INTERTEXTUALITY
DISUSUN
Oleh
FAHLUL AZMI: 2211070011
1
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirahim
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan Makalah ini
kekurangan, akan tetapi penulis berharap semoga apa yang tertulis dalam makalah
ini bermanfaat bagi mereka yang memerlukan dengan harapan semoga dapat
bermanfaat.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1. Latar Belakang.................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................2
1.3. Tujuan penulisan..............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3
2.1. Pengertian dan Konsep Teori Intertextuality...................................3
2.2. Sejarah dan Perkembangan Teori Intertextuality.............................6
2.3. Dasar Pemikiran Teori Intertextuality............................................12
2.4. Penerapan dan Kaedah Analisis.....................................................14
DAFTAR RUJUKAN...........................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Intertekstualitas adalah salah satu istilah yang paling umum digunakan dan
sebuah istilah yang dipahami secara umum dan menyediakan serangkaian prosedur
kritis yang stabil untuk penafsiran. Faktanya, tidak ada yang bisa lebih jauh dari
kebenaran. Istilah ini didefinisikan dengan sangat beragam sehingga, saat ini, mirip
menggunakan frasa dari karya kritikus AS Harold Bloom, kurang ditentukan dalam
makna dan terlalu ditentukan dalam kiasan. Intertekstualitas, salah satu ide sentral
dalam teori sastra kontemporer, bukanlah istilah yang transparan dan karenanya,
meskipun digunakan dengan percaya diri oleh banyak ahli teori dan kritikus, tidak
dapat dimunculkan dengan cara yang tidak rumit. Istilah seperti itu dalam bahaya
artinya tidak lebih dari apa pun yang diinginkan oleh setiap kritikus tertentu (Allen,
G. 2021:2 ).
Menurut Albay & Serbes (2017), sastra bukanlah produk bangsa tertentu;
melainkan kombinasi dari pengalaman semua bangsa. Jadi bisa dikatakan, ada
warisan di antara ujian sastra di seluruh sastra dunia. Memikirkan perubahan global
dan perkembangan teknologi, cukup mudah untuk melihat persoalan interaksi antar
1
Kajian intertekstual merupakan kajian sejumlah teks pada novel, yang diduga
mempunyai kesamaan antara novel yang satu dengan yang lainnya. Kajian
Intertekstual berangkat dari pemikiran bahwa karya tak mungkin lahir sendiri dan
sering terdapat kemiripan dari beberapa aspek antara novel yang satu dengan yang
yang lainnya. Hal ini karena masalah-masalah kehidupan yang dihadapi sering
memberikan gejala yang hampir sama pada kejiwaan semua orang, karenanya
yang lain termasuk dalam tokoh utama pada novel (DAYANA, BP 2021).
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Teori Intertextuality dan Konsep Teori
Intertextuality?
2. Bagaimana Sejarah dan perkembangan Teori Intertextuality?
3. Apa itu Dasar Pemikiran Teori Intertextuality?
4. Bagaimana Penerapan dan Kaedah Analisis Teori Intertextuality?
1.3.Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Teori Intertextuality dan Konsep
Intertextuality
2. Untuk Mengetahui Sejarah dan Perkembangan Teori Intertextuality
3. Untuk Mengetahui Dasar Pemikiran Teori Intertextuality
4. Untuk Mengetahui Penerapan dan Kaedah Analisis Teori Intertextuality
2
BAB II
PEMBAHASAN
sisipan dari teks-teks lainnya. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk
menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Suatu teks dipahami
tidak berdiri sendiri. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, pengarang
sebuah teks adalah pembaca sebelum ia penulis teks-teks. Teks yang ditulis tentu
dipengaruhi oleh teks-teks lain yang dibaca oleh sang pengarang. Dalam proses
penulisan teks, pengarang menggunakan berbagai rujukan atau kutipan dari teks-
teks yang telah ia baca. Kedua, sebuah teks tersedia melalui proses pencarian materi
yang hendak ditulis. Dalam proses tersebut, ada pertentangan maupun penerimaan
akan materi-materi yang ditemukan dalam teks-teks yang dibaca. Teks-teks yang
mempengaruhi bisa jadi teks-teks yang ada sebelum teks ditulis atau teks-teks yang
berada pada zaman teks ditulis. Pengaruh yang diberikan teks-teks lain bisa dalam
bentuk gagasan, ucapan-ucapan lisan, gaya bahasa, dan lain-lain. Suatu teks disusun
dari kutipan-kutipan atau sumber-sumber teks lain. Teks yang dimaksud di sini
bukan hanya teks tertulis tetapi juga teks yang tidak tertulis atau lisan seperti adat
3
Suatu teks itu penuh makna bukan hanya karena mempunyai struktur tertentu, suatu
kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu
berhubungan dengan teks lain. Sebuah teks lahir dari teks-teks lain dan harus
dipandang sesuai tempatnya dalam kawasan tekstual. Hal inilah yang disebut
intertekstual, yaitu pengertian bahwa suatu teks tidak dapat tidak dipengaruhi oleh
dekonstruksi yang juga dengan teori post strukturalisme, sebuah paham yang ikut
beberapa teks.
