Anda di halaman 1dari 4

Sekilas mengenai Dekonstruksi 

Derrida

Derrida, filosof yang berasal dari aljazair ini, menjalani kehidupannnya dalam fase
peralihan dari era modern pada era postmodern, dan dari era strukturalisme ke era post
strukturalisme. Pada era Posmodern, Derrida digolongkan sebagai seorang filosof yang
mana pemikiran-pemikirannya terkait dengan bidang sastra dan linguistik. Melalui
pemikirannya ini ia berupaya untuk mampu melampaui bahasa dengan cara
mendekonstruksi gambaran-gambaran dunia, misalnya mengenai Tuhan, diri, makna,
tujuan, kebenaran, dunia nyata, dan lain sebagainya. Bahkan pemikirannya ini cenderung
pada anti gambaran dunia. Dari sinilah maka kita mengenal pemikirannya yang populer
mengenai teori dekonstruksi. Namun sebelum membahas tentang teorinya lebih jauh,
pertama-tama perlu kita ketahui dahulu apakah makna dari ‘dekonstruksi’ itu sendiri?
Makna dekonstruksi secara umum adalah tindakan subjek yang membongkar suatu objek
yang tersusun dari berbagai unsur yang memang layak dibongkar. Namun makna umum
inikah yang dimaksud dengan ‘dekonstruksi’ Derrida?
Berkaitan dengan latar belakangnya sebagai seorang yang posmodernis, maka Derrida
dalam hal ini berada dalam posisi dimana ia memberikan kritik dan menawarkan solusi
baru bagi modernitas yang tentunya kritik-kritiknya dilemparkan bagi para filosof
modernis. Berhubungan dengan fokus pemikirannya tentang sastra dan linguistik, maka
salah satu kritiknya yang terpenting untuk di bahas di sini adalah teori bahasa kaum
strukturalis[1], yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussare yang dikenal sebagai
pembangun semiotik.
Teori dekonstruksi Derrida sebenarnya muncul sebagai kritik terhadap teori Susserian.
Saussure merumuskan teorinya melalui adanya oposisi biner (2 hal yang berlawanan)
sepertilangue–parole, ucapan- tulisan, ada-tidak ada, murni-tercemar, yang mana yang
pertama sifatnya lebih menguasai yang kedua alias yang pertama ini lebih superior
sedangkan yang kedua cenderung inferior sehingga seolah-olah yang pertama memiliki
hak istimewa sementara yang kedua dilecehkan. Contoh kasus yang jelas dalam teori
Saussure ini tampak pada gagasannya bahwa satu-satunya petunjuk untuk menemukan
makna adalah melaui suara dan rasa dari kata. Hal ini diperkuat oleh Roland Barthes yang
mempertahankan gagasan Saussure dengan menyatakan bahwa Bahasa itu tidak akan
pernah eksis tanpa tutur kata, bahasa hanya mungkin mulai dari tuturan, dan secara
historis, tuturan selalu mendahului fenomena bahasa.[2] Maka yang tampak bagi Derrida
di sini adalah oposisi biner antara ucapan dan tulisan dimana Saussure lebih
mengutamakan ucapan daripada tulisan itu sendiri. Bangunan metafisika Saussure,
menurut Derrida, yang diberikan pada tuturan (ucapan) adalah dengan
menjadikan suara   sebagai metafor kebenaran dan autentisitas, sumber dari tuturan yang
“langsung” dan hadir pada dirinya sendiri sebagai lawan dari limpahan sumber tersebut
yang tak hidup dan sekunder, yakni tulisan.[3] Inilah bentuk ketidaksepakatan Derrida
terhadap oposisi biner yang kemudian ia bubarkan dan ia pertanyakan. Pemikiran yang ia
pertanyakan inilah yang melahirkan gagasan dekonstruksinya. Bagi Derrida, teori oposisi
Biner Saussure justru akan berujung pada penolakan terhadap kebenaran tunggal
atau logos(pengetahuan) itu sendiri. Sebaliknya, cara yang ditawarkan Derrida untuk
menemukan makna yang tersembunyi adalah dengan membuka selubung, kemudian
melihat isi secara terpisah, dan membuang seluruh relasi yang ada antara kata dan
konsep. Cara ini meurut Derridaampuh untuk menghapus prasangka. Cara terbaik dalam
menggali makna tersembunyi menurut Derrida ini adalah dengan selalu mempertanyakan
semua hal dan menempatkannya pada yang baru. Dengan demikian, kita tidak
membiarkan diri kita untuk (senantiasa) menerima sistem yang sudah ada yang telah
diterima oleh orang banyak.[4]
Makna menurut Saussure dapat ditemukan melalui sistem pembedaan atau dikenal
dengan istilah Difference. Petanda (konsep yang ingin diungkapkan) dan penanda (kata
yang diucapkan atau dituliskan) keduanya sama-sama terikat dalam permainan
pembedaan. Dimana perbedaan suara dan rasa dari kata adalah petunjuk akan makna.
Hal ini dapat kita lihat pada tingkat kata dengan pengucapan yang sederhana,
misalnya kaki dan kaku (dibedakan, sehingga makna pun bisa kita dapatkan) melalui
pembedaan vokal pada akhir kata tersebut. Dalam pengertian ini, bahasa bersifat diakritis,
atau bergantung pada perbedaan-perbedaan terstruktur yang memungkinkan wilayah
elemen-elemen linguistic yang terbatas untuk menandai makna-makna yang berlimpah.[5]
Mengkritik teori Saussure tentang Difference, Derrida menawarkan metode baru dalam
mendapatkan makna yakni melalui metode Differance. Sekilas, kedua kata tersebut hampir
sama. Perbedaannya hanya terletak pada satu huruf saja. Adapun kedua kata tersebut
diturunkan dari bahasa Latin differre  yang dapat diartikan baik ‘berbeda’, ‘menunda’
maupun ‘menangguhkan’.[6] Meskipun menurut Norris (2008), bahwa
