Anda di halaman 1dari 28

FILSAFAT SEJARAH TIMUR

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita kadang hanya lewat dan mengalir begitu
saja, tanpa ada upaya untuk melakukan suatu langkah reflektif sehingga peristiwa tersebut
menjadi tidak bermakna. Seharusnya, manusia dapat berupaya untuk memberikan atau
menerapkan suatu makna kepada sejarah, hanya dengan demikian perbuatan manusia dapat
disusun secara kait-mengkait dan dapat diarahkan ke hari depan (Misnal Munir, 1997; 126).
Manusia mempunyai kewajiban etis untuk membuat gambaran hari depan sehingga sejarah
mempunyai makna. Hal ini ditegaskan oleh Ankersmit (1987: 372) bahwa makna sejarah terletak
pada kemampuan manusia secara bebas dan dengan kesadaran penuh mengenai tanggung jawab
etis dalam memilih. Bagaimana wajah hari depan itu, serta bagaimana manusia secara optimal
dapat memberi makna dan isi kepada sejarah itu. Sedang bagi Sartono Kartodirdjo (1900; 204205) sejarah mempunyai fungsionalitas, artinya sejarah tidak hanya mempunyai makna
dokumenter, tetapi juga mengandung makna apresiasif, yaitu mewujudkan kesadaran kolektif.
Pengalaman sebagai pengendapan hasil proses kebudayaan berupa suatu subjektifitas hasil
internalisasi subjek, sedangkan yang berupa objektifitas merupakan hasil eksternalisasi.
Objektifitas terus-menerus akan menghasilkan pengalaman kolektif.
Sejarah mengandung beberapa aspek. Kees Bertens dalam bukunya Panorama Filsafat
Barat Modern (1987; 193-198) menyatakan sekurang-kurangnya ada empat aspek yang
terdapat dalam sejarah. Pertama, sejarah manusia hanya dapat berlangsung dalam perkembangan
yang harmonis antara unsur spiritualitas dan materialitas. Kedua, sejarah dapat berlanjut jika
manusia bebas dalam merealisasikan diri. Ketiga, sejarah selalu berkaitan dengan waktu atau
temporalitas yang selalu kontinu. Keempat, sejarah hanya dapat terjadi jika manusia berkarya
bersama dengan manusia lain.
Dalam tulisan ini penulis ingin mencoba menggali tema filsafat sejarah Confucius, karena
dalam pemikiran Confucius hal ini belum terungkap dengan jelas, sehingga yang akan dicoba di
sini adalah sebuah penggalian filsafat tersembunyi dari pemikiran Confucius. Sebagai sebuah

penelitian kepustakaan maka langkah-langkah yang dilakukan adalah mulai dari mengumpulkan
data yang terkait dengan tema, kemudian menyusun, dan memberikan analisa kritis. Dalam
penulisannya, karya ini banyak mengacu pada penelitian Drs. Budisutrisna, M.Hum yang
berjudul Historisitas dalam pandangan Confucius.
Berbicara mengenai Confucius, dia termasuk orang yang menginginkan agar akal budi
mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam kehidupan sosial. Dalam kerangka pemahaman
kesejarahan ia pun mempelajari sejarah dan menginterpretasikannya untuk menemukan hukumhukum perkembangannya. Dalam kenyataannya ia tetap melestarikan apa yang dipandang baik
dalam kebudayaan masa lampau, tapi juga menciptakan suatu kebudayan baru yang sesuai
dengan perkembangan situasi dan kondisi. Pemikiran Confucius lebih banyak membahas
manusia sebagai individu sekaligus sebagai makhluk social. Hal ini berbeda dengan aliran besar
lainnya, yakni Taoisme yang cenderung menyoroti hubungan manusia dengan alam. Kehidupan
Confucius sendiri sudah pasti merupakan contoh yang baik bagi ajarannya. Ia mempunyai obsesi
besar untuk mengubah dunia (Fung Yu Lan, 1990: 57). Mengenai profil dari sosok Confucius
kiranya tidak begitu perlu diangkat di sini karena tokoh ini sudah cukup terkenal dalam dunia
pemikiran timur, khususnya Tiongkok.
Berdasarkan uraian di atas, terlhat bahwa filsafat Cina mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan filsafat timur lainnya. untuk itu kami sekelompok ingin mengetahui bagaimana
filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius dengan judul makalah Filsafat Sejarah Dalam
Pemikiran Confusius.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep filsafat sejarah timur?
2. Bagaimanakah filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius?
C. Tujuan
1. Menjelaskan bagaimana konsep filsafat sejarah timur.
2. Menjelaskan bagaimana filsafat sejarah dalam pemikiran Konfusius.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Filsafat Sejarah Timur
Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran yang berasal dari dunia timur
atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme

dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem pemikiran yang
luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi menjadi filsafat Hindu dan Filsafat
Buddhisme, sedangkan filsafat Cina dapat terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme.
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri
agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau
tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Pemikiran Timur, sering dianggap sebagai
pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis (Bagus Takwin, 2009:13).
Pemikiran-pemikiran tersebut lebih dianggap sebagai kepercayaan religius atau agama dari pada
filsafat, karena dianggap tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis. Selain itu, pemikiran
Timur seringkali diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian kritis; mereka
hanya menafsirkan, berupaya memahami, dan kemudian mengamalkannya. Meskipun keduanya
antara Agama dan Filsafat bertujuan menemukan kebenaran, keduanya memiliki perbedaan
mendasar. Agama mengajarkan kepatuhan, filsafat mengandalkan kemampuan berfikir kritis
yang sering tampil dalam perilaku meragukan. Akan tetapi, sebenarnya hal itu tidak bisa menjadi
kriteria untuk menentukan pemikiran Timur digolongkan sebagai filsafat atau tidak, sebab
seringkali kategorisasi 'filsafat' dan bukan 'filsafat' ditentukan oleh 'Barat' yang memaksakan
kriteria-kriterianya terhadap 'Timur'.
Definisi menurut asal kata filsafat adalah cinta kepada kebenaran (Bagus Takwin,
2009:19). Dilihat dari definisi filsafat, sebenarnya pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai
filsafat, sejauh filsafat Timur merupakan usaha manusia untuk memperoleh kebenaran, yang
didasarkan pada rasa cinta akan kebenaran itu sendiri. Pemikiran-pemikiran Timur banyak yang
memiliki kedalaman, bersifat analitis, dan kritis, bahkan melebihi pemikiran Barat, misalnya
seperti Konfusius, Lao Tzu, dan Siddharta Gautama.
Pengetahuan akan kebenaran selalu berkaitan dengan kebijaksanaan dan mengandung dua
unsur, yakni pengetahuan akan kebaikan tertinggu dan tindakan untuk mencapai kebaikan
tertinggi. Pengetahuan dan tindakan haruslah hadir di dalam diri seorang yang bijaksana. Kedua
hal ini ada di dalam pemikiran sejumlah pemikir Timur seperti Lao Tzu, Konfusius, Siddharta
Gautama, para filsuf Hindu, dan para filsuf Islam, sehingga pemikiran mereka dapat disebut
filsafat Timur.
Dalam pemikiran Barat konvensional, pengertian sistematis, radikal dan kritis seringkali
merujuk pada satu pengertian yang ketat. Setiap kriteria dibuat sedemikian sempitnya sehingga

