Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH IMPLEMENTASI KAJIAN PROSA FIKSI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Apresiasi


Kajian Prosa Fiksi
Dosen pengampu; Setiawan, S.PD., M.PD., M.Pd

Disusun oleh:
KELAS A
Shahieza Armiyanti 205030026
Syaza Naurah Fatin 205030001
Evan Jelina Hutasoit 205030015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA dan SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PASUNDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang telah
dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“implementasi prosa fiksi” yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Apresiasi Kajian
Prosa Fiksi pada semester tiga.

Dalam makalah ini kami membahas mengenai kajian prosa fiksi, latar belakang kajian prosa
fiksi, teori-teorinya, hingga unsur moral dalam kajian prosa fiksi.

Dalam menyelesaikan makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan dan masukan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Tim Penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada :

1. Bapak Setiawan dan Ibu Panca selaku Dosen mata kuliah Apresiasi Kajian Prosa
Fiksi Universitas Pasundan yang telah memberikan tugas mengenai “Implementasi
Kajian Prosa Fiksi” ini sehingga pengetahuan kami dalam penulisan makalah ini
makin bertambah dan hal itu sangat bermanfaat bagi penyusunan skripsi kami di
kemudian hari.
2. Pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah turut
membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dalam waktu
yang tepat.
kamu menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun
demikian telah memberikan manfaat bagi Tim Penulis.

Akhir kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran
yang bersifat membangun akan Tim Penulis terima dengan senang hati.

Bandung, 07 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................................i
Daftar Isi...................................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
A. Latar belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan masalah.........................................................................................................1
C. Tujuan pembahasan.....................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
A. Hakikat kajian..............................................................................................................2
B. Latar belakang munculnya kajian..............................................................................3
C. Jenis/model kajian........................................................................................................3
D. Bahasa sebagai unsur fiksi...........................................................................................8
E. Unsur moral dalam fiksi...............................................................................................8
F. Pengkajian puisi “Asmarandana” ............................................................................11
BAB III....................................................................................................................................12
KESIMPULAN...........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Prosa dalam pengertian kesusastraan disebut fiksi (fiction), teks naratif atau wacana naratif.
Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Fiksi menceritakan
atau melukiskan kehidupan, baik fisik maupun psikis, jasmani maupun rohani. Fiksi
menceritakan berbagai masalah kehidupan dalam interaksinya dengan lingkungan sendiri,
maupun dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, fiksi dihasilkan dari perenungan
terhadap hakikat hidup dan kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran oleh
pengarangnya.
Karya fiksi, seperti halnya dalam kesusastraan Inggris dan Amerika, merujuk pada karya yang
berwujud novel dan cerita pendek. Menurut The American College Dictionary (dalam Tarigan,
1984:164) novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan
para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu
keadaan yang agak kacau dan kusut. Dewasa ini istilah novella dan novele mengandung
pengertian yang sama dengan istilah Indonesia “Novellet”. Menurut Abrams
(dalam Nurgiantoro, 2010:9) novellet adalah sebuah karya sastra yang tidak terlalu panjang,
namun juga tidak terlalu pendek. Menurut Watt (dalam Tuloli,2000:17) berpendapat, novel
adalah suatu ragam sastra yang memberikan gambaran pengalaman manusia, kebudayaan
manusia, yang disusun berdasarkan peristiwa, tingkah laku tokoh, waktu dan plot, suasana dan
latar. Memperhatikan pengertian novel di atas, dapat dikemukakan bahwa novel merupakan
karya sastra yang mengungkapkan sisi kehidupan para pelaku dan cerita dalam novel tidak
harus panjang. Penelitian ini menggunakan novel sebagai objek penelitian, walaupun dianalisis
dengan menggunakan deiksis.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra fiksi memiliki pemikiran yang
berbeda-beda. Prosa fiksi sendiri memiliki model kajian yang berbeda-beda dan memiliki nilai
moral yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pengertian kajian/telaah/kritik fiksi.
2. Bagaimana latar belakang kemunculan model kajian.
3. Menyebutkan dan menjelaskan model kajian sastra
4. Bagaimana bahasa bisa disebut unsur fiksi.
5. Jelaskan unsur moral dalam fiksi.
C. Tujuan pembahasan
1. Mampu memahami pengertian kajian/telaah/kritik fiksi
2. Mampu menjelaskan latar belakang model kajian.
3. Mampu menjelaskan bagaimana bisa bahasa disebut unsur fiksi
4. Mampu menjelaskan unsur moral

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat kajian/ telaah/kritik fiksi


