Anda di halaman 1dari 5

Derrida : Tekstualitas dan differance

Yang ada hanyalah tanda

Derrida memandang klaim Saussure secara aksiomatis bahwa bahasa selalu merupakjan system
ranah diferensialyang membentuk makna diferensial yang membentuk makna melalui perbedaan
ketimbang melalui korespondensi dengan makna transcendental yang tetap atau acuan kepada
yang nyata. Yang berhasilkan, sejak ada makna, maka yang ada hanyalah tanda. Kita hanya bisa
berfikir didalam tanda(derrrida, 1976: 50). Tidak ada makna asli diluar tandam yang merupakan
bentuk representasi grafis, sehinga tulisan menjadi asal-muasal makna. Kita tidak dapat berfikir
tentang pengetahuan, kebenaran dan kebudayaan tanpa tanda, yaitu tulisan. Pandangan Derrida,
tulisan adalah jejak permanen yang sudah selalu ada sebelum tahu atau sadar akan dirinya sendiri.
Jadi, Derrida mendekonstruksi gagasan bahwa tuturan menyediakan suatu identitasantara tanda
dengan makna.

Sebagai contoh, Agama Kristen dikatakan sebagai berdasar kepada kebenaran


transendental firman Tuhan. Namun firman tuhan hanya tersedia melalui tanda tulis yang tidak
stabil yaitu Alkitab. Pada akhirnya, menurut Derrida, gagasan tentang makna literal didasarkan
kepada gagasan tentang huruf. Yang tak lain adalah tulisan. Makna literal kemudian disokong oleh
metafora- yang merupakan lawan abadinya. Sebagaimana dikatakan Derrida, Segala yang
berfungsi sebagai metafora dalam diskurs ini memperkuat posisi istimewa logos dan membentuk
makna literal kemudian diserahkan kepada tulisan: suatu tanda yang memaknai dirinya dan
memaknai logos abadi.

Derida mengajukan kritik atas apa yang disebutnya dengan logosentrisme dan
fonosentrisme filsafat barat Yang Derrida maksud dengan logosentrisme adalah sandaran pada
makna transcendental apriori yang bersifat tetap. Ia adalah makna konsep dan bentuk logika
universal yang ada dialam rasio manusia sebelum pemikiran lain ada. Misalnya konsepsi universal
tentang rasioatau keindahan. Yang dimaksudkan Derrida tentang fonosentrisme adalah prioritas
yang lebih banyak diberikan kepada bunyi dan tuturan ketimbang kepada tulisan.

Menurut Derrida, Socrates meyakini tuturan sebagai sesuatu yang langsung berasal dari
pusat kebenaran dan diri, sementara tulisan dipandang sebagai bentuk sophistry (cara berfikir yang
menyesatkan) dan teoritis. Bagi Derrida, ini menandakan upaya sokrates untuk menemukan
kebajikan dan kebnaran melalui rasio yang tidak diperantarai oleh signifikasi. Pengistimewaan
tuturan, kata Derrida, membuka peluang bagi filsuf untuk memandang subyektifitas sebagai suatu
agensi langsung dengan pengalaman unik petanda yang menghasilkan dirinya sendiri secara
spontan dari dalam dirinya. Lebih lagim kata Derrida, hal ini adalah pencarian terhadap kebenaran
transcendental universal yang mejnadikan dirinya sebagai sumber diri yang merupakan spontanitas
murni. Derrida berpendapat bahwa pengistimewaan tuturan dilandaskan pada gagasan yang lemah
bahwa ada akses langsung kepada kebenaran dan makna stabil. Gagasan ini menyesatkan, karena
ketika menyajikan kebenaran ayng diyakini berada diluar representasi, orang haus melakukan
representasi ulang. Jadi, tidak mungkin ada kebenaran atau makna diluar representasi. Yang ada
hanyalah tanda(there is nothing but signs).

Differance

Bagi Derrida, karena makna dibentuk melalui permainan penanda tanpa mengacu kepada
dunia objek independen, ia tidak pernah dapat dimapankan. Kata kata membawa aneka makna,
termasuk gema atau jejak makna lain. Bahasa bersifat nonrepresentasional dan makna bersifat
tidak stabil sehingga ia terus menerus tergelincir. Jadi, differance, yang merupakan konsep kunci
Derridean, berarti perbedaan dan ketertundaan (differance and deferral). Produksi makna dalam
proses signifikasi terus menerus ditunda dan dilengkapi dalam permainan yang melibatkan lebih
dari seorang pemain.

