PAPER
Diajukan Untuk Salah Satu Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Non Positif
OLEH:
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG, 2017
KATA PENGANTAR
Segala puji kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha atas limpahan rahmat dan
Paper ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas presentasi dalam
mata kuliah Metode Penelitian Akuntansi yanng dibimbing oleh Ibu Dr. Lilik Purwanti,
SE.,M.si., Ak*) Selama proses mengerjakan Paper ini, Penulis mengalami beberapa
hambatan dan kesulitan. Berkat adanya bantuan, bimbingan, dan petunjuk yang sangat
berharga dari berbagai pihak baik moril maupun materil maka hambatan tersebut dapat
diatasi.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyusun Paper ini masih terdapat
kesalahan dan kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan serta kemampuan yang
dimiliki. Maka, paper ini dalam penyajiannya masih jauh dikatakan sempurna, namun
terlepas dari keterbatasan dan kekurangan tersebut Penulis mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari semua Pihak demi kesempurnaan Paper ini. Semoga Paper ini
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, dunia intelektual diguncang oleh munculnya arus pemikiran,
paham, gerakan atau bahkan mungkin era baru yaitu yang di kenal dengan sebutan
posmodernisme atau ada juga ada yang menyebutnya sebagai pascamodernisme. Sesuai
dengan namanya, postmodern merupakan reaksi keras dan penolakan terhadap pandangan-
pandangan modern yang dianggap terlalu banyak cacat.
Postmodern menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang merosotnya wewenang
modernism dan munculnya epistemology baru yang dalam jangkauan khasanah kesenian dan
intelektual memutuskan hubungan dan atau berlawanan dengan paradigm modenisme. Bagi
yang lain, postmodern merupakan pertanda kematian modernism beserta garda depannya, atau
merupakan pembelotan dari berbagai aturan modernism yang dianggap sebagai kemapanan
(Dunn, 1993:38).
Posmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis, pensisteman dan segala
macam legitimasi, termasuk dalam bidang keilmuan atau apa yang oleh Lyotard disebut grand-
narrative. Ia menolak kemapanan atau kebakuan teori-teori modernisme, untuk linguistik
misalnya teori strukturalisme yang disebutnya sebagai grand-theory, karena teori-teori itu
dianggapnya terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya dan cenderung menolak
pluralism. Posmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra, linguistik estetika,
dan sampai pada pemikiran antiteori. Salah satu bentuk penolakan teori itu misalnya teori
dekonstruksi yang juga diterapkan dalam pendekatan kesastraan (Abrams, 1981: 34-40)
Model pendekatan dekonstruksi dalam bidang kesastraan khususnya fiksi dewasa ini
terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan
pengkajian satra. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks
yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebuah teks itu
memiliki landasan, dalam system bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan,
dan makna yang telah menentu (Abrams, 1981: 38).
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti,
tertentu, dan konsisten sebagaimana halnya pada pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada
ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahaskan objek yang
bermakna tertentu dan pasti. Selain itu, ia juga disebutkan sebagai pahamyang menolak konsep
3
teori Saussure, juga Jakobson (yang dapat dipandang sebagai grand-theory) baik yang berupa
teori linguistik struktural maupun teori semiotic yang dikembangkan dari teori strukturalisme
itu. Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori menurut paham ini, justru akan
memunculkan adanya pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri-dekonstruksi dalam
hal ini dipandang sebagai pembangkang terhadap teori struktural dan semiotic dalam linguistic
itu.
Mendekonstuksi sebuah wacana (kesastraan) dengan demikian adalah menunjukkan
bagaimana meruntuhkan filosofi yang melandasinya atau beroposisi hierarkis terhadap sesuatu
yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operastional retorika
yang ada dalam teks itu (Culler, 1983: 86). Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan,
dengan demikian menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang
bersangkutan dengan unsur-unsur yang ada dala karya itu sendiri.
Dari latar belakang di atas maka dapat diketahui rumusan masalah seperti berikut :
1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan gambaran umum teori dekonstruksi.
2. Mendeskripsikan sejarah kemunculan dan tokoh pencetus teori dekonstruksi.
3. Mendeskripsikan karakteristik kajian deskonstruksi.
4. Mendeskripsikan prinsip-prinsip dalam dekonstruksi.
5. Mendeskripsikan Sasaran Pembacaan Dekonstruksi
6. Mendeskripsikan metode penelitian dekonstruksi derrida.
4
7. Mendeskripsikan penerapan dan sistematika dekonstruksi.
8. Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan dari teori dekonstruksi
9. Mendeskripsikan dekonstruksi dalam penelitian akuntansi.
10. Mendeskripsikan metode dekonstruksi dalam penelitian.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dekonstruksi
Terdapat beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli yakni sebagai berikut,
secara leksikal prefiks de berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan. Jadi,
dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu
gagasan.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari
konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai
makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk
6
mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan
metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.
B. Tujuan Dekonstruksi
Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika
Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada
umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disattu
pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar
metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.
