(JACQUES DERRIDA)
Dosen Pengampu :
Dr. Nazurty, M.Pd
Oleh Kelompok 2
Novia Miftakhul Mimma Aprilda : P2A319009
Rotua BR Silalahi : P2A319003
Riki Sujana : P2A319001
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama ini, dalam membaca teks karya sastra kita masih berpandangan satu
arah saja dengan mengikuti pendapat atau kesimpulan yang telah dikonvensionalkan.
Maksudnya dengan cara menyimpulkan pemaknaan cerita, seperti membaca serta
menelaah teks secara umum. Namun, pada masa post-moderinisasi ini pandangan-
pandangan tersebut tidak diinginkan dalam pembacaan karya sastra. Justru kita
dituntut untuk melihat serta menelaah sebuah karya secara lebih kritis dalam
membaca karya sastra tersebut, sehingga muncullah metode-metode pembacaan teks
seperti dekonstruksi.
2
rohani, fakta dan fiksi (Kutha Ratna: 2005). Dengan menggunakan metode
dekonstruksi dalam membaca teks atau sebuah karya sastra diharapkan kita bisa
melihat fakta-fakta lain dalam menelaah teks karya sastra. Sehingga tidak ada
kemutlakan dalam memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan
yang sifatnya absolut serta menemukan hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Dekonstruksi
Suatu kajian sastra tidak akan bisa terlepas dengan teks, dapat dikatakan
bahwa sastra berpusar pada suatu teks. Teks dapat dimaknai secara luas yang tidak
dapat dibatasi dengan makna. Sebagaimana paham dari dekonstruksi yang menolak
struktur lama yang telah lazim. Dekonstruksionis menganggap bahwa “bahasa” teks
bersifat logis dan konsisten. Seperti pada sebuah ungkapan kejahatan akan
terkalahkan dengan kebaikan, akan tetapai pada paham dekonstrusi itu tidak selalu
benar. Ada hal-hal yang sangat penting jika ingin dikaji lebih dalam, pada era
skarang sastra boleh saja membalik tema besar itu disebabkan oleh pehaman teks tak
selalu berurutan melainkan boleh dibolak-balik.
Sebagai ciri utama teori postrukturalisme, baik dalam bidang filsafat maupun
sastra, dekonstruksi, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit
dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, maka
secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagai mana
dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya
terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan
oposisi biner dan cara-cara berfikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis.
Kecendrungan utama oposisi biner adalah anggapan bahwa unsur yaang pertama
merupakan pusat, asal-usul, dan prinsip, dengan konsekuensi logis unsur yang
menjadi skunder, marginal, manifestasi, dan padanan pelengkap lainnya (Ratna, 2012:
222).
4
yang dilakukan oleh Derrida yaitu memeriksa unsur-unsur kecil dalam momen yang
tidak bisa dipastikan. Penggantian yang hampir tidak dipersepsi dari pengamatan
pembaca yang tidak dapat menemukan ambiguitas sistem dalam kesatuan makna teks.
Namun, Derrida berusaha menghancurkan sistem itu (Madan Sarup, 2008:
74). Dekonstruksi juga merupakan salah satu cara membaca teks sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan. Akan tetapi, semua
pernyataan cultural dari keseluruhan sebuah teks yang dengan sendirinya sudah
mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu.
Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya pada melibatkan diri dalam kajian
wacana, baik lisan maupun tulisan. Melainkan pada kekuatan-kekuatan lain yang
secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.
1. Difer adalah konsep ruang, maksudnya tanda muncul dari sistem perbedaan yang
mengambil tempat dalam system itu. Differ bersifat temporal,
maksudnya signiffier memaksakan penundaan kehadiran tanpa kesudahan (Salden
dalam Endraswara, 2013: 172)
5
3. Titik aporia adalah titik yang menimbulkan alusi, yaitu tatkala ditemukan sebuah
unit teks-teks lain, atau peristiwa-peristiwa yang senada dengan yang dihadapi.
Caranya dengan mensejajarkan atau mempertentangkan dengan unit wacana yang
dihadapi. Hasil akhir akan ditemui dua hal, yaitu restrosfektif dan prosfektif.
Tujuan yang ingin dicapai pada teori dekontruksi ini adalah penyusunan
kembali pada tatanan dan tataran yang lebih signifan sesuai dengan hakikat objek,
sehingga aspek- aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Bertolak pada konsep De Saussure tentang penanda dan petanda, dekonstruksi
memandang relasi atau hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat statis.
