Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Firdaus, M.Si
Disusun Oleh :
Segala puji syukur, kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah dengan
judul “ GENDER DAN MEDIA ” tepat pada waktunya.
Dengan sepenuh hati dan rasa hormat yang tidak terhingga kami sampaikan terima
kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Studi Median dan Budaya Populer yaitu Bapak
Dr. Muhammad Firdaus M.Si yang telah menuntun kami dalam penyelesaian tugas ini
dengan baik.
Makalah ini tidak terlepas dari segala kekurangan dalam penyusunannya, oleh karena
itu saran dan kritik dari pembaca akan sangat membantu kami dalam mengevaluasi
penyusunan paper ini. Akhir kata, kami berharap semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
1.3. Tujuan..........................................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
BAB III....................................................................................................................................20
PENUTUP................................................................................................................................20
3.1. Kesimpulan................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21
BAB I
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mengenai Gender.
2. Untuk mengetahui pengertian mengenai Media.
3. Untuk memahami tentang Relasi Kekuasaan, Gender, dan Media.
4. Untuk mengetahu maksud dari Feminist Cultural Studies.
5. Untuk mengetahui maksud dari Cultural Negotiations.
6. Untuk Memahami tentang pengertian dari Representasi.
7. Untuk mengetahui contoh kasus dari Gender dan Media.
BAB II
PEMBAHASAN
Penyiaran televisi dianggap terlalu memiliki pengaruh yang kuat untuk jatuh ke
tangan kepentingan tertentu tanpa batasan jelas dalam melindungi publik dari bahaya atau
manipulasi yang potensial. Televisi sebagai saluran komunikasi massa dianggap hampir
tidak pernah menayangkan sesuatu yang sesuai dengan realitas sesungguhnya. Hampir
semua televisi menayangkan realitas tangan kedua, dimana selalu ada setting cerita yang
dimainkan dengan potensi manipulasi yang cukup tinggi. Televisi juga dianggap sebagai
pemberi informasi publik yang tidak informal, namun secara umum tetap dapat dipercaya
(McQuail, 2011).
Peranan lain media televisi adalah sebagai pengajar bagi anak-anak di sekolah dan
orang dewasa di rumah. Sebuah ciri yang bertahan dari daya tarik televisi terletak pada
fakta bahwa televisi merupakan media yang menyatukan orang untuk berbagi pengalaman
yang sama dalam masyarakat yang terbagi-bagi dan individual keluarga. Sebagaimana
disampaikan Maulana dan Nugroho bahwa media massa (dalam hal ini televisi) adalah
faktor lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses pelaziman klasik,
pelaziman operan, atau proses imitasi (Maulana & Nugroho, 2018).
Menurut McQuail (2011) kondisi kekuatan media yang efektif secara umum termasuk
pada kemampuan industri media nasional dalam menjangkau sebagian besar populasi,
tingkat kesepahaman dalam pesan yang disebarkan (kemanapun arahnya), dan penilaian
atas kredibilitas dan kepercayaan media oleh khalayak (McQuail, 2011).
McQuail (2011) menyampaikan bahwa terdapat dua model dalam kekuatan media
yaitu model media dominan (model of dominant media) yaitu media sebagai kekuatan
yang mewakili lembaga kuat lainnya dan model pluralis (pluralist media) yang
memungkinkan lebih banyak keragaman dan kemungkinan, tidak ada elit yang dominan
atau satu, dan perubahan serta kontrol demokratis mungkin terjadi (McQuail, 2011).
Komunikasi atau kekuatan simbolik berbeda dengan kekuatan jenis lain karena tidak
menggunakan faktor non-material (kepercayaan, rasionalisasi, penghargaan, kasih sayang,
dan lain-lain). Adapun tipe-tipe utama dalam menggunakan kekuatan simbolik pada
kekuasaan komunikasi yaitu dengan cara informasi, menstimulasi aksi, mengarahkan
perhatian secara berbeda, persuasi, mendefinisikan situasi dan memberikan kerangka
terhadap dunia nyata (McQuail, 2011). Dalam beberapa keadaan (terutama dalam hal
kurangnya dan lemahnya pertahanan terhadap efek), banyak efek media terjadi sebagai
hasil mendefinisikan suatu situasi dan framing pada dunia nyata, penentuan informasi dan
pembedaan arah perhatian (termasuk penguraian ide atau citra tertentu) daripada persuasi
atau simulasi aksi.
