Anda di halaman 1dari 6

TANTANGAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA

DI ERA REVOLUSI 4.0

Indra Perdana
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Palangka Raya Kalimantan Tengah,
Indra.perdana@fkip.upr.ac.id

ABSTRAK

Perekembangan era digital telah menggeser pola kehidupan yang


berkembang dalam masyarakat. Sastra semakin menghilang dan terabaikan
tergantikan dengan aplikasi teknologi yang lebih modern. Minat membaca karya
sastra juga menurun. Mau tidak mau, sastra lisan harus disesuaikan dengan
keadaan yang ada sekarang, sesuai dengan era digital yang telah berkembang
pesat. Tantangan era digital menuntut adanya upaya perlindungan, penyelamatan,
perekaman dan digitalisasi d a r i B a h a s a d a n s a s t r a . Digitalisasi sastra
lisan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan. Akan tetapi, apakah masih bisa
disebut sebagai sebuah sastra lisan ketika telah terjadi digitalisasi menjadi
permasalahan yang yang terhindarkan. Permasalahan inilah yang menjadi
tantangan sastra lisan ditengah era digital.

Kata kunci: Bahasa dan Sastra, digitalisasi

A. PENDAHULUAN
Teknologi terus berkembang pesat, yang kemudian membawa segala
hal ke dalam bentuk digital. Di Era digital ini membuat manusia menjadi semakin
lekat dengan perangkat elektronik dan tidak dapat lepas dari penggunaan internet.
Perkembangan teknologi ini membuat segala hal menjadi praktis bahkan hanya
dalam bentuk satu genggaman alat elektronik, berupa data-data digital. Segala hal
menjadi lebih mudah dan hal-hal yang bersifat tidak praktis mulai dilupakan.
Era Revolusi Industri 4.0 (selanjutnya: Era 4.0) membawa dampak yang
tidak sederhana. Ia berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk
dalam hal ini adalah pendidikan. Era ini ditandai dengan semakin sentralnya peran
teknologi cyber dalam kehidupan manusia. Maka tak heran jika dalam dunia
pendidikan muncul istilah “Pendidikan 4.0”.
Pendidikan 4.0 (Education 4.0) adalah istilah umum digunakan oleh para
ahli pendidikan untuk menggambarkan berbagai cara untuk mengintegrasikan
teknologi cyber baik secara fisik maupun tidak ke dalam pembelajaran. Pendidikan
4.0 adalah fenomena yang merespons kebutuhan munculnya revolusi industri
keempat dimana manusia dan mesindiselaraskan untuk mendapatkan solusi,
memecahkan masalah dan tentu saja menemukan kemungkinan inovasi baru.
Arus globalisasi sudah tidak terbendung masuk ke Indonesia. Disertai
dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dunia kini memasuki era
revolusi industri 4.0, yakni menekankan pada pola digital economy, artificial
intelligence, big data, robotic, dan lain sebagainya atau dikenal dengan
fenomena disruptive innovation.
Jika kita hubungan dengan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, maka
kita diharuskan untuk beradaptasi dengan keadaan. Bukan berarti memanfaatkan
bahan ajar berbasis terbitan adalah sebuah ketertinggalan namun menjadi sebuah
konsekuasi bahwa basis terbitan harus menjelma menjadi basis digital.
Lalu bagaimana memanfaatkan digital dalah hal ini memanfaatkan internet
dan televisi dalam proses pembelajaran sastra, di sini ada beberapa hal yang harus
diperhatikan:
1) Infrastruktur memadai
2) pengajar harus melek teknologi
3) terampil mencari sumber
4) memahami dalam menginterpretasikan isi yang akan dijadikan bahan ajar
5) mengevalusi dan mengonversi menjadi kebutuhan siswa
media berbasis internet yang bias digunakan dalam pembelajaran misalnya
www.youtube.com. Pada laman ini tersedia jutaan konten yang dapat dijadikan
bahan pembelajaran. Pun dalam pembelajaran sastra, akan banyak ditemukan
konten-konten sastra yang telah berubah dari basis cetak menjadi basis digital.

