Anda di halaman 1dari 15

HUKUM TELEMATIKA

“ETIKA PERS dan TINDAK PIDANANYA”

Dosen Pengampu: Sugeng SH.MH

Disusun oleh :

Jordy Debastri (2017101152)

Winda Moylica Pratidina (201710115202)

Kelas: 4A3

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

BEKASI

2019
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................ i

Kata Pengantar .............................................................................................................. ii

Daftar Isi ......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ..........................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah .....................................................................................................2

1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3-10

BAB III PENUTUP........................................................................................................... 11


Kata Pengatar

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ ”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum . Penulis
berharap, makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan .

Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang telah
memberikan ilmunya, bimbingan dan kesabarannya hingga akhirnya makalah ini dapat
selesai tepat pada waktunya.

Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.

Kami berharap, makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan dan rekan-rekan
mahasiswa lainnya. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bekasi, Mei 2019

Tim Penyusun
Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Komunikasi berperan sangat banyak dalam kehidupan manusia, terutama
keampuhannya dalam mempengaruhi mentalitas masyarakat. Hal itu tidak bisa
disangkal lagi, terlebih pada era globalisasi saat ini. Komunikasi yang menurut Harodl
Laswel adalah who says what to whom in which channel and with what effect,
mempunyai komponen-komponen penting di dalamnya yang tidak dapat diabaikan.
Komunikator sebagai sumber informasi, pesan sebagai informasinya, komunikan
sebagai penerima pesan atau informasi, media sebagai alat penyampai atau penghantar
pesan, dan akibat sebagai respon yang diharapkan komunikator (feed back).
Keberadaan media komunikasi saat ini menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa
dilepaskan dari manusia. Oleh sebab itu, bermunculan berbagai sarana komunikasi
yang diharapkan mampu mempercepat proses penyebaran informasi. Media massa
merupakan salah satu bentuk sarana komunikasi yang paling efektif dewasa ini dalam
mensosialisasikan berbagai informasi ke masyarakat. Media massa menjadi salah satu
ujung tombak bagi percepatan penyebaran informasi bagi masyarakat. Yang termasuk
media massa terutama adalah surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film sebagai the
big five of mass media, serta internet (cybermedia, media online).
Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi
salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat, serta perilaku
dan pengalaman kesadaran masyarakat. Oleh karena itu juga banyak kelompok
masyarakat yang berupaya menjadikan media massa sebagai sarana propaganda ide,
citacita, nilai dan norma yang ingin mereka ciptakan. Namun, persoalannya bahwa
pesanpesan yang dibawa oleh media tidak hanya bersifat positif, namun juga bersifat
negatif. Seringkali pemberitaan media lepas kontrol dan tidak memperhitungkan nilai-
nilai etis.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana etika media massa ?
1.2.2. Bagaimana tindak pidana pers dalam pencemaran nama baik seseorang?
1.3. Tujuan
1.3.1.Mengetahui etika media masa dan tindak pidana pers
Bab II

Pembahasan

Etika Media Massa

Etika pada dasarnya merupakan aliran filsafat yang memfokuskan pada  ajaran moral.
Secara etimologi etika berasal dari kata “ethos”  yang berarti watak kesusilaan atau adat.
Identik dengan perkataan moral yang berasal dari bahasa latin yaitu “mos”, yang dalam
bentuk jamaknya disebut “mores”.   Etika memberikan penekanan pada tindakan manusia,
agar ada kesadaran moral, bersusila, dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Sekalipun tidak ada yang melihat, dengan etika,  tindakan yang bermoral selalu akan
dilakukan. Sebab tindakannya didasarkan pada kesadaran, bukan karena keterpaksaan, atau
pengaruh kekuasaan tertentu.

Pengertian etika menurut Altschull adalah bentuk dari nilai-nilai moral dan prinsip
tentang benar dan salah). Seperti apa itu nilai-nilai moral serta apa yang disebut dengan benar
dan apa yang dikatakan dengan salah dapat dikatakan dipahami secara objektif maupun
secara subjectif termasuk etika media.

