Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita
dapat diskusi bersama dalam kata kuliiah pangantar jurnalis.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Muhammad Saw yang insyaallah kita
nantikan syaafnya esok Yaumil qiyamah.
Diucapkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah pengantar jurnalis atas
bimbingannya sehingga dapat terselesaikan nya makalah ini dengan tepat waktu.
Dan di ucapkan banyak permohonan maaf jika banyak kekurangan pada makalah ini.
Untuk mencegah agar tidak terjadinya penyelewengan di kalangan profesi wartawan, perlu adanya
peraturan yang mengikat profesi kewartawanan tersebut. Diatur dalam sebuah Etika Profesi, adalah
keseluruhan tuntutan moral yang terkena pada pelaksanaan suatu profesi sehingga etika profesi
memperhatikan masalah ideal dan praktek-praktek yang berkembang karena profesi tersebut. Etika
profesi merupakan ekpresi dari usaha untuk menjelaskan keadaan yang belum jelas dan masih samar-
samar dan merupakan penerapan nilai-nilai moral yang umum dalam bidang khusus yang lebih
dikonkretkan lagi dalam kode etik (Tedjosaputro 1995:10). Setiap himpunan profesi merumuskan
semacam kode etik.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Jurnalistik
Untuk lebih mengetahui apa itu jurnalistik, pengertian jurnalistik dapat dibagi menjadi tiga sudut
pandang, yaitu harafiah (etimologi), konseptual (terminologi), dan praktis (Indah, 2014).
2. Jurnalistik adalah “keahlian” (expertise) atau “keterampilan” (skill) menulis karya jurnalistik
(news, views, dan feature), termasuk keahlian dalam pencarian berita, peliputan peristiwa (reportase)
dan wawancara (interview).
Ketiga, jurnalistik secara praktis adalah proses pembuatan informasi (news processing) hingga
penyebarluasannya melalui media massa, baik melalui media cetak dan elektronik. Dari pengertian
ini, ada empat komponen dalam jurnalistik, yaitu sebagai berikut.
Secara umu, informasi adalah pesan, ide, laporan, keterangan, atau pemikiran. Namun, tidak setiap
informasi merupakan hasil jurnalistik. Karena itu, informasi dalam jurnalistik dibagi menjadi dua
jenis yaitu sebagai berikut:
a. Berita (news), yaitu laporan yang bernilai jurnalistik atau memiliiki nilai berita (nws values)-antara
lain aktual, faktual, penting, dan menarik-yang dibuat oleh wartawan. Berita sering disebut “informasi
terbaru” atau salah satu hasil dari aktivitas jurnalistik.
b. Opini atau pendapat (views), yaitu pandangan atau argumen/ pendapat mengenai suatu masalah atau
peristiwa yang sedang berkembang dan menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Opini bukan hasil
kerja jurnalistik wartawan. Dalam kode Etik PWI misalnya, terdapat pegangan pokok bahwa
wartawan Indonesia di dalam menyiarkan beritanya tidak akan mencampurbaurkan antara opinin dan
fakta. “Haram” atau pantang bagi wartawan untuk memasukkan opini atau pendapatnya dalam berita
yang dibuatnya. Meski demikian, opini (views) sangat dibutuhkan kehadirannya dalam media
jurnalistik.
2. Penyusunan Informasi
Informasi yang disajikan sebuah media massa harus dibuat atau disusun lebih dahulu menurut kaidah-
kaidah penulisan yang baik dan benar. Adapun yang bertugas menysun informasi adalah bagian
redaksi (editorial department), yakni mulai dari wartawan (reporter/ kontributor/ koresponden) dan
fotografer, selanjutnya ke redaktur desk, redaktur bahasa, redaktur pelaksana, hingga ke pemimpin
redaksi.
3. Penyebaran Informasi
4. Media Informasi
Media informasi yang dimaksud di sini adalah media massa (mass media), yaitu sarana komunikasi
massa (channel of mass communication). Komunikasi massa sendiri artinya proses pemyampaian
makna yang terkandung dari penyajian pesan, gagasan, dan informasi yang ditujukan kepada khalayak
secara serentak.
a. Media massa cetak (printed media), seperti surat kabar harian, tabloid, majalah, buletin kantor
berita, buku, dan lain-lain;
b. Media massa elektronik (electronic media), seperti televisi, radio dan film;
c.Media online (cybermedia), seperti blog dan website yang berisikan informasi aktual layaknya
media massa cetak.
