempuan yang ―di potong-potong (menjadi hanya betis, atau
kaki, atau dada, atau punggung, atau pinggul, atau rambut, atau bibir) dan diproduksi menjadi
tanda-tanda (signs) akan membentuk citra (image), makna (meaning) dan identitas (identity)
mereka di dalamnya. Tanda dan citra itulah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai
obyek hasrat (desire) untuk memiliki demi mencapai kepuasan.
Prabasmoro (2004) menggambarkan tentang bagaimana potongan tubuh perempuan hanya
potongan tanda yang menjadi komoditas: Seksualitas perempuan juga dikomodifikasi.
Banyak produk yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan,
menampilkan tubuh perempuan semata-mata karena tubuh perempuan merupakan nilai jual
(selling point ) bagi produk itu.
Penggunaan tubuh dan representasi tubuh dalam media tidak saja menyangkut relasi
ekonomi, tetapi juga relasi sosial dan relasi ideologi. Komodifikasi tubuh perempuan menjadi
sebuah persoalan ideologi ketika penggunaan tubuhnya dalam iklan sebagai sebuah relasi
ekonomi dilandasi dan digambarkan dalam relasi sosialnya pasif, berada dalam posisi
subordinasi dan menjadi objek eksploitasi kelompok dominan saja.
Bila perempuan mampu berada dalam posisi subjek yang aktif dan tidak hanya menjadi objek
pasif saja, maka bisa jadi bahwa perempuan sebenarnya berkuasa atas dirinya sendiri dan
berperan aktif menentukan citra, makna dan identitas dirinya. Menurut Lacan, jika
perempuan menggunakan tubuhnya untuk membebaskan hasratnya dan bermain-main
(jouissance) maka bisa jadi perempuan otonom berperan aktif membebaskan tubuhnya.
Karenanya, bagi para pengkaji cultural studies, persoalannya bukan terletak pada benar
tidaknya representasi citra perempuan dalam media tetapi pada sejauhmana perempuan
mampu menjadi subjek sebagai penentu konstruksi (Barker, 2002).
Keberadaan perempuan dalam iklan sah-sah saja sepanjang kreatornya tidak menghadirkan
bad taste advertising (Subijakto dalam Subandi, 1998). Makna bad taste advertising itu
sendiri bisa sangat luas, termasuk jangan melewati batas, dalam arti tidak terjebak pada over-
exposure, over-signification dan over-imagination.
Di sinilah kemudian kita harus berhati-hati pada iklan, pada media dan kapitalisme. Madonna
sekali pun, yang mampu bermain-main dengan citra dan identitasnya tidak mampu berbuat
apa-apa untuk merubah eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial yang lebih hakiki
dalam masyarakat kapitalis yang eksploitatif . Di sinilah iklan menjadi hal yang harus
diwaspadai. Jean Kilbourne dalam Santi (2012) bahwa iklan memiliki kekuatan pendidikan
yang paling berpengaruh karena setiap harinya kita terpapar oleh lebih dari 2000 iklan.
Menurutnya, yang dijual oleh iklan lebih dari sekedar produk, tetapi : ―They sell values,
images, and concepts of success and worth, love and sexuality, popularity and normalcy.
They tell us who we are and who we should be. Sometimes they sell addictions.
Menurut Wibowo (2003) bahwa iklan makin mirip nenek sihir: datang mendadak dan
bergegas menyebar mantra. Orang yang melihat terpesona (dan kebanyakan) terpedaya
olehnya tanpa bisa memberontak. Dampaknya, relung-relung kehidupan kita tak lengkap
tanpa sentuhan iklan. manusia sekarang bergaul karena iklan media, berpolitik karena iklan
dan bahkan rela mati demi iklan. Kata sihir untuk menunjukkan pengaruh iklan dalam
kehidupan. Sihir lebih bernuansa magis daripada kata mempesona yang bermakna memukau
atau memikat . Dijelaskan lebih lanjut bahwa sihir terwujud dalam 3 bentuk yaitu
mengintimidasi, memanipulasi dan mendominasi. Bahkan kemudian bahwa iklan juga
mengintervensi dan memprovokasi. Jadi, begitulah media mempengaruhi hidup konsumen.
Menyihir dan tiba-tiba membuat orang tak berdaya, terjebak dalam sikap konsumtif .