Etika media dapat dipahami secara objectif karena dalam prakteknya media memiliki
kode etik jurnalistik (dimana di dalamnya mengandung standard mengenai nilai-nilai moral
serta prinsip benar dan salah dalam dunia jurnalistik) yang telah dibentuk oleh sebuah
lembaga pers melalui kesepakatan dari anggota lembaga pers yang terdiri perwakilan dari
para pekerja media. Kode etik jurnalistik diberlakukan dan diterima oleh semua pekerja
media dimanapun dan kapanpun serta menjadi acuan bagi mereka ketika melakukan kegiatan
jurnalistik.

Sebagai ajaran moral, etika berlaku bagi semua tindakan manusia, yang berimplikasi
pada manusia lain. Atau dengan kata lain sepanjang suatu tindakan itu bisa berimplikasi pada
orang lain, maka berlakulah ajaran moral yang namanya etika.  Salah satu pekerjaan yang
berimplikasi pada orang lain adalah komunikasi. Komunikasi mempunyai implikasi kepada
orang yang terlibat dalam proses transaksi pesan. Pesan yang salah atau tidak berdasarkan
fakta, akan berimplikasi pada pemahaman yang salah pada orang lain yang diajak
berkomunikasi. Terlebih lagi, jika pesan tersebut disampaikan melalui media massa,
implikasinyapun akan ada pada orang yang semakin banyak. Bahkan bisa berpengaruh
terhadap konteks yang lebih luas, baik itu menyangkut persoalan politik, ekonomi, maupun
budaya. Nah disinilah mengapa suatu ajaran etika menjadi penting dalam dunia Media massa.

Media Massa (mass-media) adalah channel, medium, saluran, sarana, atau alat yang
dipergunakan dalam proses komunikasi massa. Dalam sudut pandang ini media massa dapat
meliputi:

1. Media cetak (printed media) surat kabar, majalah, buku, pamphlet, billboards dan alat
teknik lainnya yang membawa pesan kepada massa dengan cara menyentuh indera
penglihatan;
2. Media elektronik (electronic media) seperti program radio dan rekaman yang
menyentuh indra pendengaran dan program televisi, gambar bergerak dan rekaman
video yang menyentuh kedua indra pendengaran dan penglihatan
3. Media online (online media, cybermedia), yaitu media massa yang dapat ditemukan di
internet (situs web).

Dalam kajian hukum dan media massa, moral dan etika tersebut dikaitkan pada
kewajiban para jurnalistik antara lain seperti; pelaksanaan kode etik jurnalistik dalam setiap
aktivitas jurnalistiknya, tunduk pada institusi dan peraturan hukum untuk melaksanakan
dengan etiket baiknya sebagaimana ketentuan-ketentuan di dalam hukum tersebut yang
merupakan perangkat prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang pada umumnya sudah diterima
dan disetujui oleh masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, prinsip etika bagi profesi
jurnalistik memberikan dasar hukum bagi pengelolaan pemberitaan di media secara tertib
dalam hubungan antar subyek hukum. Etika berfungsi umumnya untuk melindungi
kepentingan manusia, sehingga pelaksanaan jurnalistik wartawan dapat berlangsung dan
dirasakan oleh manusia bahwa pemberitaan tersebut berfungsi dan berkenan bagi rasa
tenteram dan damai. Dalam hal ini, maka peranan dari penegakan etika profesi jurnalisme
tersebut sangat dominan. Kemudian untuk mencapai tegaknya etika dan berfungsinya hukum,
maka hukum dan penegakan etika itu harus berada atau dalam keberadaan yaitu berfungsi
sebagai kontrol sehingga tercapai tata tentram kerta raharja.

