Anda di halaman 1dari 32

DEKONSTRUKSI

PAPER

Diajukan Untuk Salah Satu Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Non Positif

OLEH:

Beatrix Yunarti Manehat 176020300111030

Ermida Fermiana Sonbay 176020300111026

Eva Musdaliva 176020300111027

Piter Arson Welay 176020300111014

MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG, 2017
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga kami telah mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan Paper

Metode Penelitian ini dengan topik materi Dekonstruksi.

Paper ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas presentasi dalam

mata kuliah Metode Penelitian Akuntansi yanng dibimbing oleh Ibu Dr. Lilik Purwanti,

SE.,M.si., Ak*) Selama proses mengerjakan Paper ini, Penulis mengalami beberapa

hambatan dan kesulitan. Berkat adanya bantuan, bimbingan, dan petunjuk yang sangat

berharga dari berbagai pihak baik moril maupun materil maka hambatan tersebut dapat

diatasi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyusun Paper ini masih terdapat

kesalahan dan kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan serta kemampuan yang

dimiliki. Maka, paper ini dalam penyajiannya masih jauh dikatakan sempurna, namun

terlepas dari keterbatasan dan kekurangan tersebut Penulis mengharapkan saran dan kritik

yang membangun dari semua Pihak demi kesempurnaan Paper ini. Semoga Paper ini

memberikan banyak manfaat bagi semua pihak.

Malang, 11 Desember 2017

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagaimana kita ketahui, dunia intelektual diguncang oleh munculnya arus pemikiran,
paham, gerakan atau bahkan mungkin era baru yaitu yang di kenal dengan sebutan
posmodernisme atau ada juga ada yang menyebutnya sebagai pascamodernisme. Sesuai
dengan namanya, postmodern merupakan reaksi keras dan penolakan terhadap pandangan-
pandangan modern yang dianggap terlalu banyak cacat.
Postmodern menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang merosotnya wewenang
modernism dan munculnya epistemology baru yang dalam jangkauan khasanah kesenian dan
intelektual memutuskan hubungan dan atau berlawanan dengan paradigm modenisme. Bagi
yang lain, postmodern merupakan pertanda kematian modernism beserta garda depannya, atau
merupakan pembelotan dari berbagai aturan modernism yang dianggap sebagai kemapanan
(Dunn, 1993:38).
Posmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis, pensisteman dan segala
macam legitimasi, termasuk dalam bidang keilmuan atau apa yang oleh Lyotard disebut grand-
narrative. Ia menolak kemapanan atau kebakuan teori-teori modernisme, untuk linguistik
misalnya teori strukturalisme yang disebutnya sebagai grand-theory, karena teori-teori itu
dianggapnya terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya dan cenderung menolak
pluralism. Posmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra, linguistik estetika,
dan sampai pada pemikiran antiteori. Salah satu bentuk penolakan teori itu misalnya teori
dekonstruksi yang juga diterapkan dalam pendekatan kesastraan (Abrams, 1981: 34-40)
Model pendekatan dekonstruksi dalam bidang kesastraan khususnya fiksi dewasa ini
terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan
pengkajian satra. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks
yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebuah teks itu
memiliki landasan, dalam system bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan,
dan makna yang telah menentu (Abrams, 1981: 38).
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti,
tertentu, dan konsisten sebagaimana halnya pada pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada
ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahaskan objek yang
bermakna tertentu dan pasti. Selain itu, ia juga disebutkan sebagai pahamyang menolak konsep

3
teori Saussure, juga Jakobson (yang dapat dipandang sebagai grand-theory) baik yang berupa
teori linguistik struktural maupun teori semiotic yang dikembangkan dari teori strukturalisme
itu. Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori menurut paham ini, justru akan
memunculkan adanya pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri-dekonstruksi dalam
hal ini dipandang sebagai pembangkang terhadap teori struktural dan semiotic dalam linguistic
itu.
Mendekonstuksi sebuah wacana (kesastraan) dengan demikian adalah menunjukkan
bagaimana meruntuhkan filosofi yang melandasinya atau beroposisi hierarkis terhadap sesuatu
yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operastional retorika
yang ada dalam teks itu (Culler, 1983: 86). Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan,
dengan demikian menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang
bersangkutan dengan unsur-unsur yang ada dala karya itu sendiri.

Dari latar belakang di atas maka dapat diketahui rumusan masalah seperti berikut :

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran umum teori dekonstruksi?
2. Bagaimana sejarah kemunculan dan tokoh pencetus teori dekonstruksi ?
3. Bagaimana karakteristik kajian deskonstruksi ?
4. Apa saja prinsip-prinsip dalam dekonstruksi ?
5. Bagaimana Sasaran Pembacaan Dekonstruksi?
6. Bagaimana metode penelitian dekonstruksi derrida ?
7. Bagaimana penerapan dan sistematika dekonstruksi ?
8. Apa kelebihan dan kelemahan dari teori dekonstruksi ?
9. Bagaimana dekonstruksi dalam penelitian akuntansi ?
10. Bagaimana metode dekonstruksi dalam penelitian ?

1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan gambaran umum teori dekonstruksi.
2. Mendeskripsikan sejarah kemunculan dan tokoh pencetus teori dekonstruksi.
3. Mendeskripsikan karakteristik kajian deskonstruksi.
4. Mendeskripsikan prinsip-prinsip dalam dekonstruksi.
5. Mendeskripsikan Sasaran Pembacaan Dekonstruksi
6. Mendeskripsikan metode penelitian dekonstruksi derrida.

4
7. Mendeskripsikan penerapan dan sistematika dekonstruksi.
8. Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan dari teori dekonstruksi
9. Mendeskripsikan dekonstruksi dalam penelitian akuntansi.
10. Mendeskripsikan metode dekonstruksi dalam penelitian.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Teori Dekonstruksi

A. Pengertian Dekonstruksi
Terdapat beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli yakni sebagai berikut,
secara leksikal prefiks de berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan. Jadi,
dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu
gagasan.

Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara


hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan
kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya
sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu.
Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana,
baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif
mentransformasikan hakikat wacana.
Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang
kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah
dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Dari sumber lain, dekonstruksi dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks. Dengan
dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang
dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir
sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak
mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang
bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam
penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala
sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan
penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap
telah berlaku universal.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi
yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada
diri ini ke hadapan kita.

Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari
konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai
makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk

6
mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan
metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.

B. Tujuan Dekonstruksi
Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika
Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada
umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disattu
pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar
metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.

Sasaran dari dekonstruksi sendiri ialah memperlihatkan sejauh mana seorang pengarang
mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk pada suatu pandangan
tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertekstualitas, mencari bekas-bekas teks
lain. seorang kritikus yang mengikuti dekonstruksi menguraikan struktur-struktur retorik yang
dipakai, mencari pengaruh-pengaruh dari teks-teks yang pernah ada, meneliti etimologi kata-
kata yang digunakan, kemudian berusaha menyusun teks baru dari teks yang dibongkar itu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan dari metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda
tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.

2.2 Sejarah Kemunculan Teori Dekonstruksi dan Tokoh Pencetus Teori Dekonstruksi

A. Sejarah Kemunculan Teori Dekonstruksi

Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat
sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya,
secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh
Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara
keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis
dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan
makalahnya yang berjudul Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences
,di universitas Johns Hopkins tahun 1966.

Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut
Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti
fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,
psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat

7
problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika
dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di
Amerika, sebagai aliran yale.

