Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Teori Komunikasi Jurnalistik
Disusun oleh :
KELOMPOK 2
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat hidayah dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Teori Kultivasi
Media” ini dengan baik.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada ibu Nora Melinda Hardi, S.Sos., M.Ikom
selaku dosen mata kuliah Teori Komunikasi Jurnalistik, serta kepada seluruh pihak yang sudah
terlibat dan memberikan kontribusinya selama proses pembuatan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, dengan tangan terbuka kami
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar kami dapat
menyusun makalah dengan lebih baik lagi untuk kedepannya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat berguna serta memberikan
manfaat dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait Teori Kultivasi Media
bagi setiap pembaca.
Tim Penulis.
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Efek komunikasi merupakan setiap perubahan yang terjadi di dalam diri penerima,
karena menerima pesan-pesan dari suatu sumber. Perubahan ini dapat meliputi perubahan
pengetahuan, perubahan sikap, dan perubahan perilaku nyata. Komunikasi dikatakan efektif
apabila ia menghasilkan efek-efek atau perubahan-perubahan sebagai yang diharapkan oleh
sumber, seperti pengetahuan, sikap, dan perilaku, atau ketiganya. Perubahan-perubahan di
pihak penerima ini diketahui dari tanggapan-tanggapan yang diberikan penerima sebagai
umpan balik.
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mendapatkan komunikasi yang efektif maka perlu
dilakukan pemilihan media yang tepat karena setiap jenis media mempunyai kemampuan yang
berlainan dalam menyampaikan informasi, misalnya surat kabar dengan informasi tertulisnya,
radio dengan kekuatan audionya, ataupun televisi dengan kekuatan audio dan videonya serta
media- media lainnya yang memiliki karakter yang berbeda. Berbagai karakter dalam media-
media tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan karakter media
yang berbeda-beda inilah, maka setiap orang yang ingin menyampaikan pesan kepada sasaran
pesan dapat menyesuaikan media apa yang tepat untuk digunakan.
Salah satu media yang sering dimanfaatkan masyarakat untuk menyebarkan dan
mendapatkan Informasi adalah Televisi. Televisi merupakan salah satu media komunikasi
massa yang mempunyai fungsi yaitu; memberi informasi, mendidik, menghibur, dan
mempengaruhi. Untuk masyarakat Indonesia sendiri, TV merupakan media popular yang
umum dimiliki hampir seluruh masyarakat Indonesia. Hampir disetiap sudut kehidupan baik
1
dalam negeri maupun luar negeri, seluruhnya dapat tergambarkan melalui media ini. Orang
dengan mudah menangkap informasi dengan rangkaian audiovisual yang dikemas secara
menarik.
Menurut perspektif kultivasi, televisi menjadi media utama dimana para penontonnya
belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Dengan kata lain, pengetahuan yang
terbangun di benak kita tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi.
Artinya, melalui kontak kita dengan televisi kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-
nilainya, dan adat istiadatnya. Berbicara mengenai kultivasi, perspektif kultivasi pada awal
perkembangannya lebih memfokuskan kajian pada studi televisi dan khalayak. Teori kultivasi
menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-
hari disekitar, tetapi dunia itu sendiri.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu teori komunikasi massa
yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi atau dalam hal ini adalah
televisi dengan tindak kekerasan. Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu
televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu menakutkan”.
Teori kultivasi ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh George Gerbner bersama
dengan rekan-rekannya pada tahun 1969. Goeorge Gerbner merupakan Dekan emiritus dari
Annenberg School for Communication di Universitas Pensylvania Amerika serikat (AS).
Sebagai seorang imigran dari Hongaria yang mempunyai profesi penulis, ia kemudian masuk
sekolah Jurnalistik pada Universitas Berkely. Setelah lulus Bachelor (S1) ia bekerja di San
Fransisco Chronicle. Kemudian kembali ke kampusnya untuk mengambil Program Masters
dan Doctoral (Ph.D).