Makna tidak lagi mapan diluar lokasi tekstual atau ujaran yang terucap dan dia selalu
terkait dengan lokasi tekstual lain di mana penanda muncul pada kesempatan lain. Setiap
artikulasi penanda melahirkan jejak artikulasi sebelumnya. Tidak ada petanda
transcendental yang bersifat tetap, karena makna konsepselalu mengacu, melalui jarring-
jaring jejak, kepada artikulasinya dalam diskurs yang lain: makna sejati selalu tertunda.
(Weedon, et al., 1980:199)

Yang menjadi titik sentral dalam proyek Derrida adalah logika supplemen sebagai suatu
tantangan terhadap logika identitas. Jika logika identitas memandang makna sebagai sesuatu yang
identik dengan entitas tetap yang menjadi acuan suatu kata, maka logika suplemen menambahi
dan mengganti makna. Sebagai contoh, tulisan melengkapi tuturan dengan menambahi dan
menggantinya, sementara makna kata dilengkapi oleh jejak kata lain. Namun, justru pemakaian
`suplemen' ini cukup problematis karena ia berasumsi bahwa suplemen menam-bahi kehadiran-
diri (self-present) makna asli yang telah ada sebelumnya. Namun, suplemen selalu menjadi bagian
dari hal-hal yang clilengkapi. Makna selalu tergeser dan tertunda. Suplementaritas makna yang
terus berlanjut, penggantian dan penambahan makna yang terus berlangsung melalui permainan
penanda, menentang keidentikan suara (noises) dan tanda (marks) dengan makna yang tetap.

Kartu Pos Derrida

Dalam Le Carte Postal (1980), Derrida berrnain-main dengan gagasan tentang kartu pos
dan sistem pos yang bertindak sebagai metafora pembentukan dan sirkulasi makna. Pejialanan
sebuah kartu pos memungkinkan Derrida menentang gagasan bahwa makna beroperasi di dalam
sirkuit tertutup di mana maksud dan pesan dikirim dan diterima secara jelas. Namun, kartu pos
bisa mengecewakan, dia bisa saja sampai kepada orang yang salah dan melahirkan makna yang
tidak dimaksudkan ketika mengirimnya. Dalam hal ini ide tentang makna `sejati' atau komunikasi
berubah karena makna beredar tanpa sumber atau tujuan yang benar-benar dapat dipastikan. Rasio
tidak mampu secara per-manen menetapkan dan mendefinisikan makna suatu konsep. Karakter
khas tulisan dalam kartu pos sebagai sesuatu yang ditujukan kepada orang tertentu yang
memahami pesan-pesan rumit Derrida menunjukkan kalau kekhasan tulisan tidak dapat direduksi.

Strategi Penulisan

Yang dimaksud Derrida dengan tulisan bukanlah semata-mata teks di suatu halaman buku
namun apa yang disebutnya dengan arche-writing di mana tidak ada apa pun yang ada `di luar'
teks. Tulisan selalu menjadi bagian dari luar teks dan teks bersifat konstitutif bagi apa-apa yang di
luarnya. Dalam hal ini tidak ada apa pun di luar teks atau tiada yang lain kecuali teks (yang tidak
berarti bahwa tidak ada dunia materi ekstemal), sehingga teks menjadi konstitutif bagi praktik.

Tulisan memainkan peranan penting dalam karya Derrida. Pertama, tidak dilihat berposisi
sekunder terhadap tuturan (sebagai makna yang ada dengan sendirinya) melainkan sebagai suatu
bagian niscaya dari tuturan dan makna.

Tidak semata-mata bahwa tulisan selalu ada di dalam tuturan, namun karena tulisan
`merupakan tarda dari suatu tanda', maka makna kata tidak rnungkin stabil dan identik dengan
konsep tetap melainkan tertunda oleh titik jejak kata-kata lain. Kedua, makna dan klaim kebenaran
filsafat (dan bentuk-bentuk pengetahuan lain) seialu tergantung pida tulisan dan terikat pada
klaim retoris, metafora dan strategi tulisan. Kebenaran tidak ada di luar tulisan yang mencoba
mengekspresikan itu semua: namun, strategi tulisan merupakan faktor konstitutif dari segala klaim
kebenaran dan dapat didekonstruksi berdasarkan strategi-strategi tersebut.