Dalam era globalisasi ini media mempunyai tanggung jawab terhadap para khalayak
yang mengkonsumsinya yang dapat disebut sebagai etika media massa 1 yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:

1. Media harus menyajikan pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas. Media
dituntut untuk selalu akurat dan tidak berbohong. Fakta harus disajikan sebagai
fakta, dan pendapat harus dikemukakan sebagai pendapat. Kriteria kebenaran juga
dibedakan menurut ukuran masyarakat: masyarakat sederhana dan masyarakat
modern.
2. Media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik.
Karenanya, media tak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga
forum penyelesaian masalah.
3. Media harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Syarat ini
menuntut media untuk memahami karakteristik dan juga kondisi semua kelompok di
79 masyarakat tanpa terjebak pada stereotipe. Tujuannya adalah untuk menghindari
terjadinya konflik sosial di masyarakat terkait dengan isi berita yang disajikan.
4. Media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
Ini tidak berarti media harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha
mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat dalam
halhal yang harus diraih. Hal ini karena media merupakan instrumen pendidik
masyarakat sehingga media harus memikul tanggung jawab pendidik dalam
memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat.
1
Komala, Lukiati. (2009). Ilmu Komunikasi: Perspektif, Proses, dan Konteks. Bandung: Widya Padjadjaran: hal
74
5. Media harus membuka akses ke berbagai sumber informasi. Masyarakat industri
modern membutuhkan jauh lebih banyak ketimbang di masa sebelumnya. Alasan
yang dikemukakan adalah dengan tersebarnya informasi akan memudahkan
pemerintah menjalankan tugasnnya. Dengan informasi, sebenarnya media membantu
pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

Institusi media memiliki idealisme, yaitu memberikan informasi yang benar. Dengan
idealisme semacam itu, media ingin berperan sebagai sarana pendidikan. Pemirsa, pembaca
dan pendengar akan semakin memiliki sikap kritis, kemandirian dan kedalaman berpikir.
Hanya saja, realitas sering mempunyai arah yang berlawanan. Derap langkah realitas sering
diwarnai oleh struktur pemaknaan ekonomi yang dirasakan menghambat idealisme itu.
Dinamisme komersial seakan menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan
keindahan (estetika). Logika pasar mengarahkan pengorganisasian sistem informasi. Banyak
pimpinan media yang berasal dari dunia perusahaan mau membenarkan logika pasar itu.
Seakan kompetensi jurnalisme hanya merupakan faktor produksi yang fungsi pertamanya
adalah menopang kepentingan pasar. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media massa
berada di bawah tekanan ekonomi persaingan yang keras dan ketat. Hukum persaingan
menuntut media massa bisa menampilkan informasi terbaru, tidak didahului oleh media lain.
“Slow news, no news” yang menjadi slogan CNN adalah ilustrasi kerasnya tuntutan
persaingan antara media Hanya dengan mempertahankan aktualitas, keuntungan ekonomi
bisa diperoleh. Keuntungan ini yang akan menjamin keberlangsungan sebuah media. Aktual,
cepat dan ringkas mendefinisikan logika waktu pendek.

Pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi mentah-mentah logika waktu


pendek (memburu deadline). Logika ini menuntut pengorganisasian kerja harus tepat waktu,
ringkas dan menguntungkan. Logika yang sama juga menciptakan anggapan bahwa informasi
yang baik adalah bila didapatkan secara langsung, peliputan langsung, siaran langsung,
reportase ke tempat kejadian dan informasi dari sumber pertama. Kecepatan memperoleh
berita belum cukup untuk menjamin posisi keberlangsungan suatu media. Agar tidak
ditinggal oleh konsumen, maka media harus selalu mampu mempertegas kekhasannya dan
memberi presentasi yang menarik. Tuntutan ini menyeret masuk kepada kecenderungan
menampilkan yang spektakuler dan sensasional. Penampilan seperti ini biasanya cenderung
superfisial, karena ingin menyentuh banyak orang dan tidak merugikan, maka dicari yang
menyenangkan semua pihak, lalu yang ditampilkan mirip dengan acara serba-serbi. Dalam
media televisi, tingginya rating adalah ukuran keberhasilan. Sedangkan untuk surat kabar dan
majalah, kriteria yang berlaku adalah jumlah pelanggan, yang pada gilirannya akan sangat
menentukan daya tarik bagi pemasang iklan. Kekhasan yang seharusnya membentuk citra
suatu media (media identity) ironisnya justru menyeret masuk ke suatu jebakan. Lebih
tragisnya adalah yang sering tidak disadari adalah jebakan mimetisme. Keinginan media
untuk memiliki tampilan yang khas yang tidak jarang justru menjerumuskan ke dalam
keseragaman.