Dalam jurnal pendidikan yang ditulis oleh Halimah, Kata ”kajian” berasal dari kata ”kaji”
yang berarti (1) ”pelajaran”; (2) penyelidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata
dasar yang demikian, kata ”kajian” menjadi berarti ”proses, cara, perbuatan mengkaji;
penyelidikan (pelajaran yang mendalam); penelaahan (KBBI, 1999: 431).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kajian prosa fiksi adalah penyelidikan atau penelahaan terkait
suatu objek dalam sastra. Bisa berupa unsur intrinsik ataupun ekstrinsik lebih dalam.
Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya, fiksi, biasa juga diistilahkan dengan prosa cerita,
prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kisahan, atau
cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan
rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin
suatu cerita (Aminuddin, 1987:66).
(Wiyatmi, 2006:19 dalam jurnal yang ditulis Halimah menyatakan Kajian sastra bisa diartikan
sebagai proses atau perbuatan mengkaji, menyelidiki, dan menelaah objek material yang
bernama sastra.
Halimah juga menyatakan pendapat dari Nurgiyantoro (2000: 30-31) yang menyatakan bahwa
hakikat pengkajian fiksi menyaran pada penelaahan, penyelidikan, pemahaman melalui
analisis karya fiksi dengan kerja analisis yang dilakukan langsung dalam keadaan totalitasnya.
Beliau juga menyatakan keterampilan yang harus dimiliki mahasiswa dalam mengkaji prosa
fiksi adalah sebagai berikut.
1. Memahami kajian prosa fiksi, yaitu memahami dan mengidentifikasi karya prosa fiksi yang
akan dikaji atau ditelaah.
2. Memilih teori sebagai pisau analisis kajian prosa fiksi.
3. Menyelesaikan pengkajian, penelaahan, yaitu melakukan pengkajian, penelaahan struktur
prosa fiksi secara benar dengan teori kajian yang tepat.
4. Menafsirkan solusi, yaitu memperkirakan dan memeriksa kebenaran pengkajian atau
penelaahan, masuk akalnya hasil penelaahan, dan apakah penelaahan yang dilakukan sudah
memadai.
B. Latar belakang munculnya model kajian
Dalam buku pengkajian sastra, di sana ditulis untuk menemukan nilai-nilai, pesan moral, atau
tepatnya gagasan-gagasan yang terkandung dalam karya sastra tentu diperlukan seperangkat
teori. Ada banyak teori ataupun cara untuk dapat Pengkajian Sastra dimanfaatkan dalam
menemukan nilai-nilai dalam karya sastra yang penting bagi kehidupan manusia. Pada

2
dasarnya, setiap karya sastra akan cocok untuk dipahami dengan menggunakan pendekatan
tertentu, sesuai dengan karakter-istik masing-masing.
Tujuan akhir pengkajian karya sastra adalah mengungkapkan gagasan yang ingin disampaikan
sastrawan kepada pembaca atau makna yang terkandung di balik gaya bahasanya yang indah.
Untuk keperluan itu maka diperlukan penguasaan dan pemahaman seperangkat teori sebagai
pisau analisis dalam upaya pengungkapan gagasan tersebut.
Menurut Hartono, salah satu dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, latar belakang model
pengkajian adalah:
1. Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis. Kondisikondisi
perkembangan tersebut memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
2. Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan
berbagai cara sebagai pendekatan yang baru. Dengan kata lain, gejala sastra
memunculkan hadirnya sejumlah masalah yang baru yang menarik dan perlu
dipecahkan).

C. Jenis atau model kajian prosa fiksi


Ada berbagai teori yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam upaya mengungkapkan
gagasan yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Teori-teori tersebut dari teori
Strukturalisme yang paling kuna hingga teori Kritik Sastra Feminis. Berikut sedikit penjelasan
mengenai teori itu
1. Kajian Strukturalisme
Sebuah karya sastra menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara
koherensif oleh berbagai unsurnya. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu
pendekatan kesusastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangunan
karya yang bersangkutan. Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji, mendekskripsikan fungsi, dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi
yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana
keadaan peristiwa-peristiwa, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Setelah dicobajelaskan bagaimana fungsi-fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang
makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama
membentuk sebuah tolalitas-kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan
antarperistiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan alur yang tidak selalu kronologis,
kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar, dan sebagainya. Pada dasarnya analisis
struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai
unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan keseluruhan. Analisis struktural tidak
cukup dilakukan hanya sekadar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa,
alur, tokoh, latar atau yang lainnya. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan
bagaimana hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik
dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal di atas perlu dilakukan mengingat karya sastra
merupakan sebuah struktur kompleks dan unik, di samping setiap karya mempunyai ciri
kekompleksan dan keunikan sendiri. Hal inilah antara lain yang membedakan antara yang satu

