HANIFAH.2034411004
STKIP PGRI BANGKALAN
Hanifah172003@gmail.com
ABSTRACT
Literature appears and develops in society. Literature is not only beautiful because of
its form, content, stage, and the music that accompanies it. If literature can see and feel
similarities and differences in points of view, and has meaning that is not limited to the times
and involves all kinds of knowledge, then literature can review how far humans express
themselves. Comparative literature is a field of study that investigates literary works in
various forms, functions and meanings. This is a research effort on the two literary works
being compared, "Lessons of Writing" by Seno Gumira Ajidarma and "Children of
Prostitutes" by Edy Firmansyah, from the perspective of literary psychology.
ABSTRAK
Sastra muncul dan berkembang di masyarakat. Sastra tidak hanya indah karena
bentuknya, isinya, pentasnya, dan alunan-alunan yang mengirinya. Jika sastra dapat melihat
dan merasakan kesamaan dan perbedaan sudut pandang, dan memiliki makna yang tidak
terbatas pada zaman dan melibatkan segala macam ilmu, maka sastra dapat meninjau
seberapa jauh manusia berekspresi. Sastra bandingan adalah bidang studi yang menyelidiki
karya sastra dalam berbagai bentuk, fungsi, dan makna. Ini adalah upaya penelitian tentang
dua karya sastra yang dibandingkan, "Pelajaran Mengarang" karya Seno Gumira Ajidarma
dan "Anak Pelacur" karya Edy Firmansyah, dari sudut pandang psikologi sastra.
Setiap proses kreatif dan imajinatif yang digunakan oleh pengarang untuk
menghasilkan karya sastra dianggap sebagai sarana untuk memasukkan sentuhan kenyataan
ke dalam karya mereka. Karya sastra yang berhasil dianggap sebagai hasil dari kreativitas
dalam menciptakan ide baru atau bahkan menginterpretasikan karya sastra lain. Jadi, ada
kebutuhan untuk upaya yang membantu pembaca memahami karya sastra yang dibacanya.
Kita dapat menggunakan berbagai teori untuk mengapresiasi karya sastra. Teori dekonstruksi
menunjukkan bahwa tidak ada karya sastra yang dapat diterima dengan teori ini. Kita tahu
bahwa karya sastra berkembang begitu pesat di era saat ini. Bentuk kritik karya sastra yang
semakin luas muncul sebagai hasil dari evolusi teori sastra. Sastra erat terkait dengan
kehidupan manusia karena dibangun dari elemen-elemen kemanusiaan dan kehidupan di
sekitar manusia.
Faktanya, selama kita membaca karya sastra, kita sering mengikuti pendapat atau
kesimpulan konvensional dan cepat menyimpulkan makna cerita dengan hanya membaca dan
menelaah teks secara keseluruhan. Pada masa pasca-strukturalisme, perspektif seperti ini
tidak disukai tentang cara membaca karya sastra; sebaliknya, kita diminta untuk membaca
karya sastra dengan lebih kritis, dan metode seperti dekonstruksi muncul. Sebagaimana
halnya strukturalisme klasik, dekonstruksi menolak gagasan bahwa bahasa memiliki makna
yang konstan dan pasti. Tidak ada ungkapan atau jenis kebahasaan yang jelas memiliki arti.
Ini adalah alasan mengapa dekonstruksi menjadi komponen utama teori pasca-strukturalisme.
Dengan menggunakan teknik dekonstruksi saat membaca karya sastra, diharapkan kita dapat
memahami karya sastra dengan cara yang berbeda, menghilangkan pemikiran yang sudah ada
dan menemukan hal-hal baru.
PENGERTIAN DEKONSTRUKSI
Salah satu upaya untuk memahami teks kesastraan dengan cara yang berbeda untuk
mendapatkan makna yang berbeda adalah dekonstruksi, menurut Nurgiyantoro (2013: 92).
