Anda di halaman 1dari 17

Tesis 1

Ada beberapa pandangan filsafat mengenai intersubjektivitas: Martin


Buber, Gabriel Marcel, E. Levinas, dan Jean-Paul Sastre.

Uraian Tesis:
1. Tentang Intersubjektivitas
2. Martin Buber
3. Gabriel Marcel
4. E. Levinas
5. Jean-Paul Sartre

I. TENTANG INTERSUBJEKTIVITAS
Konteks: tekanan filsafat abad 20 adalah dimensi hubungan antarmanusia. Manusia memiliki
dimensi konstitutif, yaitu dalam hubungannya dengan dunia antarmanusia.

Pokok-Pokok Pemikiran:
Terjadi pergeseran dari egologia kepada dimensi antarsubjektif.
1. Hilangnya ego dalam idealisme
Padangan antropologi modern-Cartesian mengatakan bahwa manusia adalah individu
menyendiri, tertutup dalam dirinya sendiri dan terisolir dari manusia lain. Hubungan dengan
manusia lain tidak disangkal, tetapi dikesampingkan
Permasalahannya: eksistensi manusia lain hanya diakui secara tidak langsung melalui benda
material dan objektif. Afirmasi atas eksistensi manusia lain membutuhkan penalaran analogis:
(1) kita sadar diri (2) mengetahui eksteriorisasi dalam tubuh: kata, senyum (3) di antara benda-
benda yang dijumpai, ada beberapa ekspresi yang analog dengan ekspresi interioritas (4) sebab
ekspresi itu = subjek yang sama.
Dalam idealisme: ego menjadi ego mutlak, roh absolut dan objektif. Ia menemukan dalam
dirinya kebenaran seluruh subjek. Alhasil, masalah manusia konkret yang berada bersama yang
lain dalam dunia sama sekali diabaikan. Tidak ada ruang untuk dimensi transenden yang lain,
yang sama sekali tidak tak dapat dibentuk rasioku. Demikianlah tema eksistensial personal (mis:
kejahatan, konflik, pekerjaan) tidak dibahas.
2. Hilangnya ego dalam empirisme
Empirisme menambah hilangnya ego dengan merenggut otonominya terhadap badan dan
dunia material. Hume, misalnya, mengatakan bahwa ego adalah pada dasarnya hasil berbagai
kesan/impresi dan ide (yang ditafsirkan sebagai variant kesan). Ego tidak lain dibangun atas
dasar ide dan impresi, dibantu oleh hukum asosiasi.

II. MARTIN BUBER


Fokus Pemikiran Buber: struktur dialogal dan antarpersonal manusia yang dirumuskan
sebagai hubungan Ich-Es (I-It) dan Ich-Du (I-Thou). Dalam struktur dialogal pertama, ia
menolak secara radikal reduksi manusia dalam satu dimensi. Karena itulah, ia menegaskan corak
hubungan antarpersonal yang hadir dalam struktur dialogal kedua. Kenyataan bahwa keduanya
merupakan suatu struktur dialogal menjelaskan bahwa keduanya pun merupakan ciri
pengalaman dan perjumpaan atau ciri pengetahuan dan dialog. Oleh karena itu, penegasan corak
hubungan antarpersonal yang kedua bukanlah menegaskan bahwa hubungan dengan Anda
adalah hubungan di antara berbagai hubungan, melainkan hubungan utama, fakta primer setiap
antropologi dan filsafat.

Hubungan Ich-Es (I-It): merupakan hubungan antara tuan-budak (Hegel). Hubungan ini
dicirikan dengan kehendak menguasai dunia. Dengan benda, diafirmasilah bahwa ia tunduk dan
dikebawahkan pada subjek. Dalam hubungan ini, terdapat ruang atau jarak sehingga dapat
dikatakan bahwa benda menjadi objek bagi subjek (manusia). Oleh karena terjadi penguasaan,
benda dapat diketahui seluruhnya.
Hubungan Ich-Du: merupakan setara, timbal balik yang sempurna. Di dalamnya terjadi
perjumpaan manusia yang secara otentik menjadi Aku dan yang lain secara otentik menjadi
Anda. Hubungan ini dicirikan oleh sifat langsung, yang lain secara langsung hadir, tanpa konsep,
tanpa fantasi. Dengan kata lain, tidak ada pengantara dalam pertemuan (penalaran, analogi, dan
lain-lain). Anda berbeda dari benda, tidak pernah dikebawahkan padaku atau tergantung dariku
dan dengan sendirinya tidak berada dalam kerangka hubunngan tuan-abdi. Ini berarti tidak
pernah ada hubungan penguasaan Aku terhadap anda demikian pula sebaliknya.
Dalam hubungan Aku-Anda, tidak ada ruang atau horison dunia (sebagaimana hubungan
antarbenda), tetapi ada ruang interpersonal. Tidak ada subjektivitas seperti dalam idealisme.
Yang ada adalah hubungan interpersonal, antarsubjektivitas yang terwujud dalam Aku dan Anda.
Hubungan ini tidak terpisahkan dari hubungan dengan Allah pencipta manusia. Perjumpaan
dengan Anda adalah juga jalan menuju Allah. Hubungan antarpersonal terkait dengan hubungan
dengan Anda Mutlak.
Dengan Anda, diafirmasilah misteri tak terkatakan yang tak pernah merupakan pengalaman
ilmiah. Tak bisa orang menggunakan Anda. Anda tak pernah merupakan objek. Yang lain tak
pernah secara penuh diketahui. Ia hadir sebagai misteri yang tak bisa ditangkap yang
merefleksikan hubungan ilahi.
Walaupun demikian, dapat saja hubungan Aku-Anda menjadi hubungan Aku-benda (asimetris).
Dalam hubungan dengan dengan sesamanya, manusia dapat memperlakukannya sebagai benda,
untuk dikuasi, dimanfaatkan, diambil keuntungan darinya.

