Anda di halaman 1dari 46

Makalah Komunikasi Massa

Media Massa dan Dakwah Islam

DOSEN PENGAMPU :

Dr., Elfiandri, M.Si

DISUSUN OLEH :

Desi Firi Rahayu (12240322740)

Nabila Siva Ariun (12240322731)

Natasya Putri Ayu (12240320316)

Puja Sari Asih Nasution (12240320312)

Putri Sartika (12240323890)

Rachel Saydina Putri (12240321839)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

(2022/2023)

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat


rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul “Media Massa dan
Dakwah Islam“ dapat selesai.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas pada mata kuliah
Komunikasi Massa. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah
wawasan kepada pembaca tentang media massa dan kegiatan dakwah islam serta
hubungan media massa dan dakwah islam

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Elfiandri,


M.Si , selaku dosen mata kuliah Komunikasi Massa. Berkat tugas yang diberikan
ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak
yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih


melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas
kesalahan dan ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini.
Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila
menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Pekanbaru, April 2023

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah..................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................5

BAB II. PEMBAHASAN

A. Media Massa..........................................................................................6
B. Efek Media Massa..................................................................................9
C. Agama di Media Massa........................................................................15
D. Agama Sebagai Salah Satu Sumber Eksistensi Media.........................18
E. Pengertian Dakwah..............................................................................20
F. Macam-Macam Media yang Digunakan Untuk
Berdakwah............................................................................................21
G. Kegiatan Dakwah.................................................................................24
H. Dakwah dan Media Massa...................................................................27
I. Memahami Islam Melalui Dakwah Islam di Media Massa.................33
J. Masyarakat Sebagai Mad‟u Dakwah dan Komunikan Komunikasi
Massa...................................................................................................36
K. Islam dan Media Indonesia..................................................................38

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan..........................................................................................42

3.2 Saran....................................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................44

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi dakwah yaitu suatu komunikasi yang memiliki khas dimana


seseorang komunikator menyampaikan pesan yang bersumber dengan ajaran al
Qur‟an dan Sunnah, dengan memiliki tujuan agar orang lain dapat berbuat amal
sholeh sesuai dengan pesan yang disampaikan. Dari proses komunikasi dakwah
hampir sama dengan komunikasi pada biasanya, tetapi ada yang membedakannya
yaitu pada cara dan tujuan yang akan dicapai,kegiatan dakwah atau berceramah
dilakukan sering kali terdengar monoton, hal tersebut dikarenakan kegiatan
dakwah atau berceramah yang disampaikan dengan gaya bicara atau metode yang
monoton pula. Maka dari itu seorang pelaku dakwah harus mengaplikasikan
retorika dalam kegiatan dakwahnya. Kegiatan dakwah dapat dikatakan sebagai
kegiatan komunikasi karena dakwah merupakan kegiatan menyampaikan,
mengajak, menyeruh pesan-pesan agama kepada perorangan atau sekelompok
orang dengan tujuan menyiarkan ajaran Islam.Penyampaian dakwah yang paling
banyak pada saat ini yaitu penyampaian dakwah yang disampaikan secara lisan,
yakni melalui ceramah atau pidato pada pengajian.

Penyampaian pesan melalui ceramah juga banyak digunakan baik melalui


media radio maupun televisi. Dakwah dengan menggunakan metode ceramah,
haruslah disampaikan dengan cara yang efektif sehingga dapat diterima oleh
sasaran dakwah dan tidak terjadi kesalah fahaman dalam menerima isi dari pesan
dakwah yang disampaikan. Untuk mewujudkan hal tersebut maka para juru
dakwah perluuntuk mengetahui dan menguasai ilmu retorika.

Media massa memiliki peranan yang cukup penting dalam penyebaran


dakwah Islam. Kegiatan dakwah mengharuskan pendekatan terhadap komunikasi
khususnya melalui media. Kegiatan aktivitas dakwah melalui media mengeluh
mengalami perkembangan yang cukup pesat yang kini merambah pada dunia
maya teknologi modern seperti internet. Perkembangan teknologi informasi telah

4
membuat kan berbagai macam bahan media komunikasi massa dari koran radio
televisi dan terakhir adalah internet munculnya media massa melalui internet juga
dapat menimbulkan dampak positif di bidang dakwah kini bukan hanya Harus
Bertemu secara langsung tapi dengan adanya media massa berdakwah menjadi
lebih mudah dengan memanfaatkan teknologi yang ada seperti membuat sebuah
konten dakwah lalu dipublikasikan di internet contohnya pada Instagram
Facebook Tiktok YouTube dan lain lain

B. Rumusan masalah

1. Apa itu media massa?


2. Bagaiamana efek media massa?
3. Bagaimana kesan agama di media massa?
4. Apa itu pengertian dakwah?
5. Bagaimana hubungan dakwah dan media massa?
6. Bagaimana memahami islam memalui dakwa islam di media
massa?

C. Tujuan masalah

1. Untuk mengetahui apa aitu media massa.


2. Untuk mengetahui bagaimana efek media massa.
3. Untuk mengetahui agama sebagai salah satu sumber eksistensi
media.
4. Untuk mengetahui kesan agama di media massa.
5. Untuk memahami islam melalui dakwah islam di media massa.
6. Untuk mengetahui definisi dakwah, macam-macam media dakwah
dan kegiatan dakwah.
7. Untuk mengetahui bagaimana media massa dan islam di Indonesia

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Media Massa

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan
dari komunikator kepada khalayak. Istilah "massa" mengacu pada kolektivitas
tanpa bentuk, yang komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Menurut kamus
bahasa Inggris ringkas memberikan definisi "massa" sebagai suatu kumpulam
orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas".

Jika khalayak tersebar tanpa diketahui dimana mereka berada, maka


biasanya digunakan media massa. Media massa adalah alat yang digunakan dalam
penyampaian pesan dari sumber ke penerima dengan menggunakan alat-alat
komunikas mekanus seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Adapun
karakteristik media massa menurut Hafied Cangara adalah:

1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari


banyak orang, yaku mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian
informasi.

2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang


memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalau toh terjadi
reaks atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.

3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatas rintangan waktu dan jarak.
karena ia memiliki kecepatan bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi
yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama.

4. Memakai peralatan teknus atau mekanis, seperti radio, televisi, film dan
semacamnya.

5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh sapa saja dan dimana
saja tanpa mengenal usa, jenis kelamin, dan suku bangsa.

6
Jadi, media massa adalah industri dan teknologi komunikasi yang
mencakup surat kabar, majalah. radio, televisi dan film. Istilah 'massa' mengacu
pada kemampuan teknologi komunikasi untuk mengirimkan pesan melalu ruang
dan waktu dan menjangkau banyak orang. 1

Sekarang kita memasuki era teknologi dan informasi, yang mana


perkembangan teknologi dan informasi telah menjadikan dunia saat ini seperti
“tanpa penghalang,” atau dengan kata lain dunia bisa di katakan sebuah “desa
kecil.” Arus informasi bisa memasuki rumah dan kamar-kamar manusia di
manapun manusia berada. Bahkan mengalir begitu saja tanpa ada yang mampu
untuk menghalanginya. Perkembangan tersebut tentunya menjadikan manusia
semakin dimanjakan dengan segala yang ada pada abad-abad terakhir ini.

Manusia bisa menonton siaran langsung dari belahan dunia manapun, bisa
mengakses informasi apapun dan mampu berkomunikasi dengan siapapun di
belahan dunia lain. Perkembangan yang begitu pesan tersebut tentunya banyak
efek, positif maupun negatif, sadar atau tak sadar, manusia sekan-akan dibawa
kepada dunia yang kalau boleh dikatakan “dunia yang di kendalikan oleh media
itu sendiri”.Sebelum kita mendefinisikan apa itu media massa terlebih dahulu kita
bahas tentang apa itu komunikasi massa. Karena media massa dan komunikasi
massa adalah satu paket tak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang yang
keberadaanya selalu bersamaan.

Banyak sekali para pakar komunikasi yang mencoba mendefinisikan apa


itu komunikasi massa. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya.
Diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Nabel Jurdi dlam bukunya Readings
in Mass Comunication disebutkan bahwa in mass communication, there in mo
face to face contac (dalam komunikasi massa tidak ada tatap muka antar penerima
pesan).

Alexis S.Tan, berpendapat bahwa dalam komunikasi massa itu


komunikatornya adalah organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan

1
Hamdani Thaha, “Media Massa Dan Masyarakat,” Al-Tajdid I, no. 1 (2003): 60-61.

7
mengirimkannya secara serempak kesejumlah orang banyalk yang terpisah.
Komunikator dalam komunikasi massa biasanya media massa (surat kabar,
majalah penerbit buku, stasiun atau jaringan TV). Itu berarti komunikatornya
bukan orang per orang seperti seorang wartawan misalnya. Wartawan merupakan
salah satu bagian dari sebuah lembaga. Wartawan sendiri bukan seorang
komunikator dalam komunikasi massa. Ia adalah orang yang sudah
terinstitusikan/dikembagakan (institusionalized person) artinya berbagai sikap dan
prilaku wartawan sudah diatur dan harus tunduk pada sistem yang sudah
diciptakan dalam saluran komunikasi massa tersebut.2

Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa


(media cetak dan elektronik). Sebab, awal perkembangannya saja, komunikasi
massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media
komunikasi massa). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Burhan Mungin
dalam sosiologi komunikasi, beliau berkata “komunikasi massa adalah proses
komunikasi yang dilakukan melalui media massa dengan berbagai tujuan
komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas.”3 Baik itu
melalui televisi, koran, majalah , radio dan yang lagi tren sekarang ini yaitu
melalui media internet.

Setelah kita mengetahui apa itu komunikasi massa maka kita bisa tahu
bahwa komunikasi massa tidak mungkin terjadi tanpa adanya sebuah media
penyalur. Baik itu dalam bentuk majalah, koran, televisi maupun internet.
Sehingga bisa dikatakan bahwa media massa adalah media komunikasi dan
informasi yang melakukan penyebaran informasi secara masal dan dapat diakses
oleh masyarakat secara masal pula.4 Sehingga informasi yang dihasilkan oleh
media massa dinamakan informasi massa maksudnya informasi yang
diperuntukan kepada masyarakat secara masal, bukan informasi yang hanya boleh
dikonsumsi oleh pribadi.

2
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hal.20
3
Burhan Mungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2008), hal.71
4
Ibid., hal.72

8
Perkembangan teknologi informasi telah membuahkan berbagai macam
alat media komunikasi massa. Mulai dari koran, radio dan televisi dan yang
terakhir adalah internet. Munculnya media massa melalui internet ini tidak saja
mampu menciptakan masyarakat dunia global, namun secara materi mampu
mengembangkan ruang gerak kehidupan baru bagi masyarakat, sehingga tanpa
disadari komunitas manusia telah hidup dalam dua dunia kehidupan, yaitu
kehidupan masyarakat yang nyata dan kehidupan masyarakat maya
(cybercommunity).

