Anda di halaman 1dari 22

TEORI

INTERTEXTUALITY

DISUSUN

Oleh
FAHLUL AZMI: 2211070011

Dosen Pengasuh : Drs. Yulsafli, M. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH
BANDA ACEH
2023

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirahim

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan Makalah ini

yang berjudul “Teori Intertextuality”

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak

kekurangan, akan tetapi penulis berharap semoga apa yang tertulis dalam makalah

ini bermanfaat bagi mereka yang memerlukan dengan harapan semoga dapat

bermanfaat.

Banda Aceh, Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1. Latar Belakang.................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................2
1.3. Tujuan penulisan..............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................3
2.1. Pengertian dan Konsep Teori Intertextuality...................................3
2.2. Sejarah dan Perkembangan Teori Intertextuality.............................6
2.3. Dasar Pemikiran Teori Intertextuality............................................12
2.4. Penerapan dan Kaedah Analisis.....................................................14

BAB III PENUTUP............................................................................................17


3.1. Simpulan.........................................................................................17
3.2. Saran...............................................................................................17

DAFTAR RUJUKAN...........................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Intertekstualitas adalah salah satu istilah yang paling umum digunakan dan

disalahgunakan dalam kosa kata kritis kontemporer. ‘Sebuah Kajian Intertekstual

atau Intertekstualitas dan... merupakan konstruksi umum dalam judul-judul karya

kritis yang dapat dimaafkan jika mengasumsikan bahwa intertekstualitas adalah

sebuah istilah yang dipahami secara umum dan menyediakan serangkaian prosedur

kritis yang stabil untuk penafsiran. Faktanya, tidak ada yang bisa lebih jauh dari

kebenaran. Istilah ini didefinisikan dengan sangat beragam sehingga, saat ini, mirip

dengan istilah seperti Imajinasi, ‘sejarah’, atau ‘Postmodernisme’: istilah yang,

menggunakan frasa dari karya kritikus AS Harold Bloom, kurang ditentukan dalam

makna dan terlalu ditentukan dalam kiasan. Intertekstualitas, salah satu ide sentral

dalam teori sastra kontemporer, bukanlah istilah yang transparan dan karenanya,

meskipun digunakan dengan percaya diri oleh banyak ahli teori dan kritikus, tidak

dapat dimunculkan dengan cara yang tidak rumit. Istilah seperti itu dalam bahaya

artinya tidak lebih dari apa pun yang diinginkan oleh setiap kritikus tertentu (Allen,

G. 2021:2 ).

Menurut Albay & Serbes (2017), sastra bukanlah produk bangsa tertentu;

melainkan kombinasi dari pengalaman semua bangsa. Jadi bisa dikatakan, ada

warisan di antara ujian sastra di seluruh sastra dunia. Memikirkan perubahan global

dan perkembangan teknologi, cukup mudah untuk melihat persoalan interaksi antar

bangsa yang disebut “intertekstualitas”.

1
Kajian intertekstual merupakan kajian sejumlah teks pada novel, yang diduga

mempunyai kesamaan antara novel yang satu dengan yang lainnya. Kajian

Intertekstual berangkat dari pemikiran bahwa karya tak mungkin lahir sendiri dan

sering terdapat kemiripan dari beberapa aspek antara novel yang satu dengan yang

lainnya termasuk kemiripan dalam perkembangan kepribadian seseorang dengan

yang lainnya. Hal ini karena masalah-masalah kehidupan yang dihadapi sering

memberikan gejala yang hampir sama pada kejiwaan semua orang, karenanya

sering dijumpai kemiripan dalam proses perkembangan kejiwaan seseorang dengan

yang lain termasuk dalam tokoh utama pada novel (DAYANA, BP 2021).

1.2.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Teori Intertextuality dan Konsep Teori
Intertextuality?
2. Bagaimana Sejarah dan perkembangan Teori Intertextuality?
3. Apa itu Dasar Pemikiran Teori Intertextuality?
4. Bagaimana Penerapan dan Kaedah Analisis Teori Intertextuality?

