Uraian Tesis:
1. Tentang Intersubjektivitas
2. Martin Buber
3. Gabriel Marcel
4. E. Levinas
5. Jean-Paul Sartre
I. TENTANG INTERSUBJEKTIVITAS
Konteks: tekanan filsafat abad 20 adalah dimensi hubungan antarmanusia. Manusia memiliki
dimensi konstitutif, yaitu dalam hubungannya dengan dunia antarmanusia.
Pokok-Pokok Pemikiran:
Terjadi pergeseran dari egologia kepada dimensi antarsubjektif.
1. Hilangnya ego dalam idealisme
Padangan antropologi modern-Cartesian mengatakan bahwa manusia adalah individu
menyendiri, tertutup dalam dirinya sendiri dan terisolir dari manusia lain. Hubungan dengan
manusia lain tidak disangkal, tetapi dikesampingkan
Permasalahannya: eksistensi manusia lain hanya diakui secara tidak langsung melalui benda
material dan objektif. Afirmasi atas eksistensi manusia lain membutuhkan penalaran analogis:
(1) kita sadar diri (2) mengetahui eksteriorisasi dalam tubuh: kata, senyum (3) di antara benda-
benda yang dijumpai, ada beberapa ekspresi yang analog dengan ekspresi interioritas (4) sebab
ekspresi itu = subjek yang sama.
Dalam idealisme: ego menjadi ego mutlak, roh absolut dan objektif. Ia menemukan dalam
dirinya kebenaran seluruh subjek. Alhasil, masalah manusia konkret yang berada bersama yang
lain dalam dunia sama sekali diabaikan. Tidak ada ruang untuk dimensi transenden yang lain,
yang sama sekali tidak tak dapat dibentuk rasioku. Demikianlah tema eksistensial personal (mis:
kejahatan, konflik, pekerjaan) tidak dibahas.
2. Hilangnya ego dalam empirisme
Empirisme menambah hilangnya ego dengan merenggut otonominya terhadap badan dan
dunia material. Hume, misalnya, mengatakan bahwa ego adalah pada dasarnya hasil berbagai
kesan/impresi dan ide (yang ditafsirkan sebagai variant kesan). Ego tidak lain dibangun atas
dasar ide dan impresi, dibantu oleh hukum asosiasi.
Hubungan Ich-Es (I-It): merupakan hubungan antara tuan-budak (Hegel). Hubungan ini
dicirikan dengan kehendak menguasai dunia. Dengan benda, diafirmasilah bahwa ia tunduk dan
dikebawahkan pada subjek. Dalam hubungan ini, terdapat ruang atau jarak sehingga dapat
dikatakan bahwa benda menjadi objek bagi subjek (manusia). Oleh karena terjadi penguasaan,
benda dapat diketahui seluruhnya.
Hubungan Ich-Du: merupakan setara, timbal balik yang sempurna. Di dalamnya terjadi
perjumpaan manusia yang secara otentik menjadi Aku dan yang lain secara otentik menjadi
Anda. Hubungan ini dicirikan oleh sifat langsung, yang lain secara langsung hadir, tanpa konsep,
tanpa fantasi. Dengan kata lain, tidak ada pengantara dalam pertemuan (penalaran, analogi, dan
lain-lain). Anda berbeda dari benda, tidak pernah dikebawahkan padaku atau tergantung dariku
dan dengan sendirinya tidak berada dalam kerangka hubunngan tuan-abdi. Ini berarti tidak
pernah ada hubungan penguasaan Aku terhadap anda demikian pula sebaliknya.
Dalam hubungan Aku-Anda, tidak ada ruang atau horison dunia (sebagaimana hubungan
antarbenda), tetapi ada ruang interpersonal. Tidak ada subjektivitas seperti dalam idealisme.
Yang ada adalah hubungan interpersonal, antarsubjektivitas yang terwujud dalam Aku dan Anda.
Hubungan ini tidak terpisahkan dari hubungan dengan Allah pencipta manusia. Perjumpaan
dengan Anda adalah juga jalan menuju Allah. Hubungan antarpersonal terkait dengan hubungan
dengan Anda Mutlak.
Dengan Anda, diafirmasilah misteri tak terkatakan yang tak pernah merupakan pengalaman
ilmiah. Tak bisa orang menggunakan Anda. Anda tak pernah merupakan objek. Yang lain tak
pernah secara penuh diketahui. Ia hadir sebagai misteri yang tak bisa ditangkap yang
merefleksikan hubungan ilahi.