istilah Differance  itu mengandung daya perusak bagi level penanda (yang diciptakan oleh
pelafalan anonim), dan kebal dari segala bentuk reduksi. Menurut Saussure bahasa sangat
bergantung pada perbedaan (difference) berdasarkan struktur bahasa yang berisikan
oposisi-oposisi yang menjadi dasar bagi kandungan bahasa tersebut. Sementara Derrida
membuka celah yang lebih lebar dimana terdapatnya wilayah yang membentang
antara”differ” (berbeda) menuju “defer”(menangguhkan). Hal tersebut dalam pengertian
bahwa makna selalu ditangguhkan, barangkali sampai pada saat yang tidak bisa
ditentukan, akibat adanya permainan pertanda.
Lebih jauh lagi, maka teori differance Derrida sebagai penolakan atas adanya petanda
absolut (makna absolut) yang menurut Saussure ada ini, justru malah memunculkan celah
atau jarak yang membuat makna absolut menjadi mustahil! Differance  menimbulkan celah
yang akan selalu ada antara penanda dan petanda juga antara teks dan maknanya.
Meskipun kita telah mengklaim adanya kebenaran melalui struktur yang diakritis itu,
namun menurut Derrida ternyata masih ada jejak kebenaran lain yang ada di
belakangnya. Sehingga kesimpulan akhir Derrida adalah bahwa kepastian tunggal itu
tidak ada. Dan satu-satunya yang dapat dikatakan adalah ketidakpastian permainan.
Maka seluruhnya harus ditangguhkan (deferred), sembari bermain bebas dengan
perbedaan (differ). Inilah yang dinamakan dengan postmodetnitas, yaitu permainan
dengan ketidakpastian. Dan dalam hal ini, berbeda dengan Saussure yang lebih
mengutamakan tuturan, Derrida cenderung (meski tidak bisa pula kita anggap itu secara
total) lebih mengistimewakan tulisan. Baginya, tulisan adalah prakondisi bahasa yang
telah ada sebelum ucapan oral. Tulisan merupakan bentuk permainan bebas dari unsur
bahasa dan komunikasi, juga merupakan suatu yang mengandung proses perubahan
makna terus menerus (yang di luar jangkauan kebenaran mutlak). Secara sederhananya
Derrida mengatakan bahwa tulisan adalah bekas-bekas tapak kaki yang harus kita telusuri
terus menerus jika kita ingin mengetahui yang empunya kaki.
            Metode dekonstruksi ini kemudian menjadi metode membaca teks filsofis yang
kemudian unsur-unsur yang dilacaknya itu akan dibongkar. Yang unik dari metode
dekonstruksi ini adalah dayanya dalam membongkar unsur yang menjadi penentu suatu
teks menjadi filosofis. Sebagaimana yang sering kita baca dan kita amati, bahwa teks-teks
yang bermuatan filosofis tentunya amat argumentative, tidak rancu, dan wacana-
wacananya merupakan upaya dari pengorganisasian secara rasional dari premis, argumen
dan kesimpulan agar terjalin rapi dan rasional. Namun kenyataan ini justru membuat
Derrida ingin menelanjangi tekstualitas tersembunyi (laten) dalam sebuah teks dimana ia
bukan melacak penataan yang dilakukan secara sadar, melainkan tatanan yang justru tak
disadari dimana ditemukannya asumsi-asumi tersembunyi dibalik hal-hal yang tersurat.
Adapun tujuan dari metode dekonstruksi adalah sebagai berikut:
1. Menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut.
2. Menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
kepincangan di balik teks-teks.
Rodolphe Gasche menjelaskan penerapan metode dekonstruksi sebagai berikut:
1. Identifikasi hirarki oposisi dalam teks (adanya istilah yang diistimewakan secara
sistematis dan ada yang tidak).
2. Oposisi-oposisinya dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di
antara yang saling bertentangan.
3. Memperkenalkan sebuah istilah/ gagasan baru yang ternyata tidak bisa
dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.
Adapun efek positif dari dekonstruksi adalah:
1. Menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks
2. Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan arena
pergulatan yang terbuka (permainan antara perdamaian dan peperangan, akur
dancekcok)
3. Dan jika kita mampu sabar terhadap permainan ini, maka akan menumbuhkan
semacam pendewasaan diri, serta kerelaan untuk membuka diri pada kenyataan
bahwa “yang pasti” bagi kita atau orang lain hanyalah jejak (yang mungkin tidak
kita temukan), namun “ada”.
Daftar Pustaka
Norris, Christoper. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Kharisman, Hadi. Semiotika 1. Ppt slides.

[1] Strukturalis adalah istilah yang digunakan untuk menyebut penganut/ ahlli dari
pemikiran strukturalisme. Adapun strukturalisme sendiri adalah paham yang mencoba
menggambarkan pengaturan sistem-sistem tanda sebagai ‘bahasa’ (languages). Ahli 
strukturalisme sibuk mencari ‘struktur dalam’ (‘deep structures‘) yang mendasari  ‘ciri
permukaan’ (‘surface features’ ) fenomena.  (penjelasan ini didapat dari slide ppt kuliah
semiotika yang dibuat oleh pengajarnya sendiri: Hadi Kharisman,MA).
[2] Christoper Norris. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media. Hal. 68.
[3] Ibid., hal. 64.
[4] E. Sumaryono. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 120.
[5] Christoper Norris. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media. Hal. 60.
[6] E. Sumaryono. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 121.

Anda mungkin juga menyukai