B. Efek Media Massa

Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif dan
konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan
pengetahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude
(sikap). Sedangkang efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk
melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Meskipun dimensi-dimensi efek ini
berhubungan satu sama lain, ketiganya juga independen satu sama lain. Sebagai
contoh meningkatnya pengetahuan tentang suatu isu tidak selalu diikuti oleh
perubahan attitude.

Dalam hampir seluruh tindakan komunikasi, efek yang sangat dikehendaki


ialah yang bertalian dengan belajar, sikap dan perilaku. Survey kowledge, attitude,
and Practice (KAP) yang banyak dilakukan oleh badan- badan bantuan
internasional biasanya berkaitan juga dengan efek-efek ini. Komunikasi dapat
menimbulkan efek yang berbeda-beda. Orang-orang tertentu mungkin belajar
lebih banyak daripada yang lain, dan dalam difusi inovasi, sejumlah kecil orang
cenderung untuk mengadopsi inovasi lebih dahulu dari pada yang lainnya.
Perbedaan dalam tambahan pengetahuan, attitude, dan perubahan perilaku dapat
menimbulkan “kesenjangan efek komunikasi”. Perbedaan-perbedaan dalam
belajar diantara bebagai segmen khalayak telah diketahui dalam studi-studi awal
komunikasi. Sebagai contoh, Hyman dan Sheatsley menulis tentang orang-orang

9
yang selalu tidak tahu apa-apa dalam review mereka tentang kampanye-kampanye
informasi publik.

Minat pada belajar diferensial hidup kembali ketika Tichenor dan kawan-
kawannya mengusulkan “hipotesis kesenjangan pengetahuan”. Mereka
menjelaskan bahwa “ketika informasi yang masuk melalui media massa ke dalam
suatu sistem sosial meningkat, segmen-segmen populasi itu dengan status sosial
ekonomi yang lebih tinggi cenderung untuk memperoleh informasi ini lebih cepat
daripada segmen-segmen yang status sosial ekonominya lebih rendah, sehingga
kesenjangan dalam pengetahuan di antara segmen-segmen ini cenderung
meningkat daripada berkurang”.

Kesenjangan pengetahuan ini tidak bersifat absolut, melainkan relatif.


Kelompok-kelompok dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah tidaklah
sepenuhnya tidak memiliki informasi, tetapi cenderung kurang tahu daripada
kelompok-kelompok yang status sosial ekonominya lebih tinggi. Ketika
kesenjangan pada satu topik informasi tertutup, kesenjangan baru mungkin
terbentuk pada isu-isu yang lain, yang kelompok berstatus sosial ekonomi lebih
tinggi memiliki akses yang lebih baik dari sumber-sumber informasi yang
menyangkut isu tersebut.

Menurut Tichenor, kesenjangan efek komunikasi terjadi karena: 1)


Perbedaan tingkat keterampilan berkomunikasi diantara segmen suatu khalayak
secara keseluruhan, 2) Tingkat pengetahuan tentang isu yang dikuasai
sebelumnya, 3) Kontak sosial yang relevan dengan orang-orang yang memiliki
lebih banyak informasi, 4) Persepsi selektif, 5) Kerelevanan fungsional dan
utilitas, 6) Akses yang berbeda pada sumber daya yang terbatas, 7) Bias urban
pada media massa, 8) Bantuan yang tidak memadai dari badan yang melakukan
intervensi sosial, 9) Kurangnya partisipasi dari khalayak sasaran dalam pembuatan
keputusan dan implementasi keputusan tersbut, dan 10) Perbedaan pendidikan,
minat, atau motivasi.

10
Pendidikan tampaknya menjadi suatu faktor yang menentukan dalam
mendapatkan pengetahuan. Ia juga melengkapi segmen tertentu khalayak dengan
keterampilan berkomunikasi yang diperlukan . Penggunaan media yang tinggi
juga melengkapi mereka dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dalam
beberapa topik. Dengan demikian proses atensi, komprehensif dan retensi yang
selektif selain anggapan mereka tentang penggunaan inovasi, memberikan
kontribusi pada perbedaan pengetahuan, attitude, dan perilaku khalayak.

Dimensi efek komunikasi melalui media massa dapat juga ditinjau dari
dimensi lain, yaitu: a) Langsung atau kondisional, b) Spesifik-isi atau umum-
menyebar, c) Perubahan atau stabilitas, d) Kumulatif atau non kumulatif. e)
Jangka pendek atau panjang, f) Mikro atau makro, dan g) Efek prososial atau
antisosial.

Pendapat umum tentang suatu efek komunikasi ialah suatu respon yang
langsung, isomorfik atau satu demi satu. Dalam komunikasi media massa, hal ini
menunjukkan juga suatu dampak yang segera, yang sama kemungkinannya untuk
setiap orang dalam suatu khalayak, seperti pada teori peluru atau jarum suntik.
Efek mungkin spesifik sesuai dengan isi pesan atau menyebar. Peneliti dapat
mempelajari efek program televisi untuk anak-anak, seperti Sesame Street di
Amerika Latin dan mennetukan bagaimana program itu telah mempengaruhi
kemampuan membaca dan menulis dan juga berhitung di antara penonton-
penonton muda itu. Selain itu riset dapat juga bersifat lebih umum, speerti
penelitian tentang dampak sosial penggunaan radio dan televisi melalui satelit di
India dan Indonesia. Misalnya, dari penelitian semacam itu diketahui bahwa
jadwal siaran televisi menimbulkan konflik dengan waktu shalat dan waktu
belajar.

Media massa sering digunakan untuk menimbulkan perubahan, yang


melibatkan difusi atau suatu inovasi atau tipe lain program intervensi sosial. Di
pihak lain, beberapa peneliti menggarisbawahi fungsi konservatif media massa.
Mereka mengungkapkan bahwa fungsi media massa yang lebih umum ialah untuk

11
memperkuat kepercayaan yang telah ada, attitude, dan cara mengerjakan sesuatu,
daripada mendorong perubahan. Dalam melaporkan berita, beberapa peneliti
berpendapat bahwa kadang kala media mendorong informasi yang memiliki
potensi merusak.

Beberapa peneliti mencoba menentukan apakah efek media kumulatif atau


tidak. Sebagai contoh, terlalu banyak menonton televisi mengarah pada timbulnya
gambaran tentang dunia yang menakutkan. Proses inilah yang mereka sebut
sebagai mainstreaming, yang menunjukkan bahwa televisi dapat mengembangkan
konsepsi realitas di antara kelompok khalayak yang berbeda.

Suatu dimensi yang juga ada hubungannya ialah apakah efek tersebut
jangka pendek atau jangka panjang. Dalam studi televisi di Samoa Amerika,
peneliti menemukan efek belajar jangka panjang di kalangan para pelajar, selain
perilaku meniru. Kondisi personal dan struktural yang menyebabkan macam
belajar dan modifikasi perilaku ini terjadi perlu dipelajari juga. Efek media massa
juga dapat dipandang dari suatu sudut mikro, yang individu dalam suatu
masyarakatnya, dijadikan unit pengamatan, atau dari sudut makro, yang isu-isu
seperti pemilikan media massa dan peliputan berita, penggunaan televisi dan
radio, produksi surat kabar dijadikan unit pengamatan.

Efek antisosial media massa lebih sering ditekankan daripada efek


prososial mereka. Kekerasan dalam televisi Amerika Serikat dan efeknya pada
keagresifan anak-anak mendapat lebih banyak publisitas daripada efek belajar
program pendidikan seperti Sesame Street atau dramatisasi seperti Roots atau The
Day After sekalipun.

Media juga memiliki efek fisik, dimana media memperkenalkan alat- alat
baru rumah tangga di mana-mana di dunia, dari masa kecil seperti radio dan
perekam kaset video, sampai kepada media besar seperti satelit. Di samping itu,
media massa baru menggabungkan beberapa teknologi yang sudah ada. Teleteks
menggunakan sinyal televisi untuk menyiarkan informasi kepada penerima
khusus, sedangkan videoteks menggabungkan teknologi telepon dan komputer.

12
Sementara itu, satelit memperlancar transmisi informasi ke wilayah yang sangat
luas. Media baru ini memiliki potensi untuk membantu pelaksanaan tugas-tugas
pembangunan jika digunakan secara selektif dan tepat. Ada juga efek psikologis
komunikasi massa, seperti kepuasan yang diperoleh dari berbagai penggunaan
media massa.

Di sisi lain terdapat konsekuensi kultural dan psikologis yang negatif dari
media massa, yang merupakan ancaman terhadap kualitas kehidupan individual
modern. Terlepas dari pengaruh positif dan negatif, pada intinya media massa
telah menjadi cerminan budaya tontonan bagi masyarakat dalam era informasi dan
komunikasi yang semakin berkembang pesat. Karena media massa menciptakan
suatu situasi dimana khalayak secara serempak memperhatikan pesan.

Terdapat sejumlah cara yang ditempuh oleh media massa untuk membuat
kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah bagi kita. Pertama, media massa
memberitahukan dan membantu kita mengamati dunia kita, media melakukan
fungsi pengawasan. Media menyediakan berita, informasi dan peringatan yang
kita butuhkan untuk membuat keputusan yang trinformasi. Media juga
memberitahukan kita mengenai keadaan dan kejadian yang dengan cepat.

Kedua, media massa mengatur agenda kita dan membantu menyusun


kehidupan kita. Ketiga, media massa membantu kita berhubungan dengan
bermacam-macam kelompok dan golongan dalam masyarakat. Keempat, media
massa membantu untuk mensosialisasikan kita. Melalui media massa kita
menambah apa yang susdah dipelajari mengenai perilaku dan nilai-nilai dalam
pertemuan langsung dengan orang lain, media mengajar kita norma- norma dan
nilai-nilai dan berperan serta dalam sosialisasi kita. Kelima, media massa
digunakan untuk mengajak kita dan untuk memanfaatkan sumber- sumber pesan.
Keenam, media massa adalah menghibur. Efek terpenting dari media massa
adalah memperkuat sikap-sikap dan pendapat yang telah ada. Media massa juga
berfungsi memantau aktivitas pemerintah.

13
Dari beberapa efek positif yang ditimbulkan media massa di atas, maka
dapat disimpulkan fungsi dari media itu sendiri, antara lain:

1. Media dapat menghibur, mendidik, kontrol sosial, sebagai bahan informasi.


2. Media massa bisa berguna bagi pendidikan dan pengembangan intelegensia.
3. Peran media mencirikan bahwa proses interaksi manusia merupakan hal
terpenting dalam masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan terhadap
informasi yang berkembang.