sebagai prinsip universal eksistensi kebudayaan. Konsep dunia sebagai teks tidak
lepas dari situasi kultural, yang mengimplikasikan bahwa setiap teks bersifat sastra,
historis, sosial dalam interaksinya dengan teks-teks lain yang ada sebelumnya, pada
masa yang sama atau yang ditulis kemudian (Ilunina, 2019: 162).
4
Konsep intertekstualitas, menurut Ilunina (2019:165), menjadi begitu populer
dunia postmodern. Sehubungan dengan pernyataan ini, perlu dicatat bahwa konsep
Setelah muncul pada 1960-an dan 1970-an sebagai seperangkat tren di bidang
pemikiran teoretis dan seni dan, lebih umum, sebagai jenis pandangan dunia dan
dengan Waktu Baru dan menyiratkan keberadaan model dunia yang pusatnya
adalah seseorang atau kekuatan lain (alam (Darwin), sosial (Marx), psikologis
(Freyd)). Model seperti itu menyiratkan hierarki yang tak tergoyahkan, struktur
adalah untuk mengetahui ideologeme yang terdapat dalam novel. Kristeva melihat
novel sebagai sebuah teks yang merupakan suatu praktik semiotik, yang polanya
dipersatukan dari beberapa tuturan yang dapat dibaca. Ideologeme yang dimaksud
ruangnya sendiri (interior text) dan merujuk ke ruang teks luar (exterior text).
5
2.2. Sejarah dan Perkembangan Teori Intertextuality
Julia Kristeva terhadap konsep Bakhtin melahirkan aksen baru yang sangat
menentukan. Kristeva tidak lagi membedakan antara teks monologis dan polilogis,
teks sastra. Menurutnya, setiap teks otomatis bersifat intertekstual, dan karenanya
dikemukaan oleh Bakhtin tentang gagasan dalam suatu karya sastra yang muncul
tidak semata – mata tercipta dari sesuatu yang tidak ada dan bersifat mandiri, tetapi
selalu tercipta dari sesuatu yang telah ada sebelumnya, sehingga karya sastra selalu
berada dalam hubungan dengan karya sastra sebelumnya. Gagasan Bakhtin itu
teks dengan teks-teks lain. Oleh karena itu, seorang penulis karya sebelumnya juga
disebut sebagai pengamat hal-hal yang terjadi di lingkungan ( Septiyani, & Sayuti,
2019:177-178)
menjelaskan, bahwa teks tidak memiliki kesatuan makna dalam dirinya, ia selalu
6
terhubung dengan proses sosial dan kultural yang berkelanjutan. Dengan kata lain
makna selalu pada saat yang bersamaan berada di dalam sekaligus di luar teks.
Sebagai contoh Kristeva mengambil cuplikan kalimat pembuka sebuah novel yang
ditulis oleh Mary Shelley yang berjudul The Last man (1826). Kalimat tersebut
berbunyi: England, seated far north in the turbid sea, now visits my dreams in the
semblance of a vast and well- manned ship, which mastered the winds and rode
proudly over the waves. Gagasan tentang Inggris sebagal bangsa yang hebat,
dengan kekuasaan atas dunia adalah ideologeme yang terkandung dalam kalimat
pertama kali digariskan dalam karya teoretikus poststrukturalis Julia Kristeva dan
Roland Barthes dan mengacu pada kemunculan dan pemahaman setiap teks
individu dari jaringan luas wacana dan bahasa yang membentuk budaya. Tidak ada
teks, dalam konteks intertekstualitas, yang berdiri sendiri; semua teks memiliki
dan makna-makna sebelumnya yang secara praktis tak terbatas. Visi tekstualitas
seperti itu muncul dari perkembangan abad ke-20 dalam pemahaman kita tentang
apa artinya menggunakan dan berada dalam bahasa. Tidak ada pembicara yang
menciptakan bahasa mereka dari nol; semua ucapan linguistik bergantung pada
adalah bagian dari pemikiran ulang yang radikal tentang subjektivitas manusia dan
7
poststrukturalisme awal, intertekstualitas menjadi konsep populer dalam kritik
sastra, sering kali ditata ulang dengan cara yang tampak jauh lebih tidak skeptis
terhadap kesengajaan pengarang. Sebuah survei teori dan praktik sastra dari tahun
1970-an dan seterusnya akan menunjukkan sejumlah kritikus dan ahli teori yang
ide-ide yang berpusat pada subjek humanistik, seperti pengaruh, kiasan, kutipan,
dekonstruksi model niat tradisional. Apa yang tampaknya dimiliki oleh semua teori
perjumpaan pembaca dengan satu teks yang stabil dan tidak dapat diganggu gugat.