Sasaran dari dekonstruksi sendiri ialah memperlihatkan sejauh mana seorang pengarang
mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk pada suatu pandangan
tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertekstualitas, mencari bekas-bekas teks
lain. seorang kritikus yang mengikuti dekonstruksi menguraikan struktur-struktur retorik yang
dipakai, mencari pengaruh-pengaruh dari teks-teks yang pernah ada, meneliti etimologi kata-
kata yang digunakan, kemudian berusaha menyusun teks baru dari teks yang dibongkar itu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan dari metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda
tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.
2.2 Sejarah Kemunculan Teori Dekonstruksi dan Tokoh Pencetus Teori Dekonstruksi
Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat
sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya,
secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh
Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara
keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis
dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan
makalahnya yang berjudul Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences
,di universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut
Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti
fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,
psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat
7
problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika
dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di
Amerika, sebagai aliran yale.
Dekonstruksi yang kita ketahui sekarang ini tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan
hadir melalui ilmuan-ilmuan yang ahli dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah
Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik
sastra di Perancis.
Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris,
Perancis tanggal 8 Oktober 2004 Karena itu Derrida lebih dikenal sebagai filosof Perancis
daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat,
terutama kritik dan analisis mengenai bahasa alam, tulisan, dan makna sebuah konsep.
Dekonstruksi merupakan alat yang digunakannya untuk meruntuhkan konsep-konsep dan
deskripsi-deskripsi kita selama ini. tokoh selanjutnya adalah Nietzsche.
Dekonstruksi memang berpusar pada teks. Dekonstruksi tak dapat terlepas dari teks,
tetapi pandangannya lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga
menolak struktur lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksionis, menganggap bahwa bahasa
teks bersifat logis dan konsisten. Misalkan sebuah tema besar bahwa kejahatan akan
terkalahkan dengan kebaikan oleh paham dekonstruksi tak selalu dibenarkan. Di era sekarang,
sastra boleh saja membalik tema besar itu. Karenanya, pemahaman teks tak selalu berurutan,
melainkan boleh bolak-balik. Sehingga, para dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks
mencerminkan kenyataan. Sebaliknya, demikian mereka tegaskan. Teks membangun
kenyataan.
8
Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna,
sehingga teks tersebut bisa sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa
rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan
bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya,
dekonstruksi membiarkan teks itu ambigu dan tidak menantang segala kemungkinan.
Telah disadari bahwa pemahaman karya sastra yang hanya berkiblat pada struktur, akan
sia-sia. Itulah sebabnya ( Junus, 1986:36) menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna
teks berawal dari struktur kemudian menambah kekuatan makna berdasarkan struktur
tersebut. kekuatan yang dimaksud adalah upaya secara dekonstruktif, dengan cara membredel
teks, mengobrak-abrik teks, dan lari dari struktur yang ada.
Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural
lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap
bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba
menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah
yang dilakukan oleh kaum dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman sastra.
Dalam kaitan ini, Roland Barthes (1983) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi :
1) Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakan semua
unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah.
Dengan demikian, satu unsur pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai
peranan.
2) Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya
untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan. Baik jaringan
antar semua unsur (Jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain
(Jaringan X dan Y).
9
Dalam kaitan itu, Roland Barthes dalam (Pradopo, 1991:78) memandang bahwa teks
sastra memiliki makna ganda. Bahkan dalam esainya The Pleasure of the Text ia membedakan
antara pleasure (kenikmatan) menjadi dua arti : yakni pleasure (kenikmatan) dan bliss
(kebahagiaan). Misalkan saja saat kita membaca teks sastra erotik atau pornografi, tentu akan
melibatkan dua kenikmatan tersebut. Masing-masing pembaca akan berbeda dalam mencapai
kenikmatan. Hal ini berarti bahwa makna sebuah teks telah dipandang plural, tidak tunggal.
Foucault berpendapat bahwa tak ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam
teks sastra. Jika selama ini telah terjadi kritik sastra strukturalis, sesungguhnya mereka itu
berlebih-lebihan karena sering memotong hubungan antara teks sastra yang harus dipandang
dari perbedaan-perbedaan, dan bukan dari kesamaan terus menerus. Bahkan, pada suatu saat
perlu memandang dan mendekonstruksi wacana-wacana yang mungkin kecil dan non-literer.
1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
2. Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan
Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87)
dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-
akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya
sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum
universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa
dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
10
Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah
differEnce dan differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda,
dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang
sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang
berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu
dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan
kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang
antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak
secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan
makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu.
Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida
menjadi terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme,
fonosentrisme, differEnce/differAnce, trace, dan dencentering.