Walaupun demikian, dapat saja hubungan Aku-Anda menjadi hubungan Aku-benda (asimetris).
Dalam hubungan dengan dengan sesamanya, manusia dapat memperlakukannya sebagai benda,
untuk dikuasi, dimanfaatkan, diambil keuntungan darinya.
Catatan: Buber terlalu menekankan perbedaan antara hubungan Aku-Anda dengan Aku-benda
dan seolah-oleh hubungan antar manusia hanya hubungan antarpersonal. Hubungan dengan
benda dilihat secara negatif. Buber tidak melihat secara jelas peran positif hubungan dengan
dunia dan bahwa hubungan dengan dunia itu adalah fundamental sebagaimana juga hubungan
antarpersonal bersifat fundamental.
V. JEAN-PAUL SARTRE
Bagi Sartre, analisis eksistensial Heidegger menunjukkan bahwa struktur Dasein adalah
ada bersama yang lain, tetapi ia tidak menguraikan mengenai kehadiran yang lain, tidak
memberikan interpretasi yang memuaskan tentang yang lain. Ada bersama dari Heidegger tidak
menunjukkan adanya hubungan pengakuan dan perjuangan timbal balik. Pun pula, ia tidak
dengan tajam mengolah masalah antarsubjektivitas. Analisis Heidegger terbatas pada analisis
yang lain yang umum.
Sartre berpendapat bahwa masalah eksistensi yang lain tidak dapat dipisahkan dari masalah
aku, ego. Yang lain adalah yang kulihat dan yang melihat aku. Di sinilah arti penting hubungan
timbale balik: apabila aku dilihat/dipandang orang lain aku menjadi objek. Realitas mausia
hanya menjadi objek di hadapan seseorang. Dalam kesadaranku sendiri, aku tidak
memperlakukan diriku sebagai objek. Hanya bila aku berhadapan dengan yang lain, aku merasa
menjadi objek. Aku objek di hadapannya, dan dengan pandangan orang lain itu, aku merasa
menjadi objek. Aku menjadi malu (objek) jika perbuatan yang seharusnya tidak dilihat orang
lain, dilihat orang lain. Malu adalah pengakuan. Aku mengakui siapa diriku di hadapan yang
lain, ia menjadi objek dan aku menjadi subjek yang mengobjekkan yang lain. Contohnya: jika
seseorang mengintip di pintu, aku menjadi objek, tetapi ia menjadi malu (objek) bila ia
kuketahui sedang mengintip.
Antarsubjektivitas, alhasil, adalah kemustahilan. Yang mungkin adalah konflik. Realitas
manusia adalah pelaku yang sama sekali bebas, yang membuat dirinya sebagaimana
dikehendaki. Kebebasan saja merupakan asumber nilai. Tetapi, kebebasanku selalu terancam
oleh kehadiran yang lain, karena dengan memandangku dan memandang aku sebagai objek,
yang lain membendakan aku, menjadikan diriku suatu entitas di antara entitas dunia, menjadi
benda di antara benda: menjadikan pour soi,1 kesadaran subjektif, menjadi benda, en soi, 2 oleh
pandangan yang lain. Begitu aku diobjektifkan, aku kehilangan kebebasanku. Untuk
mendapatkan kebebasanku kembali, aku harus melepaskan diri dari cengkeraman yang lain.
Yang lain juga menjadi objek yang kupandang. Maka, sementara aku membebaskan diri darinya,
ia berusaha membebaskan diri dariku. Akibatnya adalah suatu dinamika, suatu perjuangan
timbal balik. Aku harus menjadikan kebebasannya (eksistensinya sebagai ego) dikebawahkan
kepadaku apabila aku mau mendapatkan kembali kebebasanku. Dengan kata lain, kebebasan
yang ada pada manusia sebagai etre pour soi hilang karena dinamika tatapan.
1 Etre pour soi adalah ada yang berkesadaran yang tidak pernah identik dengan dirinya sendiri. Ia bisa memilih dan
menentukan dirinya berkat kebebasan yang dimilikinya.
2 Etre en soi adalah ada yang penuh yang identik dengan dirinya sendiri, tidak bisa menjadi diri yang lain, tidak
bisa mengkomunikasikan dirinya.