Pembahasan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra era 4.0
Perkembangan bahasa dan sastra di media juga sempat dikemukakan oleh
H. B. Jassin puluhan tahun lalu tentang peran media massa dalam memuat karya
sastra. Adanya media yang dapat menerbitkan karya sastra ini, dianggap menjadi
sebuah tantangan bagi para sastrawan untuk menyajikan karyanya dalam media
massa. Namun, saat ini hadirnya media online menjadi magnet baru bagi
masyarakat dan mengubah pola interaksi yang sudah ada.
Emzir dan Rohman (2016:93-94), meledaknya industri media massa,
sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indra, organ dan saraf kita, yang
pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih jauh lagi, kekuatan
media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “Tuhan” sekuler, dalam arti:
perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa
disadari telah diatur oleh media massa semisal program televisi.
Tidak hanya mengubah pola interaksi masyarakat, hadirnya dunia digital
juga mengubah pola baru dalam pumbuklikasian karya sastra. Hadirnya berbagai
jenis media sosial seperti twitter, blog, facebook, instagram, dan lain sebagainya,
berdampak pada perubahan dalam dunia kepenulisan khususnya karya sastra.
Arief (2014), mengatakan bahwa sastra populer telah menjadi momok, biang
keladi atas segala kebobrokan yang terdapat dalam dunia sastra. Ia dituduh telah
mencemarkan nama baik sastra dengan hanya memberi hiburan ringan tanpa
isi, membuat remaja berpikir kalau tidak ada hal lain di luar cinta, merusak bahasa
sastra, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi sangat beragam, ada yang
mengalami perubahan genre, perubahan gaya bahasa, tampilan penyajian, dan lain
sebagainya. Selain perubahanya dalam genre dan bentuk karya sastra tersebut,
hadirnya teknologi digital juga berdampak pada fenomena-fenomena sastra yang
terjadi di media sosial.
Modernisasi yang dibantu oleh fenomena peningkatan penggunaan
teknologi merupakan keniscayaan yang secara bertahap melanda negara-negara di
dunia, termasuk bangsa Indonesia. Apabila fenomena tersebut disikapi dengan
cara yang tidak cerdas dan tidak kritis akan membelenggu masyarakatnya ke dalam
hegemoni yang besar (Basyari, 2013) Kemajuan secara bertahap modernisasi suatu
bangsa diharapkan dapat memberikan kehidupan yang lebih nyaman, efektif, dan
efisien. Namun tantangan-tantangan terhadap pengaruh modernisasi dan
penggunaan kemudahan akses internetnya, ternyata tidak disadari oleh semua
pihak. Pendidikan untuk generasi digital menuntut pendidik terus kreatif memutar
otak agar dapat menentukan fungsinya untuk menjembatani antara siswa dan
kepentingan market digital. Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk terbesar
di dunia ini, memang menjadi sasaran empuk sebagai market place oleh
perusahaan-perusahaan teknologi. Apabila pendidik tidak mampu menjembatani,
tentunya kita rasanya akan banyak kehilangan sesuatu yang berharga seperti adat-
istiadat dan budaya yang ada dikawasan nusantara yang tidak dapat dikenalkan
dengan teknik yang cerdas kepada siswa generasi digital, yang lebih sering melihat
budaya-budaya asing.
Siswa generasi digital lebih mendominasi kegiatan dengan games online
daripada mempelajari permainan-permainan tradisional, bahkan permainan
tradisional daerahnya sudah tidak dikenal kembali. Ketagihan dengan games on
line, menjadi masalah serius jika terjadi secara berkelanjutan dan dilakukan
pembiaran saja. Siswa generasi ini sudah tidak dapat dipisahkan kembali dari
gawainya bahkan ketika guru menjelaskan materi pembelajaran dalam proses
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), banyak siswa yang sembari melalukan games
atau bahkan mengutamakan games daripada proses KBM.
Seharusnya ketika kemajuan akses internet dan teknologi semakin mudah
seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) melalui pendidikan, namun fakta didapat di lapangan teknologi semakin
maju, hasil dari penilaian akademik pendidikan tidak mengalami peningkatan
signifikan seperti peningkatan teknologi namun bahkan mengalami penurunan.
Hal ini membuktikan bahwa masih banyak siswa generasi digital yang belum
dapat memanfaatkan teknologi internet dengan tepat sebagai media belajar dalam
hal keilmuan dan kehidupan sehari-hari.
Guru harus melek media dan melek internet. Genarasi guru sekarang ini
adalah generasi X dan Y. Mereka kebanyakan belum mahir dengan berbagai
teknologi informasi dan internet. Padahal mereka harus mengajar generasi Z yang
sangat multi digital. Oleh karenanya, guru harus dan memang wajib memahami
generasi digital ini.

E. KESIMPULAN
Perlindungan sastra lisan dalam era digital adalah hal yang perlu dilakukan
demi mencegah hilangnya sastra lisan. Ada empat tantangan yang ada dalam
e r a digitalisasi sastra yang harus dilakukan yaitu: (1) pengumpulan dan
pengarsipan, (2) pendaftaran dan pengklasifikasian, (3) visualisasi, dan (4) analisis.
Tantangan-tantangan sastra lisan di era digital tidak serta merta meninggalkan
problematika. Problema yang muncul dalam digitasi sastra lisan berupa unsur
utama sastra lisan yaitu keluwesan seorang pencerita akan menjadi terbekukan
sehingga perlu dikembangkan sebuah upaya untuk menghadirkan unsur dan
konteks yang menyertai sastra lisan dalam bentuk digital.

REFERENSI

Budhijanto, Danrivanto (2018). Teori Hukum dan Revolusi Industri 4.0. Bandung:
Logoz Publishing.
Dorji, Tshering Cigay. (2009). Preserving Our Folktales Myths and Legends
In The Digital Era. Journal of Bhutan Studies Volume 20. Hal. 93-108.
Emzir, dan Rohman, S. 2016. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Press.
Kristiawan, M., Suryanti, I., Muntazir, M., & Ribuwati, A. (2018). Inovasi
Pendidikan. Jawa Timur: Wade Group National Publishing.
Litbang Kemdikbud. (2013). Kurikulum 2013: Pergeseran Paradigma Belajar
Abad-21. Diakses dari http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/index-
beritakurikulum/243-kurikulum-2013-pergeseran-paradigmabelajar-abad-21
pada tanggal 23 Maret 2019.
Prensky, M. 2001. Digital natives, digital immigrants. On the Horizon, 9(5):
1—6.
Tangherlini, Timothy R. (2013). Challenges for a Computational Folkloristics.
The Folklore Macroscpope. Hlm. 7-27.
Tomlinson, B. (ed.) (2011). Materials development in language teaching, Second
Edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Trilling, B & Fadel, C (2009). 21st Century Skills, Learning for Life in Our Times.
San Fransisco: Jossey-Bass
Yamnoon, S. (2018). Education 4.0, Teaching and Learning in 21 th Century.
Lobbury Thailand: Thepsatri Rhajabat University.

Anda mungkin juga menyukai