B. Tokoh Pencetus Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi yang kita ketahui sekarang ini tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan
hadir melalui ilmuan-ilmuan yang ahli dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah
Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik
sastra di Perancis.

Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris,
Perancis tanggal 8 Oktober 2004 Karena itu Derrida lebih dikenal sebagai filosof Perancis
daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat,
terutama kritik dan analisis mengenai bahasa alam, tulisan, dan makna sebuah konsep.
Dekonstruksi merupakan alat yang digunakannya untuk meruntuhkan konsep-konsep dan
deskripsi-deskripsi kita selama ini. tokoh selanjutnya adalah Nietzsche.

Paham dekonstruksi kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J.


Hillis Miller, bahkan juga Levy-Strauss. Namun, sebenarnya tokoh-tokoh tersebut tidak
mempunyai pandangan yang tunggal, juga dalam praktik mendekati (baca: mengkaji) karya
sastra, walau tentu saja juga mempunyai unsur-unsur kesamaan. Pendekatan dekonstruksi
dapat diterapkan dalam pembacaan karya sastra dan filsafat. Menurut Derrida, teori Saussure
yang memandang adanya keterkaitan yang padu antara ujaran dan elemen tulisan (signifier,
signifiant) dan makna yang diacu (signified, signifie) sebenarnya tidak pernah ada.

2.3 Karakteristik Kajian Dekonstruksi

Dekonstruksi memang berpusar pada teks. Dekonstruksi tak dapat terlepas dari teks,
tetapi pandangannya lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga
menolak struktur lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksionis, menganggap bahwa bahasa
teks bersifat logis dan konsisten. Misalkan sebuah tema besar bahwa kejahatan akan
terkalahkan dengan kebaikan oleh paham dekonstruksi tak selalu dibenarkan. Di era sekarang,
sastra boleh saja membalik tema besar itu. Karenanya, pemahaman teks tak selalu berurutan,
melainkan boleh bolak-balik. Sehingga, para dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks
mencerminkan kenyataan. Sebaliknya, demikian mereka tegaskan. Teks membangun
kenyataan.

8
Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna,
sehingga teks tersebut bisa sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa
rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan
bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya,
dekonstruksi membiarkan teks itu ambigu dan tidak menantang segala kemungkinan.

Telah disadari bahwa pemahaman karya sastra yang hanya berkiblat pada struktur, akan
sia-sia. Itulah sebabnya ( Junus, 1986:36) menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna
teks berawal dari struktur kemudian menambah kekuatan makna berdasarkan struktur
tersebut. kekuatan yang dimaksud adalah upaya secara dekonstruktif, dengan cara membredel
teks, mengobrak-abrik teks, dan lari dari struktur yang ada.

Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural
lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap
bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba
menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah
yang dilakukan oleh kaum dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman sastra.
Dalam kaitan ini, Roland Barthes (1983) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi :

1) Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakan semua
unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah.
Dengan demikian, satu unsur pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai
peranan.
2) Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya
untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan. Baik jaringan
antar semua unsur (Jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain
(Jaringan X dan Y).

Berdasarkan tahapan tersebut, memang tidak tertututup kemungkinan sebuah teks


sastra dipahami berdasarkan teks lain. teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur,
melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah
kegiatan yang paradoksal. Maksudnya, pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan,
dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya mudah dikenal. Hal yang aneh,
menyimpang, dan mengejutkan dalam teks dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia
yang mudah dikenali.

9
Dalam kaitan itu, Roland Barthes dalam (Pradopo, 1991:78) memandang bahwa teks
sastra memiliki makna ganda. Bahkan dalam esainya The Pleasure of the Text ia membedakan
antara pleasure (kenikmatan) menjadi dua arti : yakni pleasure (kenikmatan) dan bliss
(kebahagiaan). Misalkan saja saat kita membaca teks sastra erotik atau pornografi, tentu akan
melibatkan dua kenikmatan tersebut. Masing-masing pembaca akan berbeda dalam mencapai
kenikmatan. Hal ini berarti bahwa makna sebuah teks telah dipandang plural, tidak tunggal.

Foucault berpendapat bahwa tak ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam
teks sastra. Jika selama ini telah terjadi kritik sastra strukturalis, sesungguhnya mereka itu
berlebih-lebihan karena sering memotong hubungan antara teks sastra yang harus dipandang
dari perbedaan-perbedaan, dan bukan dari kesamaan terus menerus. Bahkan, pada suatu saat
perlu memandang dan mendekonstruksi wacana-wacana yang mungkin kecil dan non-literer.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran penelitian dekonstruksi


merupakan estafet dari studi sastra sebelumnya. Paham dekonstruksi ini tampaknya memang
belum mendapatkan angin segar dalam perkembangannya. Namun, sebagai sebuah sisi
pandang penelitian, peneliti sastra sulit meninggalkan paham ini. Paham ini sekaligus menjadi
koreksi terhadap teori penelitian sastra sebelumnya. Paling tidak, asumsi yang struktural atau
yang lain yang selalu mendewakan teks secara otonom, harus patah dengan sekonstruksi.

2.4 Prinsip-prinsip dalam Dekonstruksi

Prinsip- prinsip yang terdapat dalam teori dekonstruksi adalah:

1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
2. Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan

Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87)
dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-
akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya
sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum
universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa
dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.

Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-


lambang menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi menolak keputusan tersebut dengan cara
terus menerus berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru.
Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.

10
Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah
differEnce dan differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda,
dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang
sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang
berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu
dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan
kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang
antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak
secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan
makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu.
Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida
menjadi terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme,
fonosentrisme, differEnce/differAnce, trace, dan dencentering.

Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968
dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-
Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dandifferance, bahasa kamus baik bahasa
Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui
melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan
dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya
hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang
mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.

Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-
tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non
pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan
mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan
tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.

Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan.


Ujaran pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun
sudah tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan
pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam
dan kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis.

2. 5 Sasaran Pembacaan Dekonstruksi

11
Secara umum sasaran pembacaan dekonstruksi dapat dipetakan atas tiga hal, yaitu oposisi
biner, blind spot, dan kontradiksi internal teks. Adapun tiga hal tersebut dijelaskan berikut
ini (Ungkang, 2013):
1. Oposisi biner
Dalam oposisi biner salah satu unsur diistimewakan, sedangkan unsur lain dimarginalkan.
Dua unsur dalam tersebut juga disusun berdasarkan batas-batas tertentu yang membuat dua
unsur tersebut terpisah. Oposisi biner yang digugat Derrida dalam bahasa, misalnya, antara
tuturan dan tulisan. Tuturan lebih diutamakan karena dinilai lebih asli daripada tulisan
yang merupakan representasi dari tuturan. Oposisi biner berperan penting dalam metafisika
untuk menciptakan kestabilan struktur. Salah satu unsur harus menjadi pusat, sedangkan unsur
lain berstatus sebagai pelengkap yang menegaskan pusat tersebut.
2. Wilayah Terselubung
Setiap pengarang memiliki blind spot atau wilayah terselubung dalam teks yang
dibuatnya.Hal tersebut tidak disebabkan oleh alasan, misalnya, karena pengarang kurang
cerdas atau tidak cermat dalam menyusun teksnya. Bagi Derrida, penyebab suatu teks berisi
wilayah terselubung karena sifat dasar bahasa itu sendiri yang tidak sepenuhnya dapat
dikontrol atau dikuasai oleh seorang pengarang. Tanda-tanda dalam teks dapat menyusun pola-
pola hubungan baru yang berbeda dari intensi pengarang.