3
dengan karya yang lain. Namun, tidak jarang analisis struktural cenderung kurang tepat
sehingga yang terjadi hanyalah analisis fragmentaris yang terpisah-pisah. Analisis yang
demikian inilah yang dapat dituduh sebagai mencincang karya sastra sehingga justru menjadi
tidak bermakna.
2. Kajian Semiotik
Menurut Luxemburg dkk. (diterjemahkan Hartoko 1982: 44) semiotik berasal dari bahasa
Yunani, yaitu semeion artinya tanda, jadi dalam dunia sastra semiotik adalah analisis karya
sastra yang mengacu pada sistem tanda yang ada di dalam karya sastra. Menurut Berger (2013:
22) semiotika adalah ilmu tentang tanda, tanda yang dimaksudkan adalah tanda apa saja.
Semiotik juga bisa dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda pada
kelompok teks tulis ataupun teks lisan (Perron 2005: 1).
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau
masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Pengkajian sastra menggunakan teori
semiotik merupakan analisis karya sastra yang menjadikan karya sastra itu sebagai objek tanda-
tanda yang memungkinkan karya sastra itu memiliki arti tertentu. Pokok pemikiran dari
semiotik adalah tanda. Tanda memiliki dua aspek, yaitu aspek petanda (signifier) dan aspek
penanda (signified). Teori semiotik lebih mudah digunakan untuk menganalisis karya sastra
dalam bentuk puisi. Pada karya sastra Jawa tradisional masih banyak karya sastra yang
menggunakan puisi. Sangatlah mudah menganalisis karya sastra yang dihasilkan oleh budaya
Jawa karena pada zaman dahulu banyak karya sastra yang menggunakan puisi.
Menurut Pradopo (2013: 120) Tanda dalam suatu karya sastra yang berhubungan dengan
petanda dan penandanya tidak hanya ada satu saja, akan tetapi ada tiga yaitu ikon, indeks, dan
simbol. Pertama, ikon merupakan suatu hubungan persamaan antara penanda dan petanda.
Kedua, indeks merupakan suatu hubungan sebab-akibat antara penanda dan petanda. Ketiga,
simbol merupakan hubungan semau-maunya antara penanda dan petanda.

3. Kajian Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga
mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan
unsurunsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, alur, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-
lain, di antara teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks
berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada
karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk
memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Kajian interekstual berangkat
dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan
budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya
yang khusus berupa teks-teks sastra yang ditulis sebelumnya. Misalnya, sebelum para
pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita
lisan lainnya seperti pelipur lara. Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami
dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi,

4
penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari
sekadar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana memeroleh makna sebuah
karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik
berupa teks fiksi maupun puisi. Misalnya, hal itu dilakukan oleh Teeuw dengan
memperbandingkan antara sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dengan “Senja di
Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar.

4. Kajian Dekontruksi
Kajian Dekontruksi ialah Kajian yang berpusat pada teks. Ia tak lepas dari teks, tetapi paham
yang dipegang lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekontruksi juga menolak
struktur lama yang tak lazim. Bagi dekonstryuksionis menganggap bahwa “bahasa” teks
bersifat logis dan konsisten. Sebuah teks dalam pandangan dekontruksi akan selalu
menghadirkan banyak makna, sehingga teks tersebut sangat kompleks. Kajian dekonstruksi
sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural lebih mengandalkan bahasa
teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap bahasa dapat dikembalikan
ke kenyataan. itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba menghubungkan dengan teks-
teks dan bahkan konteks lainya, diharapkan lebih memadai. Inilah yang dilakukan oleh kaum
dekonstrktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman sastra. Dalam kaitan ini Roland
Barthes (1983) memberi tahapan penelitian dekonstruksi sebagai berikut:
(1) mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan semua unsur
tersebut pada kedudukan yang sama.
(2) unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk
mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan jaringan, baik jaringan antar semua unsur
(jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dan Y).
Dekonstruksi dalam kajian sastra haruslah berangkat dari teks sastra. Jika berangkat dari teks,
maka semua teks sastra dapat dikaji dengan menggunakan metode dekonstruksi. Karena
dekonstruksi adalah suatu yang terjadi dari “dalam teks”, mencari inkonsistensi, kontradiksi,
dan ketidaktepatan logika dan penggunaan istilah, yang kesemuanya dapat digunakan untuk
mendekonstruksi teks.
5. Kajian Historis-Biografis
Kajian Historis-Biografis ialah Kajian yang melihat karya sastra sebagai sebuah cerminan
kehidupan pengarang dan sejarah yang melingkupinya. Kajian Historis-Biografis ini berangkat
dari anggapan bahwa karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan dan zaman yang dialami
pengarang. Atas dasar itu, kajian ini lebih diarahkan pada adanya kesesuaian atau tidak atau
seberapa banyak kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu ada atau mempengaruhi suatu karya
sastra.
6. Kajian Moral-Filosofis
Pada Kajian Moral-Filosofis ini berpangkal dari dasar pikiran bahwa karya sastra itu
merupakan media menyampaikan nilai-nilai, ajaran-ajaran religi maupun falsafah. Dengan
demikian, arah telaah ini lebih ditujukan kepada upaya menemukan nilai-nilai moral atau