1.3.Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Teori Intertextuality dan Konsep
Intertextuality
2. Untuk Mengetahui Sejarah dan Perkembangan Teori Intertextuality
3. Untuk Mengetahui Dasar Pemikiran Teori Intertextuality
4. Untuk Mengetahui Penerapan dan Kaedah Analisis Teori Intertextuality

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan Konsep Teori Intertextuality

Intertekstual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai

sisipan dari teks-teks lainnya. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk

menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Suatu teks dipahami

tidak berdiri sendiri. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, pengarang

sebuah teks adalah pembaca sebelum ia penulis teks-teks. Teks yang ditulis tentu

dipengaruhi oleh teks-teks lain yang dibaca oleh sang pengarang. Dalam proses

penulisan teks, pengarang menggunakan berbagai rujukan atau kutipan dari teks-

teks yang telah ia baca. Kedua, sebuah teks tersedia melalui proses pencarian materi

yang hendak ditulis. Dalam proses tersebut, ada pertentangan maupun penerimaan

akan materi-materi yang ditemukan dalam teks-teks yang dibaca. Teks-teks yang

mempengaruhi bisa jadi teks-teks yang ada sebelum teks ditulis atau teks-teks yang

berada pada zaman teks ditulis. Pengaruh yang diberikan teks-teks lain bisa dalam

bentuk gagasan, ucapan-ucapan lisan, gaya bahasa, dan lain-lain. Suatu teks disusun

dari kutipan-kutipan atau sumber-sumber teks lain. Teks yang dimaksud di sini

bukan hanya teks tertulis tetapi juga teks yang tidak tertulis atau lisan seperti adat

istiadat, kebudayaan, dan agama.

3
Suatu teks itu penuh makna bukan hanya karena mempunyai struktur tertentu, suatu

kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu

berhubungan dengan teks lain. Sebuah teks lahir dari teks-teks lain dan harus

dipandang sesuai tempatnya dalam kawasan tekstual. Hal inilah yang disebut

intertekstual, yaitu pengertian bahwa suatu teks tidak dapat tidak dipengaruhi oleh

teks baru, baik perbedaannya maupun persamaannya (Partini dalam Masyarakat

Poetika Indonesia, 2015: 172).

Kajian intertekstual, menurut Nurgiyantoro (Dalam Sunarmi, Martono, & Priyadi,

2023:1339) merupakan kajian yang berusaha mengkaji adanya hubungan antara

sejumlah teks. Kajian interteks berhubung melibatkan unsur struktur dan

pemaknaan teks-teks yang dikaji, kiranya dapat dipandang sebagai kajian

struktural-semiotik. Selain itu, Penulisan penelitian interteks termasuk paham

dekonstruksi yang juga dengan teori post strukturalisme, sebuah paham yang ikut

berperan “menumbangkan pandangan strukturalisme. Namun demikian, kajian

dekonstruksi dapat dikaitkan dengan kajian intertekstual karena dapat melibatkan

beberapa teks.

Dapat dikatakan bahwa intertekstualitas merupakan sarana puitika posmodernis,

dasar penulisan posmodernis. Dalam filosofi posmodernis interaksi teks tampak

sebagai prinsip universal eksistensi kebudayaan. Konsep dunia sebagai teks tidak

lepas dari situasi kultural, yang mengimplikasikan bahwa setiap teks bersifat sastra,

historis, sosial dalam interaksinya dengan teks-teks lain yang ada sebelumnya, pada

masa yang sama atau yang ditulis kemudian (Ilunina, 2019: 162).

4
Konsep intertekstualitas, menurut Ilunina (2019:165), menjadi begitu populer

dalam praktik artistik postmodernisme, karena ternyata sejalan dengan pandangan

dunia postmodern. Sehubungan dengan pernyataan ini, perlu dicatat bahwa konsep

intertekstualitas di era postmodernisme melampaui kategori tekstual dan

digunakan, sebagai definisi dunia dan kesadaran diri manusia modern.