Mimetisme media menunjukkan bagaimana penting/tidaknya pemberitaan sering


ditentukan oleh sejauh mana media-media lain dipacu untuk meliputnya. Penentuan nilai
pentingnya suatu pemberitaan seolah terletak pada sejauh mana dinginkan oleh media yang
lain. Lingkup manuver yang seharusnya dibuka untuk mengolah kekhasannya (jati diri
media), akhirnya jati diri itu tidak tercipta karena justru harus menyesuaikan diri (adaptasi)
dengan gairah media-media lain. Bila tidak memberitakan apa yang diberitakan oleh media
lain, ada semacam ketakutan ditinggalkan oleh pemirsa atau pembaca, selanjutnya yang
dipertaruhkan adalah keuntungan ekonomi. Demikian dalamnya pengaruh determinisme
ekonomi dalam dunia media di Indonesia, sehngga hirarkisasi nilai ditentukan oleh konsumsi
massa, sedangkan etika dan profesionalisme jurnalis seringkali dikalahkan. Wartawan
sebagai sebuah profesi pada hakekatnya adalah suatu lapangan pekerjaan (okupasi) yang
berkualifikasi yang menuntut syarat keahlian tinggi kepada para pengemban dan
pelaksananya. Seorang wartawan dituntut untuk memiliki kepekaan sosial yang tinggi,
dengan memberikan kontribusi positif dari peliputan dan pemberitaannya. Hal ini sudah
barang tentu tidak dapa dilepaskan dari fungsi media massa sebagai institusi di mana
wartawan sebagai fungsi pendidikan, penyebar informasi dan menghibur.

Dalam menyampaikan peristiwa kepada publik, media akan selalu bersinggungan


dengan persoalan-persoalan:

1. Accuracy (Kecermatan)
Informasi yang disampaikan oleh media kepada publik merupakan informasi yang
pasti dan tepat, baik dari segi isi (5W + 1H) maupun teknis. Teknis di sini misalnya
adalah penulisan nama nara sumber, penulisan kutipan-kutipan pernyataan dari
narasumber. Kita mengenal istilah cover both side atau lebih jauh cover all
sidedimana semua elemen yang relevan dengan peristiwa yang diliput diberi porsi
pemberitaan untuk tampil di media. Keakuratan informasi mutlak harus dipenuhi
oleh media karena berdampak pada kredibilitas media di mata publik. Media yang
tidak akurat dapat kehilangan kredibilitas karena dianggap memberikan informasi
yang salah kepada publik dan akhirnya akan kehilangan prestise. Untuk
menghasilkan keakuratan informasi dibutuhkan verifikasi yang sesungguhnya oleh
media. Adalah tidak etis jika media tidak akurat dalam menyampaikan berita
karena berarti ia telah mengabaikan prinsip keadilan dan kesamaan kesempatan.
Ketika media hanya memberitakan satu sisi dari sebuah peristiwa maka secara
sengaja maupun tidak telah melebihkan satu pihak daripada yang lain.
2. Truthfulness (Kebenaran)
Informasi yang disampaikan kepada publik merupakan informasi yang sebenarnya
atau sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Informasi yang disampaikan
haruslah objectif. Menurut Kovach dan Rosentiel (dalam Santana, 2005:6)
kebenaran adalah elemen pertama dari kinerja media. 
Kebenaran yang disampaikan bersifat fungsional bukanlah kebenaran religius,
ideologis, atau konsep kebenaran dalam pandangan ahli filsafat. Kebenaran
fungsional adalah kebenaran yang terus menerus dicari. Kegiatan media
melaporkan kebenaran yang dapat dipercaya dan dimanfaatkan masyarakat.
Sebagai contoh, menyampaikan kebenaran info harga barang, nilai mata uang dan
hasil sebuah pertandingan.
3. Fairness (Kejujuran)
Jurnalisme yang pantas dan layak adalah jurnalisme yang jujur terhadap publik.
Jujur dalam mengungkapkan fakta, tanpa adanya manipulasi informasi dari
wartawan atau lembaga berita.
4. Privacy (Keleluasaan Pribadi)
Pemberitaan yang dilakukan oleh media terkadang dengan privacy seseorang,
terutama bila memberitakan seorang tokoh, artis, pejabat negara, atau masyarakat
sipil lainnya yang menjadi objek berita. Oleh karena itu penting adanya kode etik
untuk menghormati hak-hak pribadi seseorang.