Catatan: Buber terlalu menekankan perbedaan antara hubungan Aku-Anda dengan Aku-benda
dan seolah-oleh hubungan antar manusia hanya hubungan antarpersonal. Hubungan dengan
benda dilihat secara negatif. Buber tidak melihat secara jelas peran positif hubungan dengan
dunia dan bahwa hubungan dengan dunia itu adalah fundamental sebagaimana juga hubungan
antarpersonal bersifat fundamental.

III. GABRIEL MARCEL


Bagi Marcel, filsafat haruslah bertolak dari situasi konkret. Pengalaman langsung
merupakan kekayaan untuk digali. Demikianlah ia menolak subjektivisme dan idealisme.
Baginya, manusia tidak dapat ditangkap dengan suatu kejelasan sistematik dan abstraksi. Ia
membedakan dua cara endekati realitas, yaitu sebagai (1) problem, sebagai objek, sebagai
sesuatu yang dilemparkan di harapan dan sebagai (2) misteri, yaitu sebagai kedalaman yang
tidak dapat ditimba habis dengan kerangka sistematik. Manusia dan hubungan antarmanusia
harus didekati sebagai misteri.
Manusia, bagi Marcel, adalah ada yang menjelma. Dengan ini, ditekankan keutuhan diri
manusia. Pengalaman utama manusia yang paling mendalam adalah pengalaman
antarsubjektivitas, yang termanifestasi dalam cinta. Dalam hubungan Aku-Anda, ditemukan ciri-
ciri: (1) disponibilit, yaitu ketersediaan seseorang kepada yang lain, berbeda dari sikap untuk
menguasai yang lain, (2) receptivit, secara aktif menerima, memberikan perhatian, (3)
engagement, keterlibatan, bukan acuh tak acuh, (4) fidlit, kesetiaan, ikut bertanggungjawab
atas rencana, proyek, yang lain, dan (5) creativit, creativitas dalam arti memungkinkan
terwujudnya kebebasan yang lain dan realisasi diri yang lain. Dalam cinta itulah terjadi realisasi
diri tertinggi.
Kritik atas masyarakat modern: Bagi Marcel, telah terjadi suatu transvaluasi masif,
perubahan horison spiritual: manusia telah diperbudak oleh mesin dan teknologi. Dengan
memanipulasi amanusia menjadi komoditi, dihapuslah sifat sakral manusia. Manusia tak lebih
dipandang sebagai mesin. Yang dipentingkan adalah hasil atau produktivitas. Jika tidak lagi
produktif, ia akan dibuang.
Bagi Marcel, masyarakat teknologis pun adalah masyarakat dengan semangat abstraksi
yang mendominasi. Semangat berpikir yang meremehkan keutuhan realitas dan menciutkannya
dalam abstraksi. Hal ini tercermin dalam massa. Manusia direduksi menjadi mass-man. Perasaan
menjadi anggota lebih berarti daripada perasaan individualitas. Menjadi sama dengan yang lain,
tidak menimbulkan kecemasan, tetapi sebaliknya menenangkannya.
Melawan mass society itu, Marcel menekankan the universal. Universal adalah spiritual
dan yang spiritual adalah cinta. Apa yang universal berada dalam kedalaman. Eksistensi yang
otentik terjadi dalam komunio antarsubjektif. Individu yang berpusat pada diri sendiri dan massa
pada hakekatnya adalah entitas tertutup, yang tidak memiliki pintu masuk untuk menerima cinta
dan pintu eluar untuk memberi cinta. Tanpa itu spiritualitas tidaklah mungkin. Hanya dalam
kelompok yang dijiwai oleh semangat cinta, yang universal, yang spritual (yaitu eksistensi
otentik) dapat diwujudkan.