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968
dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-
Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dandifferance, bahasa kamus baik bahasa
Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui
melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan
dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya
hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang
mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-
tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non
pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan
mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan
tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
11
Secara umum sasaran pembacaan dekonstruksi dapat dipetakan atas tiga hal, yaitu oposisi
biner, blind spot, dan kontradiksi internal teks. Adapun tiga hal tersebut dijelaskan berikut
ini (Ungkang, 2013):
1. Oposisi biner
Dalam oposisi biner salah satu unsur diistimewakan, sedangkan unsur lain dimarginalkan.
Dua unsur dalam tersebut juga disusun berdasarkan batas-batas tertentu yang membuat dua
unsur tersebut terpisah. Oposisi biner yang digugat Derrida dalam bahasa, misalnya, antara
tuturan dan tulisan. Tuturan lebih diutamakan karena dinilai lebih asli daripada tulisan
yang merupakan representasi dari tuturan. Oposisi biner berperan penting dalam metafisika
untuk menciptakan kestabilan struktur. Salah satu unsur harus menjadi pusat, sedangkan unsur
lain berstatus sebagai pelengkap yang menegaskan pusat tersebut.
2. Wilayah Terselubung
Setiap pengarang memiliki blind spot atau wilayah terselubung dalam teks yang
dibuatnya.Hal tersebut tidak disebabkan oleh alasan, misalnya, karena pengarang kurang
cerdas atau tidak cermat dalam menyusun teksnya. Bagi Derrida, penyebab suatu teks berisi
wilayah terselubung karena sifat dasar bahasa itu sendiri yang tidak sepenuhnya dapat
dikontrol atau dikuasai oleh seorang pengarang. Tanda-tanda dalam teks dapat menyusun pola-
pola hubungan baru yang berbeda dari intensi pengarang.
Selalu ada jarak atau retakan antara intensi pengarang dengan teks yang dihasilkan.
Hubungan antara pengarang dengan teks tidak pernah bersifat langsung, tetapi dimediasi oleh
bahasa. Medium Bahasa itu sendiri tidak bisa dibayangkan seperti cermin yang memantulkan
secara sempurna pikiran dan perasaan sang pengarang. Bahasa memiliki otonomi yang dapat
terlepas dari logos sang pengarang. Wilayah terselubung juga dapat dilihat sebagai hal yang
direpresi atau sisi tak-sadar dalam teks. Pandangan- pandangan seperti itu muncul ketika
otoritas kepengarangan dalam pemaknaan teks mulai dikritisi.
Meski demikian, ada sebuah catatan penting yang harus digarisbawahi ketika melakukan
pembacaan dekonstruktif bahwa wilayah terselubung adalah bagian dari struktur itu sendiri.
Wilayah terselubung bukanlah sesuatu yang dibawa dari luar teks seperti menunjukkan hal
yang kurang dari suatu karya.
3. Kontradiksi Internal Teks
Suatu teks sastra yang telah selesai ditulis cenderung dipandang sebagai suatu konstruksi
tanda yang telah final atau statis. Pandangan seperti itu memiliki kesejajaran dengan pandangan
12
strukturalisme Saussure yang melihat bahasa sebagai suatu yang terstruktur atau stabil.
Dalam teks sastra tersebut juga terdapat kebenaran dan tugas pembaca adalah menemukan
kebenaran tersebut. Suatu analisis kemudian dikatakan berhasil bila pembacaan telah
menemukan hal yang dianggap sebagai esensi atau petanda transendental dari karya tersebut.
Esensi yang bersifat transenden disebut Derrida logosentrisme karena kegiatan pembacaan
diarahkan untuk menemukan pusat makna tertentu yang telah ada.
Melalui differance, Derrida menunjukkan bahwa selalu ada kontradiksi dalam bahasa
karena (1) gerak perbedaan dan penangguhan yang senantiasa berlangsung antar tanda, (2)
tanda tidak pernah cukup diri sehingga proses penambahan dan subtitusi (suplementasi) akan
selalu terjadi, (3) makna bahasa menyebar (diseminasi), sehingga (4) makna suatu kata tidak
selalu bisa diputuskan (undecidability). Stabilitas makna teks adalah sesuatu yang sifatnya
temporal dan spasial. Setiap usaha untuk menautkan suatu penanda (teks) dengan satu petanda
(makna) transcendental (mengatasi ruang-waktu) tidak akan tercapai. Barry (2010:86)
menunjukkan contoh kontradiksi internal, misalnya pernyataan dalam puisi Dylan Thomas
yang berbunyi After the first death there is no other. Jika ada yang pertama, maka berarti ada
yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Frasa the first death berkontradiksi dengan frasa
there is no other. Sesuatu disebut berkontradiksi jika tidak ada konsistensi proposisi
(Martinich,2005:40).
13
Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi
metaforik. Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat
mempengaruhi pemahaman teks berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks
metaforis yang disusun oleh penulis. Dekonstruksi bisa terjadi pada teks itu sendiri atau
sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah teks.
Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi, Derrida pun
kemudian menggunakan istilah trace sebagai konsep dalam menelusuri makna.Trace (jejak)
bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan,
menembus dan memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa
makna akan bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang
diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk
kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa filsafat Derrida begitu berlandaskan pada teks
14
dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa
yang ia cari untuk didekonstruksi, sehinggga titik pengekalan selalu dilokasikan di tempat yang
berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi
harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung
dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru
berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre),
dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Ada ciri tertentu dari dekonstruksi Derrida yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan
upaya Derrida dilandaskan pada keyakinkannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tidak
bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif,
yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofi, adalah bahwa unsur-
unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekedar inkonsistensi logis,
argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang
biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi
penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya,
kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Filsafat yang pada dasarnya adalah
tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan
yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan
makna dan kebenaran rill yang ekstralinguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut,
kebenaran yang betul-betul benar.
15
Secara singkat dapat dijelaskan pola minimal tahapan pembacaan dekonstruksi sebagai
berikut (Ungkang, 2013):
1. Rekonstruksi
Hal yang perlu digarisbawahi bahwa rekonstruksi yang dilakukan dalam perspektif
dekonstruksi Derrida tidak bertujuan untuk mengembalikan teks kepada yang asli atau kepada
kondisi asal, melainkan.
Setelah merekonstruksi teks akan terungkap kondisi teks baik struktural maupun logika
yang bekerja di dalamnya. Dalam proses rekonstruksi tersebut juga dikemukakan konteks asli
dan konteks resepsi dominan atas teks tersebut (Crathley, 2008:3). Konteks resepsi dominan
perlu dikemukakan karena cara suatu teks dibaca juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Culler
(2001:139) sebagai common procedures of reading. Menurut Culler kegiatan membaca
memiliki dimensi sosial di dalamnya. Green & LeBihan (1996:187) menyebut pandangan
Culler di atas sebagai komunitas baca (reading community).
2. Dekonstruksi
Kata kunci untuk proses ini adalah kontaminasi. Proses dekonstruksi dilakukan dengan
cara menunjukkan kontaminasi atau kesalingtergantungan antara dua unsur dalam oposisi biner
yang menjadi fokus pembacaan. Kontaminasi tersebut juga dapat dilakukan dengan melacak
tilas unsur dalam oposisi biner secara historis seperti yang dilakukan oleh J. Hillis Miller.
Miller (Castle, 2007:82) secara brilian mengatasi oposisi antara host dan parasite dengan
melacak tilas (trace) kata secara etimologis. Kata parasite ditunjukkan Miller secara detail
berasal dari akar kata yang sama, yaitu host. Pengaktifkan dimensi historis atau diakronis
dari suatu tanda merupakan bagian dari cara kerja tilas yang dibuat Derrida. Cara tersebut
memang berbeda dengan strukturalisme Saussure yang mengutamakan dimensi sinkronis dari
tanda.
16
Cara lain melakukan dekonstruksi adalah dengan menggunakan gagasan-gagasan kunci
dekonstruksi. Melalui gagasan-gagasan kunci tersebut relasi hierarkis antar unsur dalam teks
secara sistematis saling mengontaminasi. Dengan kata lain, proses destablisasi atas struktur
teks terjadi pada proses ini. Teks mengalami krisis. Pada momen krisis tersebut ditampilkan
logika lain atau unsur baru yang tidak dapat dikembalikan kepada relasi hierarkis
sebelumnya. Krisis dalam wawasan dekonstruksi lebih diarti kan sebagai peluang bagi
kemunculan yang lain daripada chaos. Logika lain atau unsur baru tersebut, harus
berasal dari material dan sumber ekonomi dalam teks itu sendiri. Secara kiasan, pembacaan
tersebut seperti parasit yang makan dari daging teks sembari menelurkan hal-hal kritis dalam
teks itu.
3. Reinskripsi
Pada praktiknya, proses reinskripsi sesungguhnya sudah berlangsung ketika proses
dekonstruksi. Kata kunci untuk proses ini adalah produksi. Reinskripsi merupakan langkah
penting untuk mencapai invensi dalam pembacaan dekonstruksi. Teks sebagai jaringan tanda
disusun kembali dengan menampilkan logika lain, pesan lain, atau teks lain yang telah
dibuka sebelumnya.
Tabel 1. Tahapan Pembacaan Dekonstruksi
TAHAP INSTRUKSI
Prapembacaan Memilih apa yang menjadi fokus pembacaan: Oposisi Biner,
Wilayah terselubung, kontradiksi internal teks, atau kontribusi
antar ketiganya.
Rekonstruksi - Menampilkan resepsi dominan atas teks yang dibaca.
- Menyusun hal yang menjadi fokus pembacaan sebagaimana
kondisinya dalam teks.
Dekonstruksi - Jika fokusnya oposisi biner, maka hal yang dilakukan adalah
menunjukkan secara sistematis dan argumentative relasi
hierarkis antara unsur dalam oposisi biner tersebut saling
mengontaminasi. Kontamisasi tersebut membuat relasi
hierarkis antara dua unsur tersebut tidak dapat dipertahankan
17
lagi. Struktur logika yang mapan dalam teks, dengan
demikian menjadi tidak stabil lagi.