Penulis—Teks—Pembaca
8
seterusnya, untuk menghasilkan deskripsi ulang budaya manusia secara
revolusioner. Dalam hal sistem tanda dimodelkan pada redefinisi tanda dan struktur
linguistik Saussure. Revolusi pemikiran ini, yang telah diberi gaya pergantian
linguistik dalam ilmu dapat dipahami sebagai salah satu asal muasal teori
intertekstualitas.
bukanlah tanpa masalah. Mengutip ahli teori sastra Rusia M. M. Bakhtin sebagai
intertekstualitas, Bakhtin, seperti yang akan kita lihat, layak dikutip. Pendekatan
bahasa yang sangat berbeda dan jauh lebih peduli daripada Saussure dengan
konteks sosial di mana kata-kata dipertukarkan. Jika sifat relasional kata untuk
Saussure berasal dari visi bahasa yang dilihat sebagai sistem umum dan abstrak,
bagi Bakhtin itu berasal dari keberadaan kata dalam situs sosial tertentu, register
sosial tertentu dan saat-saat tertentu dari ucapan dan penerimaan.Karena baik
Kristeva, seperti yang kita sebut observasi, dipengaruhi baik oleh Bakhtinian
maupun model dan upaya Saussurean untuk menggabungkan wawasan dan teori
utama mereka.
Terlepas dari poin-poin di atas, cukup benar untuk mengatakan bahwa dasar yang
9
kembali ke gagasan Sunssure tentang tanda diferensial. Jika semua tanda dalam
beberapa hal berbeda, mereka dapat dipahami tidak hanya sebagai non-referensial
perbedaan, yang membentuk sistem bahasa sinkronis. Jika ini benar untuk tanda-
tanda linguistik secara umum, maka, seperti yang dikemukakan oleh banyak orang
setelah Saussure, hal itu berlaku ganda untuk tanda sastra. Pengarang karya sastra
tidak sekadar memilih kata dari suatu sistem bahasa, mereka memilih alur, ciri-ciri
umum, aspek penokohan, gambaran, cara penceritaan, bahkan frase dan kalimat
dari teks sastra sebelumnya dan dari tradisi sastra. Jika kita membayangkan tradisi
sastra itu sendiri sebagai sistem sinkronis, maka pengarang sastra menjadi sosok
yang bekerja dengan setidaknya dua sistem, sistem bahasa pada umumnya dan
sistem sastra pada khususnya. Poin seperti itu memperkuat penekanan Saussure
pada sifat tanda non-referensial, karena dalam membaca sastra kita menjadi sangat
sadar tanda-tanda yang digunakan dalam teks tertentu memiliki referensi mereka
bukan pada objek di dunia tetapi pada sistem sastra dari mana teks tersebut berasal.
Setan dalam teks mereka, mereka jauh lebih mungkin memikirkan representasi
Satun dari John Milton dalam puisi epiknya Paradise Lost daripada gagasan literal
tentang Iblis Kristen. Demikian pula, jika kita membaca sebuah novel di mana
dipenjara oleh seorang paman jahat di kastil yang hancur, pikiran kita akan lebih
10
sedikit tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia daripada tradisi novel Gotik,
populer sejak abad kedelapan belas. Seperti yang dikemukakan oleh Barthes dan
yang lainnya, bahkan teks-teks yang tampaknya realis menghasilkan maknanya dari
hubungannya dengan sistem sastra dan budaya, daripada dari representasi langsung
transformasi teks atau penyerapan teks ke dalam teks lain. Dia menunjukkan bahwa
konstruksi teks apa pun dianggap, sebagai mozaik kutipan. Dalam pandangan
pembaca dari satu teks yang sama. Yang terakhir menetapkan hubungan antara teks
dan teks lainnya. Kedua sumbu ini dihubungkan oleh kode bersama. Wacana
tersebut saling terkait dan saling tergantung membentuk jaringan yang tak terbatas
F. De Saussure, nilai diturunkan dari hubungan antara penanda dan petanda, yang
dianggap terkait erat satu sama lain (fr.significance adalah tanda). Gagasan ke tidak
11
dipisahkan oleh ruang dan waktu, pertama kali didengar oleh J. Lacan, dan
ditandai dan pernyataan bahwa tidak ada tanda yang dapat dipercaya
fenomena, tetapi hanya jejak dari fenomena ini. , bukan objek, tetapi hanya
penanda saja. Dengan kata lain, yang utama sekarang bukanlah masalah hubungan
antara bahasa dan realitas ekstralinguistik, tetapi keterkaitan yang murni bersifat
linguistik – satu penanda dengan penanda lainnya, satu kata dengan lainnya, satu
teks dengan teks lainnya. Derrida mencatat bahwa setiap teks hidup di antara
tanggapan, inokulasi satu teks pada teks lainnya dan mengusulkan dekonstruksi
dalam teks (seni atau budaya) jejak interaksinya dengan teks lain, non-sistemik,
elemen marjinal yang secara internal merusak strukturnya (Ilunina, 2019: 163).