Pada dasarnya sejarah jurnalistik tidak dapat dipisahkan dengan sejarah penemuan huruf, sejarah alat
cetak huruf, sejarah grafika dan penemuan baru di bidang teknologi informasi.
Sejarah jurnalistik juga tidak dapat dipisahkan dari minat manusia yang semakin hari semakin
bertambah. Manusia mempunyai sifat tidak mau puas, dan sifat inilah yang memotivasi manusia
sendiri untuk menciotakan alat-alat baru, guna memuaskan manusia sendiri (Wahyudi, 1991).
Kode Etik Jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan yang ditetapkan oleh
Dewan Pers. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali di keluarkan oleh PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) (Indah, 2014).
Kode Etik Jurnalistik PWI mengalami perubahan-perubahan dan perbaikan, sehingga sampai Kode
Etik Jurnalistik PWI yang sejarang terdiri dari 7 pasal, yakni sebagi berikut.
1. Kepribadian Wartawan Indonesia
2. Pertanggungan jawab.
5. Sumber Berita.
2. Dampak Negatif
Bagaimnapun sangat sulit untuk menjamin berlakunya kode etik jurnalistik secara utuh dan
konsekuen, masih banyak oknum yang menyalah gunakan profesi. Misalnya, ada wartawan yang
selain mencari informasi mereka juga melakukan pemerasan terhadap narasumber, mereka ini sering
di sapa wartwan amplop atau wartawan bodrek. Dengan tidak adanya kontrol, karena sang wartwan
sudah merasa paling benar, Kadang mereka mengabaikan kode etik itu sendiri (Hamdan, 2016).
Menyampaikan kebenaran merupakan salah satu dari prinsip yang harus dilakukan oleh seorang
Jurnalis. Seorang jurnalis harus memastikan bahwa informasi tersebut merupakan informasi yang
sudah melalui unsur-usur dari peliputan. Dalam kesempatan tersebut Jatmiko menyampaikan bahwa
dalam peliputan terdapat empat unsur yang harus dilalui, mulai dari sumber di masyarakat sampai
dengan verifikasi.
“Informasi dari masyarakat kemudian diolah oleh jurnalis. Ketika jurnalis telah mendapatkan bahan
baku atau informasi dari masyarakat kemudian melakukan pengolahan data dan yang terakhir
melaksanakan verifikasi,” jelasnya.
Jadi sebagai jurnalis tidak hanya mengacu dalam hal kecepatan dalam penayangan informasi saja
melainkan juga harus melalui unsur-unsur tersebut.
Setelah menyampaikan kebenaran, jurnalis juga harus setia kepada kepentingan warga, disiplin
verifikasi, tetap independen, memantau kekuasaan, menyediakan forum bagi publik, membuat
menarik dan relevan, komprehensif dan proporsional dan mengikuti hati nurani.sehingga masyarakat
bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik”
yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan
fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir
(sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita
(newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran,
yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling
membedakannya dari bentuk komunikasi lain.
Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta yang
diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses pengadilan,
hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang divonis itu
mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak.
Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis
bersalah atau tidak-bersalah-- tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan.
Jurnalisme juga bekerja seperti itu.
Sebagai wartawan seharusnya bertanya pada diri sendiri, “Kepada siapa wartawan harus
menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”
Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang
bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga
waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme. Ini memprihatinkan karena wartawan
punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana
mereka bekerja. Walaupun demikian, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan
perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih
menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.