4. The surveilance of the environment, yaitu mengamati lingkungan.

5. The correlation of the part of society in responding to the environment,


yaitu mengadakan korelasi antara informasi data yang diperoleh dengan
kebutuhan khalayak sasaran, karena komunikator lebih menekankan pada
seleksi evaluasi dan interpretasi.

6. Transmission of the social heritage from one generation to the next,


maksudnya ialah menyalurkan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya

7. Efek ekonomis, sosial, penjadwalan kegiatan, penyalur/penghilangan


perasaan tertentu, perasaan orang terhadap media. Disamping efek positif yang
ditimbulkan media massa terdapat pula efek negatif dari media massa antara
lain:

a. Kehadiran media massa dapat membentuk tindakan seseorang keluar dari


kebiasaannya.

b. Media dapat mengancam nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. c.


Media dipandang sebagai ancaman, seperti meningkatkan pengangguran,
meningkatkan kontrol dan pengawasan terhadap rakyat.

d. Media merupakan faktor pengubah tatanan masyarakat. e. Media mengajak


manusia mengganti kehidupan rilnya yang membosankan dengan sebuah
pengalaman yang berantakan.

14
f. Media mengubah pengalaman dan pemahaman diri manusia secara
mendasar.

g. Media dapat mempengaruhi karakter keseluruhan para remaja. h. Media


melaporkan dunia nyata secara selektif yang mempengaruhi pembentukan
citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias dan tidak cermat.5

C. Agama di Media Massa

Agama dalam pengertian luas dipahami sebagai seperangkat kepercayaan


atau keyakinan yang memberi bimbingan terhadap seseorang dalam melakukan
tindakan-tindakan tertentu. Melalui pengertian ini, agama dimiliki oleh hampir
semua manusia bahkan mereka yang dianggap atheis. Hal ini karena secara
sosiologis manusia akan mengalami situasi di mana pengetahuan dan teknologi
yang dimiliki tidak mampu mengatasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan
yang dihadapi. Dalam situasi ini, manusia membutuhkan suatu nilai yang mampu
mengatasi keterbatasan-keterbatasan sosiologis tersebut dengan cara-cara di luar
mekanisme pengetahuan dan teknologi, tetapi melalui proses transendensi. Di
sinilah agama hadir sebagai nilai-nilai yang mentransendensikan kehidupan
manusia.

Proses transendensi agama pada diri seseorang atau kelompok berlangsung


subyektif dan berkarakter lokal. Hal ini terjadi karena pengalaman-pengalaman
keagamaan sebagai pangkal proses transendensi terjadi pada level individu atau
kelompok yang terbentuk secara eksklusif. Subjektivitas inilah yang kemudian
menjadikan konstruk agama pada level individu atau kelompok eksklusif bersifat
mutlak. Pada level ini, agama lebih bermakna spiritualitas yang menjadi basis bagi
individu atau kelompok dalam melakukan tindakan-tindakan.

Pada saat agama sebagai spiritual bertemu dengan konstruk agama lain
terutama dalam hubungan yang bersifat konfliktual, agama mentransformasikan
diri sebagai kekuatan ideologis. Implikasinya agama menjadi anti kritik yang

5
Hamdani Thaha, Op.cit., hlm. 61-66

15
berpotensi meningkatkan sensitivitas nilai-nilai yang dikandungnya. Dalam
konteks inilah agama rentan dijadikan sebagai pemicu atas situasi sosial politik
yang secara substantif keduanya tidak memiliki hubungan apapun.

Perkembangan ke arah ideologi ini secara ekonomi-politik memberikan


peluang kepada kelompok tertentu untuk memposisikan agama sebagai “amunisi”
dan komoditas yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Isu-isu sosial-politik yang
dikemas dalam paket agama mendapat perhatian masyarakat secara luas dan
memberikan efek ketegangan yang besar. Keterlibatan emosi dan perasaan
ideologis yang sama diduga menjadi alasan utama masyarakat mengambil bagian
dari perkembangan isu agama ini.

Potensi keterlibatan masyarakat yang besar ini bagi media massa sangat
menarik. Hal ini karena media massa menempatkan masyarakat sebagai klien
utama dan menjadi bagian strategis dari pengembangan kelembagaannya. Dengan
kata lain, masyarakat adalah segala- galanya dan keberadaannya terutama sebagai
klien atau pembaca akan memberikan jaminan pada satu media atas eksistensinya
sebagai media publik.

Dengan pola kepentingan ini, masyarakat bagi media sesungguhnya


ditempatkan lebih sebagai penjamin eksistensi. Penjaminan ini akan memberikan
dampak yang besar bagi media dalam menjalankan praktik-praktik bisnisnya.
Media massa dengan klaim pembaca besar yang berskala nasional akan
menawarkan ruang publikasinya (iklan) lebih mahal dibanding dengan media
dengan pembaca relatif kecil dan berskala lokal. Potensi bisnis yang mendasarkan
pada kalkulasi kuantitas pembaca ini menuntut media massa mengembangkan
segmentasinya pada berbagai lapisan dan kelompok masyarakat. Salah satu cara
yang lazim digunakan adalah mobilisasi melalui pengembangan opini yang
dikemas agar terlihat memiliki kedekatan (proximity) dengan kelompok sasaran.
Kedekatan opini dengan pembaca ini secara ekonomi politik tidak
merepresentasikan ideologi keberpihakkan media, tetapi lebih sebagai strategi
pengembangan pasar.

16
Kepentingan ekonomi politik inilah yang sesungguhnya menjadi basis bagi
media massa dalam praktik-praktik pemberitaan. Agama dengan sifat
transendensinya diyakini oleh pada pendukungnya memiliki kebenaran mutlak
yang final. Pada level berikutnya, agama menjadi kekuatan ideologis yang pada
titik tertentu dapat mempertemukan antara kelompok satu dengan yang lain secara
berhadap-hadapan. Dalam situasi inilah media massa bisa mengambil keuntungan
untuk mengidentifikasi dirinya menjadi bagian dari ideologi berbasis agama
tertentu. Melalui proses identifikasi ini, media massa secara tidak langsung
memperoleh segmentasi pasar dari kelompok masyarakat baru atau memperkuat
segmentasi lama. Melalui pengembangan opini yang cenderung memproduksi dan
mereproduksi kecenderungan ideologis tertentu, identifikasi ini menjadi hal yang
lumrah diterima masyarakat.

Agama bagi media massa adalah isu strategis yang menjadi instrumen
untuk memobilisasi pembaca. Cara yang dilakukan adalah melalui produksi dan
reproduksi nilai- nilai ideologis yang bersumber pada pemahaman agama. Dalam
konteks Indonesia, pemahaman agama terbangun dalam beberapa paham atau
aliran yang secara umum terbagi dalam 3 (tiga) spektrum utama, yaitu
fundamentalis, modernis, dan liberal. Polarisasi pemahaman agama tersebut
secara tidak langsung berdampak pada pemisahan masyarakat agama dalam sekat-
sekat ideologis yang berbeda. Kelompok- kelompok ideologis ini secara sosial
dan politik berinteraksi dalam paradigma berbeda dan memiliki potensi konflik
yang tinggi. Implikasi kelompok-kelompok ideologis ini membangun kekuatan
komunitasnya melalui pengembangan jaringan sosial politik yang salah satunya
dengan media massa.

Namun karena media massa dalam era industrialisasi saat ini lebih
berorientasi pada kepentingan ekonomi, kolaborasi dengan kelompok ideologis
tidak berarti bahwa proses produksi dan reproduksi media massa juga bersifat
ideologis. Produksi dan reproduksi wacana agama lebih dijadikan sebagai simbol
identifikasi atau bentuk komitmen kolaboratif antara media massa dan kelompok
ideologis. Proses simbolisasi ini secara ekonomis akan memberikan keuntungan

17
kapital bagi media massa dengan keterjaminan pasar (pembaca) dari kelompok
dan masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan ideologi tertentu.

Determinasi kepentingan kapital dalam tubuh media massa tak jarang


memberikan “tontonan” tersendiri bagi masyarakat terutama pada isu-isu agama
yang menjadi kontroversi. Misalnya kasus Ahmadiyah yang setiap
kemunculannya mendapat apresiasi yang tinggi darai media baik yang cenderung
melakukan pengucilan atau peminggiran maupun yang melakukan pembelaan.
Pengucilan atau peminggiran umunya dilakukan dengan pilihan- pilihan bahasa
yang bernada pengasaran (disfemisme) seperti aliran sesat, penistaan agama, kafir,
dll. Sementara media yang terlihat melakukan pembelaan menggunakan bahasa-
bahasa yang mengelaborasi tentang kebebasan berkeyakinan dan hak-hak asasi
manusia. 2 (dua) model produksi dan reproduksi wacana ini diarahkan untuk
memperoleh segementasi tertentuyang pada akhrinya berujung pada mobilisasi
pembaca atau pendukung sebagai klaim atas praktik bisnis yang dijalankan.6

D. Agama Sebagai Salah Satu Sumber Eksistensi Media

Isu-isu agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan media,


terlebih dinegara-negara belahan timur (eastern) yang (dikenal) masih menjaga
nilai-nilai luhur keagamaan. Bagi orang-oarang timur, liberalism media masih
menjadi musuh bagi agamanya, mereka menolak media- media yang mambawa
konten berbahaya yang bertentangan dengan nilai dan tradisi keagaannnya, hal
tersebut menjadi perhatian media sehingga media mencoba menghadirkan
program-program yang sejalan dan searah dengan nilai-nilai keagamaan atau
seminimal mungkin megurangi konten yang berlawanan dengan nilai-nilai
keagamaan yang bisa memicu emosi pemeluknya. Hal tersebut dirasa penting
untuk menjaga menjaga kondisi masyarakat agar media tersebut dapat dianggap
dan diterima dengan baik yang selanjutnya menghadirkan keuntungan bagi media
itu sendiri.