Selalu ada jarak atau retakan antara intensi pengarang dengan teks yang dihasilkan.
Hubungan antara pengarang dengan teks tidak pernah bersifat langsung, tetapi dimediasi oleh
bahasa. Medium Bahasa itu sendiri tidak bisa dibayangkan seperti cermin yang memantulkan
secara sempurna pikiran dan perasaan sang pengarang. Bahasa memiliki otonomi yang dapat
terlepas dari logos sang pengarang. Wilayah terselubung juga dapat dilihat sebagai hal yang
direpresi atau sisi tak-sadar dalam teks. Pandangan- pandangan seperti itu muncul ketika
otoritas kepengarangan dalam pemaknaan teks mulai dikritisi.

Meski demikian, ada sebuah catatan penting yang harus digarisbawahi ketika melakukan
pembacaan dekonstruktif bahwa wilayah terselubung adalah bagian dari struktur itu sendiri.
Wilayah terselubung bukanlah sesuatu yang dibawa dari luar teks seperti menunjukkan hal
yang kurang dari suatu karya.
3. Kontradiksi Internal Teks
Suatu teks sastra yang telah selesai ditulis cenderung dipandang sebagai suatu konstruksi
tanda yang telah final atau statis. Pandangan seperti itu memiliki kesejajaran dengan pandangan

12
strukturalisme Saussure yang melihat bahasa sebagai suatu yang terstruktur atau stabil.
Dalam teks sastra tersebut juga terdapat kebenaran dan tugas pembaca adalah menemukan
kebenaran tersebut. Suatu analisis kemudian dikatakan berhasil bila pembacaan telah
menemukan hal yang dianggap sebagai esensi atau petanda transendental dari karya tersebut.
Esensi yang bersifat transenden disebut Derrida logosentrisme karena kegiatan pembacaan
diarahkan untuk menemukan pusat makna tertentu yang telah ada.

Melalui differance, Derrida menunjukkan bahwa selalu ada kontradiksi dalam bahasa
karena (1) gerak perbedaan dan penangguhan yang senantiasa berlangsung antar tanda, (2)
tanda tidak pernah cukup diri sehingga proses penambahan dan subtitusi (suplementasi) akan
selalu terjadi, (3) makna bahasa menyebar (diseminasi), sehingga (4) makna suatu kata tidak
selalu bisa diputuskan (undecidability). Stabilitas makna teks adalah sesuatu yang sifatnya
temporal dan spasial. Setiap usaha untuk menautkan suatu penanda (teks) dengan satu petanda
(makna) transcendental (mengatasi ruang-waktu) tidak akan tercapai. Barry (2010:86)
menunjukkan contoh kontradiksi internal, misalnya pernyataan dalam puisi Dylan Thomas
yang berbunyi After the first death there is no other. Jika ada yang pertama, maka berarti ada
yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Frasa the first death berkontradiksi dengan frasa
there is no other. Sesuatu disebut berkontradiksi jika tidak ada konsistensi proposisi
(Martinich,2005:40).

2.6 Metode Penelitian Dekonstruksi Derrida


Hakekat dekonstruksi adalah penerapan pola analisis teks yang dikehendaki oleh
peneliti dan menjaga teks agar tetap bermakna polisemi. Di dalam penafsirannya selalu terjadi
proses membedakan dan menangguhkan (difference). Istilah difference ini diungkapkan
pertama oleh Derrida untuk menyatakan ciri tanda yang terpecah. Di sini dipilih unit wacana
yang mampu menimbulkan kebuntuan makna atau satu figur yang menimbulkan satu kesulitan
untuk dijabarkan. Bagian ini disebut titik aphoria (Norris, 1982:49). Titik aphoria selanjutnya
akan menimbulkan alusi. Ketika ditemukan sebuah inti wacana yang mengalami kebuntuan
maka akan timbul asosiasi dengan teks lain atau peristiwa yang senada dengan yang dihadapi.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana
yang dihadapi. Penyejajaran atau pertentangan bisa dihubungkan dengan unit wacana lain di
dalam teks yang sama (retrospektif) atau bisa dengan melacaknya di luar obyek (prospektif).
Jadi cara ini seperti bermain bebas (free play).

13
Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi
metaforik. Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat
mempengaruhi pemahaman teks berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks
metaforis yang disusun oleh penulis. Dekonstruksi bisa terjadi pada teks itu sendiri atau
sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah teks.

Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi, Derrida pun
kemudian menggunakan istilah trace sebagai konsep dalam menelusuri makna.Trace (jejak)
bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan,
menembus dan memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa
makna akan bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.

Pengarang di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak secara langsung.


Kadang-kadang lewat peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Di sinilah letak pentingnya
pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bisa menangkap pesan tersebut. Bekal
pengetahuan yang Jausz disebut sebagai horizon harapan ini sangat penting dalam upaya
mencari jejak (trace) sebagai metode pemaknaan dekonstruksi. Dengan bekal itu pembaca akan
bisa mengisi tempat kosong dalam teks, karena memang sifat karya sastra
itu multiinterpretable (Pradopo, 1985:185). Inilah penggambaran dari metode penelitian
dekonstruksi tersebut.

2.7 Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi


Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi
berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap
teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan
juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa
mengarahkan ke makna makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang
diabaikan. Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undacidabality), yang mengkhianati
setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang
ditulisnya.

Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang
diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk
kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa filsafat Derrida begitu berlandaskan pada teks

14
dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa
yang ia cari untuk didekonstruksi, sehinggga titik pengekalan selalu dilokasikan di tempat yang
berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi
harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung
dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru
berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre),
dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.

Ada ciri tertentu dari dekonstruksi Derrida yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan
upaya Derrida dilandaskan pada keyakinkannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tidak
bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif,
yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofi, adalah bahwa unsur-
unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekedar inkonsistensi logis,
argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang
biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi
penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya,
kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Filsafat yang pada dasarnya adalah
tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan
yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan
makna dan kebenaran rill yang ekstralinguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut,
kebenaran yang betul-betul benar.

Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,


mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, dimana biasanya terlihat peristilahan mana
yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik
dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau
privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata
tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.

Dengan langkah-langkah semacam ini, pembaca dekonstruksi berbeda dari pembacaan


biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali
tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan
atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.

15
Secara singkat dapat dijelaskan pola minimal tahapan pembacaan dekonstruksi sebagai
berikut (Ungkang, 2013):
1. Rekonstruksi
Hal yang perlu digarisbawahi bahwa rekonstruksi yang dilakukan dalam perspektif
dekonstruksi Derrida tidak bertujuan untuk mengembalikan teks kepada yang asli atau kepada
kondisi asal, melainkan.

what deconstruction attempts to do is to articulate the often hidden or repressed-


conditions according to which it is possible for any structure to be constituted in
the first place. (Bradley, 2008:43).

Rekonstruksi merupakan wujud praksis dari pilihan filosofis Derrida untuk


mendekonstruksi teks dari dalam. Melalui rekonstruksi diungkapkan logika dominan yang
ada dalam teks. Kata kunci untuk proses ini adalah pengulangan.

Setelah merekonstruksi teks akan terungkap kondisi teks baik struktural maupun logika
yang bekerja di dalamnya. Dalam proses rekonstruksi tersebut juga dikemukakan konteks asli
dan konteks resepsi dominan atas teks tersebut (Crathley, 2008:3). Konteks resepsi dominan
perlu dikemukakan karena cara suatu teks dibaca juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Culler
(2001:139) sebagai common procedures of reading. Menurut Culler kegiatan membaca
memiliki dimensi sosial di dalamnya. Green & LeBihan (1996:187) menyebut pandangan
Culler di atas sebagai komunitas baca (reading community).

