Anda di halaman 1dari 15

II.

Filsafat Ketuhanan

Tesis 4
Tiga bentuk ateisme filosofis modern paling utama adalah yang diajukan
oleh Feuerbach, Freud, dan Sartre. Menurut Feuerbach, agama hanyalah
proyeksi diri manusia yang terasing daripadanya. Menurut Freud, agama
itu sebuah neurosis kolektif umat manusia. Menurut Sartre, Tuhan tidak
bisa ada karena kalau Tuhan ada, manusia tidak lagi bebas. Berilah
tanggapan!

Uraian Tesis:
1. Ateisme Feuerbach
2. Ateisme Freud
3. Ateisme Sartre

[1] Ateisme Feuerbach


Kata kunci: ateisme (a+theos = tanpa Tuhan; pandangan atau keyakinan bahwa Tuhan
atau dewa/i tidak ada), kritik Feuerbach terhadap Hegel, teori proyeksi, individu yang terbatas,
umat manusia (gattung) yang tidak terbatas, anthropoteisme, homo homini deus,
reduksionalisme.
Dasar: Kritik Feuerbach terhadap Hegel.
Bagi Feuerbach, Hegel memutarbalikkan kenyataan dengan mengatakan bahwa kita, orang-
orang, merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera kita, tetapi di
belakangnya roh semesta mencapai tujuannya. Di situ terlihat bahwa seakan-akan yang
nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan) dan manusia (yang kelihatan) adalah wayangnya.
Feuerbach membalik hal itu dengan berpendapat bahwa bukan manusia itu pikiran Allah,
tetapi Allah adalah pikiran manusia. Manusia inderawi tidak terbantah, sedangkan roh
semesta hanya berada sebagai objek pikiran manusia. Realitas yang tidak terbantah adalah
pengalaman indrawi dan bukan pikiran spekulatif. Kita harus bertolak dari satu-satunya
realitas yang tidak dapat dibantah, kepastian indrawi.

Argumen inti: Teori Proyeksi, Anthropotheisme Feuerbach.


1) Teori proyeksi: dalam kepercayaan kepada Tuhan, manusia sebenarnya melemparkan
hakikat dan sifat-sifatnya sendiri keluar, lalu memandang produk aktivitas ini sebagai
entitas mandiri yang terpisah daripadanya, menyapaNya sebagai Tuhan dan
menyembahnya. Paham Allah hanyalah proyeksi manusia, citra, sifat-sifat, dan keinginan
umat manusia (gattung) yang dilemparkan keluar. Sifat-sifat Allah sebenarnya adalah sifat-
sifat manusia, tepatnya sifat umat manusia. Dengan begitu, agama mengungkapkan
keterasingan manusia dari dirinya sendiri.
Catatan: ingat anthropologi Feuerbach yaitu bahwa umat manusia/bangsa manusia
(gattung) itu tak terbatas, tak terhingga dan manusia individual itu terbatas. Manusia yang
terbatas dan fana lantas menginginkan ketidakterbatasan dan keabadian yang sebenarnya
sudah ada dalam dirinya sendiri sebagai ide keabadian.
2) Dengan itu, terjadi anthropotheisme (anthrophos = manusia, theos = Tuhan) Feuerbach,
yaitu bahwa manusia sebagai Allah. Paham Allah seperti diurai di atas menghalangi
manusia untuk merealisasikan potensinya, hakikatnya. Daripada berusaha untuk menjadi
seutuh dan sesempurna mungkin, manusia mengharapkan akan menerima keutuhannya dari
Allah dan kesempurnaannya di surga. Maka, manusia harus menarik agama ke dalam
dirinya sendiri. Feuerbach mengatakan homo homini deus, manusia adalah Allah bagi
sesamanya.