IV. EMANUEL LEVINAS


Antropologa Levinas dicirikan dua gagasan fundamental. Pertama, kritik radikal
terhadap egologia yang didasarkan pada cogito Descartes. Kedua, penegasan akan yang lain
sebagai paling utama, sebagai kebenaran fundamental manusia.
(1) Pertama, setiap interpretasi manusia yang didasarkan pada pengutamaan cogito dan orientasi
pada dunia material menandakan keinginan akan kekuasaan. Pada tataran pengetahuan
antropologi yang dikuasai oleh ego, terungkap tendensi untuk mereduksi realitas pada rasio
eksplisit. Terutama dalam idealisme, yang merupakan ekspresi langsung prinsip antropologi
yang dikemukakan Descartes, realitas dibentuk oleh rasio. Mengetahui realitas berarti mereduksi
segala hal dalam kesatuan yang sama dari sistem rasional yang dipikirkan oleh ego. Segala hal
yang di luar dan berbeda harus direduksi dalam realitas rasional. Tujuan yang mau dicapai
dengan interpretasi manusia demikian adalah Aku yang memperluas diri, sedemikian rupa
sehingga mampu dengan satu pandang atau dengan satu formula memahami realitas dengan
segala perbedaannya, dengan mereduksi semau pada totalitas dan mengeliminasi setiap
perbedaan.
Pada tataran etis, interpretasi manusia tersebut didominasi oleh penegasan diri: realisasi diri,
afirmasi diri dengan mengorbankan orang lain, mencapai tujuan dengan menggunakan yang
lain sebagai sarana. Manusia menjadi penentu hukum dirinya sendiri, menilai semuanya
dengan rasio.
Pada tataran sosial-politis, gagasan tentang penegasan ego dan orientasi utama menuju
realitas dunia, mencakup gagasan imperalisme. Hal itu menumbuhkan perang, yang tidak lain
adalah usaha memperpanjang kekuasaan atas orang lain, dengan menyingkirkannya dan
memperbudaknya untuk tujuannya sendiri.
Pada tataran metafisik dan religius, antropologi egologia itu, dengan mengabaikan
perjumpaan dengan yang lain, menjadi tertutup dalam sejarah. Tak ada ruang bagi
transendensi. Dimensi metafsika mengalami atrofi. Ateisme merupakan konsekuensi dari
interpretasi imanen manusia tersebut.
Egologia menempatkan totalitas pada pusat, yang setiapkali mencabut aspek-aspek lain dan
berakhir dengan mengorbankan yang tunggal pada sistem. Sejarah memberikan ketragisan
situasi in dalam darah, penderitaan, perang, dan kamp konsentrasi.
(2) Kedua, pengutamaan yang lain dilukiskan dengan epifani wajah. Hal ini mengimplikasikan
dua hal fundamental: (a) kepastian yang lain sebagai yang lain membawa manusia kepada
pengalaman metafsika dan religius dan (b) pengakuan yang lain tidak hanya terjadi pada tingkat
hubungan intim dan privat, tetapi harus menjadi tuntutan etis dan objektif.
Yang lain mengungkapkan diri dan memanifestasikan diri. Lexperience absolue nest
pas devoilement mais revelationLe visage est une presence vivante, il est expression.
Kehadirannya sama sekali berbeda dari benda-benda objektif yang kehilangan rahasianya
manakala disinari akal budi. Pengetahuan benda-benda adalah pengungkapan yang tergantung
pada inisiatif orang. Dengan pertanyaan yang kita ajukan, benda-benda keluar dari
persembunyiannya dan memberi pengetahuan pada kita. Berbeda sekali perjumpaan dengan
manusia yang lain. Yang lain bukanlah yang saya formulasikan dengan teori saya. Yang lain
menembus eksistensiku, menghadirkan dirinya, menampak dengan sinarnya sendiri,
menghadirkan diri dengan kepastian tak terbantah. Ia hadir sebagai benar-benar yang lain, yaitu
sebagai pengada yang sama sekali tidak ditentukan oleh penalaran saya dan karenanya juga tidak
terselipkan dalam totalitas rasional. Tak bisa tidak aku mengakui kehadirannya.
Epifani wajah adalah kehadiran langsung (dilambangkan dengan ketelanjangan wajah)
dari yang lain sebagai yang lain, yang menentang setiap bentuk totalitas. Kepastian atau
pengakuan akan yang lain (pada taraf kognitif dan metafisik) tidak pernah terpisahkan dari
pengalaman konkret yang lain dalam dunia, maka tidak terpisahkan dari dimensi etika.
Ketelanjangan wajah adalah kehadiran yang membutuhkan di dunia ini: yang miskin, para janda,
anak-anak, yang lapar, yang terpinggirkan, setiap manusia yang menghendaki menjadi seseorang
di hadapan yang lain, yang ingin diperlakukan sebagai yang lain. Pengakuan itu merupakan
pengakuan objektif dalam keadilan dan kebaikan hati.
Levinas jelas tidak hanya mengutamakan hubungan dengan yang lain, tetapi juga
meletakkan superioritas Anda dalam hubungan dengan Aku. Yang lain adalah dia yang melihat
dari yang lain, yang menuntut dan memiliki hak untuk menuntut. Hubungan antarpersonal
adalah secara fundamental asimetrik. Dapat dipahami lebih lanjut bahwa hubungan
antarpersonal adalah tempat di mana Yang Lain, Allah, mewahyukan diri. Menemukan diri
bertatapan wajah dengan sesama, adalah juga menemukan diri di hadapan Yang Maha Tinggi.
Dimensi ilahi terbuka dengan berangkat dari wajah manusiawi.