2. Dekonstruksi
Kata kunci untuk proses ini adalah kontaminasi. Proses dekonstruksi dilakukan dengan
cara menunjukkan kontaminasi atau kesalingtergantungan antara dua unsur dalam oposisi biner
yang menjadi fokus pembacaan. Kontaminasi tersebut juga dapat dilakukan dengan melacak
tilas unsur dalam oposisi biner secara historis seperti yang dilakukan oleh J. Hillis Miller.
Miller (Castle, 2007:82) secara brilian mengatasi oposisi antara host dan parasite dengan
melacak tilas (trace) kata secara etimologis. Kata parasite ditunjukkan Miller secara detail
berasal dari akar kata yang sama, yaitu host. Pengaktifkan dimensi historis atau diakronis
dari suatu tanda merupakan bagian dari cara kerja tilas yang dibuat Derrida. Cara tersebut
memang berbeda dengan strukturalisme Saussure yang mengutamakan dimensi sinkronis dari
tanda.

16
Cara lain melakukan dekonstruksi adalah dengan menggunakan gagasan-gagasan kunci
dekonstruksi. Melalui gagasan-gagasan kunci tersebut relasi hierarkis antar unsur dalam teks
secara sistematis saling mengontaminasi. Dengan kata lain, proses destablisasi atas struktur
teks terjadi pada proses ini. Teks mengalami krisis. Pada momen krisis tersebut ditampilkan
logika lain atau unsur baru yang tidak dapat dikembalikan kepada relasi hierarkis
sebelumnya. Krisis dalam wawasan dekonstruksi lebih diarti kan sebagai peluang bagi
kemunculan yang lain daripada chaos. Logika lain atau unsur baru tersebut, harus
berasal dari material dan sumber ekonomi dalam teks itu sendiri. Secara kiasan, pembacaan
tersebut seperti parasit yang makan dari daging teks sembari menelurkan hal-hal kritis dalam
teks itu.

Contoh proses dekonstruksi dengan menggunakan gagasan kunci differance, misalnya


menangguhkan hubungan penanda dari petandanya dalam teks. Penanda tersebut kemudian
dikaitkan dengan penanda-penanda lain dengan memainkan perbedaan-perbedaan yang
merupakan unsur konstitutif bagi identitas tanda. Pada proses tersebut terjadi proses
pengulangan tetapi sekaligus menghasilkan perbedaan karena penanda-penanda lain yang tidak
hadir (baca: dari sumbu asosiatif atau paradigmatik) terus membuat suatu penanda melampaui
batasan dirinya sendiri.

3. Reinskripsi
Pada praktiknya, proses reinskripsi sesungguhnya sudah berlangsung ketika proses
dekonstruksi. Kata kunci untuk proses ini adalah produksi. Reinskripsi merupakan langkah
penting untuk mencapai invensi dalam pembacaan dekonstruksi. Teks sebagai jaringan tanda
disusun kembali dengan menampilkan logika lain, pesan lain, atau teks lain yang telah
dibuka sebelumnya.
Tabel 1. Tahapan Pembacaan Dekonstruksi
TAHAP INSTRUKSI
Prapembacaan Memilih apa yang menjadi fokus pembacaan: Oposisi Biner,
Wilayah terselubung, kontradiksi internal teks, atau kontribusi
antar ketiganya.
Rekonstruksi - Menampilkan resepsi dominan atas teks yang dibaca.
- Menyusun hal yang menjadi fokus pembacaan sebagaimana
kondisinya dalam teks.
Dekonstruksi - Jika fokusnya oposisi biner, maka hal yang dilakukan adalah
menunjukkan secara sistematis dan argumentative relasi
hierarkis antara unsur dalam oposisi biner tersebut saling
mengontaminasi. Kontamisasi tersebut membuat relasi
hierarkis antara dua unsur tersebut tidak dapat dipertahankan

17
lagi. Struktur logika yang mapan dalam teks, dengan
demikian menjadi tidak stabil lagi.
- Jika fokusnya wilayah terselubung, maka hal yang
dilakukan adalah menunjukkan secara sistematis dan
argumentative jarak antara intensi pengarang dengan apa
yang ada dalam eks.
- Jika fokusnya adalah kontradiksi internal teks, maka yang
dilakukan adalah menunjukkan secara sistematis dan
argumentative inkonsistensi logika atau pernyataan dalam
teks.
Reinskripsi - Invensi yang lain
Jika oposisi biner, maka yang lain tersebut adalah
sesuatu tidak dapat diletakkan dalam relasi oposisi
biner lama yang telah didekonstruksi.
Jika wilayah terselubung, maka yang lain tersebut
berasal dari jarak atau gap antara intensi
pengarang dengan apa yang ada di dalam teks.
- Teks mendeskontruksi dirinya sendiri terjdi akibat
kontradiksi yang berlangsung dalam teks. Kontradiksi
tersebut membuat makna teks tidak dapat diputuskan mana
makna yang paling benar. Dengan kata lain, ketiadaan
putusan membuat finalitas makna teks terus tertangguhkan.
Sumber : Marcelus Ungkang

2.8 Kelebihan dan Kelemahan dari Teori Dekonstruksi


Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan
penafsiran. Itulah kelebihan dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna
dan menafsiri suatu objek tanpa batas. Ruangan makna terbuka luas, penafsiran bertumbuh
biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna
baru melahirkan makna-makna lain.

Demikian bebas, banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekonstruktivisme dianggap
era matinya makna. Makna menjadi tak berarti lagi. Inilah kelemahan dekonstruksi. Kelemahan
lainnya adalah (Ahmada Tasnim, 2014):

1. Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan roh. Yang ada adalah
massalisasi makna, retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang
dapat mengurangi nilai obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk
ditelaah.
2. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi pesimis matinya makna dapat
menimbulkan apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.

18
3. Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam
proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk
revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran
yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan pemaknaan
dapat dicegah.
4. Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil pengahancuran makna karena
makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak
mungkin justru memberi nilai tambah abgi makna-makna baru. Karena itu, diperlukan
sebuah model semiotika baru untuk menjawab kekurangan-kekurangan tersebut.
5. Kelemahan lain dari teori dekonstruksi ini adalah banyaknya peluang bagi spekulatif
subjektif.
6. Dekonstruksi yang dilakukan oleh Derridra selalu menghadir-kan makna yang begitu
banyak sehingga akan terdapat berbagai kemungkinan yang ditimbulkan dalam
penafsiran suatu teks. Hal ini tentunya akan membuat suatu kerancuan dalam
melakukan penafsiran data.

2.9 Dekonstruksi dalam penelitian akuntansi


Di bidang (ilmu) ekonomi, dekonstruksi berarti menghadirkan aspek-aspek lain yang
berada di luar narasi besar (logosentrisme) sistem ekonomi modern semacam efisiensi,
produktivitas, maksimalisasi laba, dan akumulasi modal. Aspek-aspek lain yang berada pada
posisi marginal itu antara lain: pedagang asongan, pedagang kaki lima, industri kecil,
gelandangan, kaum pengangguran, pengemis, dan kelompok non-elite lainnya. Posmodernisme
dengan semangat dekonstruksinya berusaha menempatkan kelompok marginal ini ke posisi
yang sejajar dengan kelompok yang berada dalam posisi pusat (lihat Hadiwinata 1994, hal 29).
Dengan demikian, posmodernisme mengakui dan berusaha menciptakan "kemajemukan"
dengan menempatkan sang lain pada relasi yang bersifat terbuka, demokratis, kooperatif,
humanis, dan terdesentralisasi ke dalam wacana yang semula didominasi dan dikuasai oleh
logosentrisme golongan elite semacam konglomerat, kapitalis, dan penguasa. Dengan cara
semacam ini, tatanan sosial dan jaringan kerja yang ada di dalamnya akan bekerja secara lebih
baik, lebih demokratis, dan egalitarian dibanding dengan dari tatanan sosial modern.