Jika dilihat dari elemen yang kedua ini jelasa bahwa loyalitas wartawan seharusnya berujung pada
publik, sebagai pembaca dari apa yang kita beritakan. Seharusnya dalam proses pemberitaan dari
mulai mencari berita dan narasumber, wartawan tidak boleh dipengaruhi oleh apapun dan siapapun
selain oleh semangat kebenaran dan loyalitas pada publik. Soal perusahaan yang mencari keuntungan
itu seharusnya bukan bagian dari apa yang harus dipikirkan oleh wartawan dalam memberitakan
sesuatu. Seharusnya, yang selalu diingat adalah bagaimana membuat suatu berita yang menarik bagi
pembaca yang menjunjung kebenaran, dan juga bagaimana bertanggung jawab pada publik jika berita
yang dibuat hanya fiktif, padahal sudah jelas yang akan membaca suatu media bukan hanya
sekelompok orang, tetapi semua orang di negara ini bahkan di seluruh dunia. Sesuatu yang sangat
berat yang harus dilakukan wartawan. Belum lagi harus bertanggung jawab terhadap narasumber yang
merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut, mungkin karena tidak pernah memberi keterangan seperti
yang diberitakan oleh wartawan tersebut. Sebagai contoh:
1. Seperti yang telah dilakukan oleh wartawan “Jawa Pos” yang mengaku mewawancarai
dengan Wan Nooraini Jusoh, istri dari almarhum doctor Azahari. Namun, dalam
kenyataannya, Wan Nooraini Jusoh menderita kanker tenggorokan yang tentunya jelas tidak
bisa berbicara. Belum lagi dengan wartawan lainnya yang tidak bisa mewawancarai istri
Doktor Azahari ini, jadi jelas hal ini hanya hasil kreatifitas image dari wartawan Jawa Pos.
Mungkin awal dari pemberitaan yang dilakukan oleh Jawa Pos adalah untuk menaikkan citra
perusahaan, yang mungkin ingin mendapatkan keuntungan. Walaupun pada akhirnya pihak
Jawa Pos mengklarifikasi berita tersebut dengan dalih hal ini tidak hanya terjadi saat ini saja,
tetapi pernah terjadi pada media lain. Sungguh suatu hal yang aneh, padahal untuk
mendapatkan sebuah keuntungan, perusahaan media tidak harus melakukan hal tersebut.
2. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian “The New York Times”. Adolph Ochs percaya
bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan ‘surat kabar-surat kabar kuning’ yang
kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan surat kabar yang serius,
mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without
fear or favor, regardless of party, sect or interests involved”. Pada 1933 Eugene Meyer
membeli harian “The Washington Post” dan menyatakan di halaman surat kabar itu, “Dalam
rangka menyajikan kebenaran, surat kabar ini (The Washington Post) akan mengorbankan
keuntungan materialnya demi kepentingan masyarakat”. Prinsip Ochs dan Meyer terbukti
benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang
menguntungkan.
Dari contoh dua kasus tersebut terlihat jelas mana yang menguntungkan. Media yang jujur, yang lebih
mementingkan kepentingan publik lebih menguntungkan perusahaan tersebut. Tidak hanya soal
prestisius, tapi soal finansial juga menjadi lebih baik. Kepercayaan yang diberikan publik pada media
jangan sampai hilang akibat satu berita bohong dari oknum wartawan. Seperti yang terjadi pada Jawa
Pos, mungkin sekarang kita akan lebih berhati-hati memilih media mana yang dapat memberikan
kebenaran terhadap suatu kasus. Padahal untuk memberikan suatu berita yang benar-benar terjadi,
tidak terlalu sulit. Hanya langkah-langkah sederhana yang harus dilakukan oleh wartawan seperti
liputan, penelusuran sumber berita, wawancara, dan memilih sumber yang kompeten terhadap kasus
yang diangkat. Langkah-langkah sederhana itu tentunya akan menghindarkan kita dari kebohongan
publik. Kita sebagai wartawan dan media seharusnya menyadari arti dari peribahasa akibat nila setitik
rusak susu sebelanga. Akibat satu kesalahan tercemarlah nama baik perusahaan.
Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari
independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap
kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan
perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban
sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan
kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.
Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni,
adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang
paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi
tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa
yang terjadi, seperti apa adanya.
Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka
sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi
berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang
sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah
jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.
Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu
yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang
motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5)
Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.
Disiplin dalam verifikasi inilah yang mampu membuat seorang wartawan dalam menyaring desas-
desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin
verifikasi ini juga yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi, atau seni.
Element ini menunjukan bahwa, seorang wartawan selalu mencek ulang fakta yang ditemukannya,
mereka tidak akan lantas percaya dengan satu bukti atau fakta mengenai berita yang sedang
dikejarnya. Inilah yang membedakan antara jurnalisme dan hiburan (entertain), propaganda dsb.