6
Ahmad Muttaqin, “Agama Dalam Representasi Ideologi Media Massa,” KOMUNIKA: Jurnal
Dakwah Dan Komunikasi 6, no. 2 (1970)

18
Jika diperhatikan, banyak program-program media, khususnya televisi,
yang menghadirkan acara-acara yang sifatnya religious, bentuknyapun sangatlah
beragam. Berikut adalah beberapa program televisi yang menunjukkan bahwa
agama dan media berjalan beriringan;

a. Taklshow religi, acara ini diformat dengan menhadirkan narasumber yang


dianggap mampu menjawab segala persoalan keagamaan ditengah-tengah
maasyarakat. Pada beberapa acara sebagian jamaah diundang kestudio untuk
menjadi pelengkap terlaksananya acara tersebut. Acara ini sifatnya interaktif
dimana audien yang berada di dalam maupun luar studio bisa menanyakan
berbagai persoalan yang sedang dihadapi.

b. Resolusi konfik keagamaan, Dalam hal ini media menjadi penghubung


antara babarapa kelompok yang terlibat konflik sehingga dapat terwujud solusi
bagi permasalahan tersebut. Hal ini dilakukan dengan beraneka macam program
baik dalam bentuk penyiaran berita, talkshow interaktiv, dll.

c. Pengajian atau ceramag agama, Acara ini hampir sama dengan acara
talkshow religi yang menghadirkan nara sumber yang berkompeten, namun acara
ini lebih bersifat pasif dan berjalan satu arah. Contoh dari acara ini adalah acara
wisata hati ANTV yang dipandu ustad Yusuf Mansur dan Indonesia bertasbih di
tv one.

Selain acara-acara religi telivisi yang ditayangkan stasiun televisi nasional,


dan media lain dengan posisi netral, ditempat lain banyak bermunculan media-
media yang merepresentasikan sebuah agama dan keyakinan tertentu, seperti TV9,
Rodja TV, dll. Selain itu terdapat radio dan media cetak yang telah menjadi media
popular penyampaian agama sebelumnya.7

E. Pengertian Dakwah

7
Ihdal Minan, “Relasi Media Massa Dan Dakwah Kontemporer,” Al-Balagh : Jurnal Dakwah Dan
Komunikasi 1, no. 2 (2016): 201-202.

19
Dakwah itu adalah keistimewaan yang hanya diberikan Allah Swt kepada
umat Nabi Muhammad Saw, umat sebelumnya tak pernah dipikulkan kepada
mereka kehormatan ini. Karena dakwah asalnya adalah tugas para utusan Allah
Swt yang mulia. Khusus umat Islam, amanah ini diberikan pada mereka untuk
mengembannya.

Pengemban dakwah adalah penyampai wahyu agung yang benar dengan


cara penuh kebaikan. Maka apa yang disampaikan pengemban dakwah inilah yang
membuatnya dimuliakan Allah Swt, karena ia memuliakan ayat-ayat Allah Swt
dan sunnah-sunnah Nabi Saw bagi yang memahami bahwa tiada yang lebih indah
dari ayat-ayat Allah Swt dan sunnah Nabi-Nya, maka tiada yang lebih baik
ketimbang perkataan dakwah itu sendiri.

Kita sudah tahu Islam itu benar dan menyeluruh, kita pun sudah
memahami bahwa pengaruh yang menyampaikan dakwah juga sangat penting.
Namun ada satu lagi yang menentukan apakah pesan yang dibawa oleh yang
menyampaikan pesan itu sampai atau tidak, dan inilah bagaimana cara
menyampaikan.

Cara menyampaikannya adalah jembatan yang menghubungkan antara


pendakwah dengan yang didakwahi. Bahasa elektroniknya konduktor, media, atau
perantara. Efisiensi pesan yang disampaikan sangat bergantung pada cara
menyampaikannya.8

Media berasal dari bahasa latin yaitu medius yang secara harfiah berarti
perantara, tengah atau pengantar. Dalam bahasa Inggris media bentuk dari
medium yang berarti tengah, antara, rata-rata.. Wilbur Schraman mendefinisikan
media sebagai teknologi informasi yang dapat digunakan dalam pengajaran.
Secara spesifik, yang dimaksud dengan media adalah alat-alat fisik yang
menjelaskan isi pesan atau pengajaran, seperti buku, film, video, kaset, slide, dan
sebagainya.

8
Felix Y Siauw, Art Of Dakwah, (Jakarta: Al-Fatih Press, 2018), hlm. 5

20
Adapun yang dimaksud dengan media dakwah, adalah alat yang
dipergunakan untuk menyampaikan materi dakwah kepada mad‟u. Pada zaman
modern seperti sekarang ini, seperti televisi, video, kaset rekaman, majalah dan
surat kabar.

Media adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat perantara
untuk mencapai satu tujuan tertentu. Sedangkan dakwah adalah segala sesuatu
yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah
ditentukan, media dakwah ini dapat berupa barang atau alat, orang, tempat,
kondisi tertentu dan sebagainya. 9

F. Macam-Macam Media yang Digunakan Untuk Berdakwah

Ada beberapa macam yang harus diperhatikan oleh para juru dakwah agar
informasi dakwah tersebut menghasilkan hasil yang diharapkan, diantaranya :
Pertama, media tatap muka sebagai media komunikasi. Media tatap muka
merupakan media komunikasi yang sangat efektif dalam menyanpaikan informasi
atau pesan, karena media dapat manghasilkan respon secara langsung dan dalam
pertemuan ada makna tertentu yang tidak dimiliki oleh media komunikasi lainnya,
maka media ceramah, diskusi perkuliahan yang bersifat langsung merupakan
media yang paling efektif dalam menyampaikan pesan atau tabligh serta paling
mampu melahirkan respon dari publik. Bila kita cermati bersama media ini
sebetulnya merupakan salah satu media yang cukup murah, praktis dan strategis.

Murah karena tidak memerlukan biaya yang mahal, kita hanya datang,
bertemu kemudian apa yang kita inginkan atau kita sampaikan bisa langsung
sampai pada yang bersangkutan dan apabila kurang adanya kejelasan kita
langsung bisa bertanya dan saat itu juga suasana bisa terselesaikan karena ada
kesepahaman dengan apa yang kita inginkan. Praktis karena media ini tanpa
mengenal basa-basi bahkan layaknya kita menjalin hubungan silaturahim, panjang
umur, banyak rizki dan banyak saudara karena kita bertemu langsung dengan kita

9
Mita Purnamasari and Arief Mulyawan Thoriq, “Peran Media Dalam Pengembangan Dakwah
Islam,” Muttaqien; Indonesian Journal of Multidiciplinary Islamic Studies 2, no. 2 (2021): 93-94.

21
bertemu lewat telepon tentunya auranya adalah berbeda. Strategis, karena media
ini mampu membangkitkan gairah dan pertemanan yang luar biasa disaat kita
tidak pernah bertemu kemudian saat ini kita bisa bertemu langsung pasti
kerinduan yang selama ini terpendam akan terasa lega dan bahagia.

Perkembangan media sebagai sarana dakwah kedua, media audio visual.


Media yang berupa audio visual seperti teater, film, dan televisi. Media ini dapat
dipakai untuk menerangkan ide atau pesan dengan metode modern seperti cerita
atau kisah yang dibacakan; bisa juga berupa pagelaran drama. Media ini harus
benar-benar mendapat perhatian, karena kelebihannya yang dapat menggapai
sasaran sampai ke rumah-rumah dan bisa dibawa ke mana saja dan kapan saja.
Eksistensi dan keberadaan media dalam hal ini media dakwah melalui teater, film
dan televisi merupakan wasilah media dakwah yang amat besar manfaatnya, sebab
ia termasuk dari beberapa media sebagai pembentuk opini masyarakat hampir bisa
dikatakan sebagai menu yang istimewa. Masyarakat saat ini mendambakan
informasi actual dan selalu dapat mengikuti perkembangan dunia. Dakwah
melalui media film dan televisi ini dapat membentuk informasi dakwah Islam,
semisal penulisan artikel-artikel tentang keislaman, maupun kisah-kisah sejarah
Islam yang dikemas dengan gaya bahasa yang sangat bagus melalui media audio
visual sehingga menarik untuk kita kaji.

Sementara itu problem yang muncul terkait dengan upaya membangun


kesadaran beragama tersebut adalah: Pertama, perkembangan teknologi media
film secara perlahan menggeser kecenderungan masyarakat dari budaya tulis ke
budaya dengar maupun budaya penglihatan. Masyarakat tidak lagi tertarik untuk
mendengarkan sebuah cerita, terutama cerita keagamaan yang monoton, akan
tetapi masyarakat sudah cenderung beralih menyaksikan teks-teks agama dan
dalam hal ini media massa sangat membantu dan masyarakat cenderung
menikmati sajian melalui media film. Kedua, kecenderungan masyarakat untuk
menggali informasi dan pengetahuan agama secara formal telah berkurang dan
berganti dengan kecenderungan untuk menggali informasi dan obyek yang
memberikan penyegaran. Dalam hal ini, materi-materi bisa disajikan dalam

22
bentuk media film yang diburu oleh khalayak luas. Alhasil, tradisi- tradisi agama
yang pada awalnya memberikan penyegaran secara ruhani, secara perlahan
ditinggalkan karena dianggap tidak memberikan pengaruh psikologis dan bahkan
dakwah keagamaan menjadi rutinitas dan ritual keagamaan yang menjemukan.
Ketiga, media visual. Media visual saja juga dapat digunakan; seperti peta foto-
foto kejadian-seperti bencana alam, foto puing-puing dan kehanycuran akibat
perang, serta gambar-gambar lain yang merupakan akibat kedzaliman. Seperti
sejarah Islam masuk ke Nusantara, sejarah berdirinya Kerajaan Samudra Pasai,
Kerajaan Demak Bintoro, Kerajaan Mataram yang kesmua itu tidak telepas dari
beberapa cerita dakwah yang bias dikomunikasikan melalui media visual. Media
tersebut sangatlah membantu untuk mengenalkan sejarah masa lampau kepada
anak keturunan kita berikutnya. Kejadian fenomena alam yang pernah terjadi saat
adanya gelombang sunami di daerah aceh yang merusak sarana dan prasarana,
gedung-gedung banyak yang roboh, rumah- rumah penduduk yang hancur rata
dengan tanah bahkan banyak yang meninggal akibat terjangan gelombang sunami
dan masih banyak lagi. kemudian lagi dengan ada adanya bantuan gambar peta
banyak orang yang terbantukan dengan media tersebut, tidak terkecuali dakwah
juga mengalami proses yang sama terbantu oleh peta dakwah yang kita buat
sehingga dakwah bisa sampai kepada masyarakat atau mad‟u dan masih banyak
lagi.

Keempat, Media individual. Media individual seperti siaran radio, kaset-


kaset khutbah atau pelajaran, baik berupa kaset ataupun CD yang pada masa
sekarang ini banyak tersedia di mana-mana. Masing-masing media tentunya
memiliki karakteristik yang berbeda-beda serta memiliki kelebihan dan
kelemahannya masing-masing. Seperti contoh radio memiliki kelebihan dapat
didengar dimanapun tempatnya bahkan di seluruh penjuru dunia melalui
streaming, harganya pun terjangkau. Kesemua media dakwah ini apabila
digunakan secara maksimal untuk kepentingan dakwah, maka diharapkan
memberikan pengaruh yang positif bagi mitra dakwah.