Akuntansi dapat dijadikan sebagai sebuah titik awal untuk menstimulasikan terbentuknya
realitas sosial yang humanis (Astuty, 2009). Namun, untuk menjadikannya demikian tidak
terlepas dari keterlibatan "diri" akuntan sebagai arsitek yang memiliki kuasa untuk menentukan

19
bentuk bangunan akuntansi. Seperti telah diketahui secara umum, akuntan mempunyai
keahlian menciptakan asumsi-asumsi dan konvensi-konvensi - misalnya metode penyusutan,
metode penilaian persediaan, metode pengakuan pendapatan dan beban dan lain-lainnya
untuk menggambarkan realitas sosial (organisasi). Dan, akuntan dengan konsep-konsepnya
tersebut "mereduksi realitas sosial yang sangat kompleks tadi dalam bentuk angka-angka, yaitu
angka-angka akuntansi (accounting numbers). Angka-angka ini akhirnya dikonsumsi oleh
pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk pengambilan keputusan.

Untuk keluar dari realitas sosial yang kering dengan nilai-nilai etika (yang dibentuk oleh
akuntansi positif) ini bukan suatu pekerjaan yang mudah. Di sini diperlukan pemikiran yang
intens agar bisa keluar dari jaringan-jaringan kerja yang sudah mapan dan dominan; keluar
untuk melihat realitas sosial dalam perspektif yang lebih luas dan kemudian melakukan suatu
perubahan. Upaya semacam ini sudah mulai tampak dengan munculnya Akuntansi Interpretif
dan Akuntansi Kritis. Usaha untuk keluar dari realitas yang diciptakan oleh akuntansi positif
juga dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang ditawarkan oleh posmodernisme,
yaitu dengan pendekatan kontemplasi dan dekonstruksi. Dalam hal ini Hadiwinata (1994, 23)
mengatakan bahwa:
Posmodernisme meletakkan dirinya di luar paradigma modern dalam arti
bahwa ia menilai modernisme bukan dari kriteria modernitas, tetapi melihatnya
dengan cara kontemplasi dan dekonstruksi.
Kontemplasidalam arti melakukan suatu bentuk pemikiran rasional yang melibatkan
"hati nurani" tentang realitas yang diciptakan oleh modernitasdan melakukan dekonstruksi
dalam arti memasukkan sang lain (yang selama ini dalam pandangan modernisme dalam
posisi marjinal) ke dalam orbit yang harus, atau patut, diperhitungkanadalah suatu hal yang
sangat perlu dilakukan di bidang akuntansi. Ini adalah suatu upaya perubahan, yaitu suatu upaya
perubahan akuntansi dan realitas sosial yang diciptakannya dalam wajah yang lebih humanis.
Untuk itu ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu diri akuntan dan akuntansi (dalam
bentuk teori atau praktik).

Adapun pengertian dari dekonstruksi menurut Triyuwono (2012:139) adalah upaya


menghadirkan aspek-aspek lain yang berada di luar narasi besar (logosentrisme, dalam hal ini
pemikiran sistem ekonomi dan akuntansi modern). Gayatri Spivak seperti yang dikutip dalam
Sarup (2008:74) menggambarkan dekonstruksi sebagai upaya untuk menemukan teks marginal
yang menjanjikan, menyingkap, membongkar momen yang tidak dapat dipastikan dengan alat
penanda yang positif, membalikkan hierarki yang ada, agar dapat diganti; membongkar agar

20
dapat membangun kembali apa yang selalu telah tertulis. Dengan demikian dekonstruksi
digunakan sebagai strategi baru untuk memeriksa sejauh mana struktur-struktur yang terbentuk
dan senantiasa dimapankan batas-batasnya serta ditunggalkan pengertiannya Hal-hal terkait
batas-batas penunggalan inilah yang hendak disubversi Derrida dengan strategi dekonstruksi.

Melihat pengertian dekonstruksi di atas, dapat diambil suatu makna bahwa penulis tidak
menghilangkan makna bangunan lama yang sudah ada (dalam hal ini penulis tidak meniadakan
unsur kapitalisme dalam akuntansi), namun menyeimbangkan dengan nilai-nilai baru. Hal ini
juga sejalan dengan keyakinan dari Derridra yang memandang bahwa ada begitu banyak
kebenaran dalam suatu teks serta menolaknya untuk membuat suatu kebenaran tunggal
(ODonnel 2009:59) Begitu juga dengan dekonstruksi yang dilakukan oleh Triyuwono
(2012:139-140) serta Riduwan, et al (2010:38-60) yang memosisikan diri sebagai pencari sudut
pandang alternative.

Dekonstruksi Derrida terhadap teks dalam akuntansi dijalankannya dengan melakukan


pembacaan, yang dikenal dengan istilah pembacaan dekonstruktif. Tetapi langkah-langkah apa
yang diperlukan dalam pembacaan dekonstruktif tidak pernah nampak secara transparan dan
sistematis. Derrida tidak pernah menulis buku tunggal tentang metode dekonstruksinya.
Menurut Asyhadie (dalam Damayanti, 2009). Derrida menganggap bahwa pembacaan
dekonstruksi bukanlah suatu metode, prosedur atau teori yang dikarakteristikkan oleh adanya
rancangan yang jelas dan sistematis. Bagi Derrida, dekonstruksi merupakan proses yang tak
kunjung selesai, dan selalu bergerak secara dinamis. Namun demikian, Roland Barthes (dalam
Dinar. 2011) mencoba menjelaskan lima langkah dekonstruksi yang dilakukan oleh Derrida
sebagai berikut: (1) to transform concepts, (2) To display them, (3) To turn them againts their
presupposition, (4) to reinscribe them in other chains, and little by little to modify the terrain
of our work, dan (5) thereby produce new configuration.
2.9 Pembahasan Jurnal

Jurnal dengan judul Semiotika Laba Akuntansi: Studi Kritikal-Posmodernis


Derridean yang ditulis oleh Akhmad Riduwan, Iwan Triyuwono, Gugus Irianto dan Unti
Ludigdo ini bertujuan untuk (a) memahami penafsiran laba akuntansi oleh akuntan dan non-
akuntan; serta (b) melakukan pencarian makna (semiotika) secara dekonstruktif atas teks yang
berkaitan dengan penafsiran laba akuntansi oleh para informan.

Jurnal ini menekankan akuntansi sebagai simbol atau bahasa dimana simbol yang
dijadikan sebagai fokus utama adalah laba. Menurut Macintosh et al. (2000) simbol laba

21
akuntansi tersebut hanya merupakan simulakra mumi (pure simulacra), yang berarti bahwa
referen laba akuntansi adalah pada dirinya sendiri dan berputar-putar pada dirinya sendiri
membentuk dunia hiperrealitas. Selain itu berbeda dari pendapat di atas Mattessich (2003, 452)
simbol laba (income) menyatakan bahwa realitas referensial atas simbol laba tersebut tidak
berada pada tingkatan realitas fisis, tetapi berada pada tingkatan realitas sosial (social
reality) - artinya, realitas tersebut menjadi ada karena kesepakatan yang terjadi dalam
komunitas akuntansi. Perbedaan pandangan tentang relasi antara simbol laba dengan realitas
referensialnya sebagaimana terungkap melalui kajian kritis-filosofis dari Macintosh et al.
(2000) dan Mattessich (2003) tersebut, merefleksikan adanya peluang akan timbulnya
perbedaan interpretasi laba akuntansi dalam sebuah ruang komunikasi. Penelitian ini
termotivasi oleh kajian kritis-filosofis dari Macintosh et al. (2000) dan Mattessich (2003)
tersebut, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari ranah empiris sebagai berikut: (1)
bagaimanakah akuntan dan non-akuntan menginterpretasikan laba (earnings) yang tercantum
dalam laporan laba-rugi?; dan (2) realitas apa yang ada di balik penafsiran akuntan dan non-
akuntan atas laba tersebut?