5
pendidikan yang terdapat di dalam suatu karya sastra, Dalam hubungannya dengan pengajaran,
maka dapat dikatakan bahwa pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling
berkaitan tentang sastra dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan pengajarannya.
Aspek moral disini merupakan aspek yang berkaitan dengan sikap, akhlak, budi pekerti, yang
dapat diambil dari suatu cerita tersebut.
7. Kajian Formalitas
Kajian Formalitas ini berasal dari dasar pikiran bahwa karya sastra itu terdiri dari bentuk dan
isi. Yang dimaksud dengan bentuk ialah semua unsur yang dimanfaatkan untuk menyampaikan
isi. Sementara itu yang dimaksud dengan isi ialah segala hal yang terdapat di dalam bentuk.
Bertolak dari pikiran itu, sasaraan telaah lebih ditujukan kepada bagaimana bentuk karya sastra
yang ditelaah tersebut dan apa yang hendak disampaikan oleh karya sastra bersangkutan.
8. Kajian Psikologi

Bimo Walgito (dalam Fananie, 2000: 177) mengemukakan psikologi adalah salah satu cabang
ilmu pengetahuan yang objek studinya adalah manusia, karena perkataan psyche atau psicho
mengandung pengertian “jiwa”. Dengan demikian, psikologi mengandung makna “ilmu
pengetahuan tentang jiwa”.Psikologi sastra berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-
tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang
merupakan objek utama psikologi sastra sebab semata-mata dalam diri manusia itulah aspek
kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Penelitian psikologi sastra dilakukan melalui dua
cara. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian diadakan analisis terhadap
suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai
objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk
melakukan analisis (Ratna, 2004: 344). Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi, sebab
sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, dan esay yang diklasifikasikan ke dalam
seni (art), sedangkan psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan
proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya
berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia,
psikologi jelas terlibat erat, karena psikologi mempelajari perilaku. Perilaku manusia tidak
lepas dari aspek kehidupan yang membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Psikologi sastra
mempelajari fenomena, kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam karya sastra
ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkunganya. Dengan demikian, gejala
kejiwaaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh dalam sebuah karya sastra.

Hubungan antara karya sastra dan psikologi juga dikemukakan oleh suwardi (2004:96) yang
mengemukakah bahwa karya sastra dipandang sebagai gejala psikologis, akan menampilkan
aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa prosa atau drama
sedangkan jika dalam bentuk puisi akan disampaikan melalui larik-larik dan pilihan kata khas.
Sastra sebagai “gejala kejiwaan” yang didalamnya terkandung fenomena yang tampak melalui
perilaku tokoh-tokohnya.

9. Kajian Sosiologi Sastra

6
Sosiologi sastra merupakan penggabungan dua bidang ilmu yaitu sosiologi dan sastra. sosiologi
dan sastra memiliki masalah yang sama yaitu berkaitan dengan manusia dalam masyarakat,
adanya usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan mengubah masyarakat itu. Sosiologi sastra
yaitu mempelajari hubungan sastra dengan masyarakat atau hubungan masyarakat dengan
sastra. Dalam hal ini, Damono (2003: 2) memaparkan adanya dua kecenderungan pendekatan
dalam kajian sosiologi sastra yaitu: pertama, pendekatan yang bersandar pada anggapan bahwa
sastra merupakan cermin proses ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dalam faktor-faktor
di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai penelaah.
Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui
strukturnya kemudian dipergunakan untuk memahami representasi cerita yang ada dalam novel
tersebut. Lebih lanjut, Swingewood (dalam Faruk, 2010: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai
studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dan masyarakat, studi mengenai lembaga-
lembaga dan proses-proses sosial. Penjelasan di atas adalah bahwa sastra merupakan
pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema
kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari
masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Penelitian sosiologi
sastra dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan
sastra 194 dalam masyarakat.

