Anda di halaman 1dari 17

Makalah Kelompok Kajian Fiksi

PENDEKATAN INTERTEKSTUAL DAN DEKONSTRUKSI

OLEH: KELOMPOK III

Basa Elisa F Sirait Deby Maria J Purba Raymond Sigalingging Tommy Sianturi

2113111010 2113111016 2113111063 2113111087

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2013

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan waktu kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Penulis megucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Kajian Fiksi yaitu Ibu Muharina Harahap, S.S, M.Hum. yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan makalah ini dan kepada Saudara/i yang telah menuntun penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Adapun judul makalah ini yaitu PENDEKATAN INTERTEKSTUAL dan DEKONSTRUKSI. Penulis menyadari bahwa isi makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kurangnya pengetahuan penulis dan bahan yang kurang memadai. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Medan,

Februari 2013

Penulis

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pengertian kajian fiksi adalah karya imaginer dan estetis. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks naratif atau wacana naratif. Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan kepada kebenaran sejarah. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam

interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksi denagn Tuhan. Fiksi merupakan hasil reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walaupun khayalan, fiksi merupakan perenungan. Selain itu fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan model kehidupan yang ideal bagi pengarang dan meneguhkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.

Pendekatan kajian fiksi ada lima, yaitu: 1. Pendekatan Mimemis 2. Pendekatan Objektif (Struktural) 3. Pendekatan Semiotik (Lambang/Tanda) 4. Pendekatan Intertekstual 5. dan Pendekatan Dekonstruksi Pada makalah ini kami hanya menyajikan dua pendekatan yang belum di jelaskan oleh kelompok sebelumnya, yaitu Pendekatan Intertekstual dan Pendekatan Dekonstruksi.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pendekatan Intertekstual Pendekatan intertekstual adalah kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan gaya bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan bahwa pendekatan interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan pendekatan interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu. Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Hubungan yang dimaksud tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi. Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini Luxemburg mengartikan

intertekstualitas sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teksteks sebelumnya.

Pendekatan intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang

khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumya. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh, misalnya, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi moderen nya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, di samping mereka juga berkenalan dengan puisi angkatan 80an di negeri Belanda yang telah mentradisi. Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan kawan-kawan seangkatannya menulis puisi dan prosa di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga baru, berbagai puisi drama, di samping tentu saja puisi-puisi lama. Demikian pula halnya dengan penulisan prosa, dan begitu seterusnya, terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya. Penulisan suatu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari unsur kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh baru dapat digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut. Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpang (menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi. Riffaterre mengatakan bahwa karya sastra selalu merupakan tantangan, tantangan yang terkandung dalam perkembangan sastra sebelumnya, yang secara konkret mungkin berupa sebuah atau sejumlah karya. Hal itu, sekali lagi, menunjukkan keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang melatarbelakanginya. Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut menjadi sebagai hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi

penulisan karya yang lain wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi,

sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya. Istilah lainnya, penerusan tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan, sedangkan penolakan

tradisi sebagai mitos pemberontakan. Kedua hal tersebut boleh dikatakan sebagai sesuatu yang wajib hadir dalam penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan. Adanya karya-karya yang ditransformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya lain yang diduga menjadi

hipogramnya. Adanyanya unsur hipogram dalam suatu karya, hal itu mungkin disadari mungkin tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi hipogramnya, mungkin berwujud dalam sikapnya yang

meneruskan atau sebaliknya menolak, konvensi yang berlaku sebelumnya. Kita lihat misalnya, Chairil Anwar menolak wawasan estetika sajak-sajak angkatan sebelumnya dan menawarkan wawasan estetika baru yang ternyata mendapat sambutan secara luas. Hal itu terlihat, misalnya, dengan banyaknya penyair

sesudahnya yang berguru pada puisi-puisinya sehingga hal itu pun akibatnya menjadi konvensi pula. Dalam kaitannya dengan hipogram itu, Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. hal itu berarti, bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan

tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreativitasnya sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya. Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan kerja yang demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi,

wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam karya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa konvensi, bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat dikenali. Usaha pengidentifikasian hal-hal itu dapat dilakukan dengan