Riset pertamanya pada awal tahun 1960‐an tentang Proyek Indikator Budaya (Cultural
Indicators Project) untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dimana Gerbner dan
koleganya di Annenberg School for Communication ingin mengetahui dunia nyata seperti apa
yang dibayangkan dan dipersepsikan penonton televisi. Tradisi pengaruh media dalam jangka
waktu panjang dan efek yang tidak langsung menjadi kajiannya. Itu juga bisa dikatakan bahwa
penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”.
Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif di mana
televisi menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya. Teori
kultivasi muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi
yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) dengan kelompok yang
mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga perdebatan antara
kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media
massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan
keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada
tataran sosial-budaya ketimbang individual.
Menurut Signorielli dan Morgan analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari
paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner
3
yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki: a) proses institusional dalam produksi isi media, b)
image (kesan) isi media, dan c) hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan
perilaku khalayak. (Griffin, 2004: 210).
Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat
(heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat
yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi
menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa
lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner berpendapat
bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara
dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengiktannya
bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu
menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu
sama lain.
Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi sebagai media yang mempengaruhi
pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis bergantung kepada
empat tahap proses: a) Message system analysis yang menganalisis isi program televise; b)
Formulation of question about viewers’ sosial realities yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan
seputar realitas sosial penonton televise; c) Survey the audience yaitu menanyakan kepada
mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari media; dan d) Membandingkan realitas sosial
antara penonton berat dan orang yang jarang menonton televisi.
Di antara berbagai teori dampak media jangka panjang, cultivation analysis merupakan
teori yang menonjol. Gerbner menyatakan bahwa televisi sebagai salah satu media modern,
telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian penting dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat, sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita dengan cara menggantikan
4
pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya. Teori
kultivasi melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan menemukan bahwa penonton
televisi dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan seberapa banyak
mereka menontonnya.
George Gerbner menyatakan bahwa TV menyajikan kepada penonton suatu cara yang
sama dalam memandang dunia, sebagaimana dia kemukakan: Televisi adalah sistem
penceritaan yang terpusat. Televisi telah menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita.
Drama, iklan, berita, dan program lainnya menyajikan dunia gambar dan dunia pesan yang
sama relatif menyatu ke dalam setiap rumah. Televisi sejak awal menanamkan kecenderungan
dan preferensi yang diperolehnya dari sumber utama lainnya. Pola mengulang-ulang pesan dan
gambar produksi massal televisi membentuk arus utama dari lingkungan simbolik bersama.
Gerbner menyebut efek TV ini sebagai kultivasi atau cultivation, istilah yang pertama
kali dikemukakannya pada tahun 1996. TV dengan segala pesan dan gambar yang disajikannya
merupakan proses atau upaya untuk ‘menanamkan’ cara pandang yang sama terhadap realitas
dunia kepada khalayak. TV dipercaya sebagai instrumen atau agen yang mampu menjadikan
masyarakat dan budaya bersifat homogen.
Teori kultivasi disebut juga analisis kultivasi, adalah teori yang memperkirakan dan
menjelaskan pembentukan persepsi, pengertian, dan kepercayaan mengenai dunia sebagai hasil
dari mengonsumsi pesan media dalam jangka panjang.
a. Televisi merupakan media yang unik. Televisi membawa pesan visual dan audio
sekaligus, sehingga lebih impresif. Aspek unik lainnya, televisi bersifat Pervasive,
menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga. Sebagai contoh di Amerika Serikat,
5
pada tahun 1950, hanya 9% keluarga yang memiliki pesawat televisi, tetapi pada tahun
1991 jumlahnya telah melonjak menjadi 98.3%. dari jumlah itu, lebih dari 2/3-nya
memiliki lebih dari satu pesawat. Pada tahun 2001, lebih dari 99% keluarga Amerika
memiliki pesawat televisi. Televisi juga bersifatAssesible, yakni dapat diakses tanpa
memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain). Selain itu, televisi bersifat
coherent, karena mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat
melintasi program dan waktu.
b. Televisi membentuk budaya mainstream. Kita tak bisa menyangkal, tren budaya di
mana pun selalu disebarkan melalui televisi. Orang bergaul, berpakaian, atau memilih
selera makan kini dibentuk oleh televisi. Budaya global, yang berlaku di Negara mana
pun, sejatinya berasal dari isi siaran televisi. Gerbner dan kawan-kawan
memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan
dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan sebagai
kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat
tentang dunia di sekitar mereka (Tv Stabilize and homogenize views within a society).
Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian
membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam
menjadi pandangan mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan
pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang
di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
c. Televisi menanamkan asumsi tentang hidup secara luas, ketimbang memberikan opini
dan sikap yang lebih spesifik. Televisi memang bicara banyak, tetapi menghindari
detail. Televisi lebih mengikuti tren ketimbang terfokus pada sebuah isu yang
sebetulnya lebih relevan untuk disiarkan.
d. Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin
kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial.
Dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang
disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan kata lain, penonton mempersepsi
apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak
menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih
cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat). Hasil
pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan
bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai
tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray world) ketimbang
6
kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean and
world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa
dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di mana sulit ditemukan orang
yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang di sekeliling kita yang dapat
membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan
dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar
belakang demografis di antara mereka.
e. Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber
informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal),
sementara penonton berat (heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai
sumber informasi mereka.
f. Perkembangan teknologi baru memrpekuat pengaruh televisi. Asumsi terakhir
menyatakan bahwa pembangunan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi.
Asumsi ini diajukan Gerbner pada tahun 1990 setelah menyaksikan perkembangan
teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi ini mengandung keyakinan bahwa
teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media,
malahan pada kenyataannya akan meneguhkan dan memperkuat.
7
Teori kultivasi memperkirakan serta menjelaskan pembentukan persepsi, pengertian, serta
kepercayaan seseorang mengenai dunia, sebagai hasil dari konsumsi pesan media yang
berkepanjangan.
Bukti utama asumsi cultivation analysis diperkuat oleh studi analisis isi pesan televisi di
Amerika. Analisis itu dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang
konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan
kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Isu ini memberikan pelajaran tentang hal-hal
yang diharapkan dari kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si
miskin, kaum wanita dan minoritas rasial, (Mc Quail, 1987:254).
Teori Kultivasi bersifat menegaskan bahwa efek yang ditimbulkan oleh media lebih bersifat
kumulatif dan berdampak pada sosial budaya daripada individu.
Teori ini secara keilmuan menunjukkan bahwa televisi yang menjadi media memengaruhi
pandangan atau perspektif publik terhadap kehidupan nyata atau realitas sosial. Meski awalnya
teori kultivasi hanya diperuntukkan bagi media televisi. Kini, teori kultivasi juga sering dipakai
untuk mengkaji media lainnya, seperti Youtube dan video game.
Teori kultivasi memusatkan perhatian pada dampak menonton tayangan televisi pada perilaku
penonton televisi dalam jangka waktu yang panjang. Teori ini beranggapan bahwa manusia
8
yang selalu menonton tayangan tertentu dengan waktu yang lama maka akan memiliki sebuah
pemahaman bahwa dunia di sekelilingnya seperti yang ditayangkan di televisi.
Contoh Kasus
Misalnya saja seseorang yang selalu menonton acara-acara yang mengandung tayangan
kekerasan (baik film maupun berita) dengan durasi lama dan frekuensi yang sering, maka akan
memiliki pola pikir bahwa perilaku kekerasan seperti yang ditunjukkan di televisi
mencerminkan kejadian di sekitarnya. Kekerasan yang dipresentasikan di televisi dianggap
sebagai kekerasan yang terjadi di dunia.