V. JEAN-PAUL SARTRE
Bagi Sartre, analisis eksistensial Heidegger menunjukkan bahwa struktur Dasein adalah
ada bersama yang lain, tetapi ia tidak menguraikan mengenai kehadiran yang lain, tidak
memberikan interpretasi yang memuaskan tentang yang lain. Ada bersama dari Heidegger tidak
menunjukkan adanya hubungan pengakuan dan perjuangan timbal balik. Pun pula, ia tidak
dengan tajam mengolah masalah antarsubjektivitas. Analisis Heidegger terbatas pada analisis
yang lain yang umum.
Sartre berpendapat bahwa masalah eksistensi yang lain tidak dapat dipisahkan dari masalah
aku, ego. Yang lain adalah yang kulihat dan yang melihat aku. Di sinilah arti penting hubungan
timbale balik: apabila aku dilihat/dipandang orang lain aku menjadi objek. Realitas mausia
hanya menjadi objek di hadapan seseorang. Dalam kesadaranku sendiri, aku tidak
memperlakukan diriku sebagai objek. Hanya bila aku berhadapan dengan yang lain, aku merasa
menjadi objek. Aku objek di hadapannya, dan dengan pandangan orang lain itu, aku merasa
menjadi objek. Aku menjadi malu (objek) jika perbuatan yang seharusnya tidak dilihat orang
lain, dilihat orang lain. Malu adalah pengakuan. Aku mengakui siapa diriku di hadapan yang
lain, ia menjadi objek dan aku menjadi subjek yang mengobjekkan yang lain. Contohnya: jika
seseorang mengintip di pintu, aku menjadi objek, tetapi ia menjadi malu (objek) bila ia
kuketahui sedang mengintip.
Antarsubjektivitas, alhasil, adalah kemustahilan. Yang mungkin adalah konflik. Realitas
manusia adalah pelaku yang sama sekali bebas, yang membuat dirinya sebagaimana
dikehendaki. Kebebasan saja merupakan asumber nilai. Tetapi, kebebasanku selalu terancam
oleh kehadiran yang lain, karena dengan memandangku dan memandang aku sebagai objek,
yang lain membendakan aku, menjadikan diriku suatu entitas di antara entitas dunia, menjadi
benda di antara benda: menjadikan pour soi,1 kesadaran subjektif, menjadi benda, en soi, 2 oleh
pandangan yang lain. Begitu aku diobjektifkan, aku kehilangan kebebasanku. Untuk
mendapatkan kebebasanku kembali, aku harus melepaskan diri dari cengkeraman yang lain.
Yang lain juga menjadi objek yang kupandang. Maka, sementara aku membebaskan diri darinya,
ia berusaha membebaskan diri dariku. Akibatnya adalah suatu dinamika, suatu perjuangan
timbal balik. Aku harus menjadikan kebebasannya (eksistensinya sebagai ego) dikebawahkan
kepadaku apabila aku mau mendapatkan kembali kebebasanku. Dengan kata lain, kebebasan
yang ada pada manusia sebagai etre pour soi hilang karena dinamika tatapan.

1 Etre pour soi adalah ada yang berkesadaran yang tidak pernah identik dengan dirinya sendiri. Ia bisa memilih dan
menentukan dirinya berkat kebebasan yang dimilikinya.
2 Etre en soi adalah ada yang penuh yang identik dengan dirinya sendiri, tidak bisa menjadi diri yang lain, tidak
bisa mengkomunikasikan dirinya.
Catatan: Intersubjektivitas Sartre sama dengan pandangan Hobbes tentang bellum omnium
contra omnes. Setiap kesadaran selalu dalam konflik potensial dengan kesadaran yang lain. Yang
lain, bagi Sartre, adalah yang menguasai, neraka.

Tesis 2

Kebebasan eksistensial merupakan kemampuan dasar manusia untuk


menentukan diri dan tindakannya; kebebasan itu adalah kebebasan
dalamsituasi.

Catatan:
Kalimat Utama tesis ini adalah KEBEBASAN EKSISTENSIAL MERUPAKAN
KEMAMPUAN DASAR MANUSIA. Oleh karena itu, tesis akan diuraikan dalam kerangka:
1. Kebebasan eksistensial merupakan kemampuan dasar manusia [untuk menentukan diri dan
tindakannya]
2. Kebebasan dalam situasi

Uraian Tesis:
KEBEBASAN EKSISTENSIAL MERUPAKAN KEMAMPUAN DASAR MANUSIA
Kebebasan eksistensial (kebebasan batin, inner freedom, kebebasan pribadi, personal
freedom, kebebasan metafisik, metaphysical freedom, kebebasan kehendak, free will, liberum
arbitrium) adalah kemampuan manusia untuk menentukan diri, tindakan, dan sikapnya.
Disebut kebebasan eksistensial, karena kebebasan melekat dalam hakekat manusia sebagai
eksistensi; kebebasan batin, karena ada di dalam diri manusia dan tidak dapat dihapus oleh
paksaan dari luar; personal freedom, karena kebebasan ini membedakan tindakan manusia dari
kejadian alami; kebebasan metafisik, karena tidak dapat secara empiris diobservasi, tetapi real
ada.
Kebebasan ini bersifat fundamental sebagai kemampuan dasar karena:
1. dengannya, manusia mampu mengambil jarak terhadap realitas di sekelilingnya; ia dapat
menangkap realitas itu sebagai objek yang dapat diamati dan dipertimbangkan (memilih
mengobjektivasi realitas).
2. dengannya, manusia mampu mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Demikianlah
manusia menyadari diri (Thomas Aquinas: manusia memiliki kemampuan reditio completa
in seipsum, mampu menyadari dirinya. John Macquarrie: cara bereksistensi yang khas
manusiawi muncul dari tindakan negasi, dalam arti bahwa manusia mengambil jarak dirinya
sendiri dari alam atau dunia benda. Pengambilan jarak inilah yang telah menciptakan
terobosan sehingga memungkinkan kebebasan manusia dan transendensi. Manusia telah
melangkah keluar dari jalinan erat kekuatan, yang disebut alam, sehingga ia tidak
sepenuhnya diatur oleh hukum alam.)
3. adanya keterbukaan kepada Yang Tak Terbatas.
Kenyataan bahwa hidup manusia selalu dihadapkan pada yang baik tetapi terbataswalau
akal budi atau intelek manusia terarah kepada yang tak terbatas, demikian juga kehendak
manusia terarah pada kebaikan yang tak terbatasmengafirmasi bahwa ia tidak dipaksakan
untuk menghendakinya karena yang baik itu bukan kebaikan penuh atau kebaikan tak
terbatas. Dengan kata lain, kebaikan yang direpresentasikan kepada kehendak adalah
kebaikan terbatas. Oleh karena itu, bila kehendak menerimanya, ia menerima tanpa
keterpaksaan. Selama masih ada dalam pikiran, kehendak jelas belum menentukan. Baru
kemudian, kehendak memilih yang spesifik. Kebebasan, alhasil, disebut kebebasan
kehendak.