Setelah muncul pada 1960-an dan 1970-an sebagai seperangkat tren di bidang

pemikiran teoretis dan seni dan, lebih umum, sebagai jenis pandangan dunia dan

pandangan dunia khusus, postmodernisme mengkritik tradisi sebelumnya di bidang

pemikiran filosofis dan karakteristik kreativitas artistik. Peradaban Barat, dimulai

dengan Waktu Baru dan menyiratkan keberadaan model dunia yang pusatnya

adalah seseorang atau kekuatan lain (alam (Darwin), sosial (Marx), psikologis

(Freyd)). Model seperti itu menyiratkan hierarki yang tak tergoyahkan, struktur

interkoneksi dalam setiap bidang aktivitas kehidupan (Ilunina, 2019: 165)

Septiyani, & Sayuti, (2019:178) kajian intertekstualitas yang digagas Kristeva

adalah untuk mengetahui ideologeme yang terdapat dalam novel. Kristeva melihat

novel sebagai sebuah teks yang merupakan suatu praktik semiotik, yang polanya

dipersatukan dari beberapa tuturan yang dapat dibaca. Ideologeme yang dimaksud

oleh Kristeva adalah memahami transformasi tuturan/ungkapan (teks tersebut tidak

bisa diperkecil/dikurangi lagi) terhadap keseluruhan teks. Lebih lanjut, Kristeva

menjelaskan bahwa ideologeme adalah persilangan dari pengaturan teks yang

disampaikan melalui tuturan sehingga tuturan tersebut berasimilasi ke dalam

ruangnya sendiri (interior text) dan merujuk ke ruang teks luar (exterior text).

5
2.2. Sejarah dan Perkembangan Teori Intertextuality

Istilah Intertekstualitas diperkenalkan oleh Julia Kristeva di akhir tahun 60-

an.Teori Intertekstualitas yang dikembangkan oleh Kristeva sebenarnya merupakan

hasil penelaahannya terhadap konsep Bakhtin mengenal Dialogisme. Pembacaan

Julia Kristeva terhadap konsep Bakhtin melahirkan aksen baru yang sangat

menentukan. Kristeva tidak lagi membedakan antara teks monologis dan polilogis,

melainkan menegaskan konsep Intertekstualitas sebagai ciri utama teks. Terutama

teks sastra. Menurutnya, setiap teks otomatis bersifat intertekstual, dan karenanya

selalu produktif, artinya, si penulis sebagai subjek yang memiliki intensi,

menghilang, sehingga teks menjadi ruang proyeksi bagi permainan Intertekstual

(Van Heft dalam Kuswarini, P. 2016).

Kristeva mengembangkan pemikiran intertekstual yang sebelumnya telah

dikemukaan oleh Bakhtin tentang gagasan dalam suatu karya sastra yang muncul

tidak semata – mata tercipta dari sesuatu yang tidak ada dan bersifat mandiri, tetapi

selalu tercipta dari sesuatu yang telah ada sebelumnya, sehingga karya sastra selalu

berada dalam hubungan dengan karya sastra sebelumnya. Gagasan Bakhtin itu

merupakan gagasan awal intertekstual, tetapi Bakhtin masih menyebutnya dengan

istilah Dialogis, bukan Intertekstual. Prinsip dasar intertekstual adalah hubungan

teks dengan teks-teks lain. Oleh karena itu, seorang penulis karya sebelumnya juga

disebut sebagai pengamat hal-hal yang terjadi di lingkungan ( Septiyani, & Sayuti,

2019:177-178)

Pernyataan Kristeva tersebut menurut Allen (Dalam Kuswarini, P. 2016)

menjelaskan, bahwa teks tidak memiliki kesatuan makna dalam dirinya, ia selalu

6
terhubung dengan proses sosial dan kultural yang berkelanjutan. Dengan kata lain

makna selalu pada saat yang bersamaan berada di dalam sekaligus di luar teks.