- Jika fokusnya wilayah terselubung, maka hal yang
dilakukan adalah menunjukkan secara sistematis dan
argumentative jarak antara intensi pengarang dengan apa
yang ada dalam eks.
- Jika fokusnya adalah kontradiksi internal teks, maka yang
dilakukan adalah menunjukkan secara sistematis dan
argumentative inkonsistensi logika atau pernyataan dalam
teks.
Reinskripsi - Invensi yang lain
Jika oposisi biner, maka yang lain tersebut adalah
sesuatu tidak dapat diletakkan dalam relasi oposisi
biner lama yang telah didekonstruksi.
Jika wilayah terselubung, maka yang lain tersebut
berasal dari jarak atau gap antara intensi
pengarang dengan apa yang ada di dalam teks.
- Teks mendeskontruksi dirinya sendiri terjdi akibat
kontradiksi yang berlangsung dalam teks. Kontradiksi
tersebut membuat makna teks tidak dapat diputuskan mana
makna yang paling benar. Dengan kata lain, ketiadaan
putusan membuat finalitas makna teks terus tertangguhkan.
Sumber : Marcelus Ungkang
Demikian bebas, banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekonstruktivisme dianggap
era matinya makna. Makna menjadi tak berarti lagi. Inilah kelemahan dekonstruksi. Kelemahan
lainnya adalah (Ahmada Tasnim, 2014):
1. Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan roh. Yang ada adalah
massalisasi makna, retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang
dapat mengurangi nilai obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk
ditelaah.
2. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi pesimis matinya makna dapat
menimbulkan apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.
18
3. Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam
proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk
revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran
yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan pemaknaan
dapat dicegah.
4. Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil pengahancuran makna karena
makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak
mungkin justru memberi nilai tambah abgi makna-makna baru. Karena itu, diperlukan
sebuah model semiotika baru untuk menjawab kekurangan-kekurangan tersebut.
5. Kelemahan lain dari teori dekonstruksi ini adalah banyaknya peluang bagi spekulatif
subjektif.
6. Dekonstruksi yang dilakukan oleh Derridra selalu menghadir-kan makna yang begitu
banyak sehingga akan terdapat berbagai kemungkinan yang ditimbulkan dalam
penafsiran suatu teks. Hal ini tentunya akan membuat suatu kerancuan dalam
melakukan penafsiran data.
Akuntansi dapat dijadikan sebagai sebuah titik awal untuk menstimulasikan terbentuknya
realitas sosial yang humanis (Astuty, 2009). Namun, untuk menjadikannya demikian tidak
terlepas dari keterlibatan "diri" akuntan sebagai arsitek yang memiliki kuasa untuk menentukan
19
bentuk bangunan akuntansi. Seperti telah diketahui secara umum, akuntan mempunyai
keahlian menciptakan asumsi-asumsi dan konvensi-konvensi - misalnya metode penyusutan,
metode penilaian persediaan, metode pengakuan pendapatan dan beban dan lain-lainnya
untuk menggambarkan realitas sosial (organisasi). Dan, akuntan dengan konsep-konsepnya
tersebut "mereduksi realitas sosial yang sangat kompleks tadi dalam bentuk angka-angka, yaitu
angka-angka akuntansi (accounting numbers). Angka-angka ini akhirnya dikonsumsi oleh
pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk pengambilan keputusan.
Untuk keluar dari realitas sosial yang kering dengan nilai-nilai etika (yang dibentuk oleh
akuntansi positif) ini bukan suatu pekerjaan yang mudah. Di sini diperlukan pemikiran yang
intens agar bisa keluar dari jaringan-jaringan kerja yang sudah mapan dan dominan; keluar
untuk melihat realitas sosial dalam perspektif yang lebih luas dan kemudian melakukan suatu
perubahan. Upaya semacam ini sudah mulai tampak dengan munculnya Akuntansi Interpretif
dan Akuntansi Kritis. Usaha untuk keluar dari realitas yang diciptakan oleh akuntansi positif
juga dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang ditawarkan oleh posmodernisme,
yaitu dengan pendekatan kontemplasi dan dekonstruksi. Dalam hal ini Hadiwinata (1994, 23)
mengatakan bahwa:
Posmodernisme meletakkan dirinya di luar paradigma modern dalam arti
bahwa ia menilai modernisme bukan dari kriteria modernitas, tetapi melihatnya
dengan cara kontemplasi dan dekonstruksi.
Kontemplasidalam arti melakukan suatu bentuk pemikiran rasional yang melibatkan
"hati nurani" tentang realitas yang diciptakan oleh modernitasdan melakukan dekonstruksi
dalam arti memasukkan sang lain (yang selama ini dalam pandangan modernisme dalam
posisi marjinal) ke dalam orbit yang harus, atau patut, diperhitungkanadalah suatu hal yang
sangat perlu dilakukan di bidang akuntansi. Ini adalah suatu upaya perubahan, yaitu suatu upaya
perubahan akuntansi dan realitas sosial yang diciptakannya dalam wajah yang lebih humanis.