memperbandingkan antara teks-teks tersebut. Ketika menulis teks kesastraan, orang membutuhkan konvensi, aturan, namun hal itu sekaligus akan

disimpanginya. Levin bahkan mengatakan bahwa pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya. Penulisan sebuah teks kesastraan tidak mungkin tunduk seratus persen pada konvensi. Pengarang yang notabene memiliki daya kreativitas tinggi menciptakan yang baru, yang asli. Namun, pembaharuan yang ekstrem dengan menolak semua konvensi akan berakibat karya yang dihasilkan kurang dapat dipahami dan tidak komunikatif. Penyimpangan memang perlu dilakukan namun ia tentunya masih dalam batas-batas tertentu, masih ada unsur konvensi di dalamnya, sehingga masih ada celah yang dapat dimanfaatkan pembaca yang memang telah berada dalam konvensi dan tradisi tertentu. Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi. Adanya hubungan intertekstualitas dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidak adanya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu, unsur-unsur hipogram itu, berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap adanya unsur-unsur hipogram pada suatu karya dari karya-karya lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.

Kelemahan pendekatan intertekstual adalah sifatnya yang mem-fait accompli pengarang. Setiap pengarang yang melahirkan karya yang topiknya (dianggap) sudah pernah ditulis oleh pengarang sebelumnya (karya transformatif) dianggap telah membaca karya pendahulunya (karya hipogram). Padahal dugaan itu belum tentu benar. Pengarang yang membuat karya sastra yang dianggap karya transformatif belum tentu telah membaca karya hipogramnya. Dengan dugaan seperti itu, analisis yang dilakukan adalah mencari sejauh mana karya transformatif itu dipengaruhi oleh karya hepigramnya. Atau, sejauh mana penyimpangan yang dilakukan oleh pengarang karya transformartif dari karya hipogramnya. Hal yang bersifat spekulatif itu harus menjadi pegangan dasar dari para peneliti yang menggunakan teori atau pendekatan intertekstual. Sifat fait accompli seperti itu tentulah tidak adil. Kecuali apabila pengarangnya mengakui bahwa karyanya merupakan transformasi dari karya sebelumnya yang sejenis. Dewasa ini dunia intelektual diguncang oleh munculnya arus pemikiran, paham, gerakan, atau mungkin bahwa era baru yaitu yang dikenal sebagai sebutan postmodernisme atau ada juga yang menyebutnya pasca modernisme, yang dari namanya dapat diduga sebagai terkait masalah filsafat dan bisa disingkat postmo. Postmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis, pensisteman, dan segala macam legitimasi, termasuk dalam bidang keilmuan, atau apa yang oleh Lyotard disebut sebagai grand narative. Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu dan konstan, sebagaiman halnya panangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan, yang dipergunakan untuk membahasakan objek yang bermakna tertentu dan pasti. Jika strukturalisme dipandang sebagai suatu yang sisitematik, proyek keilmuan, atau secara umum diartikan sebagai Science of sign, poststrukturalisme justru mengkritik hal itu sebagai sesuatu yang tidak mungkin.

2.2 Tokoh-tokoh Pengusung Teori Intertekstual Melalui buku Semiotics of Poetry (1978) Riffaterre mengatakan prinsip intertekstual bahwa sebuah karya sastra (sajak) baru memiliki makna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra (sajak) lain. Maksudnya pemaknaan yang diberikan kepada sebuah karya sastra baru akan utuh jika telah dihubungkan dan dibandingkan dengan karya sastra lain. Ada teks lain yang perlu diketahui untuk memaknai sebuah teks sastra. Sedangkan Julis Kristeva (Culler, 1997) mengatakan bahwa setiap teks, termasuk teks sastra merupakan mosaik atau kutipan-kutipan yang merupakan transformasi dari teks lain sebagai hipogramnya. Teks lain yang dimaksud adalah teks yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks sastra. Riffaterre dan Julia Kristeva mendukung dan adanya teori intertekstual sebuah teks yang membandingkan, dengan

menyejajarkan,

mengkontraskan

transformasi

hipogramnya (Pradopo, 2007: 132).