Adanya trace atau jejak menentukan struktur tanda proses pemaknaan, menurut Derrida
(Dewojati, 2012: 236). Jejak ini sangat penting. Oleh karena itu, kesadaran yang sebenarnya
selalu mengacu pada pengetahuan sebelumnya. Jejak yang disebutkan, yang misterius dan
tidak dapat ditemukan, tampak sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan; mereka berfungsi di
seluruh lingkup tulisan, melewati dan memberikan kekuatan pada seluruh aktivitasnya.
Derrida tidak menolak konsep struktur dan pusat dalam kaitannya dengan teks sebagai ruang
pemahaman. Baik fonosentrisme maupun logosentrisme tidak menerima konsep atau pusat.
Dekonstruksi adalah menulis, bukan hanya menulis sebagai tindakan, tetapi juga
sebagai proses membangun pemahaman dan ide yang berlangsung selama aktivitas berpikir.
Ada breakdown dan redoubling selama proses penyusunan pemahaman. Pada langkah ini,
penulis atau pembaca berusaha menampilkan oposisi dan kontradiksi dalam teks. Ini
sebenarnya sejalan dengan pendekatan yang disebut "dekonstruksi metaforik" oleh Derrida.
Meskipun demikian, metafora yang dimaksud dianggap sebagai bagian dari fungsi ekspresif
bahasa, bukan sebagai elemen penting dari tuturan. Metafora berfungsi sebagai salah satu
metode penyusunan wacana dan sangat mempengaruhi cara kita memahami berbagai hal.
Oleh karena itu, teks yang bersifat metaforis adalah yang didekonstruksi.
Proses Derrida untuk menemukan oposisi biner yang menunjuk pada pasangan kata-
kata yang saling beroposisi secara hirarkis yang dimaksudkan adalah kondisional. Pada
awalnya, dekonstruksi adalah reaksi terhadap kecenderungan sebelumnya, yaitu
fonosentrisme dan logosentrisme, paham pemikiran yang berpusat pada suara yang hidup
(phono) atau kata (logo). Pertentangan ini terjadi karena fakta ini. Oleh karena itu, pembaca
atau penulis harus melakukan penjejakan saat membaca teks untuk menemukan jawaban
pertanyaan. Proses intertekstualitas terjadi ketika teks digabungkan, yang merupakan cara
penjejakan dilakukan. Menurut Ratna (2013: 222), pemecahannya dilakukan dengan
menunda dan membedakan. Ada kegiatan penjejakan untuk memahami cerpen "Pelajaran
Mengarang" dan "Anak Pelacur". Selain itu, kontradiksi yang terdiri dari oposisi biner yang
bersifat hirarkis akan diungkapkan melalui dekonstruksi metaforik yang dilakukan Derrida.
Kedua cerpen itu membahas oposisi pelacur.
Cerpen “Pelajaran Mengarang” merupakan cerpen yang sarat dengan nilai moral
terhadap pembaca atau masyarakat. Dalam hal ini, Seno selaku pengarang menampilkan
sosok seorang wanita penghibur yang menjalani gaya hidup yang sangat keras karena
kenangan masa lalunya yang hitam, tetapi ia tetap sayang pada anaknya dan berharap
anaknya tidak meniru gaya hidup ibunya. Kata-kata atau frasa yang diubah dalam cerpen
disajikan di bawah ini oleh penulis.
Kata Guru
Dekonstruksi cerpen “Pelajaran Mengarang” yang pertama terletak pada kata guru. Hal
tersebut dapat diamati dari kutipan berikut.
“Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan
besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-
anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya
tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus
mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan”.