Media dan gender mengacu pada hubungan antara media dan gender, dan bagaimana
representasi dari berbagai gender diciptakan oleh media massa.
Bagaimana Gender di Media
1. Banyak majalah memuat gambar-gambar seksual di sampul depan wanita.
2. Belakangan ini, media mencoba menarik khalayaknya dengan citra perempuan
dengan pakaian minim, ekspresi seksual, bahasa tubuh, dan gerak tubuh.
3. Media mengajari orang dan anak-anak bahwa hal-hal ini adalah yang penting daripada
hal-hal penting yang sebenarnya terjadi di dunia.
Sedangkan pendekatan teoritis utama pada gender atau feminisme, yaitu sebagai
berikut:
1. Feminisme liberal memiliki hirauan utama yaitu hak-hak yang sama bagi laki-
laki dan perempuan dengan adanya kebebasan dan kebahagiaan manusia
perorangan. Aliran feminisme Liberal berakar dari filsafat liberalism yang
memiliki konsep bahwa kebebasan merupakan hak setiap individu sehingga ia
harus diberi kebebasan untuk memilih tanpa terkekang oleh pendapat umum dan
hukum. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas.
2. Feminisme marxis/sosialis menggambarkan posisi endah perempuan dalam
struktur ekonomi, sosial, dan politik dari sistem kapitalis, serta adanya analisis
patriarki (pemusatan pada laki-laki). Fokusnya adalah kapitalisme dan patriarki
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak istimewa. Mereka berpendapat
bahwa penghapusan sistem kapitalis merupakan cara agar perempuan mendapat
perlakuan yang sama. Aliran ini memandang masalah perempuan dalam
kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya, sumber penindasan perempuan berasal
dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Status perempuan jatuh karena adanya
konsep kekayaan pribadi (private property) kegiatan produksi yang semula
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan
pertukaran (exchange). Feminisme sosial muncul sebagai kritik terhadap
feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul
sebelum kapitalisme, dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Feminism sosial menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami
penindasan perempuan.
3. Feminisme radikal mengembangkan feminis yang lebih nyata dan lebih
merdeka sepenuhnya sehingga dapat mencegah penyubordinatan gender pada
agenda tradisional. Oleh karenanya mereka menolak setiap kerjasama dan
menjalankan langkah praktis dan teoritis untuk mengembangkan analisis
gender. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap
perempuan terjadi akibat sistem patriarki (sistem yang berpusat pada laki-laki).
Pada pokoknya, aliran ini berupaya menghancurkan sistem patriarki, yang
fokusnya terkait fungsi biologis tubuh perempuan.
4. Feminisme Teologis. Teori ini dikembangkan berdasarkan paham teologi
pembebasan yang menyatakan bahwa system masyarakat dibangun berdasarkan
ideologi, agama, dan norma-norma masyarakat. mereka berpendapat bahwa
penyebab tertindasnya perempuan oleh laki-laki adalah teologi atau ideologi
masyarakat yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki (subordinasi).
5. Ekofeminisme. Aliran ini merupakan jenis feminisme yang menyalahi arus
utama ajaran feminisme, sebab cenderung menerima perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Ekofeminisme mengkritik pemikiran aliran-aliran sebelumnya
yang menggunakan prinsip maskulinitas (ideologi untuk menguasai) dalam
usaha untuk mengakhiri penindasan perempuan akibat sistem patriarki.
Di beberapa negara, tingkat kekuasaan sangat berbeda dan cukup sulit untuk dipahami
secara internal. Tetapi mungkin tidak terlihat oleh orang luar. Misalnya, di Rusia, kekuasaan
cenderung terkonsentrasi di atas. Seperti eksekutif atau pejabat pemerintah yang dapat
merundingkan kesepakatan, hanya untuk dinegosiasikan ulang oleh pejabat tingkat yang lebih
tinggi.