Sebagai contoh Kristeva mengambil cuplikan kalimat pembuka sebuah novel yang

ditulis oleh Mary Shelley yang berjudul The Last man (1826). Kalimat tersebut

berbunyi: England, seated far north in the turbid sea, now visits my dreams in the

semblance of a vast and well- manned ship, which mastered the winds and rode

proudly over the waves. Gagasan tentang Inggris sebagal bangsa yang hebat,

dengan kekuasaan atas dunia adalah ideologeme yang terkandung dalam kalimat

tersebut dan dalam novel yang bersangkutan secara umum.

Allen, G. (2019) mengatakan bahwa intertekstualitas adalah sebuah konsep yang

pertama kali digariskan dalam karya teoretikus poststrukturalis Julia Kristeva dan

Roland Barthes dan mengacu pada kemunculan dan pemahaman setiap teks

individu dari jaringan luas wacana dan bahasa yang membentuk budaya. Tidak ada

teks, dalam konteks intertekstualitas, yang berdiri sendiri; semua teks memiliki

keberadaan dan maknanya dalam kaitannya dengan bidang teks-teks sebelumnya

dan makna-makna sebelumnya yang secara praktis tak terbatas. Visi tekstualitas

seperti itu muncul dari perkembangan abad ke-20 dalam pemahaman kita tentang

apa artinya menggunakan dan berada dalam bahasa. Tidak ada pembicara yang

menciptakan bahasa mereka dari nol; semua ucapan linguistik bergantung pada

penggunaan dan penempatan kembali ucapan yang sudah ada. Intertekstualitas

adalah bagian dari pemikiran ulang yang radikal tentang subjektivitas manusia dan

ekspresi manusia, setelah menemukan ekspresi dalam teks-teks radikal

7
poststrukturalisme awal, intertekstualitas menjadi konsep populer dalam kritik

sastra, sering kali ditata ulang dengan cara yang tampak jauh lebih tidak skeptis

terhadap kesengajaan pengarang. Sebuah survei teori dan praktik sastra dari tahun

1970-an dan seterusnya akan menunjukkan sejumlah kritikus dan ahli teori yang

menggunakan istilah tersebut untuk mengedepankan formalis, politik,

psikoanalitik, feminis, pascakolonial, pascamodernis, dan mode interpretasi dan

komentar lainnya. Kadang-kadang pendekatan ini membawa konsep lebih dekat ke

ide-ide yang berpusat pada subjek humanistik, seperti pengaruh, kiasan, kutipan,

dan apropriasi, sementara di lain waktu mereka melanjutkan dan memperluas

dekonstruksi model niat tradisional. Apa yang tampaknya dimiliki oleh semua teori

dan praktik intertekstualitas, adalah kebutuhan untuk membayangkan kembali

tindakan membaca, mengingat bahwa membaca tidak lagi terbatas pada

perjumpaan pembaca dengan satu teks yang stabil dan tidak dapat diganggu gugat.

Secara bersama-sama, teori dan praktik intertekstual telah menunjukkan dalam

berbagai cara perlunya bergerak melampaui

Penulis—Teks—Pembaca

Model ke model-model pembacaan yang dengan memperlakukan semua teks

sebagai interteks, menghadapi batas-batas penafsiran itu sendiri.

Allen, G. (2021) menyatakan strukturalisme gerakan kritis, filosofis dan budaya

berdasarkan gagasan semiologi Saussurean dicari, dari tahun 1950-an dan

8
seterusnya, untuk menghasilkan deskripsi ulang budaya manusia secara

revolusioner. Dalam hal sistem tanda dimodelkan pada redefinisi tanda dan struktur

linguistik Saussure. Revolusi pemikiran ini, yang telah diberi gaya pergantian

linguistik dalam ilmu dapat dipahami sebagai salah satu asal muasal teori

intertekstualitas.