Catatan:
Lebih dari kemampuan negatif untuk mengambil jarak terhadap alam dan dirinya, dalam diri
manusia terdapat kemampuan mengarahkan (hegemonikon, dari kata hegesthai, membimbing
Yun). Dengan kata ini dimaksudkan suatu kemampuan sadar dan rasional yang mengarahkan,
mempersatukan, dan membedakan tindakan dan sikap manusia.
Momen Pelaksanaan kehendak bebas menurut Thomas Aquinas terbagi ke dalam tiga
momen:
(1) deliberasi (pertimbangan): merupakan fase eksplorasi, peyelidikan tentang objek yang
mau dicapai atau tindakan untuk dilaksanakan. Suatu tindakan disebut bebas, kalau orang
mengetahui apa yang dikehendaki dan memeriksa semuanya dengan saksama.
(2) Penilaian: setelah didapat informasi, orang menilai pro dan kontranya: apakah cukup
menguntungkan atau tidak. Fase ini belum tentu membawa kepada pilihan tindakan akrena
masih merupakan penilaian abstrak.
(3) Tindakan bebas terjadi dalam pemilihan atau keputusan, yang merupakan perbuatan
yang kompleks dan yang merupakan hasil dari suatu dialog antara akal budi dan kehendak.
Dalam pemilihan, ada unsur kognitif dan apetitif (dorongan kehendak).
Kaitan ketiga macam kebebasan adalah (1) kebebasan eksistensial adalah kemampuan
manusia untuk menentukan diri, tindakan dan sikapnya, (2) kebebasan dapat berarti juga status
atau keadaan sempurna yang telah dicapai oleh manusia. Dengan kata libertas dalam liberum
arbitrium, diungkapkanlah keadaan di mana manusia telah mencapai keotentikan diri walau jelas
perwujudannya tidak ada yang definitif dalam berbagai bidang kehidupan, dan (3) kebebasan
dimengerti sebagai kondisi yang memungkinkan perwujudan kebebasan dalam arti pertama.
Demikianlah, kebebasan eksistensial adalah titik tolak untuk bertindak; bertindak ada tujuan
yang mau dicapai, ialah kebebasan sebagai kesempurnaan dan untuk mengaktualisasi kebebasan
eksistensial harus ada kondisi yang memungkinkan atau sarana yang memungkinkan

KEBEBASAN DALAM SITUASI


Kebebasan manusia jelaslah merupakan kebebasan-dalam-situasi. Manusia berada-di-dunia
dengan kebebasannya. Manusia mewujudkan dirinya bersama dengan yang lain dalam suatu
kebudayaan yang telah ada dan harus diasimilasi sejak manusia masih bayi. Kebebasan manusia
adalah kebebasan dalam faktisitas dan situasi, antara lain:
Dunia material, alami, dan biologis dengan kekuatan dan struktur di dalamnya. Iklim,
bencana, penyakit dan yang mewujudkan situasi fundamental.
Waktu di mana manusia harus mewujudkan diri secara bertahap, tidak mungkin dicapai
dengan satu tindakan saja
Ruang yang membatasi gerak, ruang sosial di mana manusia menjumpai yang lain
Kondisi warisan genetik
Opini publik yang mengkondisikan cara pandang
Pilihan-pilihan yang telah dilakukan, pekerjaan, karir
Kekuatan bawah sadar
Kondisi budaya
Semuanya membatasi kemungkinan bertindak secara bebas, tetapi tidak menghapus seluruh
kebebasan. Setiap situasi membeirkan pula kemungkinan yang spesifik. Misalnya, seorang anak
yang lahir dari keluarga yang miskin mempunyai keterbatasan dalam kebebasannya, tetapi aspek
kebebasan tertentu tidak dimiliki oleh anak dari keluarga yang kaya. Situasi dapat digunakan
untuk merealisasikan suatu bentuk kebebasan. Antara determinisme hukum alam dan kebebasan
manusia yang berorientasi makna jelas tidak harus dipertentangkan. Determinisme alam justru
memungkinkan manusia mewujudkan kebebasannya.

TESIS 3

Ada beberapa pandangan mengenai kematian: Martin Heidegger, Jean-Paul


Satre, dan Albert Camus. Kematian memiliki nilai edukatif dan bukan
merupakan kata akhir.

