Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN SEMIOTIKA DALAM PROSA FIKSI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Apresiasi Prosa

Dosen Pengampu:
Siswanto, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh:
1. Imma Sajarotul Maulida 200210402003
2. Zahratun Amalina 200210402010
3. Hilda Muyassaroh 200210402017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. karena hanya
dengan rahmatNya-lah kami bisa menyusun makalah ini tepat waktu. Sholawat
dan salam tak lupa kami panjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW. yang telah memberi syafaat-Nya kepada kita.

Dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Apresiasi Prosa, maka


kami membuat makalah sesuai dengan tugas yang sudah diberikan kepada kami.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperluas pengetahuan tentang
Kajian Semiotika dalam Prosa Fiksi.

Kami berharap materi yang ada dapat digunakan sebagai salah satu
pedoman dalam proses pembelajaran. Kami mengucapkan terimakasih Bapak
Siswanto atas bimbingannya serta kepada teman-teman yang telah mendukung
kami dalam menyelesaikan tugas ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna karena pengetahuan


yang kami miliki cukup terbatas. Maka dari itu, kami menerima kritik dan saran
dari pembaca yang bersifat membangun untuk kesempurnaan.

Jember, 13 November 2021

Penyusun

(Kelompok 12)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
1.1 Hakikat Kajian Prosa Fiksi.............................................................................2
2.2 Semiotika dalam Prosa Fiksi..........................................................................3
2.3 Pengimplementasian Pengkajian Semiotika dalam Prosa Fiksi.....................5
BAB III PENUTUP.................................................................................................9
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................9
3.2 Saran...............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya, fiksi, biasa juga diistilahkan
dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa
fiksi tersebut adalah kisahan, atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku
tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang
bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita
(Aminuddin, 1987:66).
Dengan demikian, kegiatan mahasiswa dalam mengkaji prosa fiksi
meliputi kegiatan memahami teori, menganalisis, mengkaji, menentukan, atau
mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam pengkajian
prosa fiksi dan memenuhi kondisi syarat yang sesuai dengan pengkajian prosa
fiksi. Hal ini harus dipahami serta dikenali dengan baik pada saat mengkaji prosa
fiksi.
Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sistem tanda, bahasa, kode,
sistem sinyal, dan lain-lain (Zaimar, 1990: 20-21). Peirce mengemukakan tiga
macam tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang mempunyai
hubungan kemiripan dengan acuannya. Indeks mempunyai hubungan kontiguitas
dengan acuannya. Simbol mempunyai hubungan dengan acuannya berdasarkan
konvensi. Dengan demikian, analisis yang akan dilakukan dalam pengkajian
apresiasi fiksi ini menggunakan pengkajian semiotik.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa hakikat kajian prosa fiksi?
1.2.2 Apa pengertian semiotika dalam prosa fiksi?
1.2.3 Bagaimana pengimplementasian pengkajian semiotika dalam prosa fiksi?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui mengenai hakikat kajian dalam prosa fiksi
1.3.2 Untuk mengetahui mengenai pengertian semiotika dalam prosa fiksi
1.3.3 Unruk mengetahui mengenai pengimplementasian pengkajian semiotika
dalam prosa fiksi

1
2
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Hakikat Kajian Prosa Fiksi
Istilah kajian, atau pengkajian, yang dipergunakan dalam penulisan ini
mengarah pada pengertian penelaahan, penyelidikan. Ia merupakan pembedaan
dari perbuatan mengkaji, menelaah, atau menyelidiki.Pengkajian terhadap karya
fiksi berarti penelaahan, penyelidikan, atau mengkaji, menelaah, menyelidiki
karya fiksi tersebut. Untuk melakukan pengkajian terhadap unsur-unsur
pembentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada umumnya kegiatan itu disertai
oleh kerja analisis. Istilah analisis misalnya analisis karya fiksi, mengarah pada
pengertian pengurai karya itu atas unsur-unsur pembentuknya tersebut, yaitu yang
berupa unsur-unsur intrinsiknya.
Adapun tujuan utama kerja analisis kesastraan, fiksi, puisi, ataupun yang
lain adalah untuk dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang
bersangkutan, disamping untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang
dapat memahami karya itu. jadi, kerja analisis yang tak jarang dianggap sebagai
ciri khas kelompok akademikus itu, bukan merupakan tujuan, melainkan sekadar
sarana, sarana untuk memahami karya-karya kesastraan itu sebagai satu kesatuan
yang padu dan bermakna.
Manfaat yang akan terasa dari kerja analisis itu adalah jika kita membaca
ulang karya-karya kesastraan seperti novel ataupun cerpen yang dianalisis, baik
karya-karya itu dianalisis sendiri maupun oleh orang lain. namun, tentu saja,
analisis itu haruslah merupakan analisis yang baik, teliti, kritis, dan sesuai dengan
hakikat karya sastra. kita akan merasakan adanya perbedaan, menemukan sesuatu
yang baru yang terdapat pada karya itu yang belum ditemukan atau dirasakan
dalam pembacaan terdahulu, sebagai akibat kompleksitasnya karya yang
bersangkutan. kita akan dapat lebih menikmati dan memahami cerita, tema,
pesan-pesan, penokohan, gaya, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya
itu. Namun demikian, adanya perbedaan penafsiran dan atau pendapat adalah
sesuatu hal yang wajar dan biasa terjadi, dan itu tak perlu dipersoalkan. tentu saja