Namun, mengutip Saussure sebagai asal mula gagasan tentang intertekstualitas

bukanlah tanpa masalah. Mengutip ahli teori sastra Rusia M. M. Bakhtin sebagai

pencetusnya, jika bukan dari istilah ‘intertekstualitas”, maka setidaknya pandangan

khusus tentang bahasa yang membantu orang lain mengantisipasi teori

intertekstualitas, Bakhtin, seperti yang akan kita lihat, layak dikutip. Pendekatan

bahasa yang sangat berbeda dan jauh lebih peduli daripada Saussure dengan

konteks sosial di mana kata-kata dipertukarkan. Jika sifat relasional kata untuk

Saussure berasal dari visi bahasa yang dilihat sebagai sistem umum dan abstrak,

bagi Bakhtin itu berasal dari keberadaan kata dalam situs sosial tertentu, register

sosial tertentu dan saat-saat tertentu dari ucapan dan penerimaan.Karena baik

Saussure maupun Bakhtin sebenarnya tidak menggunakan istilah tersebut,

kebanyakan orang ingin memuji Julia Kristeva sebagai penemunya intertekstualitas

Kristeva, seperti yang kita sebut observasi, dipengaruhi baik oleh Bakhtinian

maupun model dan upaya Saussurean untuk menggabungkan wawasan dan teori

utama mereka.

Terlepas dari poin-poin di atas, cukup benar untuk mengatakan bahwa dasar yang

mendasari banyak teori utama intertekstualitas dikembangkan membawa kita

9
kembali ke gagasan Sunssure tentang tanda diferensial. Jika semua tanda dalam

beberapa hal berbeda, mereka dapat dipahami tidak hanya sebagai non-referensial

tetapi juga dibayangi oleh sejumlah besar kemungkinan hubungan. Tanda

linguistik, menurut Saussure, adalah unit relasional non-kesatuan, non-stabil, yang

pemahamannya membawa kita ke jaringan hubungan yang luas, kesamaan dan

perbedaan, yang membentuk sistem bahasa sinkronis. Jika ini benar untuk tanda-

tanda linguistik secara umum, maka, seperti yang dikemukakan oleh banyak orang

setelah Saussure, hal itu berlaku ganda untuk tanda sastra. Pengarang karya sastra

tidak sekadar memilih kata dari suatu sistem bahasa, mereka memilih alur, ciri-ciri

umum, aspek penokohan, gambaran, cara penceritaan, bahkan frase dan kalimat

dari teks sastra sebelumnya dan dari tradisi sastra. Jika kita membayangkan tradisi

sastra itu sendiri sebagai sistem sinkronis, maka pengarang sastra menjadi sosok

yang bekerja dengan setidaknya dua sistem, sistem bahasa pada umumnya dan

sistem sastra pada khususnya. Poin seperti itu memperkuat penekanan Saussure

pada sifat tanda non-referensial, karena dalam membaca sastra kita menjadi sangat

sadar tanda-tanda yang digunakan dalam teks tertentu memiliki referensi mereka

bukan pada objek di dunia tetapi pada sistem sastra dari mana teks tersebut berasal.

Diproduksi. Jika seorang penulis modern, misalnya, menghadirkan karakterisasi

Setan dalam teks mereka, mereka jauh lebih mungkin memikirkan representasi

Satun dari John Milton dalam puisi epiknya Paradise Lost daripada gagasan literal

tentang Iblis Kristen. Demikian pula, jika kita membaca sebuah novel di mana

seorang pahlawan wanita muda disiksa oleh kekuatan supernatural sebelum

dipenjara oleh seorang paman jahat di kastil yang hancur, pikiran kita akan lebih

10
sedikit tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia daripada tradisi novel Gotik,

populer sejak abad kedelapan belas. Seperti yang dikemukakan oleh Barthes dan

yang lainnya, bahkan teks-teks yang tampaknya realis menghasilkan maknanya dari

hubungannya dengan sistem sastra dan budaya, daripada dari representasi langsung

apa pun dari fisik dunia (Allen, G. 2021).