Tindak Pidana Pers

Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam
masyarakat demokratis. Kebebasan Pers merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan
suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan karena pers salah satu bagian
penting didalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Namun, dengan melihat perilaku
masyarakat saat ini, fungsi dari pers itu sendiri masih sering disalahgunakan didalam
memenuhi keinginan-keinginan pribadi dari tiap individu-individu tertentu yang ada didalam
masyarakat tersebut. Perbuatanperbuatan penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan
subjek pers selama berhubungan dengan masalah ketersimpangan fungsi pers, dapat
digolongkan menjadi tindak pidana-pers.

Selama ini sudah dikenal dua sistem pertanggungjawaban pidana pers yang menonjol,
masing-masing menurut sistem deelneming atau penyertaan dan sistem waterfall atau air
terjun. Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dalam tindak
pidana pers, maka yang dimaksud adalah pertanggungjawaban pidana yang berlaku dalam
perundang-undangan saat ini yaitu KUHP dan Undang-undang 40 tahun 1999.

Delik pers adalah tindak pidana berupa pernyataan pikiran atau perasaan yang
dilakukan memakai alat cetak. Delik itu menjadi sempurna karena dilakukan memakai
publikasi, karena suatu tindak pidana dilakukan memakai alat cetak atau publikasi, maka hal
itu menjadi delik pers. Kasus-kasus yang berkaitan dengan pers lazim disebut delik pers.
Istilah delik pers, sebenarnya bukan merupakan terminologi (istilah) hukum, melainkan
hanya sebutan atau konvensi dikalangan masyarakat, khususnya praktisi dan pengamatan
hukum, untuk menamai pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan pers. Delik pers adalah
delik yang terdapat dalam KUHP tetapi tidak merupakan delik yang berdiri sendiri. Dengan
kata lain, delik pers dapat diartikan sebagai perbuatan pidana baik kejahatan ataupun
pelanggaran yang dilakukan dengan atau menggunakan pers

Menurut para ahli hukum, delik pers adalah setiap pengumuman dan atau
penyebarluasan pikiran melalui penerbitan pers. Terdapat tiga unsur atau kriteria yang harus
dipenuhi agar suatu perbuatan yang dilakukan melalui pers dapat digolongkan sebagai delik
pers:

a. Adanya pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan melalui barang cetakan.
b. Pikiran dan perasaan yang diumumkan atau disebarluaskan melalui barang cetakan itu
harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hukum.
c. Pengumuman pikiran dan perasaan yang dapat dipidana tersebut serta yang dilakukan
melalui barang cetakan tadi harus dapat dibuktikan telah disiarkan kepada masyarakat
umum atau dipublikasikan.

Jadi, syarat atau unsur terpenting adalah publikasi. Dari tiga kriteria tersebut, kriteria
yang ketiga adalah kriteria paling penting, dan bisa membedakan mana delik yang termasuk
ke dalam delik pers dan mana yang bukan. Kriteria yang ketiga dalam arti yuridis, yaitu
perbuatan pidana yang dilakukan dengan menggunakan pikiran atau perasaan, tidak dapat
dikatakan sebagai delik pers selama bukan dipublikasikan2. Mengingat hingga saat ini,
rumusan yang baku dan tepat mengenai delik pers belum ada, maka dalam kaitannya dengan
delik pidana yang diatur dalam KUHP akan dicari hubungan yang sesuai dengan delik ini,
khususnya pasal-pasal mengenai komunikasi, penyebaran informasi dan media massa, yang
tediri dari jenis-jenis:

1. Delik Kebencian (Haatzaai Arikelen);


2. Delik Penghinaan (Pencemaran Nama Baik); pasal 315 KUHP
3. Delik Penyebaran Kabar Bohong;
4. Delik Kesusilaan; Pasal 282 KUHP
5. Pertanggungjawaban Penerbitan;

Berikut ini adalah Pasal-Pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan beberapa tindak
pidana pers.
1. Pasal 310 sampai Pasal 321 tentang Aneka Penghinaan
Pasal 310 ayat (1) “Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum, diancam dengan pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 310 ayat (2) “Dalam hal dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Kata pencemaran ditulis “dilakukan dengan tulisan atau gambaran” dimuat di media
dalam bentuk tulisan/ teks atau image. Dengan berkembangnya zaman diartikan lebih luas
seperti script yang dibaca pada media radio dan televisi, termasuk juga rekaman video, image
foto, image digital, dan karikatur.

2. Pasal 483 sampai Pasal 485 tentang Kejahatan Dengan Cetakan


Pasal 483 “Barang siapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu gambar yang karena
sifatnya merupakan delik, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.”

3. Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 tentang Kejahatan Atas Martabat Presiden dan
Wakil Presiden.
Pasal 137 ayat 1 “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka
umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden,
dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam

2
Dikutip dalam Rudy S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers Dalam R KUHP Nasional, makalah
dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 137 ini ditujukan kepada orang yang mempublikasikan tulisan dan gambar berisi
penghinaan, bukan yang membuatnya.

4. Pasal 142 sampai Pasal 145 tentang Kejahatan atas Negara Sahabat dan Kepada
Negara Sahabat.
Pasal 142 “Penghinaan dengan sengaja terhadap yang memerintah atau kepada Negara
sahabat diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

5. Pasal 156, Pasal 156a, Pasal 157, Pasal 160, Pasal 162, Pasal 163 KUHP, Pasal 28
ayat 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 (Informasi dan Transaksi Elektronik)
tentang Kejahatan Atas Ketertiban Umum.
Pasal 156 “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau
merendahkan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.”
Yang dimaksud dengan “golongan” dalam pasal ini dan pasal berikutnya ialah tiap-
tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya
karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut
hukum tata negara.

6. Pasal 112 dan 113 tentang Membocorkan Rahasia Negara.


Pasal 112 “Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau
keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan
negara atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

7. Pasal 322 tentang Membuka Rahasia Jabatan/ Profesi.


Pasal 322 ayat 1 “ Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.”

Dalam praktek jika narasumber minta dirahasiakan identitasnya lalu jurnalis malah
membuka, maka si jurnalis dapat dijerat dengan pasal ini.

8. Pasal 282, Pasal 283, Pasal 533, Pasal 534, Pasal 535 KUHP dan Undang Undang No.
44 Tahun 2008 (Pornografi) tentang Kejahatan Kesusilaan/ Pornografi.
Pasal 282 ”barangsiapa menyiarkan mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum,
tulisan atau gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, dapat
dikenai pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tingg
empat ribu lima ratus rupiah."
Pasal lain yang tidak banyak memberi penjelasan adalah pasal 533 ayat 1, di
dalamnya tertulis: barangsiapa di tempat lalu lintas umum dengan terang-terangan
mempertunjukkan atau menempelkanctulisan dengan judul, kulit atau isi yang dibikin
terbaca, maupun gambar ataucbenda yang mampu membangkitkan nafsu birahi remaja dapat
diancam dengan pidana kurungan paling lama dua tahun. Karena itu mengenai pornografi
diatur lebih dalam undang-undang tersendiri.
Dalam kaitan dengan tindak pidana pers, Undang-undang yang perlu disoroti adalah
UU Penyiaran (Pasal 36 ayat (5) dan (6)). UU Penyiaran mengancamkan sanksi pidana
terhadap pelanggaran sebagai berikut:
Pasal 36 : (5) Isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika
dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan.
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia atau merusak
hubungan internasional.