Uraian Tesis:
1. Kematian dalam Filsafat Manusia
2. Kematian menurut Martin Heidegger
3. Kematian menurut Jean-Paul Satre
4. Kematian menurut Albert Camus
5. Nilai edukatif kematian
KEMATIAN DALAM FILSAFAT MANUSIA
Manusia menyadari dirinya sebagai eksistensi bertubuh. Demikianlah manusia pun
mengalami keterbatasan tubuhnya yang berpuncak pada kematian tubuh. Ia sadar akan kematian
yang menimpanya. Hidup dihayati seraya akan tiba saatnya kematian itu menimpa. Artinya,
kesadaran akan kematian dan kesadaran akan kehidupannya secara menyeluruhmulai dari
kelahiran, hidup, hingga kematiannyamembuat manusia memiliki hubungan yang khas
dengan waktu. Kesadaran inilah yang memungkinkan manusia dapat mencegah kematian
menjadi kemusnahan semata-mata.

KEMATIAN MENURUT MARTIN HEIDEGGER (18891976)


Kematian terkait dengan keotentikan eksistensi manusia dan ditunjukkan untuk
mengungkapkan keterbukaan manusia pada Ada (Sein). Tentang imortalitas jelas tidak
dibicarakan karena bagi Heidegger, kematian bukanlah suatu fakta yang semata-mata ekstrinsik
yang menerobos eksistensi yang sudah mapan dan sudah mengaktualisasikan diri. Bahkan,
Heidegger sendiri mendefinisikan bahwa eksistensi manusia adalah ada-menuju-kematian. Maut
sudah ada dalam eksistensi manusia.
Bagi Heidegger, kematian bermakna positif. Dengan kematian, dimungkinkanlah kehidupan
ini bermakna. Adalah suatu kemustahilan untuk mengatakan bahwa hidup akan bermakna jika
tidak ada kematian karena yang terjadi tidak lebih dari rangkaian peristiwa yang terus-menerus.
Baginya jelas. Kehidupan manusia hanya bernilai dan ada dalam kesatuan bila ada akhir hidup,
suatu batas yang memberi perspektif. Dalam perspektif ini, berbagai peristiwa dan kemungkinan
hidup dilihat dalam antar-kaitannya sebagai bagian dari keseluruhan yang memberikannya
makna. Kematian, alhasil, adalah faktor asasi dalam eksistensi manusia yang terbatas. Ajakan
Heidegger adalah untuk mengantisipasi kematian secara realistik. Demikianlah, kehidupan
dipandang sebagai keseluruhan yang terbatas dan dihayati dengan suatu tujuan. Bagi Heidegger,
keotentikan eksistensi terwujud, manakala manusia dengan dingin dan realistik menghadapi
keharusan tak terelakkan dari kematian. Dalam menghadapi kematian itu, tidak ada orang lain
yang dpat berpartisipasi, di situlah manusia menjadi bebas dan otentik. Tak seorang pun dapat
mati menggantikan orang lain yang mati. Orang menghadapi kematian dengan
tanggungjawabnya sendiri dalam kesepian sempurna penuh. Melihat dengan jelas hal itu, dan
menghadapi kemungkinan itu adalah satu-satunya jalan keotentikan manusia.
Heidegger tidak berbicara tentang absurditas, bahkan menolak secara eksplisit bunuh diri.
Menurutnya, orang harus menantikan kematian, yaitu mengantisipasi kematian yang tak
terelakkan. Sikap ini bukanlah menghadapkan, justru merupakan ketiadaan pengharapan. Segala
kemungkinan, segala perencanaan konkret dan setiap pekerjaan, semuanya dilingkupi oleh
ketiadaan. Dunia di mana manusia bertempat tinggal, menolak untuk menjadi rumah manusia,
yang merupakan ada-di-dunia. Dunia menjadi tidak hospitable lagi bagi manusia. Hanya dalam
kebesaran yang tragis dan sepi dari kematian itulah manusia dapat menemukan dirinya sendiri.
Kebebasan menjadi kebebasan menuju kematian.
Dengan kata antisipasi, tidak dimaksudkan sebagai eskaton dalam pandangan Kristiani.
Hidup dihayati dengan intensif bukan ekstensif, dalam arti hidup yang tidak dilihat nilainya dari
panjang umur, tetapi dari makna yang dihayatinya.