menutup kemungkinan masuknya berbagai pemikiran lain (bagus Takwin, 2009:20). Dengan
kata lain, pernyataan itu dapat diuji dengan menggunakan logika Barat.
Padahal kalau kita melihat sejarah filsafat, pengertian filsafat tidak sesempit dan seketat
yang dikemukakan oleh Barat, bahwa masing-masing kriteria memiliki kemungkinan yang luas
dari sekedar yang diajukan para filsuf empirik, positivistik dan filsafat analitik. Pembatasan
kaum empiris, posiivistic dan filsafat analitik terkesan membekukan satu kriteria kebenaran dan
menutup kriteria kebenaran lain.
Jika kita ingin membedakan antara filsafat dan agama, merujuk pada buku Bagus Takwim,
maka jawaban paling sering ditemukan adalah: filsafat diperoleh melalui aktivitas berfikir atau
aktivitas rasional sedangkan agama diperoleh melalui aktivitas irasional. Sifat rasional dan
filsafat mengindikasikan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang terangkum di dalamnya
merupakan hasil dari kegiatan berfikir manusia.
Filsafat memanfaatkan sepenuhnya kemampuan berfikir manusia untuk memahami segala
perwujudan kenyataan. Filsafat menghindari sumber-sumber pengetahuan selain kegiatan
berpikir. Dalam filsafat, kegiatan berpikir yang dilakukan bersifat reflektif dan caranya bersifat
spekulatif dalam arti materi-materi yang dijadikan objek berpikir hanya berupa konsep.
Berbeda dengan filsafat, agama tidak hanya menggunakan kegiatan berpikir manusia.
Agama juga melibatkan sumber pengetahuan lain berupa wahyu, baik wahyu yang dipercaya
diturunkan langsung oleh Tuhan maupun dari tanda-tanda keagungan Tuhan yang tersebar di
alam semesta. Dalam agama, wahyu adalah pelengkap pengetahuan manusia.
Berbeda dengan filsafat Barat, pemikiran Timur tidak menampilkan sistematika yang biasa
dipakai dalam filsafat Barat, seperti pembagian bidang kajian filsafat menjadi epistimologi,
metafisika dan aksiologi. Selain itu pemikiran Timur sering kali diterima begitu saja oleh
penganutnya tanpa satu kajian kritis terlebih dahulu, sehingga banyak pemikir filsafat yang
mengklaim pemikiran Timur sebagai agama. Filsafat Timur lebih sering menafsirkan, berusaha
memahaminya dan kemudian mengamalkannya. Disini terkesan pemikiran Timur hanya
seperangkat tuntutan praktis untuk menjalani hidup atau sebagai serangkaian aturan bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Sampai disini terlihat bahwa alasan pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak
memiliki sistematika yang harus dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran Timur bisa jadi
merupakan suatu bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti yang ditampilkan filsafat Barat.

Maka, Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha manusia untuk memperoleh kebenaran
yang didasari rasa cinta mereka kepada kebenaran. Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha
untuk mendapatkan kebenaran dan didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut
filsafat.
Mengutip dari buku Bagus Takwin dalam pendapat Fung Yu Lan, dikemukakan socrates
yang kemudian dikutip oleh Plato dalam Phaedrus: ... Orang-orang yang gagasan dan
pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat mempertahankannya
dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf. Mereka adalah pecinta kebijaksanaan.
Dengan dasar ini pemikiran-pemikiran Timur seperti Confucius, Lao ze, dan Sidharta
Gautama layak disebut filusuf. Dengan demikian buah pemikirannya dapat digolongkan sebagai
pemikiran sebagai pemikiran filosofiss. Untuk mempertegas kehadirannya sebagai filsafat,
belakangan pengkajian pemikiran Timur menyertakan juga pemenuhan kriteria-kriteria yang
umumnya diterapkan pada filsafat. Perkembangan pemikiran filsafat membutuhkan adanya
dialog, diskusi adu argumentasi dan membuka diri terhadap berbagai pemikiran.
Dengan mendasarkan pengertian-pengertian itu, pemikiran Timur seperti Hinduisme,
Budhisme, Daonisme, Budhisme Chan, Tao Tze, Confucius dan pemikiran Islam dapat disebut
sebagai Filsafat dan menjadi bagian dari Filsafat Timur. Sebuah ciri khas dari filsafat timur
adalah kedekatannya hubungan filsafat dengan agama. Filsafat timur ini sebenarnya tidak hanya
di pandang filsafat agama juga, tetapi termasuk falsafah hidup. Filsafat Cina adalah salah satu
dari filsafat tertua di dunia dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar dari tiga filsafat dasar
yang mempengaruhi sejarah perkembangan filsafat dunia, disamping filsafat India dan filsafat
Barat. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang
dari masa ke masa.
Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan
perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua
ekstrem yaitu antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga.
Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari
pendapat-pendapat pribadi. Suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar
biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian pada perikemanusiaan, pemikiran Cina lebih
antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusia yang selalu merupakan pusat
filsafat Cina. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa

semua dikuasai oleh suatu nasib buta yang sering disebut Moira, dan ketika kebudayaan India
masih mengajar bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang terus-menerus,
maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dan tujuannya.
Filsafat Cina cendrung mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan
kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain, cenderung mengarahkan dirinya pada persoalanpersoalan dunia. Para ahli sejarah pemikiran mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat
kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan
pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat
tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan
yang muncul dari kehidupan yang aktual.
Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam humanisme. Tekanannya pada
persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam
masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof
Cina. Lalu yang ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah
kerohanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan
sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan
jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui
moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan
kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial,
persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun
demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi Seni hidup bermasyarakat secara
bijak dan cerdas. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar.
Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan
menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof
Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya
dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap
demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak
cenderung memandang sesuatu secara hitam putih. Keenam, agama dipandang tidak terlalu

penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi


pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
Ketujuh, penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum
dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak
dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak
benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai. Kedelapan, dilihat dari
sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti
mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala
sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas
pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja
hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan
luas dan integratitas pribadi yang kokoh.
2.2 Filsafat Sejarah Dalam Pemikiran Konfusius
2.2.1. Pandangan Confucius Tentang Hubungan Sejarah dengan Manusia.
Manusia dan Sejarah Manusia membentuk serta menghasilkan sejarah dan
bersamaan dengan itu ia dibentuk dan dipengaruhi oleh sejarah (Bertens, 1987; 200). Oleh sebab
itu pada hakikatnya semua permasalahan berkisar sekitar faktor manusiawi, tidak hanya sebagai
unsur objektif, lebih dari itu juga selaku unsur objektif (Sartono Kartodirdjo, 1990; 252). Dengan
demikian jelas bahwa manusia merupakan faktor utama dalam pembahasan sejarah. Sedang
dalam diri manusia secara hakiki terdapat unsur spiritualitas dan unsur materialitas atau secara
gampang dapat dikatakan bahwa hakikat manusia terdiri dari jiwa (rohani) dan raga/badan
(lahir). Dan secara implicit Confucius mengakui adanya unsur spiritualitas dan materialitas yang
ada dalam diri manusia. Menurut Confucius semua tindakan yang menyangkut unsur materialitas
atau keragaan manusia akan sia-sia jika tidak didasari oleh unsur spiritualitas. Unsur spiritualitas
ini diantaranya adalah Jen . Jen dapat diartikan sebagai perikemanusiaan. Perikemanusiaan ini
mengandung dua segi, yaitu Chung (segi positif) dan Shu (segi negatif). Chung terlihat dalam
ungkapan Apa yang engkau senangi dilakukan orang terhadapamu, lakukanlah terhadap orang
lain. Segi Shu mengajarkan Apa yang tidak kau sukai dilakukan orang terhadapamu, jangan
kau lakukan terhadap orang lain (Creel, 1951; 34). Unsur spiritualitas yang lain dalam diri
manusia selain Jen yang harus diwujudkan dalam tindakan yang mempertahankan unsur