Kritik
1) Banyak kenyataan dalam hidup umat beragama tidak berdasarkan wahyu Allah, melainkan
merupakan hasil kreativitas maupun kepicikan umat yang bersangkutan sendiri. Melakukan
sesuatu atas nama Allah, padahal sebenarnya adalah hidden needs. Maka, dengan
mempelajari Feuerbach, orang diajak untuk mawas diri dan mewaspadai laku hidup
keagamaan, baik di lingkup pribadi maupun lingkup jemaah.
2) Tentang teori proyeksi, Feuerbach hanya bicara tentang fungsi agama dan bukan hakikat
agama. Karena itu, pertanyaan dasariah apakah Allah itu ada atau tidak, belum/tidak
tersentuh. Feuerbach tidak bisa meyakinkan bahwa Allah tidak ada. Kebalikan darinya
malahan benar: Jika dengan proyeksi, manusia menempelkan sifat-sifat baiknya kpd Allah,
maka sebenarnya sudah diakui bahwa Allah itu ada, yakni sbg tempat di mana sifat-sifat
manusia itu bisa dilekatkan.
3) Di sini dapat ditambahkan bahwa filsafat Feuerbach adalah reduksionalisme.
Reduksionalisme seakan-akan mau menelanjangi sesuatu yang luhur, misalnya mengakui
Allah; mengejar cita-cita luhur, sebagai sesuatu yang biasa, bahkan rendah. Cara berpikir
ini dapat disebut filsafat tak lain daripada, filsafat penelanjangan. Gaya itu mempunyai
obsesi untuk mencari di belakang gagasan-gagasan dan cita-cita luhur, suatu keburukan
atau kepentingan. Suatu yang secara spontan dihayati sebagai luhur dan baik direduksikan
pada sesuatu yang buruk dan rendah. Kelemahan reduksionalisme adalah pola ini
cenderung untuk tidak menghiraukan kenyataan yang ada, melainkan langsung mencari
artinya atau kenyataan atau dasar yang sebenarnya yang disangkanya ada di
belakang kenyataan itu. Yang salah bukan bahwa dicari sesuatu di belakang salah satu
sikap atau kenyataan, ttp bahwa sikap dan kenyataan itu sendiri tidak dianggap.
4) Gagasan kesempurnaan yang muncul lewat kata maha- asalnya dari mana? Kata maha-
tidak hanya mengacu sesuatu yang lebih, tetapi sesuatu yang lain daripada manusia,
yang tidak terhingga dan melampaui manusia. Nah, tokoh Yang maha- ini tidak bisa
ditemukan dalam pengalaman konkret-indrawi atau empiri sebab manusia terbatas dan
penjumlahan manusia yang terbatas tidak akan dapat menghasilkan sesuatu yang tidak
terbatas. Karena itu, kata maha- ini malahan menunjukkan bahwa mengembalikan gejala
agama pada soal psikologis dan indrawi melulu, memuat kontradiksi dalam dirinya sendiri.
Di situ terlihat pula bahwa manusia memiliki dimensi transenden sehingga ia bisa
mengalami hal-hal yang melampaui pengalaman indrawi-empiris melulu.

[2] Ateisme Freud


Kata kunci: ateisme, neurosis kolektif, ilusi infantil, ayah super
Asumsi awal: Apakah Allah Tuhan ada atau tidak tidak pernah ditanyakan. Bagi Freud
jawabannya jelas dengan sendirinya: Tentu Tuhan tidak ada. Yang ada adalah alam dengan
manusia dan segala masalahnya. Yang menjadi pertanyaan bagi Freud adalah mengapa gagasan
Tuhan sedemikian menguasai kesadaran dan kehidupan manusia, padahal Tuhan tidak dapat
dilihat, didengar ataupun dirasakan.

