Anda di halaman 1dari 30

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagaimana kita ketahui, dunia intelektual diguncang oleh munculnya arus pemikiran,
 paham, gerakan atau bahkan mungkin era baru yaitu yang di kenal dengan sebutan
 posmodernisme atau ada juga ada yang menyebutnya sebagai pascamodernisme. Sesuai
dengan namanya, postmodern merupakan reaksi keras dan penolakan terhadap pandangan-
 pandangan modern yang dianggap terlalu banyak cacat.
Postmodern menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang merosotnya wewenang
modernism dan munculnya epistemology baru yang dalam jangkauan khasanah kesenian dan
intelektual memutuskan hubungan dan atau berlawanan dengan paradigm modenisme. Bagi
yang lain, postmodern merupakan pertanda kematian modernism beserta garda depannya, atau
merupakan pembelotan dari berbagai aturan modernism yang dianggap sebagai kemapanan
(Dunn, 1993:38).
Posmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis, pensisteman dan segala
macam legitimasi, termasuk dalam bidang keilmuan atau apa yang oleh Lyotard disebut grand-
narrative. Ia menolak kemapanan atau kebakuan teori-teori modernisme, untuk linguistik
misalnya teori strukturalisme yang disebutnya sebagai grand-theory, karena teori-teori itu
dianggapnya terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya dan cenderung menolak
 pluralism. Posmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau il
ilmu
mu sastra, linguistik estetika,
dan sampai pada pemikiran antiteori. Salah satu bentuk penolakan teori itu misalnya teori
dekonstruksi yang juga diterapkan dalam pendekatan kesastraan (Abrams, 1981: 34-40)
Model pendekatan dekonstruksi dalam bidang kesastraan khususnya fiksi dewasa ini
terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan
 pengkajian satra. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara
car a membaca sebuah teks
yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebuah teks itu
memiliki landasan, dalam system bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan,
dan makna yang telah menentu (Abrams,
( Abrams, 1981: 38).
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti,
tertentu, dan konsisten sebagaimana halnya pada pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada
ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan
diper gunakan untuk membahaskan objek yang
 bermakna tertentu dan pasti. Selain itu, ia juga disebutkan sebagai pahamyang menolak konsep
konsep

1
 

teori Saussure, juga Jakobson (yang dapat dipandang sebagai grand-theory) baik yang berupa
teori linguistik struktural maupun teori semiotic yang dikembangkan dari teori strukturalisme
itu. Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori menurut paham ini, justru akan
memunculkan adanya pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri-dekonstruksi dalam
hal ini dipandang sebagai pembangkang terhadap teori struktural dan semiotic
s emiotic dalam linguistic
itu.
Mendekonstuksi sebuah wacana (kesastraan) dengan demikian adalah menunjukkan
 bagaimana meruntuhkan
meruntuhkan filosofi y
yang
ang melandasinya atau beroposisi hierarkis
hierarkis terhadap sesuatu
yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operastional retorika
yang ada dalam teks itu (Culler, 1983: 86). Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan,
dengan demikian menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang
 bersangkutan dengan unsur-unsur yang
yang ada dala karya itu sendiri.

Dari latar belakang di atas maka dapat diketahui rumusan masalah seperti berikut :

1.2 Rumusan Masalah
1.  Bagaimana gambaran umum teori dekonstruksi?
2.  Bagaimana sejarah kemunculan dan tokoh pencetus teori dekonstruksi ?
3.  Bagaimana karakteristik kajian deskonstruksi ?
4.  Apa saja prinsip-prinsip dalam dekonstruksi ?
5.  Bagaimana metode penelitian dekonstruksi derrida ?
6.  Bagaimana penerapan dan sistematika dekonstruksi ?
7.  Apa kelebihan dan kelemahan dari teori dekonstruksi ?
8.  Bagaimana dekonstruksi dalam penelitian akuntansi ?
9.  Bagaimana pembahasan jurnal ?