10. Resepsi Estetika Sastra

Kajian resepsi berarti Kajian yang berisi tentang penerimaan atau penikmatan karya sastra oleh
pembaca (Endraswara 2008: 118). Penelitian resepsi, meneliti teks sastra dengan bertitik tolak
terhadap pembaca sebagai pemberi reaksi terhadap teks tersebut. Pertemuan antara pembaca
dan teks sastra menyebabkan terjadinya proses penafsiran atas teks oleh pembaca sebagai
objekif, yang hasilnya adalah pengakuan makna teks (Nuryatin, 1998: 135). Dalam
menanggapi karya sastra, pembaca selalu membentuk unsur estetik melalui pertemuan antara
horizon harapan, bentuk teks, dan norma-norma sastra yang berlaku. Pembaca selaku pemberi
makna akan senantiasa ditentukan oleh ruang, waktu, golongan sosial budaya dan
pengalamannya (Jauss dalam Nuryatin 1998: 133). Hal ini karena dalam meresepsi sebuah
karya sastra, pembaca bukan hanya memberi makna tunggal tetapi juga makna lain yang akan
memperkaya karya sastra.
Resepsi sastra atau estetika sastra merupakan penelitian yang menfokuskan perhatian kepada
pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra, sehingga
memberikan reaksi terhadap teks tersebut. Menurut pendekatan resepsi sastra, suatu teks baru
punya makna bila ia sudah punya hubungan dengan pembaca. Teks memerlukan adanya kesan
yang tidak mungkin ada tanpa pembaca (Junus, 1985: 104). Resepsi sastra memiliki kaitan
dengan sosiologi sastra karena keduanya memanfaatkan masyarakat pembaca. Menurut Ratna
(2009: 168), kaitan resepsi sastra dengan sosiologi sastra terjadi dengan masyarakat biasa,
dengan pembaca konkret, bukan dengan masyarakat yang terkandung dalam karya sastra
(intrinsik).
11. Rekreatif Sastra

7
Sesuai dengan fungsi rekreatif sastranya yang mana sastra harus dapat memberikan hiburan
ataupun menjadi media yang menghibur kepada para pembacanya. Maka kajian rekreatif yaitu
mengkaji hubungan antara sastra dengan media penghibur bagi masyarakat.
12. Penghakiman
Pendekatan penghakiman biasanya masuk kedalam kajian kritik sastra, Kritik penghakiman
(judicial criticism) ialah kritik sastra yang berusaha menganalisis karya sastra dan
menerangkan efek-efek sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya, dan gayanya,
serta mendasarkan pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang
kehebatan atau keluar-biasaan karya sastra.
D. Bahasa sebagai unsur fiksi

a. Pengertian bahasa

Menurut Wikipedia, Bahasa berasal dari Bahasa Sanskerta (भाषा) yaitu bhāṣā. Yang artinya
kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya
menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan.
Sedangkan Bahasa menurut KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah; sistem
lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
b. Pengertian fiksi
Menurut Wikipedia, fiksi merupakan cerita atau latar yang berasal dari imajinasi. Dengan
kata lain, tidak secara ketat berdasarkan fakta atau sejarah.
Sedangkan menurut KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia, fiksi adalah cerita rekaan
(roman, novel, dan sebagiannya.)
c. Bahasa sebagai unsur fiksi
Sri Wahyuni mengatakan dalam jurnal Kekuatan Bahasa Dalam Karya Fiksi yang ia tulis
bahwa seni dalam sastra sama halnya dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur
bahan, alat, dan sarana yang akan diubah menjadi suatu karya yang akan memiliki nilai lebih
daripada sekedar bahannya saja.
Bahasa sendiri, merupakan sarana pengungkapan sastra. Khususnya fiksi. Di samping sering
disebut dunia kemungkinan, juga dikatakan dunia dalam kata. Beliau mengatakan hal itu
disebabkan karena dunia yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, sekaligus ditafsirkan lewat
kata-kata dan bahasa. Apa pun yang dikatakan atau ditulis pengarang, ditafsirkan oleh pembaca
dan bersangkut paut dengan bahasa.
Sesungguhnya, bahasa akan indah diucapkan dan manis untuk didengar jika bahasa diucapkan
dengan baik dan juga beretika. Bahasa juga dikenal sebagai sarana mengungkapkan sastra. Di
pihak lain, sastra lebih dikenal lebih dari sekedar bahasa, deretan kata atau kalimat. Namun,
unsur kelebihannya hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan menggunakan bahasa. Jika sastra
dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu, dan sesuatu itu hanya bisa
diungkapkan atau dikomunikasikan lewat bahasa.

8
E. Unsur moral dalam fiksi
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
lingkungan dan sesama. Interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksi dengan Tuhan. Sri
Wahyuni mengatakan dalam jurnal Kekuatan Bahasa Dalam Karya Fiksi yang ia tulis bahwa
meskipun fiksi berupa khayalan atau imajinasi, tidak bisa dibenarkan bahwa fiksi dianggap
hanya sebagai hasil kerja lamunan belaka. Melainkan, penghayatan dan perenungan secara
intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan.
Dalam fiksi juga mengandung nilai atau unsur moral. Dalam buku jurnal Unsur Moral Dalam
Karya Fiksi yang ditulis oleh Sri Wahyuni. Beliau menyatakan bahwa moral merupakan makna
yang terkandung dalam sebuah karya fiksi, makna yang disarankan lewar cerita. Ada kalanya,
moral diidentikkan dengan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, dan diambil dari cerita.
Moral dalam karya fiksi biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang atau penulis
yang bersangkutan dengan pada pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran dalam hidup yang
disampaikan kepada pembaca. Penulis menceritakan model kehidupan yang diidealkannya
yang senantiasa menawarkan pesan moral sesuai dengan sifat luhur kemanusiaan.

