BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, dunia intelektual diguncang oleh munculnya arus pemikiran,
paham, gerakan atau bahkan mungkin era baru yaitu yang di kenal dengan sebutan
posmodernisme atau ada juga ada yang menyebutnya sebagai pascamodernisme. Sesuai
dengan namanya, postmodern merupakan reaksi keras dan penolakan terhadap pandangan-
pandangan modern yang dianggap terlalu banyak cacat.
Postmodern menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang merosotnya wewenang
modernism dan munculnya epistemology baru yang dalam jangkauan khasanah kesenian dan
intelektual memutuskan hubungan dan atau berlawanan dengan paradigm modenisme. Bagi
yang lain, postmodern merupakan pertanda kematian modernism beserta garda depannya, atau
merupakan pembelotan dari berbagai aturan modernism yang dianggap sebagai kemapanan
(Dunn, 1993:38).
Posmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis, pensisteman dan segala
macam legitimasi, termasuk dalam bidang keilmuan atau apa yang oleh Lyotard disebut grand-
narrative. Ia menolak kemapanan atau kebakuan teori-teori modernisme, untuk linguistik
misalnya teori strukturalisme yang disebutnya sebagai grand-theory, karena teori-teori itu
dianggapnya terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya dan cenderung menolak
pluralism. Posmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau il
ilmu
mu sastra, linguistik estetika,
dan sampai pada pemikiran antiteori. Salah satu bentuk penolakan teori itu misalnya teori
dekonstruksi yang juga diterapkan dalam pendekatan kesastraan (Abrams, 1981: 34-40)
Model pendekatan dekonstruksi dalam bidang kesastraan khususnya fiksi dewasa ini
terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan
pengkajian satra. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara
car a membaca sebuah teks
yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebuah teks itu
memiliki landasan, dalam system bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan,
dan makna yang telah menentu (Abrams,
( Abrams, 1981: 38).
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti,
tertentu, dan konsisten sebagaimana halnya pada pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada
ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan
diper gunakan untuk membahaskan objek yang
bermakna tertentu dan pasti. Selain itu, ia juga disebutkan sebagai pahamyang menolak konsep
konsep
1
teori Saussure, juga Jakobson (yang dapat dipandang sebagai grand-theory) baik yang berupa
teori linguistik struktural maupun teori semiotic yang dikembangkan dari teori strukturalisme
itu. Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori menurut paham ini, justru akan
memunculkan adanya pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri-dekonstruksi dalam
hal ini dipandang sebagai pembangkang terhadap teori struktural dan semiotic
s emiotic dalam linguistic
itu.
Mendekonstuksi sebuah wacana (kesastraan) dengan demikian adalah menunjukkan
bagaimana meruntuhkan
meruntuhkan filosofi y
yang
ang melandasinya atau beroposisi hierarkis
hierarkis terhadap sesuatu
yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operastional retorika
yang ada dalam teks itu (Culler, 1983: 86). Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan,
dengan demikian menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang
bersangkutan dengan unsur-unsur yang
yang ada dala karya itu sendiri.
Dari latar belakang di atas maka dapat diketahui rumusan masalah seperti berikut :
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum teori dekonstruksi?
2. Bagaimana sejarah kemunculan dan tokoh pencetus teori dekonstruksi ?
3. Bagaimana karakteristik kajian deskonstruksi ?
4. Apa saja prinsip-prinsip dalam dekonstruksi ?
5. Bagaimana metode penelitian dekonstruksi derrida ?
6. Bagaimana penerapan dan sistematika dekonstruksi ?
7. Apa kelebihan dan kelemahan dari teori dekonstruksi ?
8. Bagaimana dekonstruksi dalam penelitian akuntansi ?
9. Bagaimana pembahasan jurnal ?
1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan gambaran umum teori dekonstruksi.