1.3 Tujuan
1.  Mendeskripsikan gambaran umum teori dekonstruksi.
2.  Mendeskripsikan sejarah kemunculan dan tokoh pencetus teori dekonstruksi.
3.  Mendeskripsikan karakteristik kajian deskonstruksi.
4.  Mendeskripsikan prinsip-prinsip dalam dekonstruksi.
5.  Mendeskripsikan metode penelitian dekonstruksi derrida.
6.  Mendeskripsikan penerapan dan sistematika dekonstruksi.
7.  Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan dari teori dekonstruksi

2
 

8.  Mendeskripsikan dekonstruksi dalam penelitian akuntansi.


9.  Mendeskripsikan pembahasan jurnal.

3
 

BAB II 

PEMBAHASAN  

2.1 Gambaran Umum Teori Dekonstruksi


Dekonstruksi

A.  Pengertian Dekonstruksi


Terdapat beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli yakni sebagai berikut,
secara leksikal prefiks ‘de’ berarti  penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan. Jadi,
dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu
gagasan.

Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara


hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan
kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya
sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu.
Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana,
 baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif
mentransformasikan hakikat wacana.
Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka
t erbuka kepada mereka yang
kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah
dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Dari sumber lain, dekonstruksi dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks.
pembacaan  teks. Dengan
 Dengan
dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks
setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang
dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir
sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidakt idak
mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang
(trace) yang
 bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam
 penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala
sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan
 penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu
s utu aturan yang dianggap
telah berlaku universal.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi
yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada
diri ini ke hadapan kita.

Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan


melepaskan teks
 teks dari
konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai
makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme.
sebagai logosentrisme.   Yaitu, kecenderungan untuk
mengacu kepada suatu metafisika
suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan
metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks
terhadap teks. 

4
 

B.  Tujuan Dekonstruksi


Dekonstruksi
Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika
Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada
umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disattu
 pihak mengungkap
mengungkap problematika
problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar
membongkar
metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.  

Sasaran dari dekonstruksi sendiri ialah memperlihatkan sejauh mana seorang pengarang
mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk pada suatu pandangan
tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertekstualitas, mencari bekas-bekas teks
lain. seorang kritikus yang mengikuti dekonstruksi menguraikan struktur-struktur retorik yang
dipakai, mencari pengaruh-pengaruh dari teks-teks yang pernah ada, meneliti etimologi kata-
kata yang digunakan, kemudian berusaha menyusun teks baru dari teks yang dibongkar itu.  
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan dari metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda
tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.
teks -teks. 

2.2 Sejarah Kemunculan Teori Dekonstruksi


Dekonstruksi dan Tokoh Pencetus Teori Dekonstruksi

A.  Sejarah Kemunculan Teori Dekonstruksi


Dekonstruksi

Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat
sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya,
secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh
Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara
keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis
dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan
makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences
“,di universitas Johns Hopkins
Johns Hopkins tahun 1966. 

Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
 besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut
Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti
fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,
 psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat
 problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika

5
 

dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di


Amerika, sebagai aliran yale.  

B.  Tokoh Pencetus Teori Dekonstruksi 

Dekonstruksi yang kita ketahui sekarang ini tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan
hadir melalui ilmuan-ilmuan yang ahli dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah
Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik
sastra di Perancis.

Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli


J uli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris,
Perancis tanggal 8 Oktober 2004 – 
2004  – Karena
Karena itu Derrida lebih dikenal sebagai filosof Perancis
daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat,
terutama kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah konsep.
Dekonstruksi merupakan alat yang digunakannya untuk meruntuhkan konsep-konsep dan
deskripsi-deskripsi kita selama ini. tokoh selanjutnya adalah Nietzsche.

Paham dekonstruksi kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J.


Hillis Miller, bahkan juga Levy-Strauss. Namun, sebenarnya tokoh-tokoh tersebut tidak
mempunyai pandangan yang tunggal, juga dalam praktik mendekati (baca: mengkaji) karya
sastra, walau tentu saja juga mempunyai unsur-unsur kesamaan. Pendekatan dekonstruksi
dapat diterapkan dalam pembacaan karya sastra dan filsafat. Menurut Derrida,
Derri da, teori Saussure
yang memandang adanya keterkaitan yang padu antara ujaran dan elemen tulisan (signifier,
signifiant) dan makna yang diacu (signified, signifie) sebenarnya tidak pernah ada.