23
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kita menggunakan media
dakwah tersebut dengan tepat dan sesuai dengan kebutuhan mitra dakwah
sehingga penyampaian dakwah menjadi efektif. Untuk penentuan pendekatan
dalam pesan dakwah ini didasarkan atas situasi dan kondisi sasaran dakwah yang
melingkupinya. Misalnya masyarakat yang membutuhkan pencerahan agama
Islam umpamanya, tentunya dakwah dengan pendekatan komunikasi penyiaran
Islam akan lebih tepat sasaran.10

G. Kegiatan Dakwah

Interaksi media massa dengan agama yang menunjukkan volume yang


semakin meningkat telah menyemarakkan kegiatan dakwah Islam. Ada beberapa
hal yang perlu dipahami tentang hakikat makna dakwah, yaitu dakwah sebagai
“kerja” tuhan. Pada hakikatnya bukan hanya kerja manusia, tetapi juga “kerja”
(takdir) tuhan. Oleh karena itu, keberhasilan suatu dakwah tidak hanya ditentukan
manusia, tetapi juga oleh “persetujuan” dari Tuhan.

Secara etimologis kata „dakwah‟ berasal dari bahasa Arab, yakni berasal
dari kata da‟aa-yad‟uu-da‟watan yang berarti seruan, ajakan, panggilan. Dilihat
dari kosa katanya kata dakwah merupakan bentuk kata benda (ism) dalam
pengertiannya, karena diambil (musyitaq) dari fiil muta‟addi, mengandung nilai
dinamika, yakni ajakan, seruan, panggilan, permohonan. Dan makna-makna
tersebut mengandung unsure-unsur usaha atau upaya yang dinamis. Apalagi jika
ia merujuk kepada al-Quran sebagai mashdar dakwah, hampir semua yang ada
kaitannya dengan dakwah di ekspresikan dengan kata kerja (fiil madi, mudari, dan
amr).11

Dakwah juga bermakna sebagai ajakan atau seruan kepada seseorang atau
sekelompok orang untuk mengikuti dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam.
Bagi yang belum Islam diajak menjadi muslim dan bagi yang sudah Islam diajak

10
Rakhmawati, Istina. Juni 2016 “PERKEMBANGAN MEDIA SEBAGAI SARANA DAKWAH”. AT-
TABSYIR. Vol. 4, No.1.
11
Siti Uswatun Khasanah, Berdakwah Dengan Jalan Debat Antara Muslim dan Non Muslim,
(Purwokerto: STAIN Purwokerto Press: 2007), hal. 25.

24
menyem-purnakan keislamannya. Lebih lanjut, dakwah yang semula berarti
memanggil, kemudian meluas menjadi mengajak berpindah dari satu situasi ke
situasi lain yang lebih islami/baik.

Dakwah dapat diartikan pula sebagai proses komunikasi (tabligh). Bagi


setiap muslim diperintahkan mengomunikasikan ajaran Islam walaupun
pengetahuannya tentang Islam masih sedikit. Kemudian, dakwah sebagai
penyebaran rahmat Allah, yakni dakwah berarti juga penyebaran rahmat (cinta
kasih) kepada seluruh alam. Dakwah berperan pula sebagai pembebasan, yaitu
Islam mengandung ajaran atau petunjuk tentang cara membebaskan diri dari
keterbelengguan terhadap alam, materi, dan budaya.

Membebaskan diri dari kebodohan, kebekuan pikiran, kemiskinan, dan


kemalasan. Prinsip lainnya adalah dakwah sebagai penyelamatan, yaitu
penyelamatan manusia dari berbagai hal yang merugikan manusia. Dakwah
sebagai pembangun peradaban, yakni sebagai wakil sang maha pencipta, manusia
harus menjadi pencipta kedua. Manusia yang taat akan menjadi manusia yang
berkualitas, kreatif, dan bisa menciptakan hal-hal baru untuk membangun
peradaban di bumi ini.12

Pelaksanaan tugas dakwah di atas memerlukan wasilah (media) yang tepat


agar kehadiran para du‟at dapat dirasakan di tengah tengah umatnya. Hamzah
Ya‟kub membagi wasilah dakwah itu menjadi lima macam, yaitu:

a. Lisan: media dakwah sederhana menggunakan lidah dan suara, dakwah


melalui media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan,
penyuluhan, dan sebagainya.

b. Tulisan: media melalui tulisan ini dapat berbentuk buku, majalah surat
kabar, surat- menyurat, spanduk, dan sebagainya.

12
KI Moesa A. Machfoeld, Filsafat Dakwah, Ilmu Dakwah dan Penerapannya, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2004), hlm. xvi

25
c. Lukisan: media dakwah melalui gambar, karikatur, dan lainnya.

d. Audiovisual: media dakwah yang dapat merangsang indera penglihatan,


pendengaran, atau kedua-duanya, seperti TV, film slide, internet, dan sebagainya.

Media dakwah melalui perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam


yang secara langsung dapat dilihat dan didengarkan.13

Terjadi sedikit pergeseran paradigma tentang media dakwah, yakni saat ini
teknologi komunikasi melalui media elektronik. Pembagian media di atas dapat
dilakukan dan ditemukan melalui media massa yang ada saat ini. Melalui saluran
inilah penyebaran dakwah harus dapat menyesuaikan diri. Fenomena peningkatan
penyebaran syiar Islam melalui media massa banyak dijumpai di berbagai media,
mulai dari tayangan ceramah, dialog Islam hingga sinetron telah banyak dikemas
di media massa.

Namun di sisi lain, keterlibatan media massa dalam menyemarakkan syiar


Islam tidak dapat berlangsung sesuai tuntutan karena ada kepentingan lain yang
harus dilaksanakan media. Bukan saja tuntutan era industri, tetapi juga ciri khas
yang menjadi dasar eksistensi media itu sendiri. Khususnya ciri universalitas,
publisitas, dan komersialitas. Isinya harus terbuka untuk umum (offenliche
aussage) dan karena itu isinya juga harus beraneka ragam (veelheid van inhoud)
untuk memenuhi kepentingan audience yang berbeda-beda. Ciri komersialitasnya
justru terintegrasi dengan ciri-ciri lainnya untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Media harus peka terhadap selera masyarakat. Itulah sebabnya tidak
jarang ditemui pada satu waktu terlihat tayangan rohani Islam, namun pada
tayangan lain terlihat tontonan vulgar yang bertolak belakang dengan budaya local
dan mengaburkan nilai-nilai Islam.

Keberadaan media massa mengalami kesulitan untuk mengakomodasi


kehendak-kehendak lembaga agama. Di pihak lain sebenarnya peraturan
perundang-undangan dan kode etik telah menentukan bagaimana seharusnya

13
M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 32

26
media massa melaksanakan atau mengakomodasikan norma- norma agama
melalui sejumlah fungsi yang dimilikinya (fungsi hiburan, informasi, pendidikan,
dan ekonomi).Yang dimaksud dengan etika di sini tentulah “rem” yang berfungsi
membatasi atau mengontrol kebebasan media. Etika dalam komunikasi massa
mengandung pengertian cara berkomunikasi sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku di tengah masyarakat atau golongan tertentu.14

Perkembangan tersebut menghadirkan keperluan baru dalam bidang


dakwah Islam. Kompleksitas hubungan antara kegiatan dakwah dan media massa
sukar dihindar. Di satu pihak kegiatan dakwah ingin lebih banyak berperan untuk
mengendalikan nilai nilai dan gaya hidup masyarakat melalui media massa,
namun di pihak lain media massa tak dapat melepaskan tuntutan industry dan
komersialitas perusahaan.15

H. Dakwah dan Media Massa

Kegiatan dakwah menjadi semarak dengan merambah dunia media massa


yang terintegrasi. Dalam perkembanganya, media mampu melakukan rekonstruksi
sosial dalam membentuk opini publik terhadap realitas di tengah-tengah
masyarakat. Dalam amatan Burhan Bungin, untuk memahami konstruksi sosial
media massa berpijak dari teori dan pendekatan konstruktivisme yang bermula
dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif.

Sementara dakwah senantiasa bersentuhan dengan realitas dalam


masyarakat tertentu. Secara historis, interaksi Islam dengan realitas sosio-kultural
terdapat dua kemungkinan. Pertama, dakwah Islam mampu memberikan pengaruh
terhadap lingkungan sehingga terbentuknya realitas sosial yang baru. Kedua,
dakwah Islam terpengaruh oleh perubahan masyarakat dalam arti eksistensi corak
dan arahnya. Ini berarti bahwa aktualitas dakwah ditentukan oleh sistem sosio-
kultural. Jika kemungkinan kedua ini yang terjadi maka dakwah akan bersifat

14
Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.34
15
Rijal Mamdud, “Dakwah Islam Di Media Massa,” Al-I’lam; Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran
Islam 3, no. 1 (2019): 50-51.

27
statis atau terdapat dinamika dengan kadar hampir tidak berarti bagi perubahan
sosio-kultural.

Dalam aplikasi penyampaian dakwah, seorang dai sebagai subjek dakwah


memerlukan seperangkat pengetahuan dan kecakapan dalam hal metode. Dengan
mengetahui metode maka dai mampu memahami dan menyampaikan materi
kepada objek dakwah yang sedang dihadapinya dengan harapan bahwa mampu
diterima dan dipahami pula oleh mad‟u.

Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk
menyampaikan ajaran materi dakwah Islam. Dalam menyampaikan suatu pesan
dakwah, metode sangat penting peranannya, karena suatu pesan walaupun baik,
tetapi disampaikan melalui metode yang tidak tepat maka pesan bisa saja ditolak
oleh si penerima pesan.

Kegiatan dakwah kontemporer mengharuskan pendekatan komunikasi,


khususnya melalui media. Dalam mengurai relasi bahkan integrasi dakwah dan
komunikasi melalui media, memberi kesadaran untuk melakukan transformasi
gerakan dakwah melingkupi pengajian di masjid-masjid atau majelis ta‟lim ibu-
ibu melalui arisan bulanan. Selain itu aktivitas dakwah melalui media, sebab
gerakan yang paradoks dengan dakwah kini berkembang pesat, yang kini
merambah pada dunia maya (teknologi modern seperti internet).

Untuk itu, kontekstualisasi dakwah kontemporer menjadi suatu keharusan.


Hal ini sekaligus menjawab berbagai pertanyaan di atas. Artinya, dakwah tidak
tepat lagi dipahami sebatas pengajian, ceramah di tempat-tempat tertentu,
melainkan harus merambah pada dunia maya, internet dan alat teknologi lainnya.
Selain itu, berdakwah melalui jalur dakwah juga menjadi kebutuhan, justru
saatnya diintensifkan. Betapa tidak, selama ini para elit banyak melakukan
penyimpangan moral, maka saatnya figur-figur yang bermoral dengan komitmen
keagamaan yang kuat untuk masuk dalam kancah dakwah praktis.