Intertekstualitas merupakan salah satu perangkat linguistik yang menarik

untuk dianalisis. Intertekstualitas merupakan hal yang paling penting untuk

membuat judul berita memperkaya makna. Intertekstualitas dicetuskan oleh Julia

Kristeva pada tahun 1980 yang menyatakan bahwa intertekstualitas adalah

transformasi teks atau penyerapan teks ke dalam teks lain. Dia menunjukkan bahwa

konstruksi teks apa pun dianggap, sebagai mozaik kutipan. Dalam pandangan

intertekstualitasnya, terdapat dua sumbu dalam teks yang meliputi sumbu

horizontal dan sumbu vertikal. Yang pertama menghubungkan penulis dan

pembaca dari satu teks yang sama. Yang terakhir menetapkan hubungan antara teks

dan teks lainnya. Kedua sumbu ini dihubungkan oleh kode bersama. Wacana

tersebut saling terkait dan saling tergantung membentuk jaringan yang tak terbatas

dan terbuka (Williandani, M. 2020).

Dalam konsep tanda tradisional, yang dikembangkan oleh ilmuwan Swiss

F. De Saussure, nilai diturunkan dari hubungan antara penanda dan petanda, yang

dianggap terkait erat satu sama lain (fr.significance adalah tanda). Gagasan ke tidak

mungkinan atau, setidaknya, sulitnya transisi dari penanda ke petanda, yang

11
dipisahkan oleh ruang dan waktu, pertama kali didengar oleh J. Lacan, dan

menerima perkembangan klasiknya dalam tulisan-tulisan J. Derrida. . Pernyataan

otonomi rencana ekspresi mengarah pada hilangnya hubungannya dengan yang

ditandai dan pernyataan bahwa tidak ada tanda yang dapat dipercaya

mengungkapkan kebenaran, konten ideologis, itu tidak dapat menunjukkan

fenomena, tetapi hanya jejak dari fenomena ini. , bukan objek, tetapi hanya

ketiadaannya. Oleh karena itu, penekanannya ada pada hubungan tanda-tanda,

terutama permainan. Prinsip yang menghubungkan teks selanjutnya adalah proses

makna (neologisme Prancis – signifikansi), yang diturunkan dari hubungan

penanda saja. Dengan kata lain, yang utama sekarang bukanlah masalah hubungan

antara bahasa dan realitas ekstralinguistik, tetapi keterkaitan yang murni bersifat

linguistik – satu penanda dengan penanda lainnya, satu kata dengan lainnya, satu

teks dengan teks lainnya. Derrida mencatat bahwa setiap teks hidup di antara

tanggapan, inokulasi satu teks pada teks lainnya dan mengusulkan dekonstruksi

sebagai cara baru refleksi filosofis. Dekonstruksi bertujuan untuk mengungkap

dalam teks (seni atau budaya) jejak interaksinya dengan teks lain, non-sistemik,

elemen marjinal yang secara internal merusak strukturnya (Ilunina, 2019: 163).

2.3.Dasar Pemikiran Teori Intertextuality

Pradopo (dalam Sunarmi, Martono, & Priyadi, 2023:1339) memberi

kesimpulan tentang metode intertekstual bahwa dalam interteks akan dapat

ditentukan teks yang menjadi latar penciptaan sebuah karya yang disebut

hipogram, sedangkan teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram

12
itu disebut sebagai teks transformasi. Dan untuk mendapatkan makna hakiki

tersebut dipergunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menyejajarkan,

dan mengkontraskan teks transformasi dengan teks hipogramnya.