Argumen inti: neurosis kolektif dan ilusi infantil


(1). Neurosis: kelakuan-kelakuan dan perasaan-perasaan yang aneh dalam arti tidak sesuai
dengan kenyataan yang dihadapi. Neurosis bisa terjadi bila orang bereaksi tidak benar atas
pengalaman yang amat emosional dan memalukan. Neurosis berhubungan dengan superego:
tidak mengakui adanya emosi-emosi yang terlarang oleh superegopadahal ia belum
mengambil sikapitulah dapat menghasilkan neurosis. Penyebaban neurosis paling penting
adalah Oedipus kompleks. Sikap-sikap yang dapat menunjukkan neurosis: fobia, obsesif,
hipokhondrik (sakitan terus padahal tidak sakit), histeri, psikosomatis.
Agama adalah neurosis kolektif. Maksud kata kolektif: bukannya setiap orang beragama
secara individual mesti sakit secara neurotis dalam arti klinis. Individu biasanya beragama
karena ia menjadi besar, mengalami sosialisasi dasar, dalam masyarakat yang sudah beragama,
maka ia mempercayai dan menghayati agamanya sama seperti ia mempercayai dan menghayati
semua unsur lain pandangan dunia masyarakatnya. Jadi, neurosis kolektif adalah neurosis
bersama sekelompok orang.
Orang beragama menunjukkan neurosis kolektif dengan ciri-ciri sebagai berikut. Orang-
orang beragama menjalani agamanya supaya selamat, tetapitentu dengan pengandaian tidak
ada Allahsebenarnya agama sama sekali tidak menyelamatkan manusia dari pelbagai
malapetaka. Orang melakukan pelbagai perintah agama karena takut dihukum Allah. Allah
adalah ayah super yang ditakuti dan sekaligus dicintai. Ada perasaan takut berlebihan apabila
hukum Allah dilanggar. Dengan begitu, agama menggagalkan kemungkinan manusia untuk
mengembangkan diri dan mencapai tingkat kebahagiaan yang sebenarnya dapat saja dicapai.

(2). Ilusi infantil: keyakinan bahwa suatu harapan akan terpenuhi, bukan karena kenyataan
mendukung harapan itu, melainkan karena orang menginginkannya; infantil karena:
mengharapkan agar apa yang diinginkan sungguh-sungguh akan terpenuhi adalah ciri khas anak
kecil.
Agama membuat manusia membawa diri seperti anak kecil: ia menghadapi masalah-masalah
dunia dengan wishful thinking. Dan karenanya agama justru melumpuhkan manusia. Ia
mengharapkan keselamatan secara pasif dari Tuhan atau dewa-dewa daripada mencari sendiri
jalan untuk mengusahakannya sendiri.

(3). Kisah asal-usul agama dalam Totem und Tabu. Seorang ayah super yang memonopoli
semua perempuan dibunuh oleh anak-anak lelakinya karena iri dan benci. Namun, anak-anak
lelaki itu tetap mengagumi ayah itu. Maka, mreka mengambil alih semua peraturan dan larangan
dari ayah sebagai peraturan hidup dan ayah itu disimbolkan dalam totem. Agama adalah sistem
peraturan yang kalau dilaksanakan akan menjamin perlindungan dari ayah super.