Dalam konteks ini, dakwah dipahami secara lebih luas, yakni suatu proses
internalisasi nilai-nilai Islam dalam kancah kehidupan, sehingga nilai-nilai

28
tersebut dapat mewarnai perilaku masyarakat dalam tatanan kehidupan yang
Islami. Dakwah adalah upaya menyampaikan nilai-nilai ajaran Islam, secara
sederhana dan universal dakwah adalah menyerukan kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Nilai dakwah ini merupakan strategi untuk mengkomunikasikan
ajaran-ajaran suci agama yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai formulasi
tergantung kondisinya, termasuk melakukan formalisasi dakwah melalui partai
dakwah.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini dapat mempengaruhi


aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para pelaku dakwah. Oleh karena itu,
dakwah masa kini sudah seharusnya dikemas dalam berbagai metode yang efektif
sesuai dengan kondisi objeknya. Dakwah bil-lisan yang selama ini digunakan oleh
para pelaku dakwah, dianggap tidak memadai lagi. Oleh karena itu dakwah
seharusnya menggunakan metode-metode komunikasi sebagaimana halnya
penyampaian informasi secara umum, dengan menggunakan media komunikasi
yang komunikatif. Surat kabar dan televisi adalah salah media massa yang banyak
mendapat perhatian seluruh lapisan masyarakat. Namun media tersebut belum
banyak dimanfaatkan oleh para pelaku dakwah masa kini.

Media pers seperti surat kabar, majalah tidak hanya sarat dengan
informasi-informasi berwujud berita, tetapi juga diwarnai dengan bentuk-bentuk
tulisan lainnya yang bersifat ganda, memberi infomasi sekaligus menghibur.
Dengan demikian pers memiliki empat fungsi utama yaitu sebagai pemberi
informasi, pemberi hiburan, melakukan kontrol sosial dan mendidik masyarakat
secara luas.

Perlu pula diketahui bahwa fungsi menghibur bagi pers, bukan dalam arti
menyajikan tulisan-tulisan atau informasi-informasi mengenai jenis-jenis hiburan
yang dirsenangi oleh masyarakat. Akan tetapi menghibur dalam arti menarik
pembaca dengan menyuguhkan hal- hal yang ringan diantara sekian banyak
informasi yang berat dan serius. Dengan demikian tampak bahwa ada kesamaan
antara fungsi dakwah dan fungsi pers.

29
Dalam hal ini, persamaan antara dakwah dan publisistik yaitu sama-sama
menyampaikan isi pernyataan, sasarannya sama-sama yaitu manusia, sama-sama
bertujuan agar manusia lain jadi sependapat, selangkah dan serasi dengan orang
yang menyampaikan isi pernyataan. Dengan demikian, kelihatan bahwa antara
dakwah dan media massa mempunyai hubungan yang erat, terutama dakwah masa
kini sebagai alat penyampaian dakwah kepada khalayak.

Untuk melihat secara gamblang mengapa dakwah masa kini perlu melalui
media massa, maka perlu dilihat beberapa unsur dakwah. Menurut Buya Hamka
seperti yang dikutip oleh H. M. Iskandar dalam buku Pemikiran Hamka tentang
Dakwah, dikemukakan lima unsur dakwah yaitu subjek dakwah, materi dakwah,
metode dakwah, media dan sarana dakwah dan objek dakwah. Unsur-unsur
tersebut salah satu diantaranya adalah media dan sarana dakwah. Media dalam
sebuah informasi adalah sangat penting, karena media merupakan saluran
informasi yang merupakan faktor penentu berhasil tidaknya suatu pesan yang
disampaikan oleh komunikator.

Realitas menunjukkan bahwa dakwah billisan sekarang ini sudah dianggap


tidak memadai lagi. Oleh karena itu, pelaku dakwah masa kini harus melihat
kondisi objektif sasaran dakwah. Kehadiran pers dewasa ini dalam kaitannya
dengan perubahan sosial, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Selama ini tidak
seorang pun yang menyangkal bahwa masjid merupakan pusat dakwah yang
efektif.

Akan tetapi dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang pesat dari
tahun ke tahun, kini dakwah tidak cukup hanya dipusatkan di masjid saja tanpa
mencoba mencari alternatif lain, mengembangkannya di luar masjid dengan
mempergunakan media yang tersedia, seperti pers atau surat kabar. Pers dalam arti
luas adalah menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media
cetak, maupun dengan media elektronik.

Di tengah-tengah perkembangan dan pembangunan sektor komunikasi


yang menggembirakan sekarang ini, pikiran untuk mengembangkan dakwah

30
dengan melihat pers tentu saja merupakan langkah yang tepat dan bijak. Sekarang
sudah saatnya para pemikir, muballigh, ulama dan pemuka Islam lainnya,
memanfaatkan serta mempergunakan peluang maupun pengaruh yang dimiliki
oleh pers tersebut guna meningkatkan dakwah.

Harapan tersebut seirama dengan apa yang dinyatakan oleh Hasan Basri
Tanjung bahwa beranjaknya kehidupan masyarakat pada tahap informasi telah
mengajak kita untuk melangkah lebih jauh atau paling tidak sama dengan
perubahan sosial yang ada. Untuk mengantisipasi hal tersebut kata beliau, dakwah
billisan tidak memadai lagi, tetapi harus mendapat dukungan dengan suatu media
yang refresentatif dan relevan dengan cakrawala pikiran manusia yang semakin
maju.

Dengan demikian pers dapat dipandang sebagai bagian dari strategi


dakwah, sekaligus sebagai instrumen perubahan yang bersifat hikmah, yang
menurut Harun Nasution memiliki dimensi intelektual, etikal, estetikal, dan
prakmatikal. Suatu hal yang perlu disimak, sejalan dengan gerakan reformasi yang
digulirkan, bahwa pengeluaran SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang
dulu sarat dan berbelit-belit kini menjadi terbuka lebar.

Dunia pers yang memiliki fungsi utama sebagai media informasi, media
hiburan dan media kontrol sosial kini semakin semarak. Kehidupan masyarakat
pun tidak bisa lagi dipisahkan dengan pers. Masyarakat kini, khususnya
masyarakat yang melek secara informasi, sangat bergantung kepada pers.

Kini masyarakat dapat leluasa membaca surat kabar apa saja dari surat
kabar politik, dakwah, sampai surat kabar yang seluruh isi halamannya diisi
dengan bentuk-bentuk sensual lengkap dengan gambar-gambarnya yang serba
terbuka dan menantang. Bahkan kini telah muncul pula surat kabar digital yang
bisa diakses di internet semacam detik.com atau astaga.com dan lain-lain. Namun
demikian perlu pula diingat bahwa pada dasarnya, pers adalah pedang bermata
dua, ia dapat menjadi alat dakwah yang sangat efektif, tetapi pada saat bersamaan
ia juga dapat menjadi medium propaganda setan yang paling jitu.

31
Oleh karena itu menulis pesan-pesan dakwah di koran perlu
memperhatikan karakteristik media massa. Asep Saiful Muhtadi dalam bukunya
Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktek mengemukakan karakteristik media
massa sebagai berikut, pertama, komunikasi massa berlangsung satu arah. Kedua,
komunikasinya bersifat melembaga. Ketiga, pesan-pesan yang disampaikan
bersifat umum. Keempat, pesan-pesan yang disampaikan lewat media digunakan
secara serempak. Kelima, komunikasinya bersifat heterogen.

Oleh karena itu menulis pesan-pesan dakwah dalam sebuah koran maka
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu tulisan bernuansa dakwah itu akan
dikonsumsikan kepada media apa, apakah media pers khusus Islam atau pers
umum. Menulis dakwah untuk media pers khusus Islam memiliki teknik dan cara
yang sedikit berbeda dengan menulis di media pers umum. Media khusus media
Islam pembacanya sudah jelas sedang media pers umum pembacanya heterogen
berasal dari beragam latar belakang kepercayaan.

Karena itu bahasa dakwah melalui jurnalistik harus memiliki sifat singkat,
padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Sedang bahasa agama adalah
bahasa yang mengedepankan kemurnian, kebenaran, kebersihan, jauh dari kata-
kata kotor, kasar, tidak simpatik dan menyingkirkan kata-kata yang bernada
hasutan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat/49:11-12, Q.S.
Lukman/31: 18-19.

Dakwah masa kini melalui media massa atau surat kabar adalah langkah
yang tepat, karena dengan pers objek dakwah akan lebih cepat menerima
informasi yang diperlukan. Namun pers atau surat kabar sekarang masih sangat
terbatas dijadikan sebagai media komunikasi dakwah oleh pelaku dakwah. Cara
berkomunikasi dalam bentuk dakwah melalui pers harus mengikuti teori-teori
persuratkabaran tanpa meninggalkan nilai-nilai ajaran agama, agar pesan-pesan
dakwah dapat diterima dengan baik oleh sasarannya.

Media dakwah merupakan elemen yang ke empat dari unsur-unsur dakwah


setelah pelaku dakwah (dai), mad'u, dan materi (maddah). Istilah media bila

32
dilihat dari asal kata berasa dari kata medium yang berarti alat perantara, jadi yang
dimaksud media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai
alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan.16

I. Memahami Islam Melalui Dakwah Islami di Media Massa

Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling mengasihi dan


menyayangi, serta bersatu padu membina kerukunan hidup. Sehingga kebahagiaan
dunia akhirat dapat tercapai. Menurut Nottingham,17 “agama mempersatukan
kelompoknya sendiri sehingga apabila tidak dianut oleh seluruh atau sebagian
anggota masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang mencerai beraikan, memecah-
belah dan bahkan menghancurkan”. Perintah Allah untuk selalu bersatu dan
menjaga keutuhan umat, terdapat dalam Al-Quran Surah Ali Imran ayat
103:1118“Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali (Agama) Allah dan janganlah
kamu bercerai berai”.

Asmuni Syukir mengelompokkan macam-macam masyarakat menjadi tiga


kelompok, yaitu: “masyarakat primitif, masyarakat desa, dan masyarakat kota.
Masyarakat desa lebih religius dan masih sangat patuh pada agama dan
kepercayaan yang dianutnya”.

Mencermati pendapat Syukir 19 tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri


bahwa masyarakat desa secara realitas memang cenderung lebih religius di
bandingkan dengan masyarakat desa dan masyarakat primitif. Suasana religius di
desa lebih terasa dengan adanya kebersamaan dalam mengamalkan ajaran agama,
hal ini terlihat masih banyaknya masyarakat desa yang mengaji, shalat berjamaah
secara bersama-sama.