Aplikasi teori kultivasi yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari – hari seperti takut berjalan
sendirian di malam hari. Seperti yang ada dalam sinetron kebanyakan. Sinetron ini
menunjukkan bahwa wanita yang berjalan sendirian di malam hari, cenderung akan
menimbulkan kriminalitas, dimana korbannya adalah wanita itu sendiri. Hal ini disebabkan
karena heavy viewer mempresepsikan tayangan di televisi secara berlebihan. Padahal,
sebenarnya kemungkinan hal itu terjadi di dunia nyata adalah kecil. Kesimpulan ini diambil
karena wanita lebih cenderung menjadi heavy view yang menonton sinetron, sehingga
kebanyakan wanita akan lebih takut untuk berjalan sendirian dari pada pria.
Contoh lainnya adalah seorang heavy viewer yang gemar menonton film thriller dari kecil,
cenderung akan memiliki jiwa psikopat. Dia akan meyakini bahwa film – film yang
ditontonnya adalah realitas kehidupan, dimana keadilan hanya akan bisa ditegakkan dengan
kekerasan. Oleh karena itu, apa yang dipercayainya dari film tersebut, kemungkinan besar akan
diterapkan di kehidupannya.
Apakah teori tersebut masih relavan membedah kajian komunikasi pada saat ini?
Ya, tentu saja teori kultivasi media masih relevan untuk digunakan bahkan pada saat ini.
Karena pada intinya teori kultivasi merupakan teori yang menjelaskan keterkaitan antara
media komunikasi dengan pembentukan atau membangunnya rasa keyakinan atau persepsi
yang berlebihan kepada konsumennya. Selanjutnya dikatakan relevan juga karena dilansir dari
web katadata.co.id, persentase pada 2020 lebih besar, yaitu 76 persen, media sosial masih
unggul sebagai sumber untuk mendapatkan informasi. Sumber yang paling sering diakses
9
kedua adalah televisi. Persentasenya sebesar 59,7 persen pada 2021 dan 59,5 persen pada 2020.
Yang ketiga, diikuti oleh berita online sebesar 26,7 persen pada 2021 dan 25,2 persen pada
2020. Artinya rata rata kebanyakan maasyarakat masih menggunakan media ,dan media
tersebut menjadi informasi yang dipegang dan dapat mengubah keyakinan atau persepsi ketika
konsumen media atau komunikan menerima informasi dari media.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori Kultivasi lahir dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan
komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) dengan
kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga
perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan
kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul
untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih
berdampak pada tataran sosial-budaya ketimbang individual.
Teori kultivasi ini banyak dipakai dalam penelitian oleh para peneliti yang ingin
mengetahui dampak dari Televisi yang merupakan bentuk media massa. Walaupun secara
umum tayangan televisi mampu mempengaruhi perilaku penonton sebagaimana yang
disampaikan oleh teori ini, namun semua itu juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh sebab
itu faktor-faktor lain itu perlu menjadi pertimbangan dalam membuat sebuah pernyataan bahwa
perilaku khalayak tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh tayangan yang ia tonton. Ini artinya
penggunaan teori kultivasi media untuk membedah kajian terkait komunikasi masih relevan
pada saat ini. Salah satu sebabnya adalah rata rata kebanyakan maasyarakat masih
menggunakan media ,dan media tersebut menjadi informasi yang dipegang dan dapat
mengubah keyakinan atau persepsi ketika konsumen media atau komunikan menerima
informasi dari media.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, D., dan Nova Y, (2005), Kekerasan di Televisi; Perspektif Kultivas, Jurnal Penelitian.
Jakarta: Dirjen Dikti.
Alfirahmi et al. (2018). Fenomena Fidget Spinner Ditinjau Dari Sudut Pandang Konsumerisme
dan Kultivasi Media Dengan Pendekatan Analisis Konten. Jurnal Lugas, 2 (1), 35-36.
H. A. Saefudin dan Antar Venus. (2007). Cultivation Theory, Mediator, 8 (1), 83-84.
Junaidi. (2018). Mengenal Teori Kultivasi dalam Ilmu Komunikasi Cultivation Theory in
Communication Science, Jurnal Simbolika April. 4(1), 42–51.
Junaidi. (2018). Teori Kultivasi dalam Ilmu Komunikasi, Simbolika, 4 (1), 43-44.
12