Kritik.
1) Ada gejala neurotik dalam hidup keagamaan, misalnya jika kesadaran sehari-hari
ditentukan rasa takut; adanya intoleransi ekstrem; secara sistemik terlalu banyak berfokus
pada dosa-neraka, pada sah-tidaknya ritus; kompulsif: terus merasa wajib ini-terlarang itu
dan semakin tidak berani menggunakan nalar dan tanggungjawabnya sendiri. Namun, itu
semua tidak dapat untuk menarik kesimpulan bahwa hakikat agama adalah neurosis
kompulsif dan sikap ilusif infantil. Ada banyak bukti kebalikannya:
2) Ada banyak religius yg tidak menunjukkan tanda-tanda neurotik sama sekali. Banyak
agamawan bersikap terbuka, gembira, bertanggungjawab, berpikir tajam..
3) Ilusi infantil tidak dapat dipertahankan karena banyak orang beragama justru karena
diperkuat oleh kepercayaan akan dukungan Allah, berusaha secara aktif, sekuat tenaga, &
dengan rasional mengatasi kejelekan-kejelekan di dunia nyata ini.
4) Agama irasional bila menuntut dan mendukung sikap-sikap melawan kehidupan. Tetapi
kenyataannya, agama-agama pada umumnya mendukung kehidupan dan pengembangan
diri manusia, memberi semangat kepada manusia.
5) Ritus adalah rasional, tentu atas dasar bahwa Allah memang ada. Banyak agama punya
ritus yang indah, yang merupakan sumber kekuatan batin yang ditimba dari keyakinan
bergama dan membuat manusia menjadi kuat untuk di luar gereja secara aktif menjalankan
tugasnya.
6) Catatan tentang Totem und Tabu: mitos belaka yang tidak didukung pertimbangan ilmiah
apapun.
[3] Ateisme J.P. Sartre
Kata kunci: ateisme, tre-en-soi, tre-pour-soi, menidak, kebebasan, kodrat, esensi, eksistensi.
Argumen inti: paham kesadaran dan konsep kebebasan
- Paham kesadaran.
Ada dua cara mengada: tre-en-soi (ada-pada-dirinya) dan tre-pour-soi (ada-bagi-dirinya).
tre-en-soi adalah Ada dari benda-benda; adalah realitas ajeg-positif-padat-objektif dari
benda-benda; ia adalah apa yang ada begitu saja dan identik dengan dirinya (it is what it is),
tidak tergantung pada kesadaran.
tre-pour-soi adalah Ada khas manusia yang ditandai dengan kesadaran. Kesadaran ini
tidak pernah identik dengan dirinya sendiri, melainkan mempunyai kemampuan untuk
penolakan atau selalu menidak. Artinya berkat kesadarannya manusia selalu dapat
mengasi apa yang mau menentukan dia, hal yang tidak bisa dilakukan oleh benda-benda.
Perbedaan antara tre-en-soi dan tre-pour-soi diungkapkan dengan lebih baik kalau
diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Adanya tre-en-soi itu thingness, sedangkan adanya
tre-pour-soi itu nothingness, dalam arti no-thingness. Contoh: aku-yang-membaca-buku
berbeda dengan aku-yang-menyadari-aku-yang-membaca-buku.
Dengan dua hal tersebut, menurut Sartre persesuaian antara Ada dan kesadaran tidak
pernah akan tercapai karena kesadaran mengarah pada ketiadaan dari Ada. Sebagai tre-
pour-soi, kesadaran selalu mau menembus dan melampaui kepadatan dan keajegan tre-en-
soi. Realitas dari kesadaran tidak lain adalah ketiadaan dari Ada: kekosongan yang
diakibatkan oleh kemampuan kesadaran menegasi Ada.
Seandainya Tuhan ada, maka Ia mestinya adalah identitas penuh dari Ada dan kesadaran,
kesatuan dari tre-en-soi dan tre-pour-soi. Allah seperti ini mustahil terjadi karena
mengandung banyak kontradiksi yang takterdamaikan. Maka pada level pemikiran
ontologis ini, Allah tidak mungkin.
- Kebebasan versus Allah.
Di sini adalah level pemikiran praktis. Paham kesadaran yang selalu menidak digunakan
Sartre untuk menolak kodrat manusia. Kodrat: substratum tetap yang ditentukan dari
sono-nya oleh Allah. Kalau ada kodrat, berarti sejak semula ada rencana tertentu, ada
esensi tertentu yang menentukan. Ini berarti esensi mendahului eksistensi; eksistensi hanya
boleh dianggap sebagai perkembangan dan pengkhususan dari esensi.
Cara berpikir seperti itu terbalik, menurut Sartre. Baginya, eksistensi mendahului esensi.
Artinya, manusia harus lebih dulu merealisasikan diri dengan segenap kekuatannya,
menjadi eksis dan menegasi terus-menerus keadaannya. Baru dari situ, ia memperoleh
esensinya. Kemampuan hakiki dalam perealisasian diri dan penegasan terus-menerus
keadaan kini, di sini itulah kebebasan.
Di situlah letak masalah penerimaan Tuhan. Jika Tuhan ada, maka manusia adalah makhluk
ciptaan yang sudah dicetak sebelumnya olehNya. Ia tidak bebas, tidak bisa secara total dan
penuh kedaulatan menentukan dirinya. Kalau Tuhan ada, manusia adalah objek ciptaan
yang mempunyai kodrat tertentu. Kalau Tuhan ada, manusia tidak bisa bertanggungjawab
terhadap dirinya sendiri.