Untuk itu ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu diri akuntan dan akuntansi (dalam
bentuk teori atau praktik).
20
dapat membangun kembali apa yang selalu telah tertulis. Dengan demikian dekonstruksi
digunakan sebagai strategi baru untuk memeriksa sejauh mana struktur-struktur yang terbentuk
dan senantiasa dimapankan batas-batasnya serta ditunggalkan pengertiannya Hal-hal terkait
batas-batas penunggalan inilah yang hendak disubversi Derrida dengan strategi dekonstruksi.
Melihat pengertian dekonstruksi di atas, dapat diambil suatu makna bahwa penulis tidak
menghilangkan makna bangunan lama yang sudah ada (dalam hal ini penulis tidak meniadakan
unsur kapitalisme dalam akuntansi), namun menyeimbangkan dengan nilai-nilai baru. Hal ini
juga sejalan dengan keyakinan dari Derridra yang memandang bahwa ada begitu banyak
kebenaran dalam suatu teks serta menolaknya untuk membuat suatu kebenaran tunggal
(ODonnel 2009:59) Begitu juga dengan dekonstruksi yang dilakukan oleh Triyuwono
(2012:139-140) serta Riduwan, et al (2010:38-60) yang memosisikan diri sebagai pencari sudut
pandang alternative.
Jurnal ini menekankan akuntansi sebagai simbol atau bahasa dimana simbol yang
dijadikan sebagai fokus utama adalah laba. Menurut Macintosh et al. (2000) simbol laba
21
akuntansi tersebut hanya merupakan simulakra mumi (pure simulacra), yang berarti bahwa
referen laba akuntansi adalah pada dirinya sendiri dan berputar-putar pada dirinya sendiri
membentuk dunia hiperrealitas. Selain itu berbeda dari pendapat di atas Mattessich (2003, 452)
simbol laba (income) menyatakan bahwa realitas referensial atas simbol laba tersebut tidak
berada pada tingkatan realitas fisis, tetapi berada pada tingkatan realitas sosial (social
reality) - artinya, realitas tersebut menjadi ada karena kesepakatan yang terjadi dalam
komunitas akuntansi. Perbedaan pandangan tentang relasi antara simbol laba dengan realitas
referensialnya sebagaimana terungkap melalui kajian kritis-filosofis dari Macintosh et al.
(2000) dan Mattessich (2003) tersebut, merefleksikan adanya peluang akan timbulnya
perbedaan interpretasi laba akuntansi dalam sebuah ruang komunikasi. Penelitian ini
termotivasi oleh kajian kritis-filosofis dari Macintosh et al. (2000) dan Mattessich (2003)
tersebut, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari ranah empiris sebagai berikut: (1)
bagaimanakah akuntan dan non-akuntan menginterpretasikan laba (earnings) yang tercantum
dalam laporan laba-rugi?; dan (2) realitas apa yang ada di balik penafsiran akuntan dan non-
akuntan atas laba tersebut?
22
kesadaran semu harus disikapi secara kritis, dan dipandang perlu adanya pemikiran untuk
perubahan. Pengumpulan informasi dilakukan secara intensif pada tahun 2007- 2009 melalui
wawancara yang tidak terstruktur, tidak terjadwal, dan dilakukan sedemikian rupa sehingga
dalam memberikan informasi, para informan tidak cenderung mengolah atau mempersiapkan
informasi tersebut lebih dulu, serta dapat memberikan penjelasan apa adanya. Pembacaan
dekonstruktif atas teks dalam penelitian ini dilakukan dengan berefleksi pada strategi
pembacaan (baca: filsafat) Jacques Derrida.
Pada tataran sintaktik (struktur), konsep laba sudah jelas dioperasionalkan dalam
prosedur akuntansi sebagai hasil pengaitan atau penandingan (matching) antara penghasilan
dan beban. Fakta menunjukkan bahwa konsep laba pada tataran sintaktik ini secara umum telah
dipahami oleh para informan. Pemahaman para informan atas laba akuntansi sebagai selisih
antara penghasilan dan beban merupakan manifestasi dari kesadaran (consciousness) mereka
yang terkait dengan skema-skema dalam kognisi mereka, konsisten dengan penjelasan Wilber
(1997) tentang kesadaran manusia dalam psikologi kognitif,
Walaupun para informan secara seragam memahami laba sebagai hasil penandingan
antara pendapatan dan beban, tetapi mereka memaknai angka laba akuntansi hasil perhitungan
struktural tersebut secara beragam. Realitas referensial angka laba akuntansi dalam bingkai
penafsiran para informan dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) hasil usaha tunai; laba
adalah hasil usaha bersih yang dapat secara langsung dinikmati atau dikonsumsi. Pemahaman
informan tentang laba tersebut sangat terkait dengan aktivitas praksisnya. (b) kenaikan
kemampuan ekonomik perusahaan; memahami bahwa laba akuntansi diukur berdasarkan asas
akrual, sehingga mereka menyadari bahwa angka laba akuntansi tidak selalu riil berwujud uang
tunai. Oleh karena itu, mereka menafsirkan laba akuntansi sebagai tambahan kemampuan
ekonomik perusahaan, yang wujudnya bisa bermacam-macam. Penafsiran laba sebagai
kenaikan kemampuan ekonomik perusahaan tersebut mengindikasikan bahwa dalam persepsi
informan, laba adalah hasil usaha bersih yang tidak dapat secara langsung dinikmati atau
dikonsumsi. dan (c) label perubahan realitas ekonomik perusahaan; Penafsiran laba sebagai
23
label perubahan realitas ekonomik perusahaan tersebut mengindikasikan bahwa dalam persepsi
akuntan, laba bukanlah hasil usaha bersih yang secara riil dapat langsung dinikmati atau
dikonsumsi.