Bab III

Penutup
Kesimpulan

Media massa merupakan alat yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat
yang sangat luas. Penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mendukung khalayaknya
menjadi lebih baik atau mengempiskan kepercayaan dirinya. Media bisa membuat
khalayaknya merasa senang akan diri mereka, merasa cukup, atau merasa rendah dari yang
lain. Karena media merupakan alat penyebaran ideologi yang sangat berpengaruh di era
globalisasi ini dan media merupakan alat yang digunakan untuk mengirimkan informasi
sehingga globalisasi dan budaya dapat diterima dengan baik. Media massa mempunyai peran
yang besar terhadap perilaku dan cara pikir masyarakat. Oleh sebab itu, di era globalisasi ini
seiring semakin canggihnya media teknologi informasi, media massa harus berpikir
bagaimana mengemas tampilan acara-acaranya dengan baik dan mempersatukan nilai bisnis
dan moralitas bangsa, paling tidak dengan mentaati kode etik media atau jurnalistik yang
sedang berlaku. Media massa seharusnya mampu memberikan sesuatu yang benar-benar
mendidik masyarakat bukan hanya sekedar menghibur namun juga masyarakat harus lebih
mampu menilai suatu berita apakah mendidik atau tidak. Peran orang tua juga menjadi hal
yang utama untuk dapat menyaring informasi dari media massa bagi anak-anaknya, sehingga
remaja dan anak-anak mendapatkan berita yang benar-benar bermanfaat bagi perkembangan
pola pikir dan perilaku mereka. Tugas moralitas di sini, bukan hanya tugas media massa dan
orang tua melainkan peran semua pemuka agama dan pemerintah. Sehingga moralitas bangsa
tetap terjaga dan sajian di media massa tetap berhaluan dengan aturan main dalam etika dan
moralitas bangsa.

Pengaturan tindak pidana pers di dalam KUHP antara lain:

1. Tindak pidana terhadap keamanan negara dan ketertiban umum (diatur dalam Pasal
112 KUHP dan Pasal 113 KUHP).
2. Tindak Pidana Penghinaan dengan Sengaja terhadap Presiden (diatur dalam Pasal 134
KUHP).
3. Tindak Pidana Penghinaan terhadap Raja atau Kepala Negara sahabat (diatur dalam
Pasal 144 KUHP).
4. Tindak Pidana Penghinaan atau Penyebaran Kebencian dengan Lisan (diatur dalam
Pasal 154 KUHP).
5. Tindak Pidana Penghinaan atau Penyebaran Kebencian dengan Tulisan (diatur dalam
Pasal 155 KUHP).
6. Tindak Pidana Delik SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) diatur dalam pasal
156 KUHP dan 157 KUHP.
7. Tindak Pidana Penghinaan terhadap Penguasa (diatur dalam Pasal 207 dan Pasal 208
KUHP)
8. Tindak Pidana Pers dalam pelanggaran Kesusilaan (diatur dalam Pasal 282 KUHP.
9. Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan (diatur dalam Pasal 310
KUHP).
10. Tindak Pidana Fitnah atau Pencemaran Tertulis (diatur dalam Pasal 311 KUHP).
Daftar Pustaka

Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Komala, Lukiati. (2009). Ilmu Komunikasi: Perspektif, Proses, dan Konteks. Bandung:
Widya Padjadjaran

Prof Komariah E. Sapardjaja, ”Delik Pers” Dalam KUHP dan RKUHP dalam Kebebasan
Pers Dan Penegakkan Hukum, Dewan Pers, 2003

Rudy S. Mukantardjo, Tindak Pidana Pers Dalam R KUHP Nasional, makalah

Dr. Chairul Huda, SH, MH, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Pernada Media Group, 2006

Edy Susanto, Mohammad Taufik Makarao dan Hamid Syamsudin, Hukum Pers di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta, 2010.

Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik, Teori dan Praktek, Remaja
Rosda Karya, Bandung, 2005.

Syofiardi Bachyul JB, Roni Saputra, dan Andika D. Khagen, Memahami Hukum Pers, LBH
Pers, Padang, 2013.

Anda mungkin juga menyukai