Akan tetapi dapat ‘ditunda’ untuk memperoleh hubungan yang baru. Makna suatu
tanda diperoleh tidak berdasarkan pembedaan antar tanda, melainkan dapat berubah-
ubah sesuai kehendak pemakai tanda (dinamis) melalui difference. Makna yang
senantiasa ditangguhkan tidak pernah hadir secara lengkap, baik senantiasa tidak ada
maupun ada. Walaupun kebenaran selalu harus dan mampu ditangguhkan dan
dibedakan secara terus menerus, sebab kebenaran itu sendiri pada dasarnya tidak ada.
Menurut Derrida, yang bisa kita temukan dan ketahui adalah jejak-jejak dari
kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenaran pada dirinya sendiri. Inilah yang
dimaksud dengan konsep jejak (trace). Sementara iterabilitas adalah kemampuan
suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang berbeda-
beda. Tugas dekonstruksi, disatu pihak mengungkap problematika wacana-wacana
yang dipusatkan, walaupun teori dekontruksi membongkar metafisika dengan
mengubah batas-batasnya secara konseptual. Tujuan metode dekonstruksi adalah
menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin
menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
ketimpamgan di balik teks-teks.
Menurut Nurhayati (2012: 65) Inti teori dekonstruksi adalah cara membaca
yang dimulai dengan penelusuran secara herarki kemudian diteruskan dengan
membailikkannya, dan akhirnya menolak pernyataan hierarki. Misalnya pemaknaan
terhadap novel Belenggu karya Arminj Pane dan Siti Nurbaya Karya Marah Rusli.
Pada Novel Belenggu terdapat pemaknaan yang menggambarkan kemenangan kaum
pria terhadap wanita. Kegagalan rumah tangga Tono dan Tini disebabkan Tini egois
dan mau menang sendiri, lebih suka aktif di luar rumah, dan enggan melayani suami.
Pemaknaan tersebut menjadi terbalik jika diterapkan teori dekonstruksi. Tokoh yang
6
dimenangkan menjadi wanita (Tini). Tini menang dalam memperjuangkan kaumnya
dengan mengorbankan kepentingan sendiri. Bentuk penolakan Tini dan aktifnya
diluar rumah dapat dijadikan lambang terhadap pria (Tono). Di sinilah ditonjolkan
kemauan bertindak sendiri dan tidak terikat oleh dominasi suami dan perkawinan.
Sementara itu, pada novel Siti Nurbaya, tokoh Samsul Bahri dianggap sebagai
pemuda hero (tokoh putih), sebaliknya Datuk Maringgih dianggap sebgai tokoh
antagonis yang jahat dan menyebabkan cinta Siti Nurbaya dan Samsulbahri kandas,
jika diterapkan dekonstruksi, Samsul Bahri dapat dilihat sebagai pemuda yang
cengeng (bunuh diri), memiliki nasionalisme yang sempit kerena lebih memihak
penjajah, dan mengganggu rumah tangga orang. Sebaliknya Datuk Maringgih
dianggap sebgai pahlawan yang memimpin rakyat Sumatera Barat untuk menentang
Penjajahan Belanda. jika dilihat dari segi sejarah, perbuatan Samsulbahri merupakan
perbuatan penghianatan bangsa, sedangkan Datuk Maringgih merupakan tokoh
penggerak pemberontakan terhadap penjajahan Belanda.
Dekonstruksi memang berpusar terhadap teks, ia tak lepas dari teks, namum
paham yang dipegang lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi
juga menolak struktur lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksionis, menganggap
bahasa sebagai teks yang bersifat logis dan konsisten.
Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau
struktual lebih mengandalkan bahasa teks, hal ini dapat memungkinkan akan
menemui jalan buntu, karna tak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataannya.
Itulah sebabnya paham ini mencoba untuk keluar dari struktur dan mencoba
menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lainnya. (Roland Barthes
dalam Endaswar, 2008 : 170) memberikan beberapa tahapan penelitian dekonstruksi,
antara lain :
7
1. Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan
semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Dan setiap unsur dipahami
secara terpisah. Dengan demikian, tidak satu unsur pun yang dianggap tidak
penting atau tidak mempunya peran.
2. Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya
dalam upaya untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu
jaringan dengan unsur lainnya.
a. Dekonstruksi bukanlah teori, tidak menawwarkan teori yang lebih baik mengenai
kebeneran; melainkan bekerja dalam dan sekitar kerangka diskursif yang sudah ada,
tidak menawarkan dasar baru (Culler dalam Jabrohim, 2014: 234)
8
b. Dekonstruksinisme merupakan faham filasafat yang menyeluruh mengenai aktifitas
interpretasi, bukan paham yang khusus mengenai sastra; meskipun di dalamnya teori
sastra memainkan peran penting karena (a) teoeri sastara bersifat konperhensif
sehingga memungkinnya melahirkan teori yang luarbiasa, (b) teori sastra melakukan
eksplorasi ke batas-batas pemahaman mengundang dan mempropokasikan diskusi-
diskusi teoretik tentang pertanyaan-pertanyaan yang paling general mengenai
rasionalitas, refleksi diri, dan signifikansi. (c) para teoritisi sastra secara khusus
reseptif terhadap perkembangan teoretik yang baru dalam lapangan-lapangan yang
lain, karena mereka kurang punya komitmen disipliner yang khusu di bidang-bidang
itu (culler dalam Jabrohim, 2014: 234).
Lalu, apakah yang dimaksud dengan benar dan tidak benar di sini? Pertanyaan
ini tentunya tidak sesederhana yang dibayangkan, dan banyak filsuf berbeda pendapat
mengenai hal ini. Ada filsuf yang menganggap bahwa kebenaran adalah pernyataan,
atau yang benar-benar nyata, atau sebuah persoalan mental dan linguistik. Oleh sebab
itu, pembahasan kebenaran dapat dikatakan merupakan persoalan korespondensi
(dengan fakta, situasi, realitas, keadaan, dan sebagainya), atau koherensi. Pada
dasarnya, kebenaran itu menurut filsafat modern adalah yang secara natural ada atau
secara objektif ada.
9
Richard Rorty, filsuf yang sering sejalan dengan Derrida namun juga tidak
jarang berseberangan, menulis dalam bukunya, Truth and Progress (1998), bahwa
sesungguhnya “tidak ada kebenaran”. Sikap semacam ini berkembang terutama
setelah Foucault mengembangkan pemikirannya tentang kebenaran dan kekuasaan.
Seperti halnya Derrida, Foucault adalah tokoh yang juga sangat berpengaruh dalam
pemikiran filsafat kontemporer. Namun, berbeda dengan Derrida, Foucault lebih
banyak memfokuskan diri pada aspek sosiologis, politis, dan historis. Dalam
pembahasannya tentang kebenaran, Foucault melihat dirinya sebagai seorang
Nietzschean yang berangkat dari teori Geneologi Nietzshe. Artinya, geneologi
merukan dokumentasi-dokumentasi yang telah dikopi berulang-ulang kali, akumulasi
dari berbagai materi.
Geneologi tidak menolak sejarah (sebagai bagian dari akumulasi), tetapi yang
ditolak adalah metahistoris yang mengandaikan adanya suatu tujuan. Geneologi
menolak pencarian asal-usul. Singkatnya, penolakan terhadap asal-usul berarti
penolakan terhadap kebenaran hakiki yang mengandaikan adanya esensi. Kebenaran
pada akhirnya hanyalah sebuah fabrikasi (yang dibuat) oleh kelompok-kelompok
tertentu yang berkuasa.
c. Sebagai contoh strategi pembacaan, yaitu terletak pada keberanian peneliti sastra
untuk sampai pada tipe-tipe struktur, membangun oposisi simetrik dan hirarkis,
memperhatikan term-term yangt mengandung argumen bertentangan, membuat
tertarik pada suatu yang menentang interpretatif otoratif, mencari gerak teks terdahulu
yang akan ditolak oleh teks yang lahir kemudian, memperhatikan elemen-elemen
yang dianggap marginal yang dikeluarkan oleh teks itu sendiri maupun interpertasi
mengenainya.
10
d. Sebagai gudang cadangan mengenai kodrat dan tujuan kritik sastra itu sendiri dan
akan membuat kritik sastra dapat mencairkan segala kemutlakan tentang makna yang
sudah ada (given), makna pengalaman pembaca dan lainnya yang terdapat dalam
strukturalisme.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Tujuan yang ingin dicapai pada teori dekontruksi ini adalah penyusunan
kembali pada tatanan dan tataran yang lebih signifikan sesuai dengan hakikat objek,
sehingga aspek- aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Selain itu, teori dekonstruksi juga sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra.
Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang
selama ini tidak memperoleh perhatian. Tujuan metode dekonstruksi adalah
menunjukkan ketidak berhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut (pasti) serta
ingin membongkar makna yang tersembunyi dan kelemahan serta ketimpangan di
balik teks-teks.
12
karya sastra, tetapi menyesuaikan makna sebuah teks tersebut sesuai dengan
zamannya.
3.2 SARAN
13
DAFTRA PUSTAKA
14