materialitas adalah: Yi (kelayakan), Li (etiket atau sopan santun). Chih (kebijaksanaan). Manusia
dalam menghayati historisitas atau kesejarahannya tidak hanya mementingkan aspek
materialitasnya saja, akan tetapi selalu diimbangi dengan perkembangan spiritualitasnya. Aspek
materialitas yang terlihat nyata dalam berbagai tindakan manusia haruslah selalu mencerminkan
perkembangan berbagai aspek spiritualitas manusia tersebut (Budisutrisna, 1998: 26-27).
Perbuatan manusia sebagai aspek materialitas harus selalu mendasarkan diri pada
aspek spiritualitas. Dalam perkembangan kebudayaan manusia diarahkan kepada Chun Tzu
(manusia unggul), sejarah tidak pernah dibuat oleh manusia secara sendirian, akan tetapi selalu
dalam kebersamaan kelompok. Dalam hal ini Confucius lima hubungan social dalam
kebersamaan kelompok itu, yakni: hubungan antara penguasa dengan warganya, hubungan
antara suami dengan istri, antara ayah dengan anak, antara kakak dan adik, dan antara sesama
teman. Lima hubungan ini sering dikenal dengan konsep Wu Lun . Untuk mewujudkan manusiamanusia Chun Tzu yang akan membuat tingginya kebudayaan manusia, peranan individu tetap
diakui tetapi tidak dapat dilepaskan dari peranan kebersamaan kelompok tersebut. Hanya
manusia-manusia yang berhasil membuat keterkaitan harmonis aspek materialitas dan
spiritualitas dalam kebersamaan kelompoklah yang akan mencapai Chun Tzu , yang pada
akhirnya akan memajukan kebudayaan manusia. Sejarah digerakkan oleh manusianya. Namun
demikian Confucius mengakui bahwa keberhasilan usaha manusia tidak terlepas dari Ming ,
keputusan alam ketuhanan. Usaha manusia tidak terlepas dari peranan Tuhan. (Budisutrisna,
1998: 27-28)
2.2.2. Pandangan Confucius tentang Hubungan Sejarah dengan Waktu.
Eksistensi manusia menurut kodratnya mempunyai struktur temporal. Sejarah
perkembangan manusia selalu terkait dengan tiga dimensi kesejarahan, yakni: dimensi masa
lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Dari tiga dimensi tersebut hanya masa
sekarang (kini) yang sungguh-sungguh real, berarti masa lampau terangkum dalam masa
sekarang, dan masa depan menjadi proyeksi masa kini (Misnal Munir, 1997: 139).
Pandangan Confucius tentang waktu menunjukkan adanya interpretasi terhadap
sejarah di masa lampau serta bagaimana sejarah dibentuk pada masa depan. Dalam hal ini
peninggalan tradisi dan budaya di masa lampau diinterpretasikannya, missal: Li yang semula
berarti tata upacara berkorban kemudian diberi arti sebagai etiket atau sopan santun; Tao yang
semula berarti jalan kemudian diberi arti sebagai kode etik individu dan pola pemerintahan;

Chun Tzu yang semula berarti orang keturunan bangsawan kemudian diberi arti manusia unggul
atau gentle man . Jadi terhadap kebudayaan masa lampau, Confucius tidak membuanganya tetapi
diambil semangatnya, intinya, yaitu aspek spiritualitasnya menurut Confucius esensi
kebudayaan adalah Jen. Masa sekarang, bagi Confucius tergambar dalam pendidikan sebagai
strategi kebudayaan. Dalam bidang pendidikan ia merasa bahwa fungsi utamanya memberi
tafsiran terhadap warisan masa lampau, juga memberikan tafsiran baru terhadapanya yang
didasarkan atas konsepsi-konsepsi moral (Fung Yu Lan, 1990, 51). Perkembangan harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi masa sekarang tanpa meninggalkan identitas yang sudah
dimiliki di masa lampau yang tersimpul dalam Jen sebagai esensi dari setiap kebudayaan. Jen ini
juga selalu terkait dengan Yi, Li, dan Chih. Kemudian masa depan tergambar dalam cita-cita
manusia ideal Chun Tzu yang akan dapat menciptakan kebudayaan yang unggul pula. Bagi
Confucius untuk merencanakan dan merekayasa masa depan melalui strategi kebudayaannya
peranan pendidikan sekali lagi amat penting seperti sudah disebutkan. Hal lain yang turut
memacu terwujudnya masa depan, seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah
kebijakan penggunaan bahasa yang tepat, termasuk menyatunya antara perkataan dan perbuatan
(Budisutrisna, 1998: 28-29)
2.2.3. Pandangan Confucius tentang Arah Sejarah
Manusia di dalam hidupnya mengejar kebahagiaan spiritual dan kesejahteraan
material (R. Sujadi dkk, 1986; 22). Secara implisit sesungguhnya Confucius mempunyai
pandangan mengenai arah perkembangan sejarah yang mencakup baik aspek materialitas
maupun spiritualitas.
Titik pusat perhatian Confucius diarahkan pada usaha untuk memperbaiki keadaan
masyarakat yang kacau menjadi masyarakat yang lebih beradab. Hal ini dapat terwujud jika
manusia mencapai Chun Tzu . Dalam Chun Tzu ini tersimpul perkembangan aspek materialitas
dan spiritualitas, dalam artian tindakan-tindakan manusia mendasarkan diri pada aspek: Jen , Y i,
Li , dan Chih untuk selalu mewujudkannya. Untuk mewujudkannya itu dicapai dalam
kebersamaan masyarakat ( lima hubungan sosial) dan pada akhirnya hasilnya diserahkan kepada
Ming . Sesudah manusia berusaha, berhasil atau tidaknya diserahkan kepada keputusan Tuhan.
Dengan demikian arah perkembangan sejarah tidak hanya mementingkan dimensi horizontal,
akan tetapi juga mengutamakan dimensi vertical.