Walaupun demikian, masyarakat kota juga melakukan hal yang sama


dengan masyarakat desa dalam kegiatan keagamaan, namun karena pengaruh

16
Nurul Syobah, Op.cit., hlm 156-160
17
Elizabeth K. Nottingham. Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm.42.
18
Departemen Agama RI. Al-qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV Toha Putra), hlm.93
19
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), hlm. 79

33
pekerjan dan kesibukan serta waktu sajalah maka masyarakat kota cenderung
mengamalkan ajaran agama lebih sedikit secara bersama-sama seperti masyarakat
desa pada umumnya.

Menurut Maftuh yang dikutip oleh Muhyidin,20 karakter masyarakat desa


dan metode dakwah yang dapat digunakan pada mereka adalah sebagai berikut:

a. Komunitas desa relatif sederhana, taat pada tradisi dan agama.

b. Adanya kontrol sosial yang kuat.

c. Menggunakan pendekatan bahasa, struktur, dan kultur yang relevan


dengan masyarakat pedesaan (bilisani qaumihi), sederhana, dapat dipahami, dan
sesuai dengan kebutuhan.

d. Melalui pendekatan dan kerjasama dengan tokoh panutannya

e. Menggunakan bahasa lisan yang komunikatif dalam penjelasan tentang


sesuatu untuk terciptanya kondisi pemahaman, persepsi, dan sikap.

f. Menggunakan metode pendekatan karya nyata (amal) dengan


memprioritaskannya kebutuhan yang mendesak dan menyentuh kebutuhan real
masyarakat secara umum.

g. Melalui pemanfaatan sikap dan karakteristik yang positif yang dimiliki


masyarakat pedesaan, yaitu ketaatan, gotong royong, dan kepedulian.

h. Membantu dalam mencari solusi dari problema sosial, budaya, dan


ekonomi yang sedang dihadapi.

Bangsa Indonesia dikenal dengan masyarakat Islam yang terbesar di dunia.


Namun walaupun demikian bukan berarti dengan besarnya jumlah penganut
agama tidak ada masalah yang di hadapi. Masalah yang ada pada masyarakat

20
Asep Musyidin dan Ahmad Syafei. Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia,
2002), hlm. 146.

34
memerlukan dakwah sebagai filterisasi dan sarana terciptanya kerukunan
ukhuwah Islamiah.

Masyarakat sebagai sub system dari suatu negara, dijamin dalam


menganut agama dan kepercayaannya. Di Indonesia kebebasan menganut suatu
agama oleh masyarakat dijamin oleh undang-undang. Dalam UUD 1945 ayat 29
dikemukakan dengan jelas bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing.

Televisi dapat menjadi alat propaganda dan mempengaruhi sikap, dan


opini publik melalui acara siaran yang ditayangkan. Pengaruh media massa cukup
signifikan terhadap perilaku dan sikap orang yang mengkonsumsi produk media
massa tersebut. Berita, film, dan sinetron dapat mempengaruhi opini dan sikap
khalayak.

Pengaruh tayangan film dan sinetron yang tayang di setiap stasiun televisi
mempunyai muatan misi tertentu, misalnya ; hampir disetiap stasiun televisi
khususnya televisi swasta memberikan hiburan film dan sinetron yang berbau
mistik, animisme yang dapat mengurangi keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan.
Sebuah film atau sinetron yang ditayangkan ada kalanya hanya menceritakan
perilaku hidup mewah dan konsumtif, pertengkaran keluarga, perebutan harta
warisan dan lain sebagainya yang kesemuanya itu disadari atau tidak dapat
mempengaruhi orang yang menyaksikan acara tersebut.

Pemanfaatan televisi sebagai media dakwah di antaranya telah di lakukan


oleh beberapa stasiun televisi baik televisi pemerintah maupun televisi swasta.
Bentuk pemanfaatan media televisi tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa
acara sinetron yang bernuansa Islam yang sebagian ceritanya diangkat dari kisah
nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sinetron merupakan singkatan dari sinema elektronik yang berarti sebuah


karya cipta seni budaya, yang merupakan media komunikasi audio visual yang
dibuat berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita video, melalui proses
elektronik lalu ditayangkan melalui stasiun penyiaran televisi. Sebagai media

35
komunikasi massa, sinetron memiliki ciri-ciri, di antaranya bersifat satu arah serta
terbuka untuk publik secara luas dan tidak terbatas.

Pesan-pesan dakwah yang disampaikan melalui sinetron lebih mudah


sampai kepada mad‟u (masyarakat). Selain itu, pesan verbal yang digunakan
dalam sinetron dapat diimbangi dengan pesan dakwah visual yang memiliki efek
sangat kuat terhadap pendapat, sikap dan perilaku mad‟u. Hal ini sangat mungkin
terjadi karena dalam sinetron, selain pikiran, perasaan pemirsa pun dilibatkan
dalam penyampaian pesannya. Dalam sinetron juga terdapat kekuatan dramatik
dan hubungan logis bagian-bagian cerita yang tersaji dalam alur cerita, kekuatan
yang dibangun akan diterima mad‟u secara penghayatan, sedangkan hubungan
logis diterima mad‟u secara pengetahuan.21

J. Masyarakat Sebagai Mad’u Dakwah dan Komunikan Komunikasi


Massa

Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling mengasihi dan


menyayangi, serta bersatu padu membina kerukunan hidup. Sehingga kebahagiaan
dunia akhirat dapat tercapai. Menurut Nottingham “agama mempersatukan
kelompoknya sendiri sehingga apabila tidak dianut oleh seluruh atau sebagian
anggota masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang mencerai beraikan, memecah-
belah dan bahkan menghancurkan”. Perintah Allah untuk selalu bersatu dan
menjaga keutuhan umat, terdapat dalam Al-Quran Surah Ali Imran ayat 103 :
“Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali (Agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai berai…”.

Asmuni Syukir mengelompokkan macam-macam masyarakat menjadi tiga


kelompok, yaitu : “masyarakat primitif, masyarakat desa, dan masyarakat kota.
Masyarakat desa lebih religius dan masih sangat patuh pada agama dan
kepercayaan yang dianutnya”.

21
Rijal Mamdud, Op.cit., hlm. 51-53.

36
Mencermati pendapat Syukir tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa
masyarakat desa secara realitas memang cenderung lebih religius di bandingkan
dengan masyarakat desa dan masyarakat primitif. Suasana religius di desa lebih
terasa dengan adanya kebersamaan dalam mengamalkan ajaran agama, hal ini
terlihat masih banyaknya masyarakat desa yang mengaji, shalat berjamaah secara
bersama-sama.

Walaupun demikian, masyarakat kota juga melakukan hal yang sama


dengan masyarakat desa dalam kegiatan keagamaan, namun karena pengaruh
pekerjan dan kesibukan serta waktu sajalah maka masyarakat kota cenderung
mengamalkan ajaran agama lebih sedikit secara bersama- sama seperti masyarakat
desa pada umumnya.

Menurut Maftuh yang dikutip oleh Muhyidin, karakter masyarakat desa


dan metode dakwah yang dapat digunakan pada mereka adalah sebagai berikut :

1. Komunitas desa relatif sederhana, taat pada tradisi dan agama.

2. Adanya kontrol sosial yang kuat.

3. Menggunakan pendekatan bahasa, struktur, dan kultur yang relevan dengan


masyarakat pedesaan (bilisani qaumihi), sederhana, dapat dipahami, dan sesuai
dengan kebutuhan.

4. Melalui pendekatan dan kerjasama dengan tokoh panutannya

5. Menggunakan bahasa lisan yang komunikatif dalam penjelasan tentang


sesuatu untuk terciptanya kondisi pemahaman, persepsi, dan sikap.

6. Menggunakan metode pendekatan karya nyata (amal) dengan


memprioritaskannya kebutuhan yang mendesak dan menyentuh kebutuhan real
masyarakat secara umum.

7. Melalui pemanfaatan sikap dan karakteristik yang positif yang dimiliki


masyarakat pedesaan, yaitu ketaatan, gotong royong, dan kepedulian.

37
8. Membantu dalam mencari solusi dari problema sosial, budaya, dan ekonomi
yang sedang dihadapi.

Bangsa Indonesia dikenal dengan masyarakat Islam yang terbesar di dunia.


Namun walaupun demikian bukan berarti dengan besarnya jumlah penganut
agama tidak ada masalah yang di hadapi. Masalah yang ada pada masyarakat
memerlukan dakwah sebagai filterisasi dan sarana terciptanya kerukunan
ukhuwah Islamiah.

Masyarakat sebagai sub system dari suatu negara, dijamin dalam


menganut agama dan kepercayaannya. Di Indonesia kebebasan menganut suatu
agama oleh masyarakat dijamin oleh undang-undang. Dalam UUD 1945 ayat 29
dikemukakan dengan jelas bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing.22

K. Islam dan Media Indonesia

Dakwah sebagai media pembentuk kepribadian (self personality) dan


perilaku (community attitude) umat harus dihadirkan dengan strategi yang
berhaluan kepada pengembangan keberagamaan (religiosity) yang progresif.
Progresivitas dakwah mustahil diwujudkan tanpa dukungan media dan strategi
dakwah yang kompeten. Seiring dengan munculnya ragam media dan strategi
dakwah, eksistensi jurnalistik hadir sebagai salah satu media komunikasi
produktif. Di samping strategi dakwah yang telah umum common sense
dilakukan, kehadiran jurnalistik menjadi media kontemporer yang dapat
menyeimbangi perkembangan zaman globalization yang semakin pesat.
Kehadiran media jurnalistik dalam dinamika kehidupan manusia menjadi fakta
yang tidak terelakkan.

Eksistensi jurnalistik sebagai media utama penyajian komunikasi dalam


kehidupan umat manusia memiliki peranan yang signifikan. Realita ini dapat
dilihat pada pencapaian kemerdekaan Indonesia. Beberapa pejuang kemerdekaan

22
Japarudin, “Media Massa Dan Dakwah,” Dakwah 13, no. 1 (2012): 23-24.

38
Indonesia menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di zaman penjajahan
Belanda, beberapa media jurnalistik terbit mengiringi jalannya perjuangan, seperti
Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, dan Medan Prijaji. Ketajaman
eksistensi jurnalistik semakin menguat ketika zaman pendudukan Jepang.
Beberapa media jurnalistik yang telah lama hadir di tengah-tengah masyarakat
Indonesia dilarang peredarannya. Akan tetapi, pada akhirnya ada lima media yang
mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara
Asia. Zaman Orde Baru pun memberikan potret yang tajam atas peranan media
jurnalistik terhadap kebijakan pemerintah. Besarnya ancaman yang dimunculkan
oleh eksistensi media jurnalistik mengakibatkan dibredelnya beberapa surat kabar
nasional, di antaranya; Harian Indonesia dan Majalah Tempo.