Negosiasi yang kita lakukan mungkin juga berada di bawah pengaruh jarak kekuasaan
yang tinggi, sementara kita mungkin lebih suka berurusan langsung dengan pembuat
keputusan, kita mungkin menemukan bahwa pihak negosiasi yang berurusan dengan kita
hanyalah awal dari rantai orang-orang yang perlu kita tangani. Di negara dengan jarak
kekuasaan yang rendah, negosiator biasanya memiliki wewenang untuk membuat
kesepakatan, dalam budaya jarak kekuasaan yang tinggi, kesepakatan pada akhirnya perlu
diratifikasi oleh seseorang yang lebih tinggi.
2. Individualisme atau Kolektivisme
Orang-orang dalam suatu budaya mungkin menganggap diri mereka sebagai individu
atau sebagai anggota kelompok yang saling terhubung, atau kolektif. Di Amerika Serikat,
orang-orang cenderung memiliki nilai individualism, sementara negara-negara Lingkar
Pasifik, seperti Cina dan Jepang cenderung lebih kolektivis. Tentu proses pemikiran ini
mempengaruhi cara masyarakat diorganisasikan dan keputusan dibuat.
3. Maskulinitas dan Feminitas
Negosiasi budaya dalam maskulinitas dan feminitas ini mengacu pada sejauh mana
masyarakat mendukung apa yang dianggap sebagai karakteristik tradisional atau stereotip
maskulin dan feminin. Misalnya, agresivitas dan persaingan sering dianggap sebagai
karakteristik "laki-laki", sedangkan fokus pada hubungan dan kerja sama adalah karakteristik
"perempuan" tradisional. Banyak negara Skandinavia yang sangat menjunjung tinggi pada
kualitas hidup dalam hubungan, sementara budaya lain, seperti Amerika Serikat dan
Meksiko, cenderung mengadaptasi budaya dalam kompetisi.
Mengenai pentingnya hubungan dalam negosiasi berkarakteristik maskulin dan
feminin dari suatu budaya ikut berperan. Orang-orang dari budaya yang lebih feminin akan
lebih peduli tentang hubungan, dan mungkin juga cenderung lebih kolektivis dalam
pemikiran mereka. Negosiator dari negara yang lebih maskulin mungkin lebih cenderung
menggunakan tawar-menawar distributive, seperti pendekatan negosiasi yang lebih
kompetitif. Budaya Amrerika Serikat lebih cenderung melihat penggunaan kekuasaan dengan
negosiator dari budaya maskulin, mereka mungkin juga mengandalkan aturan daripada
membengkokkannya untuk mencari penyelesaian yang kooperatif.
Negosiasi dengan orang-orang dari negara-negara kolektivis lebih sering terjadi dengan
kelompok, daripada antar individu. Itu sebabnya mengharapkan untuk melakukan negosiasi
satu lawan satu dengan seseorang dari Jepang atau China mungkin tidak realistis. Kita juga
dapat mengharapkan waktu yang lebih lama untuk mencapai konsensus, karena kecepatan
negosiasi akan lebih lambat dalam budaya kolektivis.
4. Penghindaran Ketidakpastian
Penghindaran ketidakpastian mengacu pada sejauh mana seseorang merasa nyaman dengan
situasi yang tidak terstruktur atau tidak pasti. Beberapa budaya tidak nyaman dengan
ambiguitas dalam negosiasi. Sementara orang Amerika cenderung nyaman dengan
ketidakpastian. Karena orang Amerika menganggap negosiasi yang mengandung unsur
ambiguitas itu merupakan suatu hal yang baik-baik saja. Tentu hal ini mempunyai alasan
tersendiri, dimana orang Amerika justru mengharapkan satu atau dua kejutan setelah
negosiasi dilakukan. Sedangkan budaya lain tidak akan nyaman dengan kejutan.
b. Negosiasi budaya dalam dimensi gender dan struktur sosial – Maskulinitas dan
Feminitas
Tampaknya masyarakat ini sudah terkena suatu penyakit bernama “krisis identitas”. Derasnya
informasi yang masuk ke otak manusia telah membuat manusia menyerap aneka pesan yang
mana pesan tersebut lebih cenderung disebut sponsor.Iklan-iklan di media memang bukan
hanya mengajak untuk membeli produk tersebut saja, melainkan mengajak pemirsanya juga
untuk bergaya hidup layaknya model iklan yang ditampilkan. Iklan tersebut telah menjadi
sponsor untuk bergaya hidup ala sang model.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa media, berasal dari bahasa latin,
median, yang merupakan bentuk jamak dari medium secara etimologi yang berarti alat
perantara Media massa diyakini tidak akan menjadi lembaga yang netral. Media massa akan
senantiasa berada dalam tarikmenarik antar berbagai kepentingan yang semuanya bersumber
pada interest politik dan ekonomi. Gender lebih berhubungan dengan perbedaan perempuan
dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial, budaya dan psikologis.