Arah perkembangan sejarah menghendaki keselarasan hubungan antara manusia


dengan sesama manusia dan manusia dengan Tuhannya. Chun Tzu merupakan sosok manusia
yang layak didambakan oleh setiap insane, sosok manusia unggul, termasuk unggul dengan
dirinya sendiri dibanding dengan masa lampau. Jika suatu hari dapat memperbaharui terusmenerus dan dijaga agar baru selama-lamanya. Bagi Confucius taraf kebudayaan manusia yang
tinggi yang membuahkan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, yang dapat terwujud
melalui manusia-manusia Chun Tzu bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis (selalu
disesuaikan situasi kondisi perkembangan jaman, dalam hal ini Confucius selalu
menginterpretasikan masa lampau secara baru). Dengan demikian arah sejarah bukanlah
bukanlah sesuatu yang sudah selesai, berhenti, tetapi sesuatu yang terus menerus menjadi
disesuaikan dengan jamannya. (Budisutrisna, 1998: 29-30).
2.2.4. Evaluasi Kritis Tentang Kedudukan Tuhan dalam Filsafat Sejarah Confucius.
Pemikiran Confucius sebagai salah satu dari sekian banyak pemikiran Tiongkok
tentunya memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda. Dalam karakteristik filsafat Tiongkok
terdapat satu cirri pemikiran Tiongkok yaitu jauh dari hal-hal yang bersifat adi kodrati, termasuk
pembahasan tentang Tuhan. Akan tetapi, apakah hal itu juga berlaku bagi pemikiran Confucius?
Apakah Confucius tidak menyinggung tentang Tuhan sama sekali dalam pemikirannya? Memang
Confucius tidak suka membicarakan hal-hal yang bersifat religius. Karena banyak hal yang tidak
dapat dibuktikan dengan panca indera, tetapi hanya dapat dipercaya (Lasiyo, 1983; 28).
Walaupun demikian bukan berarti Confucius tidak bertuhan. Hal ini terbukti ketika
pada suatu saat dicela dan tidak ada orang yang mampu mengerti tentang dia, kemudian
Confucius berkata Akan tetapi Sorga mengerti saya (Creel, 1954; 49). Menurut Confucius
ajaran-ajarannya sesungguhnya ilham dari Tuhan (Tien) dengan maksud membimbing kepada
jalan kesempurnaan (Tao).
Dalam pandangan Confucius kedudukan Tuhan memainkan peranan sentral dalam
seluruh aspek kehidupan, hanya saja ia tidak mau untuk membicarakan secara panjang lebar.
Bahkan dia pernah berkata kepada muridnya, Kau belum mengetahui kehidupan bagaimana kau
hendak mengetahui kematian. Manusia menurut Confucius dalam menentukan perkembangan
hidupnya bertumpu pada usahanya dan kemampuannya yang disandarkan pada Ming , keputusan
alam ketuhanan. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia, dan menjadi penentu
keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan. Keyakinan Confucius pada peranan Tuhan