Penafsiran informan atas laba akuntansi pada tataran sintaktik maupun semantik
merupakan faktor yang melandasi persepsi mereka tentang kebermanfaatan informasi laba
pada tataran pragmatik. Dalam bingkai pengalaman, kepentingan dan kebutuhan praksis para
informan, kebermanfaatan informasi laba akuntansi adalah: (a) alat bantu untuk memahami
realitas ekonomik; (b) dasar pengambilan keputusan keuangan; dan (c) indikator likuiditas
perusahaan.
Semiotika struktural atas laba akuntansi sebagai teks tingkat mikro tersebut di atas
menunjukkan 3 hal yakni : (1) kesamaan penafsiran pada tataran sintaktik, bahwa laba
akuntansi merupakan selisih antara penghasilan dan beban, (2) pluralitas penafsiran pada
tataran semantik, bahwa laba akuntansi merupakan representasi dari: (a) aliran kas masuk neto
secara fisis pada periode pelaporan; (b) kenaikan atau tambahan kemampuan ekonomik
perusahaan yang tidak selalu terwujud dalam aliran kas masuk neto secara fisis pada periode
pelaporan, tetapi representasi laba akuntansi seperti ini dipandang tidak bermanfaat secara
praksis; dan (c) label perubahan realitas ekonomik pada periode pelaporan, tanpa
mengkaitkannya dengan ada atau tidaknya aliran kas masuk neto pada periode tersebut, (3)
ambivalensi penafsiran pada tataran pragmatik. Pernyataan-pernyataan para informan
memberikan gambaran bahwa laba akuntansi dipandang: (1) bermanfaat sebagai alat bantu
untuk memahami perubahan realitas ekonomik perusahaan (2) bermanfaat sebagai dasar
pengambilanberbagai keputusan keuangan.
(B) Semiotika Penafsiran Laba Akuntansi Sebagai Teks Tingkat Makro
Penafsiran informan atas laba akuntansi merupakan tanda baru, teks baru atau
kode baru tingkat makro yang muncul dalam konteks tertentu dan merepresentasikan realitas
tertentu pula. Pada tingkat makro, realitas baru yang merupakan petanda (signified) dari
penafsiran informan atas laba akuntansi tersebut dijelaskan sebagai berikut :
Perbedaan Habitus Akuntan dan Non-Akuntan
24
Dari sudut pandang akuntan, laba akuntansi yang dikomunikasikan adalah representasi
dari perubahan realitas ekonomik perusahaan tanpa mengkaitkannya secara langsung dengan
aliran kas masuk neto pada periode pelaporan laba. Sedangkan non-akuntan memaknai laba
akuntansi secara berbeda, misalnya sebagai: (a) aliran kas masuk neto saat ini, atau (b) aliran
kas masuk neto saat ini dan masa depan. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan posisi,
pengalaman, pengetahuan dan pemahaman atas konsep akuntansi. persepsi akuntan dan non-
akuntan adalah berbeda, karena mereka hidup dalam ruang sosial - atau disebut oleh Pierce
Bourdieu sebagai habitus - yang berbeda. Akuntan hidup dalam "habitus idealistik, sedangkan
nonakuntan hidup dalam habitus pragmatik.
Praktik Akuntansi Bersifat Hegemonik
Keterpaksaan informan penelitian ini untuk menerima prinsip akuntansi yang terkait
dengan penetapan laba merupakan penanda (signifier) yang merujuk pada suatu realitas, yaitu
adanya hegemoni dalam praktik akuntansi. Hegemoni merupakan suatu keadaan yang
dicirikan oleh adanya praktik untuk mendominasi serta mengendalikan pihak lain dalam segala
aspek untuk mencapai kepentingan tertentu. Praktik akuntansi yang bersifat hegemonik
berjalan melalui sebuah sarana, yaitu label sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum yang wajib dilekatkan dalam laporan auditor independen, sehingga label tersebut selalu
menyertai opini akuntan tentang kewajaran penyajian laporan keuangan.