Ratna (Dalam Sunarmi, Martono, & Priyadi, 2023:1339) mengemukakan

tentang interteks adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menemukan

hubungan-hubungan bermakna antara dua teks atau lebih.Teks-teks yang

dikeringkan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks

memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan

hipogram. Interteks dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel

dengan mitos. Hubungan dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan,

melainkan juga sebaliknya sebagai hubungan pertentangan, baik sebagai parodi

maupun negasi.

Dari pendapat Ratna di atas terdapat penekanan bahwa:

1. Kajian interteks sangat penting untuk menemukan hubungan-hubungan

bermakna antara teks;

2. Interteks dimungkinkan dapat ditemukan teks yang menjadi hipogramnya;

3. Interteks dapat dilakukan dengan dua teks atau lebih, dapat novel dengan

novel-novel dengan puisi;

4. Interteks dapat menentukan hubungan persamaan dan perbedaan dari teks

yang dikaji. Hubungan persamaan atau perbedaan yang dimaksudkan adalah

persamaan atau perbedaan struktur teks, baik struktur intrinsik maupun

struktur ekstrinsiknya.

13
Intertekstualitas muncul dalam sebuah karya sastra dalam interaksi yang

berbeda. Peristiwa sosial yang menyangkut semua manusia di alam semesta efektif

dalam tindakan ini. Terutama agama, perdagangan, perang, gerakan sosial dan atau

ekonomi, internet dan teknologi memiliki peran penting dalam hal ini karena

interaksi ini adalah disediakan melalui faktor-faktor ini di masyarakat. Sekarang,

masyarakat dicerminkan dalam sastra, ini mempengaruhi tentu akan terlihat dalam

sastra dan para sarjana berurusan dengan menemukan kemiripan bentuk, konten

dan gaya antara budaya dan bidang sastra dalam sebuah karya sastra (Albay &

Serbes, 2017)

2.5. Penerapan dan Kaedah Analisis

Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya

sastra itu merupakan response (Teeuw dalam dalam Masyarakat Poetika Indonesia,

2015: 173) pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Oleh karena itu, sebuah teks

tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra baru

mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya.

Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis

atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum

adalah teks (Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 173). Oleh karena itu, karya

sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaannya tersebut, baik

secara umum maupun khusus.

14
DAYANA, BP (2021) menganalisis hubungan Intertekstual dengan cara

membandingkan teks perkembangan kepribadian kedua tokoh dan mencari

hubungan kemiripan teks dengan menggunakan teori interteks yang dikemukakan

oleh Endraswara, dimana Endraswara mengungkapkan bahwa terdapat empat

bentuk penerapan hipogram (karya terdahulu) ke dalam karya baru yaitu dengan

cara:

1. ekspansi atau perluasan (pengembangan);

2. konversi atau pemutarbalikkan hipogram;

3. Modifikasi atau pengubahan yang secara khusus pada tataran sastra; dan

4. Ekserp atau intisari suatu unsur atau episode dari kedua hipogram.

Teori intertekstual yang dikemukakan Kristeva pun bukan untuk melihat

hubungan satu karya dengan karya yang lain. Akan tetapi, melihat teks sosial dan

sejarah yang muncul dalam satu karya. Teks tersebut berasimilasi satu dengan yang

lainnya dan memiliki kesejajaran atau kesamaan dengan teks sosial dan sejarah

pada suatu masyarakat. Demikian pula dengan pemikiran Riffaterre tentang

intertekstualitas, yaitu bukanlah nama lain untuk pengaruh atau imitasi. Dia

menjelaskan bahwa interteks tidak berarti kumpulan karya sastra yang mungkin

telah mempengaruhi teks atau teks itu mungkin ditiru. Selain itu kata Riffaterre,

interteks bukan sebuah konteks yang dapat menjelaskan teks atau efeknya pada

pembaca, atau salah satu dapat digunakan sebagai dasar perbandingan untuk

menunjukkan orisinalitas penulis. Sebuah interteks menurut Riffaterre adalah

korpus teks, fragmen tekstual, atau segmen seperti teks dari sosiolek yang membagi