KEMATIAN MENURUT JEAN-PAUL SARTRE


Bagi Sartre, sifat mendadak dari kematian dan siapa pun dapat terkena maut kapan pun, di
mana pun dan dengan cara apa pun, membuat orang melihatnya sebagai sesuatu yang membuat
frustrasi dan tanpa arti. Hidup manusia pada akhirnya adalah kemubaziran, suatu kejadian tanpa
arti dalam suatu proses kosmik. Selain menyingkirkan semua makna dari kehidupan, kematian
tidak dapat diangkat dengan diintegrasikan dalam perencanaan eksistensial manusia. Kematian
bukanlah dimensi konstitutif eksistensi. Dengan demikian, jelaslah bahwa garis hidup manusia
bukanlah sebagai perjalanan menuju kematian, apalagi sebagai penantian kematian. Fakta bahwa
ia harus mati jelas. Tetapi tidak pernah ia mengharapkan kematian. Setiap orang menemukan
dirinya alam kondisi yang sama, yaitu terkutuk untuk mati. Kematian datang dari luar dan
mematahkan secara radikal eksistensi manusia yang terarah kepada kebebasan dan dalam
kebebasan. Kematian bukanlah kemungkinan untuk tidak lagi mampu mewujudkan kehadiranku
di dunia, tetapi suatu peniadaan kemungkinanku.
Sartre menyangkal bahwa kematian dapat memberikan suatu bentuk keotentikan pada
eksistensi manusia. Sebaliknya kematian mengejawantahkan absurditas yang menjadi ciri
manusia, karena kematian mematahkan dengan dahsyat setiap rencana, kebebasan pribadi, dan
makna dari eksistensi. Dengan kata lain, kematian sama sekali bukan struktur ontologis ada-ku,
paling sedikit sejauh aku adalah being for itself (manusia yang sadar yang selalu menjadi subjek
dengan menjadikan yang lain objek). Kematian tidak lain anllala sebuah data yang given, suatu
batas dari luar dan fakta yang pengalaman dengan subjektivitas saya.
Tentang bunuh diri, Sartre mengatakan bahwa lebih baik hidup di masa sekarang dengan
membuat berbagai pengalaman sejauh mungkin oleh kebebasan. Bunuh diri juga suatu
absurditas.

Ringkasan Pendapat Sartre:


1. Kematian adalah sesuatu yang datang dari luar memotong eksistensi manusia. Kematian
menjadikan kebebasan manusia menjadi tak bermakna sehingga hidup manusia hancur dan
tak ada artinya. Kematian adalah fakta yang datang dari luar, tidak melekat secara inheren
dalam diri manusia.
2. Kematian adalah sesuatu yang menjadikan hidup manusia di dunia tidak mungkin lagi.
Kematian membuat hidup manusia sia-sia.
3. Kematian membuat manusia tidak otentik, memotong manusia sebagai subjek yang bebas.
4. Kematian bukanlah ketakterbatasan manusia. Kebebasan manusia adalah tak terbatas, namu
jika mati, hidup menjadi konyol.

KEMATIAN MENURUT ALBERT CAMUS (19131960)


Menurut Camus, hidup itu absurd. Absurditas kehidupan inilah yang dihayati secara
emosional dan intelektual, bahkan dapat dikatakan, dalam absurditas itulah orang menjadi
bahagia. Segala nilai tidak dapat dipercaya, karena absurd. Akhir dari absurditas itu adalah
kematian yang juga absurd.
Layaknya Nietzsche, Camus mengakui kematian Allah dan bersama itu perasaan terisolir,
yaitu ketika nilai-nilai yang datang dari luar tidak dapat dipercaya. Kita berusaha meletakkan
dasar kehidupan kita pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang solid, sesuatu yang benar,
sesuatu di luar diri kita, tetapi semuanya itu ilusi. Alhasil, agama bukan sesuatu yang dapat
menyelesaikan masalah, tetapi hanya sebuah pelarian diri.
Absurditas muncul pula pada saat kita mengkontemplasikan berlalunya waktu. Kita hidup
untuk masa depan. Kita memikirkan diri kita sebagai yang akan menjadi sesuatu. Namun,
berlalunya waktu berarti juga berlalunya kehidupan kita dan akhir masa depan. Maka apa yang
dirindukan adalah apa yang harus ditolak. Kematian adalah suatu fakta yang sama. Ia adalah
suatu fakta kehidupan dan kematian membuat kita merasa bahwa tak satu pun dari keinginan
kita dan usaha kita mempunyai makna.
Jalan tengah ketiadaan pengharapan dan penolakan absurditas radikal: untuk waktu
tertentu, manusia berhasil menyingkirkan kesadaran akan kematian itu dengan menenggelamkan
diri dalam anonimitas kehidupan modern. Pada suatu hari kelak kondisi sebenarnya dari
eksistensi akan muncul dengna kejamnya. Kematian akan tampak sebagai alienasi fundamental
eksistensi manusia. Camus menolak salto ke dalam agama, karena itu berarti mencari alih
untuk tidak melibatkan diri. Lalu, apa yang masih dapat dilakukan di hadapan kematian?
Berusahalah bila mungkin untuk hidup tanpa pengharapan, tetapi tanpa terjatuh dalam
keputusasaan radikal. Apakah relevansi eksistensial situasi yang absurd ini? Apakah masih ada
alasan untuk hidup terus apabila pengharapan dan rencana kita menuju kematian? Menurut
Camus ada kebahagiaan, kegembiraan dan ketenangan dalam menghayati kehidupan dengan
kesadaran akan absurditas. Konsekuensi dari penghayatan akan absurditas adalah berontak, yaitu
konfrontasi terus menerus antara diri manusia dengan kegelapannya. Pemberontakan akan
menantang dunia secara baru dalam setiap detikPemberontakan bukan aspirasi, karena tak ada
harapan. Pemberontakan adalah kepastian menghancurkan nasib, tanpa menyerah lepada nasib
yang menyertainya. Namur pemberontakan tidka memcahkan masalah bahwa kehidupan ini
tanpa arti, tetapi pemberontakan itu membawa kontemplasi mengenai absurditas yang memberi
kebebasan dan kebahagiaan. Kebebaan bukanlah kebebaan metafisik yang diberikan Allah pada
manusia. Kebebasan bukan kemampuan berkehendak. Manusia absurd mencapai kebebasan
batin ketika ia meninggalkan ilusi yang mendasari hidupnya. Dulu kita dibatasi oleh masa
depan, oleh kepercayaan bahwa kita akan menjadi apa yang kita kehendaki atau apa yang kita
harapkan. Seperti dikatakan Camus, kita menjadi budak tujuan-tujuan kita. Kita mencapai
kebebaan yang absurd bila kita menyadari bahwa kita tidak dapat menemukan makna di dalam
dunia atau dalam hubungan kita dengan dunia, dan makna apa pun yang kita konstruksikan akan
lenyap bersama kematian. Maka Camus mempunyai pandangan yang sama dengan Nietzsche:
nilai-nilai objektif menguasai diri kita; kita menjadi budaknya. Maka ketika kita menyingkirkan
ilusi tentang kebebaan, kita dibebaskan. Suatu kebebasan absurd adalah membebaskan, tetapi
hal itu juga absurd karena kebebaan absurd itu meninggalkan diri kita sendirian tanpa makna.
Tentang bunuh diri, Camus menolaknya sebagai sesuatu yang tak dapat dihindari. Ia
menolak pula bahwa bunuh diri merupakan konsekuensi dari refleksinya tentang absurditas.
Menyelesaikan masalah ketidakberartian hidup dengan mengarahkan hidup kita ke masa depan
merupakan solusi semu. Orang tak dapat mengatasi ketidakberartian, tetapi orang dapat
memperoleh kebahagiaan dari ketidakberartian itu dengan cara menjadikannya hidup, dengan
mengkontem-plasikan ketidakberartian itu. Maka, Camus mengatakan bahwa kehidupan akan
dihayati dengan lebih baik apabila tidak ada artinya. Karena absurditas (ketidakberartian)
membawa sinar, kebebasan yang absurd akan kebahagiaan. Ketika kita mengetahui
ketidakberartian hidup dan menjadi sadar akan absurditas, kita mencapai suatu kemenangan atas
absurditas.