2.3 Karakteristik Kajian Dekonstruksi


Dekonstruksi

Dekonstruksi memang berpusar pada teks. Dekonstruksi tak dapat terlepas dari teks,
tetapi pandangannya lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga
menolak struktur lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksionis, menganggap bahwa ‘bahasa’
teks bersifat logis dan konsisten. Misalkan sebuah tema besar bahwa kejahatan akan
terkalahkan dengan kebaikan oleh paham dekonstruksi tak selalu dibenarkan. Di era sekarang,
sastra boleh saja membalik tema besar itu. Karenanya, pemahaman teks tak selalu berurutan,
melainkan boleh bolak-balik. Sehingga, para dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks
mencerminkan kenyataan. Sebaliknya, demikian mereka tegaskan. Teks membangun
kenyataan.

Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna,
sehingga teks tersebut bisa sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa

6
 

rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan
 bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya,
dekonstruksi membiarkan teks itu ambigu dan tidak menantang segala kemungkinan.

Telah disadari bahwa pemahaman karya sastra yang hanya berkiblat pada struktur, akan
sia-sia. Itulah sebabnya ( Junus, 1986:36) menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna
teks berawal dari struktur kemudian menambah ‘kekuatan’ makna berdasarkan struktur
tersebut. ‘kekuatan’ yang dimaksud
yang dimaksud adalah upaya secara dekonstruktif, dengan cara membredel
teks, mengobrak-abrik teks, dan lari dari struktur yang ada.

Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural
lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap
 bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba
menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah
yang dilakukan oleh kaum dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman sastra.
Dalam kaitan ini, Roland Barthes (1983) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi :

1)  Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakan semua
unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah.
Dengan demikian, satu unsur pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai
 peranan.
2)  Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya
untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan. Baik jaringan
antar semua unsur (Jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain
(Jaringan X dan Y).

Berdasarkan tahapan tersebut, memang tidak tertututup kemungkinan sebuah teks


sastra dipahami berdasarkan teks lain. teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur,
melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah
kegiatan yang paradoksal. Maksudnya, pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan,
dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya mudah dikenal. Hal yang aneh,
menyimpang, dan mengejutkan dalam teks dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia
yang mudah dikenali.

Dalam kaitan itu, Roland Barthes dalam (Pradopo, 1991:78) memandang bahwa teks
sastra memiliki makna ganda. Bahkan dalam esainya The Pleasure of the Text ia membedakan
antara pleasure (kenikmatan) menjadi dua arti : yakni pleasure (kenikmatan) dan bliss

7
 

(kebahagiaan). Misalkan saja saat kita membaca teks sastra erotik atau pornografi, tentu akan
melibatkan dua kenikmatan tersebut. Masing-masing pembaca akan berbeda dalam mencapai
kenikmatan. Hal ini berarti bahwa ‘makna’ sebuah teks telah dipandang plural, tidak tunggal. 
tunggal.  

Foucault berpendapat bahwa tak ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam
teks sastra. Jika selama ini telah terjadi kritik sastra strukturalis, sesungguhnya mereka itu
 berlebih-lebihan karena sering memotong hubungan antara
antar a teks
te ks sastra
s astra yang harus dipandang
dari perbedaan-perbedaan, dan bukan dari kesamaan terus menerus. Bahkan, pada suatu saat
 perlu memandang dan mendekonstruksi
mendekonstruksi wacana-wacana yang mungkin kecil dan non-literer.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran penelitian dekonstruksi


merupakan estafet dari studi sastra sebelumnya. Paham dekonstruksi ini tampaknya memang
 belum mendapatkan angin segar dalam perkembangannya. Namun, sebagai sebuah sisi
 pandang penelitian, peneliti sastra sulit meninggalkan
meninggalkan paham ini. Paham ini sekaligus menjadi
koreksi terhadap teori penelitian sastra sebelumnya. Paling tidak, asumsi yang struktural atau
yang lain yang selalu mendewakan teks secara otonom, harus patah dengan sekonstruksi.