a) Jenis dan wujud pesan moral


Dalam setiap jenis fiksi pasti mengandung jenis pesan moral. Jenis pesan moral tentu saja bergantung
pada keyakinan, keinginan, dan interes pengarang yang bersangkutan. Jenis ajaran moral boleh
dikatakan bersifat tidak terbatas. Dalam sebuah novel tentu saja dapat menawarkan pesan moral itu
salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus. Bahkan, secara garis besar persoalan mengenai hidup dan
kehidupan manusia mencakup tiga hal, yakni; (1) hubungan manusia dengan diri sendiri, (2) hubungan
manusia dengan manusia lain, (3) hubungan manusia dengan Tuhan. Jenis dan wujud pesan moral
sebagai berikut:
1. Pesan religius dan kritik sosial
Pesan moral yang berwujud moral religius, termasuk di dalamnya yang bersifat keagamaan, dan kritik
sosial dapat ditemukan dalam karya fiksi atau dalam genre sastra lain. Kedua hal tersebut merupakan
lahan yang banyak memberikan inspirasi bagi para penulis. Khususnya penulis sastra Indonesia
modern.
Tri Hartanto dalam skripsinya yang berjudul Pesan Religius dan kritik sosial dalam novel “Yang miskin
dilarang miskin” mengatakan pesan religius Islami dalam novel Yang Miskin Dilarang Maling
tergolong dalam aspek akidah (menerima takdir, hanya kepada Allah manusia meminta pertolongan,
bersyukur kepada Allah) dan muamalah (jangan mudah putus asa, kemiskinan adalah cobaan agar
manusia bersabar dan bekerja keras, berlomba- lomba dalam berbuat kebaikan). Kritik sosial dalam
novel Yang Miskin Dilarang Maling yaitu orang miskin selalu dianggap tidak penting, prasangka buruk
terhadap orang miskin, strata sosial memisah hubungan si kaya dan si miskin, ketidakadilan hukum
dalam memperlakukan orang miskin.
2. Pesan religius dan keagamaan
Unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra
tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Istilah religius membawa konotasi pada makna agama.
Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan,
namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda. Dengan demikian religius bersifat
mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi. Moral religius

9
menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi hati nurani yang dalam harkat martabat serta kebebasan pribadi
yang dimiliki oleh manusia. Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra itu sendiri adalah
setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra tumbuh dari sesuatu yang bersirat religius. Seperti
pada kutipan Manginwiajaya (1982:11) tentang religius yang membawa konotasi pada makna agama.
Unsur-unsur keagamaan dan religiositas dihadirkan secara koheren dalam cerita Robohnya Surau Kami
menceritakan kehidupan seorang penunggu surau yang hanya beribadah melulu dan melupakan urusan
dunia, yang akhirnya bunuh diri. Pesan keagamaan yang disampaikan pada cerita tersebut bahwa
kehidupan dunia dan akhirat harus dijalani secara seimbang. Manusia boleh saja dan mewajibkan
beribadah secara sungguh-sungguh serta selalu mengingat Tuhan, tetapi manusia tidak bias terhindar
dari kebutuhan duniawi.