Kritik
1) Keberadaan Allah tidak harus dipahami sebagai pencabut kebebasan dan tanggung jawab
manusia. Allah juga bisa dilihat dalam paradigma kasih: mereka yang betul-betul
menghayati Allah merasa diberdayakan olehNya, diberi kekuatan justru untuk menjadi
otentik, menjadi diri sendiri.
2) Tentang paham kebebasan Sartre. Kebebasan tidak berada di ruang yang sama sekali
kosong nilai, kosong norma mengikat. Manusia selalu mengambil keputusan berhadapan
dengan pelbagai rangsangan, desakan dan nilai (dan nilai itu bukan ciptaan manusia, tetapi
karena manusia memang mencerap nilai di hadapannya). Jadi, kebebasan justru hanya
nyata berhadapan dengan pelbagai kenyataan yang bernilai. Ada berbagai macam kondisi
dan pembatasan yang justru memungkinkan kita untuk dengan bebasjadi dengan semata-
mata berdasarkan kesadaran kita sendirimengambil keputusan yang berbobot. Demikian
pula Allah, yang menantang kita dengan panggilan dan tuntutanNya, tidak menghilangkan
kebebasan kita, melainkan memberi bobot pada kebebasan itu. Allah tidak menghilangkan
kebebasan kita; Ia bukan saingan kita, melainkan acuan terhadapNya membuat
pengambilan sikap kita mendapat bobot paling mendalam.
3) Kodrat tidak berlawanan dengan kebebasan. Kodrat adalah kondisi tempat manusia
merealisasikan diri dengan pelaksanaan kebebasan. Kebebasan tidak berada dalam ruang
kosong. Karena itu, kodrat, kesadaran, kebebasan, dan perealisasian diri harus dilihat
sebagai kesatuan integral, tidak boleh dipisahkan secara mutlak apalagi dipertentangkan.
Kebebasan tidak terletak pada sebab-sebab kodrati, misal: keadaan fisik, melainkan pada
tingkat alasan atau motif.
4) Kritik yang lain akan disampaikan di tesis no.3 di bawah, tentang kemahakuasaan dan
kebebasan manusia. Ini soal kemahakuasaan Tuhan dan kebebasan manusia. Jika Tuhan
mahakuasa apakah manusia mempunyai kehendak bebas? Mengapa?

Pokok-pokok jawaban:
Tuhan tidak berkarya ditataran yang sama dengan manusia
Kenyataan di dunia ini memperlihatkan bahwa manusia dapat memilih = bebas!
Justru dalam kemandirian kita bergantung secara total dari yang ilahi.

Penjelasan:
Dalam pengalaman, manusia mengetahui bahwa ada sesuatu yang lebih besar darinya,
melampaui pengalamannya. Manusia menyebutnya Allah. Allah yang transenden, melampaui
dunia, berbeda sama sekali dengan dunia, eksistensinya sedikitpun tidak tergantung dari apakah
ada dunia atau tidak. Dengan perkataan lain, Allah itu tak terhingga atau tak terbatas.
Persoalan kemudian muncul, menurut Sartre, kalau ada Tuhan maka manusia tidak bebas lagi
dan terasing. Mengapa? Sebab:
Tuhanlah yang mengerjakan segala-galanya
Tuhan adalah tujuan segala-galanya
Segala-galanya diarahkan kepada Tuhan, bukan kepada manusia.

Tanggapan:
Tuhan tidak berkarya ditataran yang sama dengan manusia.
Allah sang Pencipta tak pernah berada ditataran yg sama dengan ciptaan-Nya shg mereka
dapat bersaing seperti tarik tambang. Anggapan mengenai adanya pertentangan diantara
keduanya muncul karena para teolog ataupun filsuf mengabaikan aspek transendensi sekaligus
imanensi Allah. Allah adalah transenden (melampaui, mengatasi, tidak terikat, mutlak) sekaligus
imanen (ada dimana-mana, meresapi segala sesuatu). Kemahakuasaan Allah dibatasi atau terikat
oleh kebebasan manusia. Sebaliknya, kebebasan manusia tidak dihambat oleh kemahakuasaan
Allah.
Kenyataan di dunia ini memperlihatkan bahwa manusia dapat memilih = bebas!
Manusia berhadapan bebas dgn produknya ttp binatang tidak. Binatang berproduksi hanya
menurut ukuran dan kebutuhan jenisnya. Sedangkan manusia berproduksi menurut hukum
keindahan. Jadi manusia dapat menghadap obyeknya dgn bebas maka dapat mengambil jarak
dan memandang pada dirinya sendiri dimensi estetis. Manusia harus selalu memilih dan
memutuskan apa yg mau dilakukannya itulah yg disebut bebas. Terhadap setiap obyek,
manusia itu bebas.
Justru dalam kemandirian kita bergantung secara total dari yang ilahi.
Kemahakuasaan Allah menjadi dasar dari kebebasan manusia. Allah menciptakan manusia
atas dasar kasih. Tanpa kebebasan tidak ada kasih yang sempurna, yang ada hanyalah paksaan.
Dalam kebebasannya semakin mandiri manusia, semakin ia tergantung pada Allah. Semakin
manusia bebas dari kecenderungan manusiawi dan benda-benda duniawi ia semakin bergantung
pada Allah.