Dekonstruksi 
2.4 Prinsip-prinsip dalam Dekonstruksi

Prinsip- prinsip yang terdapat dalam teori dekonstruksi adalah:

1.  Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
2.  Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan

Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87)
dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-
akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya
sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum
universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa
dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.

Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-


lambang menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi
Dekonstruksi menolak keputusan tersebut deng
dengan
an cara
terus menerus berusaha melepaskan diri, sekligus
se kligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru.
Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.
pasti .

Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah


differEnce dan differAnce, dua kata yang ucapannya
ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda,
dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang

8
 

sekaligus berarti to differ (membedakan)


( membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang
 berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu
dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan
kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang
antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak
secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan
makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu.
Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida
menjadi terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme,
fonosentrisme, differEnce/differAnce, trace,dan dencentering.

Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968
dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-
Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dandifferance, bahasa kamus baik bahasa
Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui
melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan
dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya
hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang
mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.

Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-
tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non
 pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan
mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan
tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.

Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan.


Ujaran pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun
sudah tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan
 pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam
dan kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis.

Sasaran Pembacaan Dekonstruksi


Secara umum sasaran pembacaan dekonstruksi dapat dipetakan atas tiga hal, yaitu
oposisi biner, “blind
“blind spot ”,
”, dan kontradiksi internal teks. Adapun tiga hal tersebut dijelaskan
 berikut ini.

9
 

Opo
Oposisi bi ne
nerr
Dalam oposisi biner salah satu unsur diistimewakan, sedangkan unsur lain
dimarginalkan. Dua unsur dalam tersebut juga disusun berdasarkan batas-batas tertentu yang
membuat dua unsur tersebut terpisah. Oposisi biner yang digugat Derrida dalam bahasa,
misalnya, antara “tuturan” dan “tulisan”. “Tuturan” lebih diutamakan karena dinilai lebih asli
daripada “tulisan” yang merupakan representasi dari tuturan. Oposisi biner be rperan penting
dalam metafisika untuk menciptakan kestabilan struktur. Salah satu
s atu unsur harus menjadi pusat,
sedangkan unsur lain berstatus sebagai pelengkap yang menegaskan pusat tersebut.
Wi
Wilay
laya
ah T
Teer se
selubung
lubung
Setiap pengarang memiliki “blind
“ blind spot ” atau “wilayah terselubung” dalam teks yang
dibuatnya. Hal tersebut tidak disebabkan oleh alasan, misalnya, karena pengarang kurang
cerdas atau tidak cermat dalam menyusun teksnya. Bagi Derrida, penyebab suatu teks berisi
“wilayah terselubung” karena sifat dasar  bahasa itu sendiri yang tidak sepenuhnya dapat
dikontrol atau dikuasai oleh seorang pengarang. Tanda-tanda dalam teks dapat menyusun pola-
 pola hubungan baru yang
yang berbeda dari intensi pengarang.

Selalu ada jarak atau retakan antara intensi pengarang dengan teks yang dihasilkan.
Hubungan antara pengarang dengan teks tidak pernah bersifat langsung, tetapi dimediasi oleh
 bahasa. Medium Bahasa itu sendiri tidak
t idak bisa dibayangkan seperti cermin yang memantulkan
secara sempurna pikiran dan perasaan sang pengarang. Bahasa memiliki otonomi yang dapat
terlepas dari logos sang pengarang. “Wilayah terselubung” juga dapat dilihat sebagai hal yang
direpresi atau sisi tak-sadar dalam teks. Pandangan- pandangan seperti itu muncul ketika
otoritas kepengarangan dalam pemaknaan teks mulai dikritisi.