Catatan: Intersubjektivitas Sartre sama dengan pandangan Hobbes tentang bellum omnium
contra omnes. Setiap kesadaran selalu dalam konflik potensial dengan kesadaran yang lain. Yang
lain, bagi Sartre, adalah yang menguasai, neraka.
Tesis 2
Catatan:
Kalimat Utama tesis ini adalah KEBEBASAN EKSISTENSIAL MERUPAKAN
KEMAMPUAN DASAR MANUSIA. Oleh karena itu, tesis akan diuraikan dalam kerangka:
1. Kebebasan eksistensial merupakan kemampuan dasar manusia [untuk menentukan diri dan
tindakannya]
2. Kebebasan dalam situasi
Uraian Tesis:
KEBEBASAN EKSISTENSIAL MERUPAKAN KEMAMPUAN DASAR MANUSIA
Kebebasan eksistensial (kebebasan batin, inner freedom, kebebasan pribadi, personal
freedom, kebebasan metafisik, metaphysical freedom, kebebasan kehendak, free will, liberum
arbitrium) adalah kemampuan manusia untuk menentukan diri, tindakan, dan sikapnya.
Disebut kebebasan eksistensial, karena kebebasan melekat dalam hakekat manusia sebagai
eksistensi; kebebasan batin, karena ada di dalam diri manusia dan tidak dapat dihapus oleh
paksaan dari luar; personal freedom, karena kebebasan ini membedakan tindakan manusia dari
kejadian alami; kebebasan metafisik, karena tidak dapat secara empiris diobservasi, tetapi real
ada.
Kebebasan ini bersifat fundamental sebagai kemampuan dasar karena:
1. dengannya, manusia mampu mengambil jarak terhadap realitas di sekelilingnya; ia dapat
menangkap realitas itu sebagai objek yang dapat diamati dan dipertimbangkan (memilih
mengobjektivasi realitas).
2. dengannya, manusia mampu mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Demikianlah
manusia menyadari diri (Thomas Aquinas: manusia memiliki kemampuan reditio completa
in seipsum, mampu menyadari dirinya. John Macquarrie: cara bereksistensi yang khas
manusiawi muncul dari tindakan negasi, dalam arti bahwa manusia mengambil jarak dirinya
sendiri dari alam atau dunia benda. Pengambilan jarak inilah yang telah menciptakan
terobosan sehingga memungkinkan kebebasan manusia dan transendensi. Manusia telah
melangkah keluar dari jalinan erat kekuatan, yang disebut alam, sehingga ia tidak
sepenuhnya diatur oleh hukum alam.)
3. adanya keterbukaan kepada Yang Tak Terbatas.
Kenyataan bahwa hidup manusia selalu dihadapkan pada yang baik tetapi terbataswalau
akal budi atau intelek manusia terarah kepada yang tak terbatas, demikian juga kehendak
manusia terarah pada kebaikan yang tak terbatasmengafirmasi bahwa ia tidak dipaksakan
untuk menghendakinya karena yang baik itu bukan kebaikan penuh atau kebaikan tak
terbatas. Dengan kata lain, kebaikan yang direpresentasikan kepada kehendak adalah
kebaikan terbatas. Oleh karena itu, bila kehendak menerimanya, ia menerima tanpa
keterpaksaan. Selama masih ada dalam pikiran, kehendak jelas belum menentukan. Baru
kemudian, kehendak memilih yang spesifik. Kebebasan, alhasil, disebut kebebasan
kehendak.
Catatan:
Lebih dari kemampuan negatif untuk mengambil jarak terhadap alam dan dirinya, dalam diri
manusia terdapat kemampuan mengarahkan (hegemonikon, dari kata hegesthai, membimbing
Yun). Dengan kata ini dimaksudkan suatu kemampuan sadar dan rasional yang mengarahkan,
mempersatukan, dan membedakan tindakan dan sikap manusia.
Momen Pelaksanaan kehendak bebas menurut Thomas Aquinas terbagi ke dalam tiga
momen:
(1) deliberasi (pertimbangan): merupakan fase eksplorasi, peyelidikan tentang objek yang
mau dicapai atau tindakan untuk dilaksanakan. Suatu tindakan disebut bebas, kalau orang
mengetahui apa yang dikehendaki dan memeriksa semuanya dengan saksama.
(2) Penilaian: setelah didapat informasi, orang menilai pro dan kontranya: apakah cukup
menguntungkan atau tidak. Fase ini belum tentu membawa kepada pilihan tindakan akrena
masih merupakan penilaian abstrak.