tercemin dalam ajarannya mengenai Ming . Baginya Ming berarti keputusan alam ketuhanan.
Hal yang paling baik yang dikerjakan manusia ialah sekedar berusaha untuk melaksanakan apa
yang diketahui seharusnya dikerjakan. Manusia seharusnya berusaha sekuat tenaga, tetapi
hasilnya terserah kepada Ming (Fung Yu Lan, 1989; 29). Dengan demikian tidak berarti manusia
pasrah secara pasif terhadap nasib, karena usaha dipandang penting. Ming menjadi penentu akhir
perjalanan historisitas manusia (Budisutrisna,1998: 31).

BAB III
KESIMPULAN
Dalam pemikiran Confucius mengandung pemikiran tentang filsafat sejarah. Hal ini
terbukti dengan adanya pandangan Confucius tentang sejarah yang menyatakan bahwa sejarah
berdasarkan atas kesadaran manusia dalam memahami masa lampau dan kemampuannya dalam
membuat proyeksi masa depan. Menurut Confucius sejarah sangat berkaitan dengan
perkembangan manusia dalam hidupnya. Manusia dalam hidupnya tidak hanya pasif saja, tetapi
juga aktif menetukan arah perkembangan sejarahnya.
Pandangannya tentang waktu menunjukkan adanya interpretasi terhadap sejarah di masa
lampau serta bagaimana sejarah dibentuk pada masa depan. Dalam hal ini peninggalan tradisi
dan budaya di masa lampau diinterpretasikannya

Menurut Confucius manusia Chun Tzu bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis (selalu
disesuaikan situasi kondisi perkembangan jaman, dalam hal ini Confucius selalu
menginterpretasikan masa lampau secara baru). Jadi, arah sejarah bukanlah sesuatu yang sudah
selesai, berhenti, tetapi sesuatu yang terus menerus menjadi disesuaikan dengan jamannya
Filsafat sejarah Confucius mempunyai dimensi ketuhanan. Manusia menurut Confucius
dalam menentukan perkembangan hidupnya bertumpu pada usahanya dan kemampuannya yang
disandarkan pada Ming , keputusan alam ketuhanan. Tuhan selalu hadir dalam setiap kehidupan
manusia, dan menjadi penentu keberhasilan setelah berbagai usaha dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern Tentang
Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Bertens, K. 1987. Panorama Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Budisutrisna. 1998. Historisitas dalam Pandangan Confucius. Yogyakarta: Fak. Filsafat
UGM.
Creel, H.G. 1989. Chinese Thought from Confucius to Mao tse-Tung , Alih bahasa Soejono
Soemargono. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana .
Fung Yu Lan. 1990. A Short History of Chinese Philosophy , Alih bahasa Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Liberty.
Lasiyo. 1983. Confucius . Yogyakarta: Proyek PPPT UGM .
Misnal Munir. 1997. Historisitas Dalam Pandangan Filosof Barat dan Pancasila dalam
Jurnal Filsafat . Edisi Khusus Agustus 1997 hal. 125-148.

Sartono Kartodirdjo. 1986. Ungkapan Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur ,
Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Gramedia .
_________. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press .
Soejadi R, Koento Wibisono. 1986. Aliran-Aliran Filsafat dan Filsafat Pancasila dalam
Slamet Sutrisno (ed), Pancasila Sebagai Metode. Yogyakarta: Liberty.
Takwin, Bagus. 2009. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke Pemikiran-pemikiran Timur.
Yogyakarta: Jalasutra.

Nunung meita 2015,filsafat hukum timur

Agen Makalah Com


Situs Kumpulan Makalah dan Tesis

Home

Hukum Islam

Hukum Umum

Pendidikan Islam

Pendidikan Umum

Search...