Kata guru pada kutipan cerpen di atas dapat didekonstruksi karena pada umumnya makna
guru dipandang sebagai orang yang dapat memberi pengetahuan, ilmu dan perilaku yang
disukai oleh muridnya tetapi, di dalam kutipan tersebut terdekonstruksi karena adanya unsur
penolakan universalitas, totalitas, keutuhan organis dari kata guru pada umumnya. Sandra
yang menjadi tokoh utama menganggap pengajaran yang diberikan ibu guru Tati kepadanya
memberatkan dan menyulitkan karena tidak sesuai dengan keseharian Sandra. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro (2013: 89) bahwa dekonstruksi pada
hakikatnya cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan bahwa sebuah teks itu
memiliki landasan, dalam bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan
makna yang telah menentu.
Kata Rumah
Kata yang kedua yang didekonstruksi yakni pada kata rumah. Hal tersebut dapat diamati dari
kutipan berikut.
“Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan
kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas
tempat tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang spreinya terseret entah ke mana.
Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus
menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah”.
Kata rumah pada kutipan tersebut bukan serta merta bangunan tempat tinggal namun, lebih
dari itu bahwa kata rumah dalam penggalan cerpen tersebut selain sebagai tempat tinggal
juga, rumah tersebut dijadikan tempat pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah
sebagai suatu transaksi pelacuran. Dengan kata lain, rumah tersebut dijadikan sebagai tempat
prostitusi. Hal ini sesuai dengan pendapat Derrida bahwa menolak konsep atau center dalam
perspektif logosentrisme ataupun fonosentrisme. Selden (1991: 88). Pada umumnya rumah
yakni bangunan tempat tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan. Namun, dalam cerpen
tersebut kata rumah memiliki makna lebih dari itu. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan
metode Derrida yang dikenal dengan istilah dekonstruksi metaforik.
Kata Mama
Kata berikutnya yang dapat didekonstruksi yakni terdapat pada kata Mama. Hal ini tercermin
dalam kutipan berikut ini.
“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia
mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan
Papa!”
Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji
menjadi anak baik-baik.
“Seperti Mama?”
Sebelum dilacak makna kontradiktif atau makna paradoks cerpen ini, terlebih dahulu akan
pemaknaan terhadap hal-hal yang dianggap penting. Setelah itu makna yang penting itu akan
“diruntuhkan” untuk menemukan yang tidak penting. Setelah ditemukan hal yang tidak
penting, maka yang tidak penting itu akan dibuat menjadi penting alias dipentingkan. Dari
sinilah nantinya akan dilacak, kemudian ditemukan makna kontradiktif, makna ironi, atau
makna paradoks cerpen ini. Dekonstruksi cerpen ini terletak bahwa kenyataannya makna kata
mama dalam cerpen tersebut selain sebagai orang tua perempuan Sandra juga sebagai wanita
penghibur yang menjajakan kenikmatan birahi. Tapi, di dalam cerpen tersebut pengarang
secara implisit menerangkan bahwa kehidupan pelacur tidak sebatas itu saja. Mama Sandra
walaupun seorang pelacur ia tidak pernah lupa jati dirinya sebagai ibu yang memberikan
kasih sayang untuk anaknya. Kasih sayang itu tampak terlihat dari percakapan Sandra dengan
Mamanya yang berpesan tidak harus menjadi sebagai pelacur juga, tetapi mereka masih
memperhitungkan masa depan anaknya yang lebih baik, tidak seperti yang dialami oleh orang
tuanya.
Kata Pager
Kata berikutnya yang dapat didekonstruksi yakni terdapat pada kata Pager. Hal ini tercermin
dalam kutipan berikut ini.
“Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu
berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra
memencet tombol dan membacakannya”.
Bila dicermati lebih saksama, kata pager pada kutipan terdekonstruksi saat ini pada awalnya
media komunikasi tulis pertama menggunakan surat namun, seiring berjalannya waktu peran
teknologi tak bisa dibendung. Salah satunya yakni pager pada awal tahun 1990-an alat
komunikasi tersebut mengalami masa kejayaan di kalangan masyarakat tak terkecuali
masyarakat Indonesia. Pager merupakan elektronik yang memungkinkan menyampaikan
informasi dan pesan dari suatu tempat ke tempat yang lainnya dengan jarak yang terkadang
tergolong jauh.