Komunikasi atau kekuatan simbolik berbeda dengan kekuatan jenis lain karena tidak
menggunakan faktor non-material (kepercayaan, rasionalisasi, penghargaan, kasih sayang,
dan lain-lain). Adapun tipe-tipe utama dalam menggunakan kekuatan simbolik pada
kekuasaan komunikasi yaitu dengan cara informasi, menstimulasi aksi, mengarahkan
perhatian secara berbeda, persuasi, mendefinisikan situasi dan memberikan kerangka
terhadap dunia nyata (McQuail, 2011). Media dan gender mengacu pada hubungan antara
media dan gender, dan bagaimana representasi dari berbagai gender diciptakan oleh media
massa.
Ada empat aspek yang mempengaruhi negosiasi budaya menurut Geert Hofstede yaitu
kekuatan jarak, individualisme atau kolektivisme, maskulinitas dan feminitas, dan
penghindaran ketidakpastian. Stereotipe memproyeksikan pola pikir masyarakat pada
perempuan. Kalangan feminis pasca-modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan
tersebut kemudian dibesarkan oleh industri media. Media massa berfungsi menyampaikan
fakta. Karena itu, gambaran perempuan dalam media massa merupakan cermin realitas yang
ada dalam masyarakatnya. Dalam media di Indonesia stereotipe tentang perempuan melekat
dalam berbagai tayangan; dari sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita. Gambaran
tentang perempuan pemarah, pencemburu, pendendam ada dalam tayangan sinetron.
Stereotipe cantik ini tidak hanya terjadi dalam industri periklanan di media, namun telah
menjalar di ruang-ruang redaksi di pemberitaan televisi—stereotipe yang sangat jarang terjadi
di ruang redaksi di media cetak maupun radio. Stereotipe yang berkisar dalam hal kecantikan
inilah yang akhirnya membuat perempuan membenci tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, E. M., & Kolip, U. (2011). Pengantar sosiologi: pemahaman fakta dan gejala
permasalahaan sosial: teori, applikasi dan pemecahannya. Kencana.
Rustan, Ahmad&Hakki Nurhakki. (2017). Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta:
Deepublish
Catur Nugroho. 2018. RELASI KUASA MEDIA DAN ISU GENDER DALAM PROGRAM
TELEVISI DI INDONESIA. ProTVF. 2(2). 111-126
Yuberti. 2015. RELASI GENDER DAN KEKUASAAN DALAM ISLAM INDONESIA.
Jurnal Studi Keislaman. 15(2). 520-548.
Wijayanti, I. (2003). Agresivitas dalam sudut pandang stereotip gender. Jurnal Psikologi
Tabularasa, 1(2).
Farihah, I. (2016). Seksisme perempuan dalam budaya pop media Indonesia. PALASTREN
Jurnal Studi Gender, 6(1), 223-244.
Fitrianti, R., & Habibullah, H. (2012). KETIDAKSETARAAN GENDER DALAM
PENDIDIKAN; Studi Pada Perempuan di Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang. Sosio
Konsepsia: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 17(1), 85-100.
Astuti, Y. D. (2016). Media dan Gender (Studi Deskriptif Representasi Stereotipe Perempuan
dalam Iklan di Televisi Swasta). Profetik: Jurnal Komunikasi, 9(2), 25-32.
Pratama, G. (2020). EKSPLOITASI PEREMPUAN DALAM IKLAN MEDIA MASSA.
Jurnal Rekayasa Teknologi Nusa Putra, 6(2), 10-14.
Jackson R., & Sorensen G. Pengantar Studi Hubungan Internasional. (D. Suryadipura,
Trans). Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Karim, Abdul. Kerangka Studi Feminisme (Model Penelitian Kualitatif tentang Perempuan
dalam Koridor Sosial Keagamaan). Fikrah: Vo.2, No.1, 2014.
Norman K. Denzim dan Yvonna S. Handbook of Qualitative.United Kingdom: SAGE
Publication. 1994.