2.6. Contoh Kasus


Imagologi perempuan cantik dalam media massa merupakan pencitraan yang dibentuk
media terhadap sosok perempuan, yang seolah-olah perempuan cantik itu hanya dilihat dari
tampilan fisik sempurna saja yang tanpa cacat sedikit pun. Seringkali perempuan dijadikan
icon dalam produk iklan. Hal ini menegaskan bahwa perempuan cantik merupakan sosok
yang selalu menjadi dan dijadikan objek daya tarik. Daya tarik yang dimaksud lebih dilihat
dari tampilan fisiknya. Beberapa iklan produk kecantikan sampai produk makanan,
elektronik, kendaraan, dsb, yang tidak ada sangkut pautnya dengan tubuh perempuan pun
seringkali menampilkan sosok perempuan sebagai icon produk tersebut dengan memamerkan
sisi sensual dari fisiknya. Tubuh Perempuan seringkali dijadikan alat untuk menarik perhatian
para konsumen. Disadari atau tidak, para model ini pun telah dijadikan objek penarik
layaknya sebuah benda. Herannya lagi, para penonton (baca : penonton perempuan) yang
menyaksikan tayangan-tayangan tersebut malah berlombalomba mengikuti penampilan serta
gaya yang ditampilkan model media tersebut. Dengan begitu, masyarakat bisa
memproyeksikan citra dirinya layaknya model dengan segala daya tarik yang dimilikinya.
Mereka menganggap bentuk fisik si model merupakan sesuatu yang menarik, sebagai daya
tarik bagi siapa saja yang melihatnya, serta layak dibanggakan. Dengan tubuh yang langsing,
kulit putih, wajah bersih bebas noda, penampilan glamour, dengan tidak lupa menampilkan
sisi sensual dari tubuhnya, itulah yang dianggap perempuan cantik modern masa kini, yang
bisa menarik perhatian serta membuat orang lain terpesona bagi siapa saja yang
memandangnya. Sehingga rasa kebanggaan inilah yang menjadikan masyarakat ingin
berpenampilan glamour dan cantik dengan gaya layaknya model-model tersebut. Dengan
tampilan dan gaya hidup seperti itu, mereka menganggap self-image sebagai perempuan
cantik modern masa kini pun melekat dalam dirinya. Tapi justru keinginan dia untuk
memproyeksikan citra dirinya atau tuntutanmasyarakat citra dirinya lebih menentukan
bagaimana gaya hidupnya. Citra diri (self-image) dapat diartikan sebagai bagaimana
seseorang memandang dirinya sendiri. Atau mungkin diartikan sebagai bagaimana persepsi
orang lain terhadap seseorang.
Gambar di bawah ini merepresentasikan perempuan dalam iklan yang diposisikan
sebagai alat untuk mengikat serta sebagai penarik perhatian dengan memanfaatkan sisi
eksotis dari setiap bagian tubuhnya.
Eksploitasi perempuan dalam pencitraan sosok perempuan di dunia periklanan telah
membombardir persepsi para perempuan dalam memandang sosok cantik dalam dirinya.
Tampilan fisik selalu dinomorsatukan, soal inner beauty yang sifatnya abadi cenderung
dikesampingkan. Tubuh dibentuk sedemikian rupa layaknya benda hias, operasi di sana sini,
serta ditempeli berbagai macam aksesoris, bahkan aksesoris di tubuhnya yang dapat
membahayakannya pun tidak dia hiraukan. Contohnya pemakaian anting-anting besar yang
panjang dapat tersangkut dengan mudahnya, sehingga dapat mengakibatkan luka pada daun
telinga, pemakaian sepatu hak tinggi yang jika memakinya kurang hati-hati bisa
menyebabkan terkilir, celana jeans super ketat dapat menghambat peredaran darah dan
sebagainya. Belum lagi efek fatal yang disebabkan dari operasi plastik jika terjadi kegagalan
ketika operasi.