2. Mendeskripsikan sejarah kemunculan dan tokoh pencetus teori dekonstruksi.
3. Mendeskripsikan karakteristik kajian deskonstruksi.
4. Mendeskripsikan prinsip-prinsip dalam dekonstruksi.
5. Mendeskripsikan metode penelitian dekonstruksi derrida.
6. Mendeskripsikan penerapan dan sistematika dekonstruksi.
7. Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan dari teori dekonstruksi
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Sasaran dari dekonstruksi sendiri ialah memperlihatkan sejauh mana seorang pengarang
mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran guna memberi bentuk pada suatu pandangan
tertentu. Dekonstruksi berarti penelitian mengenai intertekstualitas, mencari bekas-bekas teks
lain. seorang kritikus yang mengikuti dekonstruksi menguraikan struktur-struktur retorik yang
dipakai, mencari pengaruh-pengaruh dari teks-teks yang pernah ada, meneliti etimologi kata-
kata yang digunakan, kemudian berusaha menyusun teks baru dari teks yang dibongkar itu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan dari metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda
tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.
teks -teks.
Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat
sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya,
secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh
Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara
keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis
dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan
makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences
“,di universitas Johns Hopkins
Johns Hopkins tahun 1966.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut
Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti
fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya,
psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat
problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika
5
Dekonstruksi yang kita ketahui sekarang ini tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan
hadir melalui ilmuan-ilmuan yang ahli dibidangnya. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah
Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik
sastra di Perancis.
Dekonstruksi memang berpusar pada teks. Dekonstruksi tak dapat terlepas dari teks,
tetapi pandangannya lebih luas. Teks tak dibatasi maknanya. Bahkan dekonstruksi juga
menolak struktur lama yang telah lazim. Bagi dekonstruksionis, menganggap bahwa ‘bahasa’
teks bersifat logis dan konsisten. Misalkan sebuah tema besar bahwa kejahatan akan
terkalahkan dengan kebaikan oleh paham dekonstruksi tak selalu dibenarkan. Di era sekarang,
sastra boleh saja membalik tema besar itu. Karenanya, pemahaman teks tak selalu berurutan,
melainkan boleh bolak-balik. Sehingga, para dekonstruksionis menolak pendapat bahwa teks
mencerminkan kenyataan. Sebaliknya, demikian mereka tegaskan. Teks membangun
kenyataan.
Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna,
sehingga teks tersebut bisa sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa
6
rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan
bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya,
dekonstruksi membiarkan teks itu ambigu dan tidak menantang segala kemungkinan.
Telah disadari bahwa pemahaman karya sastra yang hanya berkiblat pada struktur, akan
sia-sia. Itulah sebabnya ( Junus, 1986:36) menegaskan bahwa pada awalnya pencarian makna
teks berawal dari struktur kemudian menambah ‘kekuatan’ makna berdasarkan struktur
tersebut. ‘kekuatan’ yang dimaksud
yang dimaksud adalah upaya secara dekonstruktif, dengan cara membredel
teks, mengobrak-abrik teks, dan lari dari struktur yang ada.
Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural
lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap
bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba
menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah
yang dilakukan oleh kaum dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman sastra.
Dalam kaitan ini, Roland Barthes (1983) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi :
1) Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakan semua
unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah.
Dengan demikian, satu unsur pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai
peranan.
2) Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya
untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan. Baik jaringan
antar semua unsur (Jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain
(Jaringan X dan Y).
Dalam kaitan itu, Roland Barthes dalam (Pradopo, 1991:78) memandang bahwa teks
sastra memiliki makna ganda. Bahkan dalam esainya The Pleasure of the Text ia membedakan
antara pleasure (kenikmatan) menjadi dua arti : yakni pleasure (kenikmatan) dan bliss
7
(kebahagiaan). Misalkan saja saat kita membaca teks sastra erotik atau pornografi, tentu akan
melibatkan dua kenikmatan tersebut. Masing-masing pembaca akan berbeda dalam mencapai
kenikmatan. Hal ini berarti bahwa ‘makna’ sebuah teks telah dipandang plural, tidak tunggal.
tunggal.
Foucault berpendapat bahwa tak ada wacana tetap; baik sebab maupun akibat dalam
teks sastra. Jika selama ini telah terjadi kritik sastra strukturalis, sesungguhnya mereka itu
berlebih-lebihan karena sering memotong hubungan antara
antar a teks
te ks sastra
s astra yang harus dipandang
dari perbedaan-perbedaan, dan bukan dari kesamaan terus menerus. Bahkan, pada suatu saat
perlu memandang dan mendekonstruksi
mendekonstruksi wacana-wacana yang mungkin kecil dan non-literer.