Apa implikasi kebebasan?


Menurut Rahner, kecenderungan rohani manusia terarah pada yg tak terbatas, yg tak
terhingga. Apapun yg dihadapi manusia selalu sudah berada dlm cakrawala ketak-terhinggaan.
Hanya karena ia terarahkan pada yg tak terhingga, ia bebas terhadap yg terhingga
(kecenderungan manusiawi, benda-benda duniawi). Kebebasan nyata manusia terhadap segenap
obyek terhingga, menunjukkan bahwa ia selalu sudah menentukan diri dlm cakrawala ketak-
terhinggaan nyata. Yg tidak terhingga itu bukan salah satu obyek kecenderungan manusia,
melainkan sebuah kenyataan transendental. Bahwa dibelakang segala apa saja yg kita jumpai
dlm alam pengalaman obyek-obyek, ada sebuah realitas transenden.
Tidak dapat dijelaskan secara analitis. Ada batas prinsipil dlm memahami Tuhan. Kita tidak
dapat memahami cara Sang Pencipta bertindak.

Kebebasan: Kemampuan untuk menentukan diri sendiri sesuai dengan kemampuannya


sendiri
Imanen (Lt: in + manere = tinggal di dalam) berarti tinggal di dalam, melekat di dalam,
bekerja dari dalam. Tuhan yang imanen berarti Tuhan berada dalam struktur alam semesta
serta turut ambil bagian dalam proses-prosesnya dalam kehidupan manusia.
Transenden (Lt: trans + scandere = seberang, melampaui, memanjat) berarti melampaui apa
yang ada dalam pengalaman kita. Allah yang transenden artinya Allah yang melampaui
dunia, berbeda sama sekali dari dunia, eksistensinya sedikitpun tidak tergantung dari apakah
ada dunia atau tidak (dengan kata lain, Allah itu tak terhingga dan tak terbatas).
Tesis 5
Kenyataan bahwa manusia memiliki kesadaran moral, dengan kata lain
bahwa ia memiliki suara hati, sering dikatakan merupakan petunjuk paling
kuat adanya Allah.

Uraian Tesis:
Kata kunci: berkesadaran moral, suara hati, hati nurani, mutlak, tidak dari dunia luar, tdk dari
diri sendiri, realitas transenden, realitas yg mutlak, personal dan suci.
Argumen inti: Enam langkah bagaimana kesadaran moral menunjuk pada Allah:
Manusia berkesadaran moral.
Kesadaran moral: kesadaran bahwa perbuatan kita bisa bernilai baik atau buruk dan
bahwa kualitas kita sebagai manusia tergantung dari apakah kita memilih yang baik
daripada yang buruk. Suara hati: kesadaran moral dalam situasi konkret.
Dalam kesadaran moral manusia sadar bahwa ia mutlak wajib untuk memilih yang benar.
Suara hati mutlak karena tuntutannya tidak bisa ditawar-tawar oleh segala pertimbangan
kepentingan atau kesenangan seseorang.
Kesadaran itu berakar dalam hati nurani. Dalam batin kita ada sebuah suara yang tidak
henti-hentinya berseru agar kita selalu memilih yang baik dan benar, jujur, adil, dst. Tetapi
berhadapan dengan situasi konkret, nalar kita harus memutuskan apa yang baik, adil, jujur,
dst. itu. Karena nalar bisa keliru, keputusan itu pun bisa keliru. Tapi suara batin itu akan
tetap terarah pada yang baik dan benar. Itulah hati nurani.
Hati nurani: keterarahan hati manusia kepada yang baik, jujur, adil, kepada nilai moral;
adalah kesadaran mendasar yang menjadi latar belakang segenap sikap yang kita ambil,
bahwa kapanpun, bagaimanapun, dalam situasi apapun kita harus memilih yang baik dan
bukan yang jahat, yang jujur dan bukan yang takjujur, yang adil dan bukan yang takadil,
setia dan bukan taksetia, dst.