Praktik Akuntansi Berjalan dengan Kesadaran Semu
Sugiharto (Kompas, 13 Agustus 2006) menyatakan bahwa hegemoni menyebabkan
pihak yang terdominasi menjadi teralienasi dari kebutuhan dan kepentingannya, bahkan
teralienasi dari dirinya sendiri, sehingga individu-individu tersebut menjadi tidak lebih dari
sekadar mesin fotokopi. Dalam posisi teralienasi seperti itu, individu tidak lagi memiliki
alternatif pemikiran lain di luar pemikiran yang telah mapan dalam habitus, sehingga semua
realitas sosial dipandang sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap kritis (taken-for-
granted). Pada akhirnya, individu hanya terjebak pada sesuatu yang aksiomatik tanpa
menyadari sisi ontologik dan epistemologik dari semua hal yang telah ada dalam habitus.
Laba Akuntansi Tidak Memiliki Kandungan Informasi
Di samping sebagai penanda (signifier) tentang adanya hegemoni dalam praktik
akuntansi serta kesadaran semu pengguna informasi, pluralitas dan ambivalensi penafsiran laba
akuntansi pada tataran semantik dan pragmatik juga merupakan penanda bahwa laba akuntansi
tidak memiliki kandungan informasi; bahkan kesadaran semu itu sendiri dapat menjadi
penanda bahwa laba akuntansi tidak memiliki kandungan informasi. Laba akuntansi dikatakan
memiliki kandungan informasi jika realitas yang direpresentasikannya ditafsirkan secara sama
25
antara penyedia dan pengguna informasi, sehingga masing-masing pihak tidak menafsirkan
laba akuntansi tersebut sesuai dengan persepsinya sendiri.
26
menghasilkan simbol, dan simbol hasil simulasi bukanlah representasi realitas (Schalkwyk
1997, 381); dan (c) bahwa segala sesuatu yang diketahui tidak akan pernah melampaui
kepentingan dan pengalaman (Sarup 2008,48).
27
ada realitas di luar teks laba akuntansi karena makna laba akuntansi bersifat intertekstual, laba
akuntansi hanya hasil dari simulasi, dan makna laba akuntansi tidak melampaui kepentingan
dan pengalaman penafsir; (c) laba akuntansi adalah metafisika kehadiran, dalam arti ada dan
hadir melalui proses mengada, representasi dari realitas yang ada dari adaan-adaan, sehingga
laba akuntansi adalah ilusi yang bermuara pada reifikasi; (d) laba akuntansi adalah produk
logosentrisme, yaitu logika atau rasio sebagai pusat kebenaran, sehingga idealisme akuntansi
dalam penetapan laba lebih mengemuka daripada pragmatisme.
28
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
29
Dekonstruksi memang berpusat pada teks. Ia tak terlepas dari teks, tetapi paham
yang di pegang lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga
menolak struktur lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksionis, menganggap bahwa
bahasa teks bersifat logis dan konsisten.
30
1) Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan roh.
31
DAFTAR PUSTAKA
Astuty, Widia. 2009. Akuntan dan Akuntansi dalam Kacamata Posmodernisme. Jurnal Riset
Akuntansi dan Bisnis Vol. 9 No. 1 Fakultas Ekonomi - Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara 17
Dinar, et ql. 2013. Konsep dan Implementasi Akuntansi Corporate Social. Responsibility Pada
PT Semen Bosowa Maros. Jurnal Analisis, Juni 2013, Vol. 2. No. 1 ISSN: 2303-100x
Endraswara, Suwardi. 2003.Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Buku Kita.
Hadiwinata, Bob Sugeng. 1994. "Theatrum Politicum": Posmodernisme dan Krisis
Kapitalisme Dunia. Kalam. Edisi 1: 23-31.
Luxemburg, Van Jan dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2007. Beberapa Teri sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005.Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ratna, Kutha Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005.Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Riduwan, A., Triyuwono, I., Irianto, G., & Ludigdo, U. 2010. Semiotika Laba Akuntansi:
Studi Kritikal Posmodernis Derridean. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Vol.
7, No. 1, hlm.38-60.
Sarup, M. 2008. Postrukturalisme dan Posmodernisme. Jalasutra. Yogyakarta.
Triyuwono, I. 2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi dan Teori (2 ed.). Rajawali
Pers. Jakarta.
Ungkang, Marcelus. 2013. Dekonstruksi Jaques Derrida Sebagai Strategi Pembacaan Teks
Sastra. Jurnal Pendidikan Humaniora, Hal 30-37 Volume 1, Nomor 1
Situs
Ahmada-tasnim-fib12. 2014. Teori Dekonstruksi dan Penerapannya. Diakses pada 7 Desember
2017
https://www.academia.edu/19224832/TEORI_DEKONSTRUKSI_DAN_PENERAPANNYA
(http://staff.undip.ac.id/sastra/fauzan/2009/07/22/dekonstruksi-terhadap-figur-keturunan-
darah-biru/). Diunduh pada tanggal 3 Juli 2014. Pukul 19.44 WIB.
32