Meski demikian, ada sebuah catatan penting yang harus digarisbawahi ketika
melakukan pembacaan dekonstruktif bahwa “wilayah terselubung” adalah bagian dari struktur
itu sendiri. “Wilayah terselubung” bukanlah sesuatu yang dibawa dari 
dari   luar teks seperti
menunjukkan hal yang kurang dari suatu karya.
K ontrad
ntradi ksi I nte
nter na
nall Te
Teks
ks
Suatu teks sastra yang telah selesai ditulis cenderung dipandang sebagai suatu
konstruksi tanda yang telah final atau statis.
statis . Pandangan seperti itu memiliki kesejajaran dengan
 pandangan strukturalisme Saussure yang melihat bahasa sebagai suatu yang “terstruktur” atau
stabil. Dalam teks sastra tersebut juga terdapat kebenaran dan tugas pembaca adalah
menemukan kebenaran tersebut. Suatu analisis kemudian dikatakan berhasil bila pembacaan

10
 

telah menemukan hal yang dianggap sebagai esensi atau petanda transendental dari karya
tersebut. Esensi yang bersifat transenden disebut Derrida logosentrisme
logosentrisme   karena kegiatan
 pembacaan diarahkan untuk menemukan pusat makna tertentu yang telah ada
ada.. 

Melalui differance, Derrida menunjukkan bahwaselalu ada kontradiksi dalam bahasa


karena (1) gerak perbedaan dan penangguhan yang senantiasa berlangsung antar tanda, (2)
tanda tidak pernah cukup diri sehingga proses penambahan dan subtitusi (suplementasi) akan
selalu terjadi, (3) makna bahasa menyebar (diseminasi), sehingga (4) makna suatu kata
tidakselalu bisa diputuskan (undecidability
(undecidability).
). Stabilitas makna teks adalah sesuatu yang sifatnya
temporal dan spasial. Setiap usaha untuk menautkan suatu penanda (teks) dengan satu petanda
(makna) transcendental (mengatasi ruang-waktu) tidak akan tercapai. Barry (2010:86)
menunjukkan contoh kontradiksi internal, misalnya pernyataan dalam puisi Dylan Thomas
yang berbunyi ‘ After
 After the first death there 
there is no other ’.
’. Jika ada yang pertama, maka berarti ada
yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Frasa ‘the first death’
death’ berkontradiksi dengan frasa
‘there is no other’ . Sesuatu disebut berkontradiksi jika tidak ada konsistensi proposisi
(Martinich,2005:40).

2.5 Metode Penelitian Dekonstruksi Derrida 


Hakekat dekonstruksi adalah penerapan pola analisis teks yang dikehendaki oleh
 peneliti dan menjaga teks agar tetap bermakna
bermakna polisemi. Di dalam penafsirannya selalu terjadi
 proses membedakan dan menangguhkan (difference). Istilah difference ini diungkapkan
 pertama oleh Derrida untuk menyatakan ciri tanda yang terpecah. Di sini dipilih unit wacana
yang mampu menimbulkan kebuntuan makna atau satu figur yang menimbulkan satu kesulitan
untuk dijabarkan. Bagian ini disebut titik aphoria (Norris, 1982:49). Titik aphoria selanjutnya
akan menimbulkan alusi. Ketika ditemukan sebuah inti wacana yang mengalami kebuntuan
maka akan timbul asosiasi dengan teks lain
lai n atau peristiwa yang senada dengan yang dihadapi.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana
yang dihadapi. Penyejajaran atau pertentangan bisa dihubungkan dengan unit wacana lain di
dalam teks yang sama (retrospektif) atau bisa dengan melacaknya di luar obyek (prospektif).
Jadi cara ini seperti bermain bebas (free play).

Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah


istil ah dekonstruksi
metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa
tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan (Sarup, 2003:77-79). Metafora
mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman

11
 

teks berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis.
Dekonstruksi bisa terjadi pada teks itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi
sebuah teks.

Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi, Derrida pun kemudian
menggunakan istilah “trace” 
“trace”  sebagai konsep dalam menelusuri makna.Trace (jejak) bersifat
misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus
dan memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan
 bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.

Pengarang di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak secara langsung.


