Anda di halaman 1dari 13

Pengertian Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa
yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis.2 Aliran ini bersedia menerima segala sesutau, asal saja
hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis
semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat
yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah
“manfaat bagi hidup praktis”.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini
biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis,
maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu
jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan
keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang melihat bahwa kriteria kebenaran adalah,
apakah itu memiliki kegunaan untuk kehidupan nyata. Oleh karena itu, kebenaran
sifatnya relatif tidak mutlak. Mungkin konsep atau peraturan tidak benar-benar
memanfaatkan komunitas tertentu, namun bermanfaat bagi komunitas lain. Jadi konsep
itu dinyatakan benar oleh masyarakat kedua.

Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun


berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang
disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2)
absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.
Metafisika Pragmatisme
Filsafat pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi pertikaian
idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan sintesis antara keduanya.
Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat yang memakai sebab-sebab
praktis dari pikiran serta kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan
kebenaran. Di sini pandangan William James tentang pragmatism agaknya mewakili
pertanyaan kita tentang pragmatism tersebut. pragmatisme adalah sikap memandang
jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip, serta kategori-kategori yang
dianggap sangat penting untuk melihat ke depan pada benda-benda terakhir
berdasarkan akibat dan fakta-fakta.
Dalam penjabaran William di atas, kita bisa mengetahui betapa filsafat pragmatisme
selalu menjadi pemikiran filsafat yang didasarkan pada metode dan pendirian
ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat sistematis. Oleh karena itu, pragmatisme
kerap pula disadari sebagai upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan
metode sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan
begitu menentukan.
Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu
pemikiran metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang selalu memandang bahwa
dalam hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolute dan berada di luar jangkauan
pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi mereka seandainya pun realitas
adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu
mengetahui hal itu.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa epistemology pragmatisme sepenuhnya berbasis
pendekatan empiris : apa yang bisa dirasakan itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan
materi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab hanya dengan
mengalamilah pengetahuan itu dapat diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika
sesuatu dapat diterima kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis tidak nyaris
pernah mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang pernah
mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.
Corak paling kuat dari pragmatism adalah kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan.
Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada kebenaran sains, bukan
pada hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam pragmatisme pengetahuan tidak selalu
mesti diidentikkan dengan kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali
terpisah. Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para
pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu tidak
perlu dikabarkan pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu diketahui
haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang qualified dan
tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula
kepercayaan tidak akan ditemukan siapapun di banyak pengetahuan.
Pandangan ini semua dibangun dengan konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh
karena itu, pragmatis sering memberi tahu kita apa yang perlu kita ketahui sering
bukanlah sesuatu yang harus kita percayai. Di sisi lain, karena konsep kegunaan, apa
yang kita yakini tidak selalu sesuatu yang pragmatisme selalu hadir bersifat relatif dan
casuistic. Sebuah kebenaran yang dianggap benar-benar valid dan berguna, di lain
waktu bisa menjadi sesuatu yang harus benar-benar terlupakan.
Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan
John Dewey.
1. William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya
adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya,
keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya
juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah
James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh
dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untyuk menjawab berbagai
masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee Will to Believe
(1897), The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatisme (1907). Di dalam
bukunya Arti Kebenaran, Arti Kebenaran, Yakobus mengemukakan tiada kebenaran
yang mutlak, yang berlaku umum, yang merupakan satu kesatuan dan segala hal yang
diketahui. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar
dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang
kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak
ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (sesuatu, dalam bentuk
jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali
dapat diubah oleh poengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya
artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.
Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup
serta kemungkinan-kemungkinan hidup.
Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman
pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal
dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di
dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita,
kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan
saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang
perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi merupakan
nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan
penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan
kasih kepada sesama dan lain-lain.
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang
mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika
sekarang. Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi
Amerika sekarang adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak
dari filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum
moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat
subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan
kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.
2. John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran
yang menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang
pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta
lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi
kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatik, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah
memberi arahan terhadap tindakan nyata. Filsafat tidak terpecahkan dalam pemikiran
metafisik yang kurang praktis, tidak bermanfaat.Dewey lebih suka memanggil sistem ini
dalam hal instrumentalisme. Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat
instrumentalisme. Oleh karena itu, filsafat harus didasarkan pada pengalaman dan
perlakuan kritis secara aktif. Dengan demikian, filsafat akan mampu merumuskan
sistem norma dan nilai.

Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat
dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam
bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana
pikiran-pikiran itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu
berfungsi dala penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap
Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang
kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada
gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk
melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa
dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini dianut oleh William
James.
1. Kritik-kritik terhadap Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
1. Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme didasarkan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari
kehidupan (sekularisme). Hal ini terbukti dari perkembangan historis kemunculan
pragmatisme, yang merupakan pengembangan empiris lebih lanjut. Dengan demikian,
dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber
pengetahuan.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan adalah jalan tengah antara kedua sisi
pemikiran. Selesainya jalan tengah, sebenarnya bisa diwujudkan antara dua ide yang
berbeda (tapi tetap memiliki pondasi yang sama).Tapi penyelesaian seperti itu tidak
bisa direalisasikan antara dua pemikiran kontradiktif. Karena dalam kasus ini hanya ada
dua kemungkinan. Yang pertama adalah mengakui keberadaan Al Khaliq yang
menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sini dibahas, apakah Al
Khaliq telah menetapkan peraturan tertentu dan manusia diwajibkan untuk
melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan memperlakukan orang-
orang setelah kematian pada keterikatan mereka dengan peraturan Al Khaliq.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat
dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi
bahkan harus dibuang dari kehidupan.
2. Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang muncul dari Empirisme rupanya menggunakan Metode Ilmiyah,
yang digunakan sebagai dasar pemikiran untuk semua bidang pemikiran, baik dari sisi
ilmu pengetahuan dan teknologi maupun ilmu sosial. Ini adalah sebuah kesalahan.
3. Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan
praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga
sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan
praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu
adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan
realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah
diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk
memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi
dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung
implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan
manusia .
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah
ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang
penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah
identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan
manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah
ide. Maka, pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya
dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan
keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan
perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan
perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki
Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui
pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil
dan tak akan pernah terjadi. Maka, pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi
internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
Implementasi Aliran Filsafat Pragmatisme
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat
belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya,
kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan
bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah
tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi
problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di
sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan
membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan
yang berkembang menjadi sarana keberhasila.
1. Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan masalah. Dengan
demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara langsung
berkaitan dengan kehidupan konkret.
2. Eksperimentalisme
Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan
demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam
bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus diuji. Lantas, kapan masyarakat bisa
menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam hidup
bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus
diuji.
3. Pendidikan
Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak dan pelajaran
yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan
yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena
minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga dengan pelajaran-pelajaran pokok
yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.
4. Moral
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat
manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya
jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis
memberi pembenaran akhir bagi proses penalaran. Karena adanya final end yang
berlaku universal ditolak dan yang ada adalah serangkaian ends-in-view maka
pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya
tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau tidak
Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara
berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam
masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan
kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan
motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus
belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh
Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme
terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut,
yaitu:
 Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan
pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
 Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan
suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk
tumbuh.
 Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang
dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah
dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat
dan kebutuhan anak tersebut.
 Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode
aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan
masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan
(inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini
membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang
pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap
siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan
pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat
tercapai.
 Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan
kebutuhannya.
Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang
mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena
pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat
juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan
yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan
situasi-situasi sosial yang ada.
KESIMPULAN
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa
yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis.
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan
John Dewey.
Seperti dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya, pragmatisme juga memiliki
kekeliruan sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat ini. Kekeliruan
pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran: (1) kritik dari segi landasan
ideologi pragmatisme, (2) kritik dari segi metode pemikiran, dan (3) kritik terhadap
pragmatisme itu sendiri.
Pragmatisme memandang bahwa siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai
kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan
membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan
kebutuhan siswa.
Daftar Pustaka
Damsar.2012. Pengantar Sosiologi Pendidikan.Jakarta : Kencana Media Prenada
Group
http://filsafatpendidikanpragmatisme.blogspot.co.id/ ( diakses pada tanggal 25
September 2015 pukul 13.00 WIB )
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/07/pragmatisme-dalam-pendidikan/ (
diakses pada tanggal 25 September 2015 pukul 13.00 WIB ).
PRAGMATISME DALAM PENDIDIKAN
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action.
Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran
berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan. Aliran ini pertama kali tumbuh di
Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20
William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. untuk mengukur
kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan
konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila
suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format
pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut.
Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik
terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.

Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi
tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu
dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain adalah
individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang
mereka miliki.

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia
berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian
dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di
luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini
kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia
yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasilan

SEJARAH FILSAFAT PRAGMATISME

Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action.
Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran
berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan. Aliran ini pertama kali tumbuh di
Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders
Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George
Herbert Mead (1863-1931).
William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-
lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak.
Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek
tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis
penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu
konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak
mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan
tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil).
Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya
ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130).

Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki
makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah
sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan
penuh perjuangan.

B. Metafisika Pragmatisme

Filsafat pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan
sintesis antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat yang memakai sebab-sebab praktis dari pikiran
serta kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Di sini pandangan William James tentang pragmatism
agaknya mewakili pertanyaan kita tentang pragmatism tersebut. pragmatisme adalah sikap memandang jauh terhadap benda-
benda pertama, prinsip-prinsip, serta kategori-kategori yang dianggap sangat penting untuk melihat ke depan pada benda-benda
terakhir berdasarkan akibat dan fakta-fakta.

Dalam penjabaran William di atas, kita bisa mengetahui betapa filsafat pragmatisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang
didasarkan pada metode dan pendirian ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat sistematis. Oleh karena itu, pragmatisme kerap
pula disadari sebagai upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan metode sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu
yang begitu fundamental dan begitu menentukan.

Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu pemikiran metafisik sebagaimana metafisika
tradisional yang selalu memandang bahwa dalam hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolute dan berada di luar jangkauan
pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi mereka seandainya pun realitas adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa
manusia tidak akan mampu mengetahui hal itu.

Pemikiran ini menunjukkan bahwa epistemology pragmatisme sepenuhnya berbasis pendekatan empiris : apa yang bisa dirasakan
itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab hanya dengan
mengalamilah pengetahuan itu dapat diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima kebenarannya. Oleh
karena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang pernah
mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.

Corak paling kuat dari pragmatism adalah kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih
ditetapkan pada kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti
diidentikkan dengan kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah. Kebenaran yang mungkin dianggap
perlu dipercayai (to believe) bagi para pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu tidak perlu
dikabarkan pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu diketahui haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada
pengamat yang qualified dan tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula kepercayaan tidak
akan ditemukan siapapun di banyak pengetahuan.

Pandangan-pandangan itu semuanya terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap
mengungkapkan betapa apa yang kita mesti ketahui keraplah bukan sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab
konsep kegunaan, apa yang ita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang pragmatisme selalu hadir menjadi relative dan
kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang
sama sekali mesti dilupakan.

C. Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan

Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format
pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut.
Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik
terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi
tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu
dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain adalah
individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang
mereka miliki.

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia
berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian
dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di
luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini
kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia
yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasila.

Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan
merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan
kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya
membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power
(Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal
pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:

1. Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam
hidup sosial dan pribadi.

2. Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan
yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.

3. Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan
kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan
kebutuhan anak tersebut.

4. Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil
bekerja), serta metode pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and
discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan,
bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama,
dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat
tercapai.

5. Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa,
tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.

Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam
ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga
diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut
kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.
Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Paham ini memandang bahwa realita merupakan interaksi antara manusia dan
lingkungannya. Manusia sebagai makhluk fisik hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis.
Manusia hakikatnya plastis dan dapat berubah, sedang pengetahuan sebagai transaksi manusia
dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Nilai sesuatu yang
relatif, selalu berubah, dan tidak tetap. Mengenai pendidikan, paham ini berpandangan bahwa
pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekontruksi dari pengalaman-pengalaman
individu (Sadullah, 2007: 125). Pembentukan pribadi anak merupakan proses menata dan
membangun kembali pengalaman-pengalaman anak, bukan proses pembentukan dari luar dan
bukan pemerkahan potensi diri. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri bukan persiapan untuk
kehidupan. Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik. Oleh karena pelajaran yang
diberikan harus didasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami dan dibicarakan. Dan
kurikulumnya, setiap pelajaran merupakan suatu kesatuan, perpaduan antara pengalaman di
sekolah dan luar sekolah. Pendidik di sini hanya sebagai fasilitator dan memberi dorongan pada
peserta didik hingga dapat berpikir ilmiah dan logis.
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu
ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil,
atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya
dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah
upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini.
Pragmatisme dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan,
tindakan, merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910)
di Amerika Serikat.[1] Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-
mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmatisme ini diangkat pada tahun
1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir
bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak
terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam
pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey
merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey
mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan.
Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di
Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-
ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme
yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri
pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis
oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-
1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu telah mempengaruhi filsafat
Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan
Neopositivisme.
Pragmatisme telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi
kapitalisme yang telah disebarkan barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama
maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah
mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia yakni standar kebenaran pemikiran dan
standar perbuatan manusia.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat
mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme
dengan mengkaji dan mengkritisinya sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi
(penghancuran bangunan ide). Pragmatisme sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan
peradaban Islam sebagai alternatif dari kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan
hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. Pemikiran John Dewey banyak
dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di
dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan
meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam
perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada
kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khususnya melalui
pendidikan. Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah,
tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral
pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada
prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat pragmatisme. Pengalaman merupakan
keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara
organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat pragmatisme Dewey dibangun
berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak
kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut
diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu
ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan
kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini,
Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan
pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan
sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan
keahliannya. Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan
manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia
berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak
boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus
berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan
kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-
nilai.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Filsafat Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari atau membahas pendidikan secara
filosofis. Filsafat dan filsafat pendidikan memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya, filsafat melandasi dan melatarbelakangi lahirnya filsafat pendidikan. Senada
juga filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang berkait, filsafat menjadi kerangka dasar
yang melandasi praktik pendidikan, dan pendidikan menjadi media aktualisasi konsep-konsep
filsafat.
Demikian pula filsafat pendidikan dan pendidikan memiliki hubungan timbal-balik yang
saling membangun dan menguntungkan untuk kemajuan dunia pendidikan yang terus
berkembang pesat, filsafat pendidikan sebagai landasan filosofis, kaidah nilai dan pola
pelaksanaan pendidikan, dan pendidikan menjadi bahan pemecahan filsafat pendidikan. Paham
pragmatis memandang bahwa realita merupakan interaksi antara manusia dan lingkungannya.
Manusia sebagai makhluk fisik hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis. Filsafat
eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Dengan
mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita. Jika manusia mampu
menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya.

Anda mungkin juga menyukai