Kesadaran ini tidak tergoyahkan dan bersifat mutlak.


Kesadaran akan kewajiban mutlak ini tidak berasal dari dunia luar dan juga tidak dari diri
kita sendiri. Pertama, tidak mungkin dari dunia luar karena karena tuntutan apapun dari luar
justru selalu masih dipertanyakan oleh suara hati, apakah sesuai dengan hati nurani atau
tidak. Kedua, tidak mungkin berasal dari diri sendiri karena tidak mungkin orang
mewajibkan dirinya sendiri secara mutlak; kalau ia dapat mewajibkan dirinya, ia juga dapat
mencabut kewajiban itu.
Kesadaran itu kita sadari langsung sebagai jawaban terhadap suatu tuntutan dari sebuah
realitas yang kita hadapi, daripadanya kita tidak dapat lari, di mana sikap terhadapnya
menentukan mutu kita sebagai manusia.
Suara itu dari luar kita, dari luar lingkungan kita, dari luar dunia. Suara itu transenden.
Suara itu mutlak karena melampaui segala apa dan karena itu oleh segala apapun tidak
dapat digoncangkan. Dalam suara hati kita berhadapan dengan realitas transenden.

Realitas itu bersifat mutlak, personal, dan suci dan itulah yang kita sebut Allah.
Yang khas pada realitas yang transenden dan mutlak itu adalah memanggil dan menuntut;
kita merasa berkewajiban terhadapnya. Yang bisa memanggil dan menuntut hanyalah
realitas yang personal. Kita juga menyadarinya sebagai suci karena selalu menolak yang
tidak benar. Dengan demikian kesadaran moral adalah tempat komunikasi asali manusia
dengan Yang Ilahi.
Suara hati jangan dikatakan merupakan suara Allah. Suara hati adalah suara lubuk hati kita
sendiri, namun lubuk hati yang berhadapan dengan realitas mutlak personal dan suci itu.
Dalam pengalaman inipun Yang Ilahi tidak menjadi objek pengetahuan kita (dan karena itu
implikasi suara hati, yaitu bahwa suara hati menunjuk pada Allah, bisa disangkal orang
yang secara nalar atau emosional tertutup pada Allah). Kita tidak melihat Yang Ilahi dalam
hati, tetapi menyadarinya, yaitu dalam keseriusan mutlak setiap tantangan moral.
Tesis 6
Sering dikatakan bahwa tidak mungkin mempertahankan sekaligus bahwa
Tuhan Mahakuasa dan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas.

Uraian Tesis:
Kata kunci: mahakuasa, kebebasan, win-lose, transendensi, imanensi, tidak pada dataran yang
sama, model cinta, Tuhan memberdayakan.
Argumen inti dari permasalahan.
1) Jika ada Tuhan, manusia tidak bebas lagi (Sartre), karena Tuhan mengerjakan segala-
galanya, Tuhan tujuan segala-galanya dan segala-galanya diarahkan kepada Tuhan, bukan
kepada manusia. Dengan demikian manusia akan terasing dari dirinya.
2) Agak mirip, hal itu juga mengungkapkan : Jika Allah mengetahui segala sesuatu, maka Ia
mengetahui apa yang akan datang; Ia tahu apa yang akan saya lakukan besok pagi. Lalu
bgmkah dapat dikatakan bahwa saya benar-benar bebas?
3) Dalam sejarah, hal ini tampak, misalnya, dalam pertentangan di Gereja Katolik antara
kaum Thomis yang menegaskan pengaruh Allah atas pilihan manusia dan kaum Molinis
yang menegaskan kebebasan manusia.
4) Dalam uraian pendapat di atas, terlihat bahwa kekuatan Allah dan kebebasan manusia dapat
diperbandingkan. Model pendekatannya adalah win-lose. Artinya, sejauh keputusan
ditentukan oleh manusia, ia dianggap tidak ditentukan oleh Allah. Jikalau peran Tuhan
70%, maka peran manusia tinggal 30%.Tuhan dan manusia diletakkan pada dataran yang
sama. Tuhan dan manusia bersaing sebagai dua objek yang setara. Kemahakuasaan Allah
tidak memberi ruang untuk kebebasan manusia.