Kadang-kadang lewat peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Di sinilah letak pentingnya
 pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bisa menangkap pesan tersebut. Bekal
 pengetahuan yang Jausz disebut sebagai horizon harapan ini sangat penting dalam upaya
mencari jejak (trace) sebagai metode pemaknaan dekonstruksi. Dengan bekal itu pembaca akan
 bisa mengisi tempat kosong dalam teks, karena memang sifat karya sastra
itu multiinterpretable (Pradopo, 1985:185). Inilah penggambaran dari metode penelitian
dekonstruksi tersebut.

2.6 Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi 


Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi
 berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis
analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung,
berlangsung, terhadap
teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan
 juga untuk
untuk menemukan
menemukan problem-problem
problem-problem internal
internal di dalam makna tersebut, yang
yang mungkin
mungkin bisa
mengarahkan ke makna makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang
diabaikan. Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undacidabality), yang mengkhianati
setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang
ditulisnya.

Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang
diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk
kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks
te ks
dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa
yang ia cari untuk didekonstruksi, sehinggga titik pengekalan selalu
sela lu dilokasikan di tempat yang

12
 

 berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi
harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung
dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru
 berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain
l ain (tout autre),
dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.

Ada ciri tertentu dari dekonstruksi Derrida yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan
upaya Derrida dilandaskan pada keyakinkannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tidak
 bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif,
yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofi, adalah bahwa unsur-
unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekedar inkonsistensi logis,
argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang
 biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi
 penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya,
kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Filsafat yang pada dasarnya adalah
tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan
yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan
makna dan kebenaran rill yang ekstralinguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut,
kebenaran yang betul-betul benar.

Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama,


mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, dimana biasanya terlihat peristilahan mana
yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik
dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau
 privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata
tern yata
tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.

Dengan langkah-langkah semacam ini, pembaca dekonstruksi berbeda dari pembacaan


 biasa. Pembacaan
Pembacaan biasa selalu mencari makna
makna yang
yang lebih benar,
benar, yang
yang teks itu sendiri barangkali
barangkali
tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan
atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.

Secara singkat dapat dijelaskan pola minimal tahapan pembacaan dekonstruksi sebagai berikut:
1.  Rekonstruksi

13
 

Hal yang perlu digarisbawahi bahwa rekonstruksi yang dilakukan dalam perspektif
dekonstruksi Derrida tidak bertujuan untuk mengembalikan teks kepada yang asli atau kepada
kondisi asal, melainkan.

“what deconstruction
deconstruction  attempts to do is to articulate the often 
often hidden or repressed-
conditions according   to which it is possible for any structure to be constituted   in
the first place.”
place.” (Bradley, 2008:43).

Rekonstruksi merupakan wujud praksis dari pilihan filosofis Derrida untuk


mendekonstruksi teks dari dalam. Melalui rekonstruksi diungkapkan logika “dominan” yang
ada dalam teks. Kata kunci untuk proses ini adalah “pengulangan”. 
“pengulangan”.  

Setelah merekonstruksi teks akan terungkap kondisi teks baik struktural maupun logika
yang bekerja di dalamnya. Dalam proses rekonstruksi tersebut juga dikemukakan konteks asli
dan konteks resepsi dominan atas teks tersebut (Crathley, 2008:3). Konteks resepsi dominan
 perlu dikemukakan
dikemukakan karena cara suatu teks dibaca juga
juga dipengaruhi
dipengaruhi oleh
oleh apa yang disebut Culler
(2001:139) sebagai “common
“common procedures 
procedures  of reading ”.
”. Menurut Culler kegiatan membaca
memiliki dimensi sosial di dalamnya. Green & LeBihan (1996:187) menyebut pandangan
Culler di atas
atas sebagai “komunitas baca” (‘reading
(‘reading community’).
community’).  