Kata Ibu
Dekonstruksi cerpen “Anak Pelacur” yang pertama terletak pada kata ibu. Hal tersebut dapat
diamati dari kutipan berikut.
“Cerita anakku di suatu malam ketika ia sedang memijatku. “maafkan ibu, ibu belum punya
uang sekarang sayang, Dini sabar dulu ya nak. “Ibu akan masuk kerja besok,” kataku.
"Jangan lama ya bu, Dini harus bayar uang sekolahnya minggu depan, kalau nggak bayar
segera, Dini tidak bisa ikut UN bu." Aku sangat sedih saat itu, sehingga aku bertekad untuk
sembuh secepat mungkin agar bisa "dinas" lagi besok malam.
Saya telah menetapkan bahwa saya akan berhenti dari pekerjaan ini suatu saat nanti. Aku
berharap dapat membuka warung kecil di rumahku dengan sedikit uang tabunganku. Saya
ingin berhenti menjajakan diri. Saya lebih suka tinggal di rumah sendiri agar saya dapat
memperhatikan Dini, yang akan mulai sekolah menengah nanti. Saya ingin dia tidak
mengalami masa depan yang sama seperti saya. Semoga doa ini dikabulkan oleh Tuhan dan
dia mengampuni diriku yang telah banyak berdosa. Aamiin.
Pada kutipan cerpen tersebut, kata-kata ibu tidak hanya berbicara tentang orang tua
perempuan yang menyayangi anak-anak mereka karena mereka juga memiliki tanggung
jawab lain, yaitu mencari nafkah untuk keluarga mereka. Ini bertentangan dengan prinsip
umum bahwa ayah seharusnya mencari nafkah dan bukannya ibu. Ini berbeda dengan istri
yang ditinggal suami mereka karena meninggal dunia dan tidak mau menjadi tulang
punggung keluarga. Pada cerpen ini, karena ayah Dini masih hidup, ayahnya seharusnya yang
mencari nafkah, bukan ibunya. Oleh karena itu, kata "ibu" didekonstruksi dari maknanya
secara keseluruhan; pendapat Derrida (Ratna, 2013: 225) bahwa menolak adanya satu pusat.
Dengan demikian, dekonstruksi yang terdapat dalam cerpen ini sama halnya dengan cerpen
“pelajaran mengarang” bahwa cerita yang secara garis besar dapat di tangkap melalui
rangkaian cerita yang sudah tergambar dengan jelas, melainkan disisi makna lain terdapat
pemahaman yang lain yaitu seorang pelacur tidak harus menjadikan anaknya juga sebagai
pelacur, melainkan mereka masih mempunyai hati nurani untuk masa depan anak-anaknya.
Kafe
Kata berikutnya yang didekonstruksi yakni kata kafe. Hal tersebut dapat diamati dari kutipan
berikut.
"Mari. Ya.. Orang-orang di sekitar saya biasanya memanggil saya dengan nama itu. Saya
adalah tokoh utama di kafe ini. Awalnya, aku yang kini berusia 30 tahun ini hanya bekerja
sebagai pelayan kafe setiap malam. Namun, situasi memaksa saya untuk sering menemani
pelanggan kafe sampai di hotel-hotel di sekitar kota. Tidak jarang, hotel tempat saya
menghabiskan waktu romantis bersama seorang pria menjadi sasaran satpol PP hingga aku
dibawa ke kantor mereka. Sebenarnya, saya tidak dipenjara; sebaliknya, saya diberi
peringatan agar tidak melakukan pekerjaan itu lagi. Namun, demi kepentingan anakku, saya
tetap bekerja di sana.