ditentukan teks yang menjadi latar penciptaan sebuah karya yang disebut
12
itu disebut sebagai teks transformasi. Dan untuk mendapatkan makna hakiki
hipogram. Interteks dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel
maupun negasi.
3. Interteks dapat dilakukan dengan dua teks atau lebih, dapat novel dengan
struktur ekstrinsiknya.
13
Intertekstualitas muncul dalam sebuah karya sastra dalam interaksi yang
berbeda. Peristiwa sosial yang menyangkut semua manusia di alam semesta efektif
dalam tindakan ini. Terutama agama, perdagangan, perang, gerakan sosial dan atau
ekonomi, internet dan teknologi memiliki peran penting dalam hal ini karena
masyarakat dicerminkan dalam sastra, ini mempengaruhi tentu akan terlihat dalam
sastra dan para sarjana berurusan dengan menemukan kemiripan bentuk, konten
dan gaya antara budaya dan bidang sastra dalam sebuah karya sastra (Albay &
Serbes, 2017)
Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya
sastra itu merupakan response (Teeuw dalam dalam Masyarakat Poetika Indonesia,
2015: 173) pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Oleh karena itu, sebuah teks
tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra baru
Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis
atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum
adalah teks (Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 173). Oleh karena itu, karya
sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaannya tersebut, baik
14
DAYANA, BP (2021) menganalisis hubungan Intertekstual dengan cara
bentuk penerapan hipogram (karya terdahulu) ke dalam karya baru yaitu dengan
cara:
3. Modifikasi atau pengubahan yang secara khusus pada tataran sastra; dan
4. Ekserp atau intisari suatu unsur atau episode dari kedua hipogram.
hubungan satu karya dengan karya yang lain. Akan tetapi, melihat teks sosial dan
sejarah yang muncul dalam satu karya. Teks tersebut berasimilasi satu dengan yang
lainnya dan memiliki kesejajaran atau kesamaan dengan teks sosial dan sejarah
intertekstualitas, yaitu bukanlah nama lain untuk pengaruh atau imitasi. Dia
menjelaskan bahwa interteks tidak berarti kumpulan karya sastra yang mungkin
telah mempengaruhi teks atau teks itu mungkin ditiru. Selain itu kata Riffaterre,
interteks bukan sebuah konteks yang dapat menjelaskan teks atau efeknya pada
pembaca, atau salah satu dapat digunakan sebagai dasar perbandingan untuk
korpus teks, fragmen tekstual, atau segmen seperti teks dari sosiolek yang membagi
15
satu leksinkon, dan pada tingkat lebih rendah, sintaks dengan teks yang kita baca
(secara langsung atau tidak langsung) dalam bentuk anonim atau, bahkan
sebaliknya, dalam bentuk antonim. Teks tersebut berasimilasi satu dengan yang
lainnya dan memiliki kesejajaran atau kesamaan dengan teks sosial dan sejarah
pemikiran filsuf Prancis, Jaques Derrida, dan dikembangkan oleh Julia Kristeva.
Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang
teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti
bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks
lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya
meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi
dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang
16
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, dan lainnya
menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Intertekstual dalam
3.2.Saran
itu saya mohon kritik dan sarannya untuk masukan saya sebagai pembelajaran di
17
DAFTAR RUJUKAN
Septiyani, V. I., & Sayuti, S. A. (2019). Oposisi dalam Novel Rahuvana Tattwa
karya Agus Sunyoto: Analisis Intertekstual Julia Kristeva. Lensa: Kajian
Kebahasaan, Kesusastraan, dan Budaya, 9(2), 174-186.
Sunarmi, I., Martono, M., & Priyadi, A. T. (2023). Kajian Intertekstual Novel
Pulang Karya Toha Mohtar dan Novel Pulang Karya Tere Liye. Jurnal
Pendidikan dan Konseling (JPDK), 5(1), 1336-1344
18
19