(3) Tindakan bebas terjadi dalam pemilihan atau keputusan, yang merupakan perbuatan
yang kompleks dan yang merupakan hasil dari suatu dialog antara akal budi dan kehendak.
Dalam pemilihan, ada unsur kognitif dan apetitif (dorongan kehendak).
Kaitan ketiga macam kebebasan adalah (1) kebebasan eksistensial adalah kemampuan
manusia untuk menentukan diri, tindakan dan sikapnya, (2) kebebasan dapat berarti juga status
atau keadaan sempurna yang telah dicapai oleh manusia. Dengan kata libertas dalam liberum
arbitrium, diungkapkanlah keadaan di mana manusia telah mencapai keotentikan diri walau jelas
perwujudannya tidak ada yang definitif dalam berbagai bidang kehidupan, dan (3) kebebasan
dimengerti sebagai kondisi yang memungkinkan perwujudan kebebasan dalam arti pertama.
Demikianlah, kebebasan eksistensial adalah titik tolak untuk bertindak; bertindak ada tujuan
yang mau dicapai, ialah kebebasan sebagai kesempurnaan dan untuk mengaktualisasi kebebasan
eksistensial harus ada kondisi yang memungkinkan atau sarana yang memungkinkan
TESIS 3
Uraian Tesis:
1. Kematian dalam Filsafat Manusia
2. Kematian menurut Martin Heidegger
3. Kematian menurut Jean-Paul Satre
4. Kematian menurut Albert Camus
5. Nilai edukatif kematian
KEMATIAN DALAM FILSAFAT MANUSIA
Manusia menyadari dirinya sebagai eksistensi bertubuh. Demikianlah manusia pun
mengalami keterbatasan tubuhnya yang berpuncak pada kematian tubuh. Ia sadar akan kematian
yang menimpanya. Hidup dihayati seraya akan tiba saatnya kematian itu menimpa. Artinya,
kesadaran akan kematian dan kesadaran akan kehidupannya secara menyeluruhmulai dari
kelahiran, hidup, hingga kematiannyamembuat manusia memiliki hubungan yang khas
dengan waktu. Kesadaran inilah yang memungkinkan manusia dapat mencegah kematian
menjadi kemusnahan semata-mata.
Sesudah kematian, apa selesai begitu saja? Apa masih ada sesuatu? Tubuh hancur, apa eksistensi
Anda hancur?
1. Seluruh hidup Anda tidak identik dengan tubuh Anda. Tubuh bukanlah totalitas
keseluruhan manusia. Anda hancur total bila identik 100% dengan tubuh. Tubuh tidak
identik dengan seluruh manusia. Jadi, dengan kata lain, hidup manusia bukanlah secara
keseluruhan proses alami dan tidak melulu tergantung pada hukum alam. Diri manusia
tidak bisa direduksi ke dalam kejasmaniannya.
2. Menurut Teilhard de Chardin, manusia bertanggungjawab untuk mengarahkan evolusi
dunia ini ke dunia yang lebih bertanggungjawab, beradab. Tidak lagi sesuatu setelah mati;
akan mubasir bila tidak berlangsung terus-menerus.
3. Menurut Gabriel Marcel, bila aku mencintai kamu, maka kamu tidak boleh mati. Artinya,
aku berharap kamu tetap hidup kekal walaupun manusia akan mati.
4. Menurut Karl Rahner, manusia tidak dapat hidup tanpa tubuh. Pada saat hidup, manusia
terikat pada tubuhnya. Sesudah kematian, manusia terikat pada tubuh kosmis (memiliki
relasi lebih luas dengan dunia).
Kematian membuat anda sadar bahwa manusia terbatas dan bukan dasar dari keseluruhan
hidupnya karena tidak menguasai 100% kehidupannya. Namun dasarnya terletak pada yang lain,
yang paling fundamental. Pengakuan fundamentalis (pilihan dasar), saat mati, antara mengakui
kemandirianku di atas yang lain atau mengakui keterbatasan (tergantung pada yang lain yang
memberi hidup). Maka, implikasi psikologis untuk menerima keterbatasannya, manusia harus
memilih. Saat hidup, orang bisa mengatakan bahwa ia mandiri, namun saat mati, orang mau tak
mau mengakui bahwa ia tergantung pada yang lain.