2.3 PENDEKATAN DEKONSTRUKSI Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir ssebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks. Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat

logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat. Model pendekatan dekonstruksi dalam bidang kesastraan fiksi, dewasa ini terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan pengkajian kesastraan. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu. Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tentu dan konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek yang bermakna tertentu dan pasti. Hal ini merupakan alasan mengapa paham dekontruksi disebut juga sebagai poststukturalisme. Selain itu, juga disebabkan paham itu menolak konsep teori Saussure, juga Jakobson, (yang dapat dipandang sebagai grand-theory), baik yang berupa teori linguistik struktural maupun teori semiotik yang

dikkembangkan dari teori strukturalisme itu. Pembacaan karya sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana halnya yang lazim dilakukan sebab, sekali lagi, tak ada lagi makna yang dihadirkan sesuatu yang sudah menentu, melainkan justru untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironinya. Mendekonstruksi sebuah wacana (kesastraan), dengan demikian, adalah menunjukkan bagaimana meruntuhkan filosofi yang melandasinya, atau beroposisi secara hierarkis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam teks itu yang memproduksi dasar argumen yang merupakan konsep utama. Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan, dengan demikian, menolak makna umum yang diasumsikan ada melandasi karya yang bersangkutan dengan unsur-unsur yang ada dalam karya itu sendiri.

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Pendekatan intertekstual adalah kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan gaya bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut.

3.2 SARAN Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang positif bagi

pembaca yaitu pembaca dapat mengerti apa itu pendekatan intertekstual dan pendekatan dekonstruksi serta dapat menjadi dasar atau pengantar untuk pengaplikasiannya dalam karya sastra atau fiksi.

DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo Sinurat, Tingkos. 2012. Kajian Fiksi. Medan: Unimed. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Waridah, Ernawati. 2009. EYD dan seputar kebahasaa Indonesiaan. Jakarta: Kawan Pustaka http://sheduarea.blogspot.com/2011/03/kajian-fiksi.html http://tetesembundidaun.wordpress.com/bahasa-indonesia-kajian-intertekstual/ http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi

DAFTAR PERTANYAAN
Termin I 1. Pada makalah Anda terdapat kata melepas dari konteksnya. Apa maksud dari kalimat tersebut? (Marintan Sianipar) Jawab : Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Adapun koteks adalah teks yang berhubungan dengan sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana. Koteks adalah semua unsur kebahasaan atau linguistik yang berperanan dalam menentukan makna sebuah wacana. Peranan koteks dalan sebuah wacana adalah mendukung atau memperjelas makna. Contoh: 1) Terlihat seorang perempuan dan seorang laki-laki di rumah depan 2) Perempuan itu membaca buku dan tampak gembira, sedangkan laki-laki itu kelihatan resah dan berdiri di dekat jendela. Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa perempuan itu pada kalimat kedua mengacu pada perempuan yang sedang membaca buku di ruang depan. Adapun laki-laki yang terdapat dalam kalimat satu, mengacu pada seorang laki-laki yang kelihatan resah dan berdiri dekat jendela yang terdapat dalam kalimat nomor dua. Melepas teks dari konteksnya yaitu melepas suatu kalimat atau kata tersebut dari situasi yang sedang berlangsung.