15
satu leksinkon, dan pada tingkat lebih rendah, sintaks dengan teks yang kita baca

(secara langsung atau tidak langsung) dalam bentuk anonim atau, bahkan

sebaliknya, dalam bentuk antonim. Teks tersebut berasimilasi satu dengan yang

lainnya dan memiliki kesejajaran atau kesamaan dengan teks sosial dan sejarah

pada suatu masyarakat ( Septiyani, & Sayuti, 2019:176-177)

Pengertian, paham, atau prinsip intertekstualitas berasal dari Prancis dan

bersumber pada aliran dalam strukturalisme Prancis yang dipengaruhi oleh

pemikiran filsuf Prancis, Jaques Derrida, dan dikembangkan oleh Julia Kristeva.

Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang

teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti

bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks

lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya

meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi

dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang

sudah ada memainkan peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan

mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi; dan

pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks

yang mendahuluinya (Kristeva dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 172).

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan

Teori intertekstuality dimaksudkan sebagai teori terhadap sejumlah teks

yang diduga mempunyai bentuk hubungan tertentu, seperti hubungan unsur-unsur

intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, dan lainnya

di antara teks yang dikaji.Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk

menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Intertekstual dalam

puisi dapat mencakup persamaan maupun pertentangannya. Untuk mendalami

hubungan antarteks, penting dibicarkan karya sastra tersebut dalam kaitannya

dengan karya sezaman,sebelum,dan sesudahnya. Hal ini untuk mengetahui

bagaimana hubungan atau kaitan antarteks yang mungkin terjadi.

3.2.Saran

Dalam penyusunan makalah ini,saya selaku penyusun tentunya mengalami

banyak kekeliruan dan kesalahan-kesalahan baik dalam ejaan,pilihan kata,

sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang di pahami. Untuk

itu saya mohon kritik dan sarannya untuk masukan saya sebagai pembelajaran di

waktu yang akan datang.

17
DAFTAR RUJUKAN

Allen, G. (2021). Intertextuality. Routledge.

Allen, G. (2019). Intertextuality. In Oxford Research Encyclopedia of Literature.

Albay, M., & Serbes, M. (2017). Intertextuality in the literature. International


Journal of Social Sciences and Educational Studies, 3(4), 208–214.
Doi:10.23918/ijsses.v3i4p208

DAYANA, BP (2021). PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN PARA KARAKTER


UTAMA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA
AHMAD TOHARI DAN NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU
STUDI INTERTEKSUAL (Disertasi Doktor, UNIVERSITAS BUNG
HATTA).

Ilunina, A. A. (2019, April). Theoretical Aspects of Problem of Intertextuality in


Modern Literary Studies. In International Conference” Topical Problems
of Philology and Didactics: Interdisciplinary Approach in Humanities and
Social Sciences”(TPHD 2018) (pp. 162-167). Atlantis Press.

Kuswarini, P. (2016). Penerjemahan, intertekstualitas, hermeneutika dan estetika


resepsi. Jurnal Ilmu Budaya.

Masyarakat Poetika Indonesia. (2015). Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Septiyani, V. I., & Sayuti, S. A. (2019). Oposisi dalam Novel Rahuvana Tattwa
karya Agus Sunyoto: Analisis Intertekstual Julia Kristeva. Lensa: Kajian
Kebahasaan, Kesusastraan, dan Budaya, 9(2), 174-186.

Sunarmi, I., Martono, M., & Priyadi, A. T. (2023). Kajian Intertekstual Novel
Pulang Karya Toha Mohtar dan Novel Pulang Karya Tere Liye. Jurnal
Pendidikan dan Konseling (JPDK), 5(1), 1336-1344

Williandani, M. (2020). Intertextuality of Egg Boy in Warwick Daily News


(Doctoral dissertation, UNIMED).

18
19

Anda mungkin juga menyukai