3
masing-masing pendapat itu perlu memiliki latar belakang argumentasi yang
dapat diterima.
2.2 Semiotika dalam Prosa Fiksi
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda.
Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander
Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang
berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar
belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai
ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi.
Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce
menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering dipergunakan
berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama
semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik
(Pradopo, 2005:119).
Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak
dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada
sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek
yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda
atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep
atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda
merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Menurut Peirce, semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar
dan variasi asas-asas yang memungkinkan dalam semiosis. Istilah semiosis
berasal dari risalah Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan bahwa
semiosis mengandung makna perbuatan yang hampir terdapat dalam berbagai
macam tanda dan pengertian saya ini merujuk pada sesuatu perbuatan yang
berlabel tanda (Winfrid North, 1990:42)
Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili
sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke
sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti
mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan

4
dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah
pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda.
”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya
tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti
sesuatu yang lain ”(Zoest, 1993:18).
Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat
teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda.
Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam
sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil,
sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan,
sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu
kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut
uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan,
menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan,
kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.
Selanjutnya dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra
dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak
dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-
akibat (dalam pengertian luasnya). Semiotik merupakan lanjutan dari penelitian
strukturalisme. Hubungan antara semiotik dan strukturalisme adalah sebagai
berikut. ”Keterangan ini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan
antara semiotik dan strukturalisme. (a) Semiotik digunakan untuk memberikan
makna kepada tanda-tanda sesudah suatu penelitian struktural. (b) Semiotik hanya
dapat dilaksanakan melalui penelitian strukturalisme yang memungkinkan kita
menemui tanda-tanda yang dapat memberi makna (Junus, 1988: 98).
Berdasarkan uraian di atas, maka analisis semiotik prosa fiksi yang harus
dilakukan adalah melihat semua struktur sebagai tanda. Penganalisis harus selalu
bertanya apakah tokoh, latar, alur, dan pengaluran, dan penceritaan di dalamnya
itu merupakan sebuah tanda/simbol atau bukan.
Setelah melihat unsur-unsur itu sebagai simbol, simbol-simbol tersebut
dideskripsikan berdasarkan konteksnya. Kemudian dilakukan klasifikasi

5
berdasarkan deskripsi tadi dan ditafsirkan maknanya. Ketika melihat tandatanda
tersebut, adakalanya tanda-tanda tersebut berkaitan dengan teks-teks yang lain.
Oleh karena itu, untuk memahami makna teks tersebut harus selalu dikaitkan
dengan teks yang dirujuknya tadi.
2.3 Pengimplementasian Pengkajian Semiotika dalam Prosa Fiksi
Pierce mengatakan (dalam Sobur, 2009: 160-162) bahwa dalam teori
semiotika walaupun symbol atau lambing merupakan salah satu kategori
tanda(sign), dan ia menyatakan bahwa tanda(sign) terdiri atas ikon, indeks, dan
symbol, tetapi symbol dan tanda adalah dua hal yang berbeda. Secara garis besar,
perbedaan itu terletak dari pemaknaan keduannya terhadap obejk-objek yang ada
disekelilingnya. Tanda berkaitan langsung dengan objek dan tanda dapat berupa
benda-benda yang merupakan keadaan. Ikon adalah tanda yang penanda dan
petandanya menunjukkan ada yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan
petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar orang,
potret atau lukisan. Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya
menunjukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas(sebab-akibat).
Simbol adalah penanda dan petanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan
alamiah atau bersifat arbitrer. Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi.
Pierce mengemukakan bahwa “tanda hanya berarti tanda apabila ia
berfungsi sebagai tanda” (Zoest,1993:10). Dapat disimpulkan bahwa kehadiran
tanda itu harus ada yang mendasari kemunculanya, tidak dengan sendiriannya.
Bagi Pierce fungsi esensial tanda adalah membuat efisiensi, baik dalam
komunikasi kita dengan orang lain, maupun dalam pemikiran dan pemahaman
kita tentang dunia (Zoest, 1993:11).
Kajian ini menggunakan pendekatan semiotika Charles Sanders Pierce sebagai
landasan teori. Teori semiotika Pierce bersifat pragmatic, yakni semiotika yang
mempelajari hubungan di antara tanda-tanda interpreternya ataupara pemakainya
(Budiman, 2011:4).