2. Jelaskan pendekatan intertekstual pada novel! (Eva Susanti Ginting) Jawab : 1) Latar Belakang Pengarang dan Novel

Nh. Dini adalah seorang wanita yang mengarang novel Namaku Hiroko. NH. Dini (dengan nama lengkap Nurhajati Srihardini) lahir di Semarang pada tanggal 29 Pebruari 1936. Dini menikah dengan seorang diplomat Perancis dan pernah lama tinggal di Jepang. N.H. Dini adalah sastrawan wanita Indonesia yang menonjol pada akhir dekade 80-an. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur. Novel Namaku Hiroko ditulis pada tahun 1977 dan diterbitkan pada tahun 1986. 2) Kultur Budaya dalam Cerita Latar budaya negara Jepang. Jepang penuh dengan seni dan budaya. Di dalam novel ini terdapat latar yang mencerminkan kebudayaan Jepang seperti kehidupan wanita penghibur. Menyoroti wanita penghibur, terdapat perbedaan dalam novel karya Nh. Dini. Dalam Namaku Hiroko, Hiroko bekerja menjadi seorang wanita penghibur dengan latar penari telanjang yang tidak melakukan pendidikan formal. Selain itu, banyak istilah Jepang dapat dijumpai dalam novel ini yang menjadi kekhasan budaya di Jepang, seperti kutipan berikut. 3) Latar belakang kehidupan dan ekonomi di desa Latar belakang pada kehidupan tokoh utamanya memiliki keserupaan, yakni nuansa desa. Begitu juga dengan latar keluarga tokoh yang berasal dari keluarga miskin yang penuh kesulitan dan sedang sangat membutuhkan uang untuk bertahan pada kehidupan. 4) Pengeksploitasian Anak Dalam novel ini, terdapat konflik awal seperti terjadinya pengeksploitasian anak, dalam hal ini Hiroko. Dalam usia yang begitu belia, ia harus dapat menghidupi dirinya sendiri untuk memperbaiki nasib kedepannya. Tokoh tersebut dieksploitasi oleh ayahnya kepada orang-orang yang dianggap mampu memperbaiki nasib anak-anaknya. Hiroko diserahkan kepada tengkulak untuk dijadikan pembantu. Hiroko harus berpindah dari tempat tinggal mereka yang sebelumnya di desa ke kota. Meskipun begitu, Hiroko tidak mampu bertahan dengan segala perlakuan majikannya. Dalam proses kehidupan tokoh tersebut,

terdapat berbagai perjuangan yang harus dihadapi oleh remaja tersebut untuk bisa bertahan dan memperbaiki nasibnya. 5) Perubahan Pola Pikir Pada novel Namaku Hiroko, titik tolok perubahan pola pikir Hiroko terjadi sejak ia bertemu dengan Tomiko, kawannya. Dan proses itu berlanjut terus seiring dengan pergaulan yang didapat selama bekerja. 6) Perjuangan Kehidupan dan Mencari Cinta Dalam novel ini, tampak adanya hubungan intertekstual terutama mengenai struktur cerita, yaitu alur maju dan sudut pandang orang pertama, yaitu tokoh utama itu sendiri Hiroko. Meskipun tokoh tersebut dengan latar keluarga yang miskin, namun tetap memiliki perjuangan hidup dan pencarian cinta. Tokoh tersebut menjalani proses kehidupan yang begitu kompleks dan menjumpai halhal yang sebelumnya tabu sehingga menjadi suatu hal yang biasa.

3. Jelaskan pendekatan deskonstruksi pada novel! (Meiliana Sirait) Jawab : Disini kami mengambil contoh cara pembacaan dengan dekonstruksi pada novel Siti Nurbaya. Pada umumnya pembaca beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui cara dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik. Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit. Hanya karena kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya: putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuska masuk serdadu kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatra Barat, yang merupakan tanah kelahirannya terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjadi

biang keladi kegagalan cintanya. Apapun alasannya hal itu berarti ia memerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak membela kepentingan penjajah.

Termin II 1. Rosmindo sitorus Apa maksudnya metode dekonstruksi dikatakan sebagai sebuah proyek filsafat yang berskala raksasa? Jawab : metode dekonstruksi dikatakan sebagai sebuah proyek filsafat berskala raksasa karena metode dekonstruksi memerlukan pemikiran atau pengkajian yang besar terhadap sebuah karya satra. Contohnya pada roman Siti Nurbaya, tokoh Syamsul Bahri pada roman tersebut merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui cara dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik. Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit. Hanya karena kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya: putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat.

Tanggapan : meiliana sirait.

2. Friani herlinda sijabat Apakah kelebihan dan kelemahan dari metode dekonstruksi ? Jawab : kelebihan metode dekonstruksi adalah mampu mengkaji sebuah karya sastra lebih dalam. Kekurangan dari metode ini adalah memerlukan pemikiran yang tajam dan referensi yang banyak bila tidak, maka sulit untuk melakukan atau menerapkan metode ini dalam pengkajian karya sastra.

3. Sanjuni lumban toruan Apakah kelebihan metode intertekstual ? Jawab : kelebihan metode intertekstual adalah menurunkan tingkat keplagiatan di kalangan penulis, karena metode ini mengkaji unsur instrinsik sebuah karya sastra secara mendalam. Selain itu pembaca juga dapat memperoleh makna sebuah karya sastra secara penuh.

Anda mungkin juga menyukai