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberap tujuan. Pertama, memahami


penafsiran akuntan dan non-akuntan atas laba akuntansi. Kedua, melakukan pencarian makna
(semiotika) secara dekonstruktif atas penafsiran laba akuntansi untuk mengungkap realitas
yang tersembunyi di balik penafsiran tersebut. Untuk menjawab pertanyaan penelitiam di atas
digunakanlah metode penelitian kualitatif dengan paradigma kritis-posmodem. Penelitian
dengan paradigma kritis-posmodem (critical-postmodern paradigm) dilakukan berdasarkan
asumsi-asumsi dan keyakinan dari teori kritis (critical theory) dalam memandang realitas
sosial. Pertama, praktik akuntansi [khususnya akuntansi keuangan] bukanlah sesuatu yang
bersifat given, atau ada seperti apa adanya, tetapi diciptakan oleh pihak yang memiliki kuasa,
yaitu akuntan. Akuntan memiliki kuasa untuk menciptakan praktik akuntansi dan mengarahkan
pihak lain untuk menjalankan dan memahami praktik akuntansi seperti yang diinginkan.
Kedua, teori dan praktik akuntansi sarat dengan nilai, dan karenanya, netralitas dan objektivitas
yang dilekatkan sebagai karakteristik kualitatif informasi akuntansi dapat memunculkan mitos
(ilusi) di masyarakat tentang netralitas dan objektivitas informasi akuntansi. Ketiga, tindakan
praksis yang dilakukan oleh individu (akuntan dan non-akuntan) sering terdorong oleh keadaan
yang tidak dikenalinya. Banyak hal yang mereka lakukan didasari oleh kesadaran semu, dan
kesadaran semu tersebut menjadi abadi melalui ideologi, hegemoni, reifikasi, kuasa, dan
metafisika kehadiran. Keempat, teori yang mendorong praktik akuntansi berjalan di atas

22
kesadaran semu harus disikapi secara kritis, dan dipandang perlu adanya pemikiran untuk
perubahan. Pengumpulan informasi dilakukan secara intensif pada tahun 2007- 2009 melalui
wawancara yang tidak terstruktur, tidak terjadwal, dan dilakukan sedemikian rupa sehingga
dalam memberikan informasi, para informan tidak cenderung mengolah atau mempersiapkan
informasi tersebut lebih dulu, serta dapat memberikan penjelasan apa adanya. Pembacaan
dekonstruktif atas teks dalam penelitian ini dilakukan dengan berefleksi pada strategi
pembacaan (baca: filsafat) Jacques Derrida.

Adapun pembahasan dalam penelitian ini adalah dimulai dengan :

(A) Semiotika Laba Akuntansi Sebagai Teks Tingkat Mikro:

Semiotika Laba Pada Tataran Sintaktik

Pada tataran sintaktik (struktur), konsep laba sudah jelas dioperasionalkan dalam
prosedur akuntansi sebagai hasil pengaitan atau penandingan (matching) antara penghasilan
dan beban. Fakta menunjukkan bahwa konsep laba pada tataran sintaktik ini secara umum telah
dipahami oleh para informan. Pemahaman para informan atas laba akuntansi sebagai selisih
antara penghasilan dan beban merupakan manifestasi dari kesadaran (consciousness) mereka
yang terkait dengan skema-skema dalam kognisi mereka, konsisten dengan penjelasan Wilber
(1997) tentang kesadaran manusia dalam psikologi kognitif,

Semiotika Laba pada Tataran Semantik

Walaupun para informan secara seragam memahami laba sebagai hasil penandingan
antara pendapatan dan beban, tetapi mereka memaknai angka laba akuntansi hasil perhitungan
struktural tersebut secara beragam. Realitas referensial angka laba akuntansi dalam bingkai
penafsiran para informan dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) hasil usaha tunai; laba
adalah hasil usaha bersih yang dapat secara langsung dinikmati atau dikonsumsi. Pemahaman
informan tentang laba tersebut sangat terkait dengan aktivitas praksisnya. (b) kenaikan
kemampuan ekonomik perusahaan; memahami bahwa laba akuntansi diukur berdasarkan asas
akrual, sehingga mereka menyadari bahwa angka laba akuntansi tidak selalu riil berwujud uang
tunai. Oleh karena itu, mereka menafsirkan laba akuntansi sebagai tambahan kemampuan
ekonomik perusahaan, yang wujudnya bisa bermacam-macam. Penafsiran laba sebagai
kenaikan kemampuan ekonomik perusahaan tersebut mengindikasikan bahwa dalam persepsi
informan, laba adalah hasil usaha bersih yang tidak dapat secara langsung dinikmati atau
dikonsumsi. dan (c) label perubahan realitas ekonomik perusahaan; Penafsiran laba sebagai

23
label perubahan realitas ekonomik perusahaan tersebut mengindikasikan bahwa dalam persepsi
akuntan, laba bukanlah hasil usaha bersih yang secara riil dapat langsung dinikmati atau
dikonsumsi.

Semiotika Laba pada Tataran Pragmatik

Penafsiran informan atas laba akuntansi pada tataran sintaktik maupun semantik
merupakan faktor yang melandasi persepsi mereka tentang kebermanfaatan informasi laba
pada tataran pragmatik. Dalam bingkai pengalaman, kepentingan dan kebutuhan praksis para
informan, kebermanfaatan informasi laba akuntansi adalah: (a) alat bantu untuk memahami
realitas ekonomik; (b) dasar pengambilan keputusan keuangan; dan (c) indikator likuiditas
perusahaan.

Pluralitas dan Ambivalensi Penafsiran

Semiotika struktural atas laba akuntansi sebagai teks tingkat mikro tersebut di atas
menunjukkan 3 hal yakni : (1) kesamaan penafsiran pada tataran sintaktik, bahwa laba
akuntansi merupakan selisih antara penghasilan dan beban, (2) pluralitas penafsiran pada
tataran semantik, bahwa laba akuntansi merupakan representasi dari: (a) aliran kas masuk neto
secara fisis pada periode pelaporan; (b) kenaikan atau tambahan kemampuan ekonomik
perusahaan yang tidak selalu terwujud dalam aliran kas masuk neto secara fisis pada periode
pelaporan, tetapi representasi laba akuntansi seperti ini dipandang tidak bermanfaat secara
praksis; dan (c) label perubahan realitas ekonomik pada periode pelaporan, tanpa
mengkaitkannya dengan ada atau tidaknya aliran kas masuk neto pada periode tersebut, (3)
ambivalensi penafsiran pada tataran pragmatik. Pernyataan-pernyataan para informan
memberikan gambaran bahwa laba akuntansi dipandang: (1) bermanfaat sebagai alat bantu
untuk memahami perubahan realitas ekonomik perusahaan (2) bermanfaat sebagai dasar
pengambilanberbagai keputusan keuangan.
(B) Semiotika Penafsiran Laba Akuntansi Sebagai Teks Tingkat Makro
Penafsiran informan atas laba akuntansi merupakan tanda baru, teks baru atau
kode baru tingkat makro yang muncul dalam konteks tertentu dan merepresentasikan realitas
tertentu pula. Pada tingkat makro, realitas baru yang merupakan petanda (signified) dari
penafsiran informan atas laba akuntansi tersebut dijelaskan sebagai berikut :
Perbedaan Habitus Akuntan dan Non-Akuntan