Hiburan atau infotainment biasanya lebih memfokuskan berita pada apa yang lebih menarik perhatian,
mereka biasanya tidak memperdulikan fakta yang terjadi sebenarnya, sedangkan jurnalisme meliput
kepentingan masyarakat yang bisa menghibur, tapi juga bisa tidak. Jurnalistik, memerlukan verifikasi
akan fakta-fakta serta bukti yang mereka dapat, demi keakuratan berita yang mereka liput. Jadi, batas
antara fiksi dan jurnalisme harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri fiksi setitik pun. Disiplin dalam
jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut dengan objektifitas. Jurnalis mencari
sekian banyak saksi untuk sebuah peristiwa, membuka sekian lemabr dokumen, dan meminta
komentar dari banyak pihak, tidak lain dengan tujuan menceritakan peristiwa setepat-tepatnya.
Contoh kasus :
Berita mengenai ”wanita tua yang di hipnotis di kota Bandung, yang di muat di Koran pikiran rakyat
edisi 7 Maret 2012, menyebutkan bahwa wanita tersebut kehilangan uang Rp. 60 juta setelah bertemu
dengan dua wanita dan mengobrol dengan mereka”. Dari kasus tersebut, tentunya wartawan tidak
lantas mempercayainya, tidak mungkin dalam sekejap seorang wanita kehilangan uangnya, tetapi
mereka mengecek ulang, mencari bukti, bukan hanya mewawancarai korban tetapi juga mencari info
dari sumber-sumber lain, seperti kepada polisi setempat dan staf Bank cabang setempat, di mana
wanita tua tersebut menyimpan dan akhirnya kehilangan uang tersebut.
Melihat kasus tersebut dan keterkaitanya dengan elemen bahwa seorang jurnalis selalu memverifikasi
informasi apa yang mereka dapat, sangat tepat, karena apabila elemen tersebut tidak dijalankan,
bagaimana nasib masyarakat yang membaca atau melihat berita tersebut, bila ternyata berita tersebut
hanya hoax semata.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sudah menjadi watak manusia sebagai makhluk sosial untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Dengan dibekali otak yang sempurna, manusia memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang apa saja
yang terjadi di sekelilingnya, itulah latar belkang munculnya ilmu jurnalistik. Menurut Adinegoro,
“Jurnalistik adalah kepandaian karang-mengarang untuk memberi kabar kepada masyarakat atau
publik dengan secepat-cepatnya dan seluas-luasnya”.
Adanya jurnalistik, pers, dan media massa yang sekarang ini, tidak lepas dari ditemukannya huruf,
kertas, seni grafika, dll. Jurnalistik berkembang sesuai dengan zamannya, dari yang dulu untuk
mengantarkan suatu berita lewat lisan sampai sekarang yang berfungsi tidak hanya berisi berita,
melainkan hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Dengan media penyampaian yang sangat
beragam juga seperti media online, cetak, televisi, dan radio. Dalam membuat dan menyebarkan
sebuah berita, seorang wartawan juga mempunyai batasan dan pedoman yaitu yang dinamakan Kode
Etik Jurnalistik. Semua jurnalis wajib hukumnya untuk mematuhi aturan dan pasal-pasal yang ada
pada KEJ.
B. Saran
1. Semoga makalah yang kami tulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca, dapat
menambah rasa syukur kepada Allah SWT, menjadikan kita menjadi lebih baik dan menjadikan kita
untuk lebih menghormati dan menghargai satu sama lain.
2. Diharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar dapat memperbaiki
makalah yang kami tulis.
3. Apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, kami memohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Hamdan. 2016. Jurnalistik Dan Kebebasan Pers. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suhandang, Kustadi. 2016. Pengantar Jurnalistik: Organisasi, Produk dan Kode Etik. Bandung:
Nuansa Cendekia.
Sumadiria, Haris. 2016. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis
Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Suryawati, Indah. 2014. Jurnalistik Suatu Pengantar Teori Dan Praktik. Bogor: Ghalia Indonesia.
Wahyudi. 1991. Komunikasi Jurnalistik: Pengetahuan Praktis Bidang Kewartawanan, Suratkabar,
Majalah, Radio, dan Televisi. Bandung: Penerbit Alumni.