3. Kritik sosial
Sastra yang mengandung pesan dapat juga disebut sebagai sastra kritik yang biasanya akan lahir di
tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Kritik
sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi atau dalam genre sastra yang lain. Hampir semua novel
Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini boleh dikatakan mengandung unsur pesan
kritik sosial walaupun dengan tingkat intensitas yang berbeda.
Azis Dwi Prakoso mengatakan dalam jurnal skripsi yang berjudul Kritik sosial dalam novel “Detik-
detik cinta menyentuh” karya Ali Shahab. Ada tiga kritik sosial yang terkandung dalam novel Detik-
detik Cinta Menyentuh Karya Ali Shahab. Kritikan pertama adalah kritik terhadap kekuatan tirani yang
menjadi penyebab kemiskinan dan kehancuran rumah tangga. Dalam novel ini, tokoh pemegang
kekuasaan dan kekayaan tidak dapat menunjukan sikap bijaksana dan baik budi, bahkan sering kali
berperilaku sewenang-wenang.
Kritikan kedua adalah kritik terhadap sikap otoriter kaum borjuis, kaum borjuis memang sudah lama
dikenal karena gaya hidupnya yang mewah dan glamour, mereka selalu berlaku sewenang-wenang
karena mereka merasa memiliki otoritas terhadap setiap individu yang berada disekitar mereka.
Kritik ketiga adalah kritik terhadap masalah diskriminasi dalam kehidupan sehari- hari. Dapat
disaksikan keberadaan para orang dengan kecacatan masih menemui berbagai hambatan dalam banyak
hal, antara lain disebabkan belum dipahami dan dimengerti oleh sebagian warga masyarakat tentang
bagaimana kita berperilaku dan bergaul bersama orang dengan kecacatan. Dalam aspek pendidikan,
pekerjaan dan aspek lainnya sering kali masih ditemui adanya perlakuan-perlakuan diskriminatif
terhadap mereka.
d. Bentuk penyampaian pesan moral
Dari sisi tertentu cerita fiksi dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk
mendialogkan, menawar, dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang
suatu hal, gagasan, moral atau amanat. Selain itu bentuk penyampaian pesan moral pada karya fiksi
menyatakan adanya kejujuran dalam bentuk sikap dan kejujuran dalam bentuk amanat. Kejujuran dalam
bentuk amanat inilah yang biasanya terdapat pada alur cerita yang ada pada karya fiksi. Mansyur (2016)
menyatakan bahwa nilai kejujuran dalam karya fiksi merupakan penggambaran pada nila-nilai
kehidupan, di mana pembaca mampu memahami secara tidak langsung melalui imajinasi yang
bersumber pada amanat yang terkandung di dalam fiksi.
Sri Wahyuni dalam jurnalnya yang bertajuk Unsur Moral Dalam Karya Fiksi menyatakan secara
umum, dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi bersifat langsung dan juga
tidak langsung. Namun, sebenarnya pemilihan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada
pesan yang bersifat agak langsung.

10
1. Bentuk penyampaian langsung
Bentuk penyampaian moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan
watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expository. Jika dalam teknik uraian
pengarang secara langsung mendeskripsikan tokoh yang bersifat memberitahu atau memudahkan
pembaca untuk memahaminya. Hal demikian itu pula yang terjadi dalam penyampaian pesan moral.
Jadi pesan moral yang ingin disampaikan dengan langsung dan ekspilit. Dan secara langsung
memberikan nasihat dan petuah kepada pembaca.

2. Bentuk Penyampaian Tidak Langsung


Pesan dalam penyampaian tidak langsung hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara
koherensif dengan unsur- unsur cerita yang lain. Jika dibandingkan dengan teknik pelukisan
watak tokoh, cara ini sejalan dengan teknik ragaan, showing. Yang ditampilkan dalam cerita
adalah peristiwa-peristiwa, konflik, sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi
peristiwa dan konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang
hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Sebaliknya dilihat dari pembaca, jika ingin
memahami dan atau menafsirkan pesan itu, harus melakukannya berdasarkan cerita, sikap dan
tingkah laku para tokoh tersebut.

F. Pengkajian Puisi “Asmaradana” Karya Subagio Sastrowardoyo

ASMARADANA
Sita di tengah nyala api
tidak menyangkal
betapa indahnya cinta berahi

Raksasa yang melarikannya ke hutan


begitu lebat bulu jantannya dan Sita
menyerahkan diri

Dewa tak melindunginya dari neraka


tapi Sita tak merasa berlaku
dosa sekedar menurutkan naluri

Pada geliat sekarat terlompat doa


jangan juga hangus dalam api
sisa mimpi dari sanggama.

1. Analisis dengan pendekatan Ekspresif


Analisis karya sastra dilihat dari latar belakang kehidupan sastrawan/ penyair dengan segenap
pandangan hidup, filsafat hidup, ideologi, pendidikan, dan pengalaman batinnya merupakan pendekatan
ekspresif.
Subagio Sastrawardoyo adalah sebagai penyair kawakan yang telah lama malang melintang dalam
dunia sastra Indonesia. Karya-karyanya sarat dengan aspek sosiokultural yang membawa pesan-pesan
moral yang penting bagi kehidupan manusia. Subagio dikenal sebagai penyair yang piawai menciptakan
karya-karya puisi yang membicarakan eksistensi kemanusiaan.

11
2. Analisis dengan pendekatan Mimetik
Analisis karya sastra dengan pendekatan metik adalah analisis karya sastra dengan mengaitkannya
dengan kondisi sosial budaya ketika karya sastra itu dilahirkan.
Puisi “Asmaradana” lahir di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang memang sudah akrab dengan
cerita wayang Ramayana dari India yang termasyhur itu. Kehadiran puisi itu tentu saja sempat
mengejutkan masyarakat sastra Indonesia karena isinya berbeda dengan cerita Ramayana. Atau, tepatya
isi tema puisi itu sengaja diselewengkan oleh penyair dari isi cerita aslinya. Dalam cerita Ramayana,
dikisahkan Dewi Sita, istri Rama yang diculik dan ditawan oleh Rahwana, tetap setia menjaga
kesuciannya demi cintanya kepada suaminya, Rama. Ketika Rama menguji kesuciannya dengan dibakar
api, Sita tidak terbakar oleh api sehingga Sita tetap hidup sebagai bukti akan kesuciannya.