Tampaknya masyarakat ini sudah terkena suatu penyakit bernama “krisis identitas”. Derasnya
informasi yang masuk ke otak manusia telah membuat manusia menyerap aneka pesan yang
mana pesan tersebut lebih cenderung disebut sponsor.Iklan-iklan di media memang bukan
hanya mengajak untuk membeli produk tersebut saja, melainkan mengajak pemirsanya juga
untuk bergaya hidup layaknya model iklan yang ditampilkan. Iklan tersebut telah menjadi
sponsor untuk bergaya hidup ala sang model.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa media, berasal dari bahasa latin,
median, yang merupakan bentuk jamak dari medium secara etimologi yang berarti alat
perantara Media massa diyakini tidak akan menjadi lembaga yang netral. Media massa akan
senantiasa berada dalam tarikmenarik antar berbagai kepentingan yang semuanya bersumber
pada interest politik dan ekonomi. Gender lebih berhubungan dengan perbedaan perempuan
dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial, budaya dan psikologis.
Komunikasi atau kekuatan simbolik berbeda dengan kekuatan jenis lain karena tidak
menggunakan faktor non-material (kepercayaan, rasionalisasi, penghargaan, kasih sayang,
dan lain-lain). Adapun tipe-tipe utama dalam menggunakan kekuatan simbolik pada
kekuasaan komunikasi yaitu dengan cara informasi, menstimulasi aksi, mengarahkan
perhatian secara berbeda, persuasi, mendefinisikan situasi dan memberikan kerangka
terhadap dunia nyata (McQuail, 2011). Media dan gender mengacu pada hubungan antara
media dan gender, dan bagaimana representasi dari berbagai gender diciptakan oleh media
massa.
Ada empat aspek yang mempengaruhi negosiasi budaya menurut Geert Hofstede yaitu
kekuatan jarak, individualisme atau kolektivisme, maskulinitas dan feminitas, dan
penghindaran ketidakpastian. Stereotipe memproyeksikan pola pikir masyarakat pada
perempuan. Kalangan feminis pasca-modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan
tersebut kemudian dibesarkan oleh industri media. Media massa berfungsi menyampaikan
fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang
ada dalam masyarakatnya. Dalam media di Indonesia stereotipe tentang perempuan melekat
dalam berbagai tayangan; dari sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita. Gambaran
tentang perempuan pemarah, pencemburu, pendendam ada dalam tayangan sinetron.
Stereotipe cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan di media, namun telah
menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televisi—stereotipe yang sangat jarang terjadi
di ruang redaksi di media cetak maupun radio. Stereotipe yang berkisar dalam hal kecantikan
inilah yang akhirnya membuat perempuan membenci tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Setiadi, E. M., & Kolip, U. (2011). Pengantar sosiologi: pemahaman fakta dan gejala
permasalahaan sosial: teori, applikasi dan pemecahannya. Kencana.
Rustan, Ahmad&Hakki Nurhakki. (2017). Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta:
Deepublish
Catur Nugroho. 2018. RELASI KUASA MEDIA DAN ISU GENDER DALAM PROGRAM
TELEVISI DI INDONESIA. ProTVF. 2(2). 111-126
Yuberti. 2015. RELASI GENDER DAN KEKUASAAN DALAM ISLAM INDONESIA.
Jurnal Studi Keislaman. 15(2). 520-548.
Wijayanti, I. (2003). Agresivitas dalam sudut pandang stereotip gender. Jurnal Psikologi
Tabularasa, 1(2).
Farihah, I. (2016). Seksisme perempuan dalam budaya pop media Indonesia. PALASTREN
Jurnal Studi Gender, 6(1), 223-244.
Fitrianti, R., & Habibullah, H. (2012). KETIDAKSETARAAN GENDER DALAM
PENDIDIKAN; Studi Pada Perempuan di Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang. Sosio
Konsepsia: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 17(1), 85-100.
Astuti, Y. D. (2016). Media dan Gender (Studi Deskriptif Representasi Stereotipe Perempuan
dalam Iklan di Televisi Swasta). Profetik: Jurnal Komunikasi, 9(2), 25-32.
Pratama, G. (2020). EKSPLOITASI PEREMPUAN DALAM IKLAN MEDIA MASSA.
Jurnal Rekayasa Teknologi Nusa Putra, 6(2), 10-14.

Jackson R., & Sorensen G. Pengantar Studi Hubungan Internasional. (D. Suryadipura,
Trans). Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Karim, Abdul. Kerangka Studi Feminisme (Model Penelitian Kualitatif tentang Perempuan
dalam Koridor Sosial Keagamaan). Fikrah: Vo.2, No.1, 2014.
Norman K. Denzim dan Yvonna S. Handbook of Qualitative.United Kingdom: SAGE
Publication. 1994.

Armia, C. (2002). Pengaruh budaya terhadap efektivitas organisasi: Dimensi budaya


Hofstede. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, 6(1).
Kurnia, Novi. 2004. “Representasi Masklinitas dalam Iklan”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
PolitikVolume 8, Nomor 1, Juli 2004.
Murwani, Endah. 2010. “Konstruksi ‟Bentuk Tubuh Perempuan‟ Dalam Iklan Televisi”,
Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume II, Nomor 1, Juni 2010.

Anda mungkin juga menyukai