6
1. Ikon dalam cerpen Robohnya Surau Kami
Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, terdapat ikon yang berupa
tempat ibadah (Suarau) sebagai latar sosial. Dapat dilihat pada kutipan
sebagai berikut.
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku
dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-
kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku.
Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke
jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau
tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat
buah pancuran mandi.”
Dalam cerpen ini menggambarkan begaimana di suatu kampung
terdapat sebuah surau(tempat ibadah). Pada zaman dahulu surau tidak
hanya dijadikan sebagai tempat ibadah namun dapat juga merupakan
tempat berkumpulnya anak laki-laki yang sudah akil baligh untuk tidur di
malam hari, serta menekuni bermacam ilmu dan keterampilan.
Di dalam latar ini juga digambarkan keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaanya, cara hidup, dan
bahasa. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
“Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang
biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga
surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.”
2. Indeks dalam cerpen Robohnya Surau Kami
Cerpen karya A.A Navis ini yaitu, cerpen Robohnya Surau Kami
memiliki beberapa tanda indeks berupa perilaku tokoh dalam cerpen
tersebut.
Dalam cerpen ini menggambarkan ada tokoh Bernama Ajo Sidi. Ia
terkenal dengan bualannya. Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang
bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh aku. Menurut tokoh aku,
Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun

7
yang mendengarnya pasti terpikat.selain itu bualannya selalu mengena
seperti pada kutipan berikut.
“Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah
lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang
mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan
bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi
karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses
terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya
menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo
akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok
dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan
bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang
ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk
selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.”
Selain itu, indeks berupa perilaku juga digambarkan pada tokoh
kakek sebagai orang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai
omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan
diri sendiri dan lemah imanya. Penggambaran watak seperti ini karena
tokoh kakek mudah termakan cerita Ajo Sidi. Sedangkan gambaran
untuk tokoh si kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri
digambarkan melalui ucapannya sendiri, seperti berikut.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak,
punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku
sendiri.”
3. Simbol dalam cerpen Robohnya Surau Kami
Dalam cerpen ini terdapat beberapa simbol seperti, simbol kesabaran
dalam cerpen ini terlihat bagaimana kesabaran yang dimiliki oleh kakek.
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua
menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku
kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu
lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah

8
begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan
mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Dari kutipan tersebut menandakan bahwa tokoh kakek masih
memiliki kesabaran saat dirinya menghadapi sebuah masalah.
Simbol keyakinan yang tergambar oleh tokoh Haji Saleh yang
yakin bahwasannya ia akan masuk surga namun nyatanya ia malah
dimasukkan ke neraka.
“Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-
temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia
tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang
dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan
ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan
bergelar syekh pula.”
Simbol kekayaan dimana digambarkan pada negara Indonesia
yang tanahnya subur dan kaya akan logam, minyak, dan bahan lainnya.
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan
berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’

9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sistem tanda, bahasa, kode,
sistem sinyal, dan lain-lain (Zaimar, 1990: 20-21). Peirce mengemukakan tiga
macam tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang mempunyai
hubungan kemiripan dengan acuannya. Indeks mempunyai hubungan kontiguitas
dengan acuannya. Simbol mempunyai hubungan dengan acuannya berdasarkan
konvensi. Dengan demikian, kegiatan mahasiswa dalam mengkaji prosa fiksi
meliputi kegiatan memahami teori, menganalisis, mengkaji, menentukan, atau
mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam pengkajian
prosa fiksi dan memenuhi kondisi syarat yang sesuai dengan pengkajian prosa
fiksi dengan menggunakan kajian semiotik. Hal ini harus dipahami serta dikenali
dengan baik pada saat mengkaji prosa fiksi.
3.2 Saran
Sebagai seorang mahasiswa khususnya kita mahasiswa jurusan bahasa
indonesia dan sastra selayaknya harus bisa memahami hakikat sebuah karya fiksi
dengan pengkajian semiotik baik dari segi cerita, alurnya, pokok permasalahan,
dan pemplotan dalam cerita tersebut, dan dapat membedakan antara fakta dan
imajinasi dalam cerita tersebut.

10
DAFTAR PUSTAKA
Halimah. 2012. Pengkajian Prosa Fiksi. Dalam
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_I
NDONESIA/198104252005012-HALIMAH/Pengkajian_Prosa_Fiksi.pdf
diakses pada Sabtu, 13/11/2021.
Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Nugraha, Alfian Setya. "Diskursus Realitas Sosial Sebagai Pembentuk Karakter
Manusia dalam Cerpen “Robohnya Surau Kami” Karya AA Navis."
(2015).

11

Anda mungkin juga menyukai