Kata "kafe" biasanya berarti tempat di mana orang minum kopi, bir, dan kue-kue sambil
mendengarkan musik. Namun, dalam kutipan cerpen tersebut, kata "kafe" bermakna lebih
dari sekadar tempat minum atau makan; itu bisa digunakan sebagai tempat untuk memuaskan
keinginan seksual seseorang. Menurut Susanto (2012: 235), dekonstruksi memiliki
kemampuan untuk menunjukkan perselisihan dalam teks yang telah disembunyikan atau
disembunyikan secara tidak sengaja. Karena tanda menunjukkan sesuatu yang tidak hadir
dalam metafisis, kehadiran yang dimaksudkan itu semakin jelas saat melihatnya melalui
tanda.
Ayah
Kata berikutnya yang dapat didekonstruksi yakni terdapat pada kata ayah. Hal ini tercermin
dalam kutipan berikut ini.
15 tahun lalu, Robi yang menikahiku dan menjualku di pinggir jalan. Robi akan memukulku
jika aku tidak mau. Ketika saya hamil Dini, saya sempat berhenti melakukan pekerjaan itu.
Meskipun saya mengira penderitaan saya selesai, ternyata tidak.
Meskipun telah melahirkan Dini setahun kemudian, saya kembali ke pekerjaan saya. Aku
kembali bekerja, bekerja malam demi mendapatkan uang untuk Robi, suamiku. Apa Robi
masih layak disebut sebagai pasangan saya? Saya tidak tahu. Saya tahu bahwa Dini memiliki
ayah biologis Robi. Setiap malam, Robi meminta agar aku tidak tinggal bersama Dini dan
membiarkan tubuhku dijamah oleh orang lain. Sungguh mengerikan ketika seorang suami
harus menghadapi situasi seperti itu.
Menurut ayah, mereka adalah orang tua kandung laki-laki yang tanggung jawabnya adalah
mencari uang untuk keluarganya. Namun, kutipan tersebut tampaknya tidak tepat karena
menggambarkan pria dewasa yang kejam dan tidak bertanggung jawab kepada keluarganya.
Ayah Dini melakukan hal-hal yang tidak logis dan tidak masuk akal, seperti menjual istrinya
ke orang lain hanya untuk uang. Ini terjadi berkali-kali sampai ayah Dini lupa bahwa dia
adalah suaminya dan bahkan lebih parah lagi, dia berzina dengan wanita lain di rumahnya
sendiri.
Dalam studi sastra bandingan, afinity (pertalian atau kesamaan) adalah salah satu
yang dicari. Kesamaan atau kemiripan antara dua cerpen yang dibahas tidak ditemukan
melalui struktur, karena keduanya dihadirkan dengan cara yang berbeda, termasuk cerita,
penokohan, dan elemen lainnya. Metode dekonstruksi digunakan untuk menemukan titik
yang serupa dalam penelitian ini. Titik-titik yang serupa lebih berfokus pada nilai moral yang
ingin disampaikan oleh pengarang. Gaya cerita seorang pelacur yang berusaha
mempertahankan hidupnya dan masa depan anak-anaknya digunakan oleh kedua pengarang
ini. Ini menunjukkan bahwa pengarang senada tentang cara mereka menyampaikan ide.
Cerpen yang ditulis oleh kedua pengarang ini sama-sama membahas masalah yang dihadapi
seorang pelacur dalam mempertahankan hidupnya. Selain itu, maksud yang ingin
disampaikan oleh pengarang juga dievaluasi apakah memiliki kemiripan dengan nilai-nilai
moral yang ingin disampaikan.
2. Ide-ide yang mendasari setiap cerpen memiliki kemiripan, yaitu ingin menyampaikan nilai-
nilai moral.
3. Maksud pengarang bahwa seorang pelacur tidak harus menjadikan anaknya sama seperti
orang tuanya yang menjadi pelacur dapat dilihat secara dekonstruksi.
4. Kata-kata yang dapat diubah dalam cerpen "Pelajaran Mengarang" adalah guru, rumah,
mama, dan pager, sedangkan dalam cerpen "Anak Pelacur" adalah ibu, kafe, dan ayah.
Daftar Pustaka