BAB III
KESIMPULAN

Prosa dalam pengertian kesusastraan disebut fiksi (fiction), teks naratif atau wacana naratif.
Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Fiksi menceritakan
atau melukiskan kehidupan, baik fisik maupun psikis, jasmani maupun rohani. Fiksi
menceritakan berbagai masalah kehidupan dalam interaksinya dengan lingkungan sendiri,
maupun dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, fiksi dihasilkan dari perenungan
terhadap hakikat hidup dan kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran oleh
pengarangnya.
Kajian prosa fiksi adalah penyelidikan atau penelaahan terkait suatu objek dalam sastra. Bisa
berupa unsur intrinsik ataupun ekstrinsik lebih dalam.
Latar belakang terjadinya kajian prosa fiksi adalah:
1. Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis. Kondisikondisi
perkembangan tersebut memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
2. Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan
berbagai cara sebagai pendekatan yang baru. Dengan kata lain, gejala sastra
memunculkan hadirnya sejumlah masalah yang baru yang menarik dan perlu
dipecahkan).
Model-model kajian prosa fiksi:
1. Struktural
2. Semiotik
3. Intertekstual
4. Dekonstruksi
5. Historis-biografi
6. Moral filosofis
7. Formalitas

12
8. Psikologis
9. Sosiologis
10. Resepsi estetika
11. Rekreatif
12. penghakiman
Bahasa sebagai unsur fiksi yaitu di mana bahasa sebagai jembatan makna untuk
menyampaikan pesan dari penulis kepada pembaca.
Ada beberapa unsur norma dalam prosa fiksi. Yaitu:
1. Pesan religius dan kritik sosial.
2. Pesan religius dan keagaamaan.
3. Kritik sosial.
Dalam penyampaian unsur moral dibagi dua, yakni secara langsung dan tidak langsung

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal yang ditulis oleh Halimah. Yang diakses/ diunduh melalui laman:
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/19810
4252005012-HALIMAH/Pengkajian_Prosa_Fiksi.pdf (Diakses pada 4 Oktober 2021, pukul
18:03 WIB)
Imron, Ali, dan Farida 2017. PENGKAJIAN SASTRA dan teori aplikasi. Surakarta: Cv. Djiwa
Amarta Press
Yang diunduh melalui
http://lppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Buku%20Pengkajian%20Sastra.pdf (Diakses pada
6 Oktober 2021, pukul 22:44 WIB)
Materi pendekatan kuliah yang diunduh melalui
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132049472/pendidikan/materi-kuliah-pengantar-ilmu-sastra-
ii-pendekatan-dalam-pengkajian-sastra.pdf (Diakses pada 6 Oktober 2021, pukul 22:38 WIB)
http://repository.umko.ac.id/id/eprint/62/1/Buku%20KAJIAN%20PROSA%20FIKSI_Sri%2
0Widayati_2020.pdf (Diakses pada 5 Oktober 2021, Pukul 21.30)
https://blogkosmit.blogspot.com/2012/12/bentuk-bentuk-prosa-dan-pendekatan.html (Diakses
pada 6 Oktober 2021, Pukul 10.00)
https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/11354-Full_Text.pdf (Diakses pada 6 Oktober
2021, Pukul 15.00)
https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/11354-Full_Text.pdf (Diakses pada 7 Oktober
2021, Pukul 07.30)
https://kritiksastraindonesia.blogspot.com/2014/10/kritik-penafsiran-dan-pendekatan-
dalam.html (Diakses pada 7 Oktober 2021, Pukul 09.00)

13
http://digilibfkip.univetbantara.ac.id/materi/Buku%20Pengkajian%20Sastra.pdf (Diakses
pada 7 Oktober 2021, pukul 19:40 WIB)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahasa (diakses pada tanggal 7 Oktober Pukul 09.00 WIB)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Fiksi (diakses pada 7 Oktober 2021 Pukul 09.30 WIB)
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/fiksi (diakses pada 7 Oktober 2021 Pukul 09.40 WIB)
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bahasa (diakses pada 7 Oktober 2021 pukul 09.43 WIB)
https://osf.io/u9dre/ (diakses pada 4 Oktober 2021 pukul 20.14 WIB)
https://osf.io/u9dre/ (diakses pada 7 Oktober 2021 pukul 11.36 WIB)

14

Anda mungkin juga menyukai