Tanggapan:
1) Apakah anggapan itu betul? Pertama-tama, mari kembali kepada kenyataan: ternyata aku
bebas, secara nyata, aku bebas untuk mengetikkan huruf-huruf ini.
2) Kekhawatiran itu tidak memperhatikan sesuatu yang amat penting: transendensi dan
imanensi Allah. Transendensi: realitas mutlak melampaui dunia; Dia berbeda sama sekali
daripada dunia; eksistensiNya sedikitpun tidak tergantung dari apakah ada dunia atau tidak;
Ia memiliki kepenuhan kekayaan kemengadaan; Ia tidak terbatas, jadi tak terhingga; Ia
tidak identik dengan alam raya; Ia ada entah ada alam raya, entah tidak ada. Ia ada
melampaui apapun di dunia pengalaman kita.
Imanensi: Yang Ilahi ada di mana-mana dalam dunia; Ia meresapi apapun yang ada; tak
ada tempat di dunia ini di mana Yang Ilahi tidak ada. Dari paham transendensi dan
imanensi terlihat bahwa Tuhan dan ciptaan tidak bisa dibedakan seperti seseorang
membedakan dua objek. Tuhan berkarya di dataran yang tidak sama dengan manusia.
Dengan begitu, Tuhan tidak bersaing dengan kita.
Perbandingan: Relasi Tuhan-manusia tidak sama seperti relasi majikan dan buruh. Makin
berkuasa majikan, makin lemah buruh. Relasi Tuhan dan manusia tidak seperti itu. Makin
ciptaan mandiri, makin ciptaan itu tergantung dari Penciptanya; tergantung dalam arti
menerima eksistensi dariNya. Makin tinggi eksistensi, jadi makin ciptaan itu tergantung
dari Penciptanya, makin ia memiliki eksistensi yang lebih kuat, lebih mampu untuk
bertindak sendiri.
Model untuk ini adalah cinta. Makin sempurna cinta, makin satu dengan yang lain
tergantung, dalam arti seakan-akan tidak bisa hidup tanpa yang lain. Namun,
ketergantungan itu tidak memperlemah, sebaliknya memperkuat identitas dan kemandirian
masing-masing.
3) Tentang kemahakuasaan dan kebebasan. Pertama, dalam kenyataan, aku merasakan
kebebasan itu, misalnya bebas untuk mengetik kata ini. Kedua, Allah dan manusia tidak
bersaing dan bekerja di dataran yang sama. Relasi Tuhan dan manusia tidak win-lose: kalau
kalau keputusan dari Tuhan 70%, maka keputusan manusia 30%. Antara dua makhluk yang
terbatas dan tidak mutlak memang terjadi persaingan. Tetapi lain halnya antara Tuhan-
manusia. Manusia memang nyata-nyata ada dan ia berkegiatan. Namun, seluruh
eksistensinya dan apapun yang dilakukannya, seluruhnya ditunjang oleh pengada yang
mutlak, oleh Yang Ilahi.
Dengan kata lain, Tuhan memberdayakan ciptaanNya. Menciptakan berarti memberi daya
dan karena itu ketergantungan ciptaan dari Pencipta tidak bisa sama sekali dipahami seperti
ketergantungan wayang dari dalang. Makin tinggi eksistensinya, makin besar
ketergantungan kepada Allah itu. Makin kental imanensi, makin kental kemahakuasaan
Allah dalam suatu makhluk, makin makhluk itu memiliki eksistensi dan mampu untuk
menentukan dirinya dengan bebas.

Anda mungkin juga menyukai