 2.  Dekonstruksi
Kata kunci untuk proses ini adalah “kontaminasi”. Proses dekonstruksi dilakukan dengan
cara menunjukkan kontaminasi atau kesalingtergantungan antara dua unsur dalam oposisi biner
yang menjadi fokus pembacaan. Kontaminasi tersebut juga dapat dilakukan dengan melacak
tilas unsur dalam oposisi biner secara historis seperti yang dilakukan oleh J. Hillis Miller.
Miller (Castle, 2007:82) secara brilian mengatasi oposisi antara “host 
“ host ” dan “ parasite
 parasite”” dengan
dengan
melacak tilas (trace
(trace)) kata secara etimologis. Kata “ parasite
 parasite”” ditunjukkan Miller secara detail
 berasal dari akar kata yang sama, yaitu “host 
“ host ”.
”. Pengaktifkan dimensi historis atau diakronis
dari suatu tanda merupakan bagian dari cara kerja “tilas” yang dibuat
yang  dibuat Derrida. Cara tersebut
memang berbeda dengan strukturalisme Saussure yang mengutamakan dimensi sinkronis dari
tanda.

Cara lain melakukan dekonstruksi adalah dengan menggunakan gagasan-gagasan kunci


dekonstruksi. Melalui gagasan-gagasan kunci tersebut relasi hierarkis antar unsur dalam teks
secara sistematis saling mengontaminasi. Dengan kata lain, proses destablisasi atas struktur
teks terjadi pada proses ini. Teks mengalami krisis. Pada momen krisis tersebut ditampilkan

14
 

“logika lain” atau unsur “baru” yang tidak dapat dikembalikan kepada relasi hierarkis
sebelumnya. Krisis dalam wawasan dekonstruksi lebih diarti kan sebagai peluang bagi
kemunculan “yang lain” daripada chaos
chaos.. “Logika lain” atau unsur “baru” tersebut, harus
 berasal dari material dan sumber ekonomi dalam teks itu sendiri. Secara kiasan, pembacaan
tersebut seperti parasit yang makan dari daging teks sembari menelurkan hal-hal kritis dalam
teks itu.

Contoh proses dekonstruksi dengan menggunakan gagasan kunci differance,


differance, misalnya
menangguhkan hubungan penanda dari petandanya dalam teks. Penanda tersebut kemudian
dikaitkan dengan penanda-penanda lain dengan memainkan perbedaan-perbedaan yang
merupakan unsur konstitutif bagi identitas tanda. Pada proses tersebut terjadi proses
 pengulangan tetapi sekaligus menghasilkan perbedaan karena penanda-penanda
penanda-penanda lain yang tidak
hadir (baca: dari sumbu asosiatif atau paradigmatik) terus membuat suatu penanda melampaui
 batasan dirinya sendiri.

 3.  Reinskripsi
Pada praktiknya, proses reinskripsi sesungguhnya sudah berlangsung ketika proses
dekonstruksi. Kata kunci untuk proses ini adalah “produksi”. Reinskripsi merupakan langkah
 penting untuk mencapai invensi dalam pembacaan dekonstruksi (Derrida, 1992:316). Teks
sebagai jaringan tanda disusun kembali dengan menampilkan
menampilkan “logika lain”, “pesan lain”, atau
“teks lain” yang telah dibuka sebelumnya. 
sebelumnya. 

Tabel 1. Tahapan Pembacaan Dekonstruksi


TAHAP INSTRUKSI
Prapembacaan Memilih apa yang menjadi fokus pembacaan: Oposisi Biner,
Wilayah terselubung, kontradiksi internal teks, atau kontribusi
antar ketiganya.
Rekonstruksi -  Menampilkan resepsi dominan atas teks yang dibaca.
-  Menyusun hal yang menjadi fokus pembacaan sebagaimana
kondisinya dalam teks.
Dekonstruksi -  Jika fokusnya oposisi biner, maka hal yang dilakukan adalah
menunjukkan secara sistematis dan argumentative relasi
hierarkis antara unsur dalam oposisi biner tersebut saling
mengontaminasi. Kontamisasi tersebut membuat relasi
hierarkis antara dua unsur tersebut tidak dapat dipertahankan
lagi. Struktur logika yang mapan dalam teks, dengan
demikian menjadi tidak stabil lagi.
-  Jika fokusnya wilayah terselubung, maka hal yang
dilakukan adalah menunjukkan secara sistematis dan

15

Anda mungkin juga menyukai