Sejarah panjang Agama Islam pun memiliki kesinambungan kuat atas


eksistensi jurnalistik. Zaman Nabi Nuh As., adalah potret pertama eksistensi
jurnalisme Islam. Untuk mengetahui kondisi air bah di sekeliling perahu, Nabi
Nuh As., mengutus seekor Burung Dara guna meneliti keberadaannya. Dari
informasi Burung Dara tersebut, disampaikannya berita tentang alam sekitar
perahu. Potret jurnalisme zaman Nabi Nuh As., tersebut dijadikan world view
eksistensi jurnalistik. Berdasarkan analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya, jurnalistik Islam adalah suatu aktivitas yang terdiri dari proses
meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa (berita) ataupun
pendapat (ide, gagasan, opini) dengan muatan nilai-nilai keislaman (kedakwahan)
dengan didasarkan pada kaidah-kaidah jurnalistik/ norma-norma yang bersumber
dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.

Berpijak kepada eksistensi jurnalistik di atas, secara nyata (de facto)


jurnalistik diwujudkan untuk memberikan sumbangan utama atas tatanan
informasi kehidupan manusia. Kehadirannya di masyarakat menjadi ruh yang
tidak dapat dinisbikan dari dinamika kehidupan. Secara hakiki, pesatnya arus
globalisasi (globalization movement) menuntut segenap generasi muda dan tua
Indonesia untuk menyongsongnya dengan cakrawala informasi dan teknologi
yang semakin luas. Perwujudan ini tidak mungkin dicapai secara sempurna tanpa

39
realisasi sinergis antara semua elemen bangsa. Pada dataran inilah, Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan Sekolah- sekolah Menengah dan Atas
umumnya memiliki peranan signifikan guna mencetak generasi bangsa yang
memiliki kompetensi pada setiap unsur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kompetensi yang memuat keterampilan sempurna diimbangi dengan penguasaan
teknologi, seni, budaya, dan nilai-nilai keberagamaan (tadayyun).

Besarnya peranan instansi pendidikan dalam membentuk generasi bangsa


yang berwawasan luas, dituntut untuk menyajikan nuansa pembelajaran efektif di
tengah-tengah pesatnya laju globalisasi. Seiring dengan perkembangan teknologi
di bidang komunikasi dan informasi (communication and information
technology), membuat dunia terasa makin sempit dan nyaris tak ada lagi ruang
kosong yang tak terjamah dan tersentuh oleh teropong informasi teknologi
(information technology). Kenyataan ini tentu saja menghendaki kehadiran
jurnalis-jurnalis tangguh yang mampu menghadirkan informasi, berita, atau
tulisan-tulisan yang bernuansa keislaman, melalui pemanfaatan dan rekayasa yang
baik terhadap berbagai hasil kemajuan teknologi informasi terutama media cetak
(buku, majalah, buletin, atau surat kabar) guna mendukung transformasi visi dan
misi Islam. Pengenyampingan atas semua persepsi ini dapat menjadikan umat
Islam terbawa dalam objek informasi yang bersifat negatif. Di atas semua alasan
itulah, upaya-upaya pemanfaatan teknologi pers dan pematangan kemampuan
menulis jurnalis Muslim khususnya dan umat Islam umumnya, dalam rangka
dakwah dan transformasi nilai-nilai ajaran Islam menjadi suatu keharusan.
Tuntutan tersebut ditujukan untuk mengantisipasi agar umat tidak melek dan
gagap terhadap teknologi informasi (information technology IT).

Peranan pers dalam membentuk tatanan kehidupan masyarakat, baik pada


skala kolektif dan personal semakin gencar dipublikasikan. Dunia jurnalistik
gencar disoroti untuk memberikan proyeksi berita yang berhaluan kepada nilai-
nilai kemanusiaan dan keadilan. Pada konteks inilah, generasi muda bangsa
memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan semangat para jurnalis muslim yang
menjadikan jurnalistik Islam sebagai ideologi dalam profesinya, baik mereka yang

40
bekerja pada media massa umum dan terlebih-lebih lagi pada media massa
Islam.23

23
S. F. Mas’udi, “Peranan Media Dalam Membentuk Sosio-Kultur Dan Agama Masyarakat
(Menggagas Prinsip-Prinsip Etis Dalam Jurnalistik),” AT-TABSYIR, Jurnal Komunikasi Penyiaran
Islam 01, no. 02 (2013): 216-218.

41
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan
dari komunikator kepada khalayak. Istilah "massa" mengacu pada kolektivitas
tanpa bentuk, yang komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Menurut kamus
bahasa Inggris ringkas memberikan definisi "massa" sebagai suatu kumpulam
orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas".

Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif dan konatif.
Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan
pengetahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude
(sikap). Sedangkang efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk
melakukan sesuatu menurut cara tertentu.

Agama bagi media massa adalah isu strategis yang menjadi instrumen
untuk memobilisasi pembaca. Cara yang dilakukan adalah melalui produksi dan
reproduksi nilai- nilai ideologis yang bersumber pada pemahaman agama. Dalam
konteks Indonesia, pemahaman agama terbangun dalam beberapa paham atau
aliran yang secara umum terbagi dalam 3 (tiga) spektrum utama, yaitu
fundamentalis, modernis, dan liberal. Polarisasi pemahaman agama tersebut
secara tidak langsung berdampak pada pemisahan masyarakat agama dalam sekat-
sekat ideologis yang berbeda. Kelompok- kelompok ideologis ini secara sosial
dan politik berinteraksi dalam paradigma berbeda dan memiliki potensi konflik
yang tinggi. Implikasi kelompok-kelompok ideologis ini membangun kekuatan
komunitasnya melalui pengembangan jaringan sosial politik yang salah satunya
dengan media massa.

Dakwah itu adalah keistimewaan yang hanya diberikan Allah Swt kepada
umat Nabi Muhammad Saw, umat sebelumnya tak pernah dipikulkan kepada
mereka kehormatan ini. Karena dakwah asalnya adalah tugas para utusan Allah

42
Swt yang mulia. Khusus umat Islam, amanah ini diberikan pada mereka untuk
mengembannya.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini dapat mempengaruhi


aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para pelaku dakwah. Oleh karena itu,
dakwah masa kini sudah seharusnya dikemas dalam berbagai metode yang efektif
sesuai dengan kondisi objeknya. Dakwah bil-lisan yang selama ini digunakan oleh
para pelaku dakwah, dianggap tidak memadai lagi. Oleh karena itu dakwah
seharusnya menggunakan metode-metode komunikasi sebagaimana halnya
penyampaian informasi secara umum, dengan menggunakan media komunikasi
yang komunikatif. Surat kabar dan televisi adalah salah media massa yang banyak
mendapat perhatian seluruh lapisan masyarakat. Namun media tersebut belum
banyak dimanfaatkan oleh para pelaku dakwah masa kini.

Pemanfaatan televisi sebagai media dakwah di antaranya telah di lakukan


oleh beberapa stasiun televisi baik televisi pemerintah maupun televisi swasta.
Bentuk pemanfaatan media televisi tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa
acara sinetron yang bernuansa Islam yang sebagian ceritanya diangkat dari kisah
nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sinetron merupakan singkatan dari sinema elektronik yang berarti sebuah


karya cipta seni budaya, yang merupakan media komunikasi audio visual yang
dibuat berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita video, melalui proses
elektronik lalu ditayangkan melalui stasiun penyiaran televisi. Sebagai media
komunikasi massa, sinetron memiliki ciri-ciri, di antaranya bersifat satu arah serta
terbuka untuk publik secara luas dan tidak terbatas.

B. Saran

Kami menyadari terdapat banyak kesalahan dan kekukarangan dalam


penyusunan makalah ini. Alangkah baiknya pembaca dapat memberikan saran
yang membangun dalam pembuatan makalah yang lebih baik lagi kedepannya.

43
DAFTAR PUSTAKA

Japarudin. “Media Massa Dan Dakwah.” Dakwah 13, no. 1 (2012): 23-24.

Mas‟udi, S. F. “Peranan Media Dalam Membentuk Sosio-Kultur Dan Agama


Masyarakat (Menggagas Prinsip-Prinsip Etis Dalam Jurnalistik).” AT-
TABSYIR, Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam 01, no. 02 (2013): 216-218.

Minan, Ihdal. “Relasi Media Massa Dan Dakwah Kontemporer.” Al-Balagh :


Jurnal Dakwah Dan Komunikasi 1, no. 2 (2016): 201-202.

Muttaqin, Ahmad. “Agama Dalam Representasi Ideologi Media Massa.”


KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi 6, no. 2 (1970).

Purnamasari, Mita, and Arief Mulyawan Thoriq. “Peran Media Dalam


Pengembangan Dakwah Islam.” Muttaqien; Indonesian Journal of
Multidiciplinary Islamic Studies 2, no. 2 (2021): 93-94.

Rijal Mamdud. “Dakwah Islam Di Media Massa.” Al-I’lam; Jurnal Komunikasi


Dan Penyiaran Islam 3, no. 1 (2019): 50-53.

Thaha, Hamdani. “Media Massa Dan Masyarakat.” Al-Tajdid I, no. 1 (2003): 60-
66.

Nurudin. (2011). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Mungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi . Jakarta:

Y Siauw, Felix. 2018. Art Of Dakwah. Jakarta: Al-Fatih Press.

Rakhmawati, Istina. “PERKEMBANGAN MEDIA SEBAGAI SARANA


DAKWAH”. AT-TABSYIR. Vol. 4, No.1.(2016)

Uswatun Khasanah, Siti. 2007. Berdakwah Dengan Jalan Debat Antara Muslim

dan Non Muslim. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.

44
A. Machfoeld, KI Moesa. 2004. Filsafat Dakwah, Ilmu Dakwah dan

Penerapannya. Jakarta: Bulan Bintang.

Munir, M dan Wahyu Ilaihi. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta: Prenada Media.

Amir, Mafri. 1999. Etika Komunikasi Massa. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Elizabeth K. Nottingham. 1997. Agama dan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.

Departemen Agama RI. Al-qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV Toha


Putra

Syukir, Asmuni. 1983. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas,

1983.

Musyidin, Asep dan Ahmad Syafei. 2002. Metode Pengembangan Dakwah.

Bandung: Pustaka Setia.

F. Mas‟udi, S. “Peranan Media Dalam Membentuk Sosio-Kultur Dan Agama


Masyarakat (Menggagas Prinsip-Prinsip Etis Dalam Jurnalistik),” AT
TABSYIR, Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam 01, no. 02 (2013): 216 218.

45
46

Anda mungkin juga menyukai