Dekonstruksi

Derrida biasanya dikaitkan dengan praktik dekonstruksi. Mendekonstruksi berarti


memisahkan, melepaskan, dalam rangka mencari dan membeberkan asumsi suatu teks. Secara
khusus, dekonstruksi melibatkan pelucutan oposisi binerhierarkis semisal tuturan/tulisan,
realitas/penampakan, alam/kebudayaan, kewarasan/kegilaan, dan lain-lain, yang berfungsi
menjamin kebenaran dengan cara mengesampingkan dan mendevaluasi bagian `inferior' oposisi
biner tersebut. Jadi, di dalam konvensi kebudayaan Barat, tuturan lebih diistimewakan ketimbang
tulisan, realitas ketimbang penampakan, laki-laki ketimbang perernpuan. Dekonstruksi berusaha
mengekspos ruang-ruang kosong dalam teks, asumsi yang tak diketahui dan menjadi landasan
kerjanya. Ini termasuk tempat di mana suatu strategi retoris teks melawan logika argumennya
sendiri, yaitu ketegang-an antara apa yang ingin dikatakan suatu teks dengan kendala untuk
mengung-kapkannya. Sebagai contoh, Saussure mengklaim bahwa hubungan antara pe-nanda
dengan petanda bersifat arbitrer. Namun, dalam mendekonstruksi tulisan Saussure, Derrida
mencoba menunjukkan bahwa teks ini beroperasi dengan logika yang berbeda di mana tuturan
diistimewakan di atas tulisan dan karakter arbitrer tanda secara implisit dikesampingkan.

Dalam mendekonstruksi oposisi biner filsafat Barat dan menyerang `metafisika kehadiran'
(yaitu gagasan tentang makna yang ada dengan sendirinya), Derrida mau tak mau harus
menggunakan bahasa konseptual filsafat Barat yang justru ingin dia tinggalkan. Dalam pandangan
Derrida, tidak ada jalan keluar dari Rasio, yaitu dari konsep filsafat. Untuk menandai ketegangan
ini, yang dapat diekspos dengan strategi pembalikan (yaitu meletakkan tulisan sebelum tuturan,
penampakan sebelum realitas) namun tidak menghapus atau menggantikannya, Derrida
mengemukakan konsep `under erasure'(di bawah tanda silang).

Menempatkan kata di bawah tanda silang berarti pertama-tama menuliskan kata itu dan
memberinya tanda silang, membiarkan kata itu tetap tampak (terbaca) meski sudah disilangi.
Sebagai contoh, Rasio Rasio. Sebagaimana dijelaskan Spivak, `Karena kata bersifat tidak akurat,
ia harus disilang. Karena ia diperlukan, ia tetap dapat dibaca' (Spivak, 1976: xiv). Penggunaan
konsep bawah tanda silang' ini dimaksudkan untuk mendestabilisasi hal yang telah biasa yang pada
saat bersamaan berguna, diperlukan, tidak akurat dan salah. Jadi Derrida berusaha mengekspos
ketakdapatditentukannya (undecidability) oposisi metafisis, dan makna, dengan membantah dan
menentang filsafat dan usahanya untuk mempertahankan otoritasnya terhadap kebenaran dengan
mendiktekan apa yang mesti dipandang sebagai topik, argumen dan strategi.

Derrida dan Cultural Studies

Karya Derrida itu kompleks, cerdas, sulit dan terbuka bagi berbagai inter-pretasi. Bagi
beberapa orang (misalnya Norris, 1987) Derrida dipandang sebagai filsuf `argumentatif yang
bekerja dengan logika transendental, yaitu logika yang berusaha menemukan berbagai syarat
eksistensi logika, pengandaian yang menjadi landasan rasio. Bagi yang lain (khususnya Rorty,
1991b), Derrida adalah seorang penulis puitis yang mengganti jagat intelektual dengan jagat lain,
memberikan kita ide-ide baru dan visi baru dengan membuat kita tidak puas dengan cara berpikir
lama. Bagi Rorty, Derrida membuat seluruh konsep representasi tak dapat lagi dipergunakan
karena tidak pernah ada acuan stabil yang perlu direpresentasikan, juga tak ada kebenaran yang
bukan representasi. Lainnya, semisal Hall (1997a) terus menggunakan istilah `representasi', sambil
menggarisbawahi sifatnya sebagai hasil konstruksian.

Cultural studies mengambil dari Derrida sejumlah istilah kunci,yaitu.tulisan,


intertekstualitas, tak dapat dipegang, dekonstruksi, diffirance, jejak dan suplemen, yang
kesemuanya menekankan instabilitas makna, ketertundaannya lewat kesalingterkaitan teks, tulisan
dan jejak. Walhasil, tidak ada kategori yang memiliki makna universal esensial kecuali konstruksi
sosial bahasa. Ini adalah inti dari antiesensialisme yang terdapat dalam cultural studies. Jadi, kata
tidak punya makna universal dan tidak mengacu kepada objek yang memiliki kualitas mendasar.
Sebagai contoh, karena kata tidak mengacu kepada esensi, maka identitas bukanlah (sesuatu' yang
universal melainkan suatu deskripsi dalam bahasa (Bab 6).

Anda mungkin juga menyukai