24
Dari sudut pandang akuntan, laba akuntansi yang dikomunikasikan adalah representasi
dari perubahan realitas ekonomik perusahaan tanpa mengkaitkannya secara langsung dengan
aliran kas masuk neto pada periode pelaporan laba. Sedangkan non-akuntan memaknai laba
akuntansi secara berbeda, misalnya sebagai: (a) aliran kas masuk neto saat ini, atau (b) aliran
kas masuk neto saat ini dan masa depan. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan posisi,
pengalaman, pengetahuan dan pemahaman atas konsep akuntansi. persepsi akuntan dan non-
akuntan adalah berbeda, karena mereka hidup dalam ruang sosial - atau disebut oleh Pierce
Bourdieu sebagai habitus - yang berbeda. Akuntan hidup dalam "habitus idealistik, sedangkan
nonakuntan hidup dalam habitus pragmatik.
Praktik Akuntansi Bersifat Hegemonik
Keterpaksaan informan penelitian ini untuk menerima prinsip akuntansi yang terkait
dengan penetapan laba merupakan penanda (signifier) yang merujuk pada suatu realitas, yaitu
adanya hegemoni dalam praktik akuntansi. Hegemoni merupakan suatu keadaan yang
dicirikan oleh adanya praktik untuk mendominasi serta mengendalikan pihak lain dalam segala
aspek untuk mencapai kepentingan tertentu. Praktik akuntansi yang bersifat hegemonik
berjalan melalui sebuah sarana, yaitu label sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum yang wajib dilekatkan dalam laporan auditor independen, sehingga label tersebut selalu
menyertai opini akuntan tentang kewajaran penyajian laporan keuangan.
Praktik Akuntansi Berjalan dengan Kesadaran Semu
Sugiharto (Kompas, 13 Agustus 2006) menyatakan bahwa hegemoni menyebabkan
pihak yang terdominasi menjadi teralienasi dari kebutuhan dan kepentingannya, bahkan
teralienasi dari dirinya sendiri, sehingga individu-individu tersebut menjadi tidak lebih dari
sekadar mesin fotokopi. Dalam posisi teralienasi seperti itu, individu tidak lagi memiliki
alternatif pemikiran lain di luar pemikiran yang telah mapan dalam habitus, sehingga semua
realitas sosial dipandang sebagai hal yang dianggap benar tanpa sikap kritis (taken-for-
granted). Pada akhirnya, individu hanya terjebak pada sesuatu yang aksiomatik tanpa
menyadari sisi ontologik dan epistemologik dari semua hal yang telah ada dalam habitus.
Laba Akuntansi Tidak Memiliki Kandungan Informasi
Di samping sebagai penanda (signifier) tentang adanya hegemoni dalam praktik
akuntansi serta kesadaran semu pengguna informasi, pluralitas dan ambivalensi penafsiran laba
akuntansi pada tataran semantik dan pragmatik juga merupakan penanda bahwa laba akuntansi
tidak memiliki kandungan informasi; bahkan kesadaran semu itu sendiri dapat menjadi
penanda bahwa laba akuntansi tidak memiliki kandungan informasi. Laba akuntansi dikatakan
memiliki kandungan informasi jika realitas yang direpresentasikannya ditafsirkan secara sama

25
antara penyedia dan pengguna informasi, sehingga masing-masing pihak tidak menafsirkan
laba akuntansi tersebut sesuai dengan persepsinya sendiri.

(C) Semiotika Dekonstruktif Laba Akuntansi: Perspektif Derridean


Laba Akuntansi adalah Jejak
Dengan memperhatikan cara laba dihitung, yaitu penghasilan dikurangi beban, jelas
bahwa makna (objek atau realitas referensial) laba tidak akan dapat dipahami jika pembaca
laporan keuangan tidak memahami makna penghasilan dan beban. Pada konteks ini, ungkapan
teks (text) adalah jejak (trace) . Ungkapan teks adalah jejak yang diungkapkan oleh
Derrida mengandung dua pengertian, yaitu: (1) jejak sebagai sejarah (Asyhadie 2004, 7); dan
(2) jejak sebagai pengalaman dan kepentingan (Gibbons 2002, xvii). Jejak Sebagai Sejarah.
Dalam pengertian yang pertama, Derrida membuat ungkapan teks adalah jejak dengan
maksud untuk menunjukkan bahwa setiap teks merupakan sejarah. Laba akuntansi adalah
teks, dan karenanya, dalam perspektif filsafat Derrida, laba akuntansi adalah jejak, yang berarti
bahwa penafsiran laba akuntansi harus dilakukan dengan menelusuri jejak teks yang
mendahuluinya. Selanjutnya, Jejak Sebagai Pengalaman dan Kepentingan berarti je ja k
pengalaman yang berbeda, para pembaca laporan keuangan (non-akuntan) menafsirkan laba
akuntansi secara berbeda pula. Sebagian informan menafsirkan laba sebagai aliran kas masuk
neto yang diperoleh perusahaan dalam periode pelaporan, sehingga laba akuntansi merupakan
hasil usaha yang benar-benar dapat dikonsumsi atau dinikmati. Sebagian informan yang lain
menafsirkan laba akuntansi sebagai perubahan kemampuan ekonomik perusahaan, tetapi
kemampuan ekonomik tersebut harus riil, yang ditandai oleh adanya aliran kas masuk neto,
baik pada periode pelaporan, pada masa lalu, atau pada masa mendatang. Pluralitas penafsiran
laba akuntansi tersebut merefleksikan kenyataan bahwa makna teks tidak stabil.
Tidak Ada Realitas di Luar Teks Laba Akuntansi
Pluralitas dan ambivalensi penafsiran akuntan dan non-akuntan atas laba akuntansi
menunjukkan kemungkinan bahwa tidak ada sesuatu (realitas apapun) yang direpresentasikan
oleh simbol laba akuntansi. Atas fakta semacam ini, Derrida menyebutnya dengan ungkapan
tidak ada sesuatu di luar teks (there is nothing outside the text). Ungkapan Derrida ini
memiliki tiga arti, yaitu: (a) bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui hanyalah sebatas teks,
sehingga makna teks yang sebenarnya adalah intertekstual (Ross 1984, 1 dan Lye 1996, 2); (b)
bahwa segala sesuatu yang diketahui adalah hasil simulasi di dalam teks, simulasi

26
menghasilkan simbol, dan simbol hasil simulasi bukanlah representasi realitas (Schalkwyk
1997, 381); dan (c) bahwa segala sesuatu yang diketahui tidak akan pernah melampaui
kepentingan dan pengalaman (Sarup 2008,48).

Makna Laba Akuntansi Adalah Intertekstual.