NILAI EDUKATIF KEMATIAN


Heidegger mengatakan bahwa kesadaran akan kematian dan penerimaan kematian yang
berarti penerimaan keterbatasn membuat eksistensi manusia otentik, yaitu eksistensi yang
bertanggungjawab. Dalam arti ini, kematian mendidik manusia. Yang mendidik bukan kematian
in se karena kematian mencabut manusia dari dunia dan mengancam makna hidup manusia.
Yang mendidik manusia adalah kondisi dapat matinya manusia yang disadari oleh manusia.
Yang mendidik manusia bukan pula kesadaran bahwa sesudah mati masih terus hidup. Aspek-
aspek edukatif kematian:
1. Manusia dapat menunda kematian, memperbaiki kondisi hidup. Manusia dapat
menciptakan tatanan-tatanan yang lebih baik dalam bidang kesehatan.
2. Kematian manusia membuat segala realitas dunia ini relatif, tidak bisa dimutlakkan. Anda
tidak bisa memiliki segala benda sesudah mati. Jadi, barang-barang itu menjadi relatif.
3. Menurut Levinas, fakta kematian membuat manusia meneruskan hidupnya sendiri,
memperpanjang kesinambungan keturunannya.
4. Kematian membuat status tidak bernilai lagi.
5. Dengan kematian, anda bisa melihat totalitas kehidupan Anda.

Sesudah kematian, apa selesai begitu saja? Apa masih ada sesuatu? Tubuh hancur, apa eksistensi
Anda hancur?
1. Seluruh hidup Anda tidak identik dengan tubuh Anda. Tubuh bukanlah totalitas
keseluruhan manusia. Anda hancur total bila identik 100% dengan tubuh. Tubuh tidak
identik dengan seluruh manusia. Jadi, dengan kata lain, hidup manusia bukanlah secara
keseluruhan proses alami dan tidak melulu tergantung pada hukum alam. Diri manusia
tidak bisa direduksi ke dalam kejasmaniannya.
2. Menurut Teilhard de Chardin, manusia bertanggungjawab untuk mengarahkan evolusi
dunia ini ke dunia yang lebih bertanggungjawab, beradab. Tidak lagi sesuatu setelah mati;
akan mubasir bila tidak berlangsung terus-menerus.
3. Menurut Gabriel Marcel, bila aku mencintai kamu, maka kamu tidak boleh mati. Artinya,
aku berharap kamu tetap hidup kekal walaupun manusia akan mati.
4. Menurut Karl Rahner, manusia tidak dapat hidup tanpa tubuh. Pada saat hidup, manusia
terikat pada tubuhnya. Sesudah kematian, manusia terikat pada tubuh kosmis (memiliki
relasi lebih luas dengan dunia).
Kematian membuat anda sadar bahwa manusia terbatas dan bukan dasar dari keseluruhan
hidupnya karena tidak menguasai 100% kehidupannya. Namun dasarnya terletak pada yang lain,
yang paling fundamental. Pengakuan fundamentalis (pilihan dasar), saat mati, antara mengakui
kemandirianku di atas yang lain atau mengakui keterbatasan (tergantung pada yang lain yang
memberi hidup). Maka, implikasi psikologis untuk menerima keterbatasannya, manusia harus
memilih. Saat hidup, orang bisa mengatakan bahwa ia mandiri, namun saat mati, orang mau tak
mau mengakui bahwa ia tergantung pada yang lain.

Anda mungkin juga menyukai