Dekonstruksi
2.4 Prinsip-prinsip dalam Dekonstruksi
1. Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
2. Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan
Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87)
dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-
akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya
sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum
universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa
dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
8
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968
dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-
Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference dandifferance, bahasa kamus baik bahasa
Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui
melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan
dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya
hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang
mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-
tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non
pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan
mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan
tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
9
Opo
Oposisi bi ne
nerr
Dalam oposisi biner salah satu unsur diistimewakan, sedangkan unsur lain
dimarginalkan. Dua unsur dalam tersebut juga disusun berdasarkan batas-batas tertentu yang
membuat dua unsur tersebut terpisah. Oposisi biner yang digugat Derrida dalam bahasa,
misalnya, antara “tuturan” dan “tulisan”. “Tuturan” lebih diutamakan karena dinilai lebih asli
daripada “tulisan” yang merupakan representasi dari tuturan. Oposisi biner be rperan penting
dalam metafisika untuk menciptakan kestabilan struktur. Salah satu
s atu unsur harus menjadi pusat,
sedangkan unsur lain berstatus sebagai pelengkap yang menegaskan pusat tersebut.
Wi
Wilay
laya
ah T
Teer se
selubung
lubung
Setiap pengarang memiliki “blind
“ blind spot ” atau “wilayah terselubung” dalam teks yang
dibuatnya. Hal tersebut tidak disebabkan oleh alasan, misalnya, karena pengarang kurang
cerdas atau tidak cermat dalam menyusun teksnya. Bagi Derrida, penyebab suatu teks berisi
“wilayah terselubung” karena sifat dasar bahasa itu sendiri yang tidak sepenuhnya dapat
dikontrol atau dikuasai oleh seorang pengarang. Tanda-tanda dalam teks dapat menyusun pola-
pola hubungan baru yang
yang berbeda dari intensi pengarang.
Selalu ada jarak atau retakan antara intensi pengarang dengan teks yang dihasilkan.
Hubungan antara pengarang dengan teks tidak pernah bersifat langsung, tetapi dimediasi oleh
bahasa. Medium Bahasa itu sendiri tidak
t idak bisa dibayangkan seperti cermin yang memantulkan
secara sempurna pikiran dan perasaan sang pengarang. Bahasa memiliki otonomi yang dapat
terlepas dari logos sang pengarang. “Wilayah terselubung” juga dapat dilihat sebagai hal yang
direpresi atau sisi tak-sadar dalam teks. Pandangan- pandangan seperti itu muncul ketika
otoritas kepengarangan dalam pemaknaan teks mulai dikritisi.
Meski demikian, ada sebuah catatan penting yang harus digarisbawahi ketika
melakukan pembacaan dekonstruktif bahwa “wilayah terselubung” adalah bagian dari struktur
itu sendiri. “Wilayah terselubung” bukanlah sesuatu yang dibawa dari
dari luar teks seperti
menunjukkan hal yang kurang dari suatu karya.
K ontrad
ntradi ksi I nte
nter na
nall Te
Teks
ks
Suatu teks sastra yang telah selesai ditulis cenderung dipandang sebagai suatu
konstruksi tanda yang telah final atau statis.
statis . Pandangan seperti itu memiliki kesejajaran dengan
pandangan strukturalisme Saussure yang melihat bahasa sebagai suatu yang “terstruktur” atau
stabil. Dalam teks sastra tersebut juga terdapat kebenaran dan tugas pembaca adalah
menemukan kebenaran tersebut. Suatu analisis kemudian dikatakan berhasil bila pembacaan
10
telah menemukan hal yang dianggap sebagai esensi atau petanda transendental dari karya
tersebut. Esensi yang bersifat transenden disebut Derrida logosentrisme
logosentrisme karena kegiatan
pembacaan diarahkan untuk menemukan pusat makna tertentu yang telah ada
ada..
11
teks berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis.
Dekonstruksi bisa terjadi pada teks itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi
sebuah teks.
Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi, Derrida pun kemudian
menggunakan istilah “trace”
“trace” sebagai konsep dalam menelusuri makna.Trace (jejak) bersifat
misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus
dan memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan
bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang
diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk
kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks
te ks
dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa
yang ia cari untuk didekonstruksi, sehinggga titik pengekalan selalu
sela lu dilokasikan di tempat yang
12
berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi
harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung
dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru
berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain
l ain (tout autre),
dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Ada ciri tertentu dari dekonstruksi Derrida yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan
upaya Derrida dilandaskan pada keyakinkannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tidak
bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif,
yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofi, adalah bahwa unsur-
unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekedar inkonsistensi logis,
argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang
biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi
penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya,
kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Filsafat yang pada dasarnya adalah
tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan
yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan
makna dan kebenaran rill yang ekstralinguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut,
kebenaran yang betul-betul benar.
Secara singkat dapat dijelaskan pola minimal tahapan pembacaan dekonstruksi sebagai berikut:
1. Rekonstruksi
13
Hal yang perlu digarisbawahi bahwa rekonstruksi yang dilakukan dalam perspektif
dekonstruksi Derrida tidak bertujuan untuk mengembalikan teks kepada yang asli atau kepada
kondisi asal, melainkan.
“what deconstruction
deconstruction attempts to do is to articulate the often
often hidden or repressed-
conditions according to which it is possible for any structure to be constituted in
the first place.”
place.” (Bradley, 2008:43).
Setelah merekonstruksi teks akan terungkap kondisi teks baik struktural maupun logika
yang bekerja di dalamnya. Dalam proses rekonstruksi tersebut juga dikemukakan konteks asli
dan konteks resepsi dominan atas teks tersebut (Crathley, 2008:3). Konteks resepsi dominan
perlu dikemukakan
dikemukakan karena cara suatu teks dibaca juga
juga dipengaruhi
dipengaruhi oleh
oleh apa yang disebut Culler
(2001:139) sebagai “common
“common procedures
procedures of reading ”.
”. Menurut Culler kegiatan membaca
memiliki dimensi sosial di dalamnya. Green & LeBihan (1996:187) menyebut pandangan
Culler di atas
atas sebagai “komunitas baca” (‘reading
(‘reading community’).
community’).
2. Dekonstruksi
Kata kunci untuk proses ini adalah “kontaminasi”. Proses dekonstruksi dilakukan dengan
cara menunjukkan kontaminasi atau kesalingtergantungan antara dua unsur dalam oposisi biner
yang menjadi fokus pembacaan. Kontaminasi tersebut juga dapat dilakukan dengan melacak
tilas unsur dalam oposisi biner secara historis seperti yang dilakukan oleh J. Hillis Miller.
Miller (Castle, 2007:82) secara brilian mengatasi oposisi antara “host
“ host ” dan “ parasite
parasite”” dengan
dengan
melacak tilas (trace
(trace)) kata secara etimologis. Kata “ parasite
parasite”” ditunjukkan Miller secara detail
berasal dari akar kata yang sama, yaitu “host
“ host ”.
”. Pengaktifkan dimensi historis atau diakronis
dari suatu tanda merupakan bagian dari cara kerja “tilas” yang dibuat
yang dibuat Derrida. Cara tersebut
memang berbeda dengan strukturalisme Saussure yang mengutamakan dimensi sinkronis dari
tanda.
14
“logika lain” atau unsur “baru” yang tidak dapat dikembalikan kepada relasi hierarkis
sebelumnya. Krisis dalam wawasan dekonstruksi lebih diarti kan sebagai peluang bagi
kemunculan “yang lain” daripada chaos
chaos.. “Logika lain” atau unsur “baru” tersebut, harus
berasal dari material dan sumber ekonomi dalam teks itu sendiri. Secara kiasan, pembacaan
tersebut seperti parasit yang makan dari daging teks sembari menelurkan hal-hal kritis dalam
teks itu.
3. Reinskripsi
Pada praktiknya, proses reinskripsi sesungguhnya sudah berlangsung ketika proses
dekonstruksi. Kata kunci untuk proses ini adalah “produksi”. Reinskripsi merupakan langkah
penting untuk mencapai invensi dalam pembacaan dekonstruksi (Derrida, 1992:316). Teks
sebagai jaringan tanda disusun kembali dengan menampilkan
menampilkan “logika lain”, “pesan lain”, atau
“teks lain” yang telah dibuka sebelumnya.
sebelumnya.
15