Dengan ungkapan tidak ada sesuatu di luar teks, Derrida sesungguhnya ingin
mengatakan bahwa ketika suatu tanda dibaca, makna tanda tersebut tidak serta-merta menjadi
jelas, karena penanda mungkin merujuk pada sesuatu yang tidak jelas atau bahkan tidak ada,
sehingga dalam konteks tertentu, makna di luar tanda itu mungkin juga tidak ada (Sarup
2008,47).
Laba Akuntansi Hasil Simulasi, Bukan Representasi Realitas.
Tidak adanya sesuatu (realitas) yang direpresentasikan oleh laba akuntansi sangat
mungkin terjadi jika teks atau tanda-tanda lain yang membentuknya hanya merujuk pada
konsep atau model yang terlepas dari realitas atau objek material yang sebenarnya. Simbol-
simbol akuntansi merupakan hasil simulasi mumi dari proses akuntansi yang berjalan. Sebagai
hasil simulasi, maka referensi simbol tersebut adalah pada dirinya sendiri, dan berputar-putar
pada dirinya sendiri membentuk dunia hiperrealitas.
Laba Akuntansi Sebagai Metafisika Kehadiran
Dalam filsafat Derrida, tidak adanya sesuatu di luar teks memiliki implikasi bahwa
makna (objek atau realitas) yang dimaksudkan oleh penulis teks maupun pembaca teks
sesungguhnya hanyalah merupakan metafisika kehadiran (metaphysics of presence). Dengan
bahasa sederhana, metafisika kehadiran dapat diartikan sebagai kehadiran seolaholah.
Metafisika kehadiran yang melekat pada simbol laba akuntansi (kata maupun angka)
mengandaikan bahwa aliran kas masuk neto yang direpresentasikannya seolah-olah ada dan
hadir bersamaan ketika simbol laba dibuat atau dipublikasikan.
Laba Akuntansi Sebagai Produk Logosentrisme
Logika (Rasio) Sebagai Logos. Ide-ide akuntan tersebut dianggap benar dengan
berpusat pada sumber kebenaran tertentu (logos), yaitu rasio atau logika. Dalam konteks laba
akuntansi, penghadiran aliran kas masuk dan kas keluar masa lalu, masa kini dan masa depan
sebagai penghasilan dan beban pada momen tunggal masa kini merupakan produk dari logika
atau rasio sebagai logos.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa : (a) laba akuntansi adalah jejak, baik jejak
sebagai sejarah teks maupun jejak sebagai pengalaman dan kepentingan penafsir; (b) tidak

27
ada realitas di luar teks laba akuntansi karena makna laba akuntansi bersifat intertekstual, laba
akuntansi hanya hasil dari simulasi, dan makna laba akuntansi tidak melampaui kepentingan
dan pengalaman penafsir; (c) laba akuntansi adalah metafisika kehadiran, dalam arti ada dan
hadir melalui proses mengada, representasi dari realitas yang ada dari adaan-adaan, sehingga
laba akuntansi adalah ilusi yang bermuara pada reifikasi; (d) laba akuntansi adalah produk
logosentrisme, yaitu logika atau rasio sebagai pusat kebenaran, sehingga idealisme akuntansi
dalam penetapan laba lebih mengemuka daripada pragmatisme.

28
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan

1. Gambaran Umum Teori Dekonstruksi


a. Pengertian Dekonstruksi
Terdapat beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli yakni sebagai berikut,
secara leksikal prefiks de berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan. Jadi,
dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu
gagasan.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-
kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan
keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita.
b. Tujuan Dekonstruksi
Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi
metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean,
strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis
Lacanian.
2. Sejarah Kemunculan Teori Dekonstruksi dan Tokoh Pencetus Teori
Dekonstruksi
a. Sejarah Kemunculan Teori Dekonstruksi
Aliran dekonstruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian
berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada 1980-an.
b. Tokoh Pencetus Teori Dekonstruksi
Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi
Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Prancis. Tokoh
lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J. Hillis Miller, bahkan juga Levy-Strauss.
3. Karakteristik Kajian Dekonstruksi

29
Dekonstruksi memang berpusat pada teks. Ia tak terlepas dari teks, tetapi paham
yang di pegang lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga
menolak struktur lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksionis, menganggap bahwa
bahasa teks bersifat logis dan konsisten.

4. Prinsip-prinsip dalam Dekonstruksi


1) Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna
ironi)
2) Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan
Sasaran Pembacaan Dekonstruksi
Oposisi biner
Wilayah Terselubung
Kontradiksi Internal Teks
5. Metode Penelitian Dekonstruksi Derrida
Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah
dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari
fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan (Sarup,
2003:77-79).
6. Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi
Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah:
Mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, dimana biasanya terlihat
peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
Oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di
antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik.
Memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa
dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
7. Kelebihan dan Kelemahan dari Teori Dekonstruksi
Kelebihan
Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan
dan penafsiran. yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri
suatu objek tanpa batas.
Kelemahan

30
1) Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan roh.

2) Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi pesimis matinya makna


dapat menimbulkan apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.
3) Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus
dalam proses perjalanan pemaknaan.
4) Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil pengahancuran makna
karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai.
5) Kelemahan lain dari teori dekonstruksi ini adalah banyaknya peluang bagi
spekulatif subjektif.
6) Dekonstruksi yang dilakukan oleh Derridra selalu menghadir-kan makna yang
begitu banyak sehingga akan terdapat berbagai kemungkinan yang ditimbulkan
dalam penafsiran suatu teks.
8. Dekonstruksi dalam penelitian akuntansi
Dekontruksi Derrida dapat diterapkan sebagai metodologi penelitian akuntansi.
Modus Dekonstruksi Derrida diterapkan pada riset akuntansi yang bertujuan :
Membebaskan pemikiran akuntansi dari narasi besar (grand naration) yang
mendominasi dan represif.
Merevisi pemikiran akuntansi yang dominan dengan cara mengngkapkan pemikiran
alternative.

31
DAFTAR PUSTAKA

Astuty, Widia. 2009. Akuntan dan Akuntansi dalam Kacamata Posmodernisme. Jurnal Riset
Akuntansi dan Bisnis Vol. 9 No. 1 Fakultas Ekonomi - Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara 17
Dinar, et ql. 2013. Konsep dan Implementasi Akuntansi Corporate Social. Responsibility Pada
PT Semen Bosowa Maros. Jurnal Analisis, Juni 2013, Vol. 2. No. 1 ISSN: 2303-100x
Endraswara, Suwardi. 2003.Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Buku Kita.
Hadiwinata, Bob Sugeng. 1994. "Theatrum Politicum": Posmodernisme dan Krisis
Kapitalisme Dunia. Kalam. Edisi 1: 23-31.
Luxemburg, Van Jan dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2007. Beberapa Teri sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005.Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ratna, Kutha Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005.Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Riduwan, A., Triyuwono, I., Irianto, G., & Ludigdo, U. 2010. Semiotika Laba Akuntansi:
Studi Kritikal Posmodernis Derridean. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Vol.
7, No. 1, hlm.38-60.
Sarup, M. 2008. Postrukturalisme dan Posmodernisme. Jalasutra. Yogyakarta.
Triyuwono, I. 2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi dan Teori (2 ed.). Rajawali
Pers. Jakarta.
Ungkang, Marcelus. 2013. Dekonstruksi Jaques Derrida Sebagai Strategi Pembacaan Teks
Sastra. Jurnal Pendidikan Humaniora, Hal 30-37 Volume 1, Nomor 1
Situs
Ahmada-tasnim-fib12. 2014. Teori Dekonstruksi dan Penerapannya. Diakses pada 7 Desember
2017
https://www.academia.edu/19224832/TEORI_DEKONSTRUKSI_DAN_PENERAPANNYA
(http://staff.undip.ac.id/sastra/fauzan/2009/07/22/dekonstruksi-terhadap-figur-keturunan-
darah-biru/). Diunduh pada tanggal 3 Juli 2014. Pukul 19.44 WIB.

32

Anda mungkin juga menyukai