Home Filsafat Perbedaan Antara Hukum Islam dan Hukum Barat


By Agen Makalah Monday, 12 January 2015 Filsafat

Perbedaan Antara Hukum Islam dan Hukum Barat


Positivisme, Normativisme, dan Rasionalisme Hukum Barat
Filsafat ilmu membedakan pengetahuan berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:
pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normative yang melahirkan
ilmu normatif. Ilmu hukum memiliki dua sisi yang dimaksud.Pada satu sisi ilmu hukum
menampilkan karakter khas sebagai ilmu normatif,sementara pada sisi lain ia menunjukkan ciriciri sebagai ilmu empiris. Sisi empiris telah berkembang sedemikian rupa dengan menggunakan
metode penelitian sosial.
Karena itu, tanpa ragu orang memasukkannya dalam kerabat ilmu sosial. Bahkan
sebagian pakar menggolongkan ilmu hukum sebagai ilmu sosial paling tua. Konsekuensi
memasukkan ilmu hukum dalam ilmu sosial adalah penggunaan
format ilmu sosial sebagai ilmu empiris dalam kegiatan penelitian hukum. Istilahistilah seperti
sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, serta perumusan masalah dalam kalimat
tanya adalah bermakna empiris.
Secara diametral dapat dihadap-hadapkan antara ilmu hukum empiris yang melahirkan
positivisme hukum pada satu pihak dan ilmu hukum normatif pada pihak lain. Positivisme
hukum (Ilmu Hukum Empiris) memandang hukum sebagai sebuah fakta yang dapat diterapkan
dan bebas nilai (value free). Namun, jika dihadapkan pada kenyataan kebutuhan para praktisi dan
ilmuwan hukum normative dalam praktik hukum sehari-hari, positivis hukum tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan sebagai batu uji kritis yang diajukan
padanya, seperti Apakah arti hukum empiris untuk praktik hukum tidak bermanfaat?. Studistudi sosio-legal menekankan arti penting penempatan hukum dalam konteks sosialnya, namun

studi-studi tersebut hanya sampai pada tingkatan menggambarkan kesenjangan, tetapi jarang
menjelaskannya.
Diakui bahwa positivisme hukum dapat memberikan penjelasan yang bermakna tentang
suatu gejala hukum yang diinterpretasi secara faktual, tetapi refleksi masa depannya hanya
bermakna terhadap penyusunan kebijakan hukum dan aturan perundang-undangan yang akan
datang dan tidak bermakna terhadap suatu problema atau kasus hukum yang sementara
berlangsung dan harus diputuskan segera. Justru dalam hal ini penilaian kritis tentang isi hukum
terletak dalam sifat khas hukum sebagai ilmu normatif dan ini tidak dapat dilakukan melalui ilmu
empiris, karena ilmu empiris tidak membahas dimensi hakiki hukum itu sendiri.
Perbedaan paradigma dan konsekuensi penggunaan metodologi dalam penelitian
menunjukkan bahwa pandangan positivistik (ilmu hukum empiris) dibangun berdasarkan kriteria
keilmuan, tradisi, dan prinsip-prinsip dalam ilmu sosial yang sangat kuat dipengaruhi oleh
filsafat positivistik Auguste Comte.
Filsafat positivistik Comte berakar amat kuat dalam paradigma pandangan seperti di atas.
Hal ini ditunjukkan dengan munculnya pengaruh yang kuat dalam memandang ilmu hukum dari
sisi empirisnya. Pandangan seperti ini banyak mengilhami gagasan American Realism serta
ilmuwan-ilmuwan hukum empiris lain di belahan dunia.
Manfaat temuan ilmu hukum empiris berguna dalam penyusunan kebijakan terhadap
penegakan hukum dalam jangka panjang. Sebaliknya, ia tidak bermanfaat dalam praktik kasus
hukum yang dihadapi pada saat sekarang. Dalam praktiknya, setiap keputusan hukum dibuat
berdasarkan analisis hukum yang cermat dan akurat dengan menggunakan bahan-bahan hukum
otoritatif yang sepenuhnya disandarkan pada analisis yuridis normatif.
Ilmu hukum empiris melalui pengolahan terhadap data-data empiris memiliki
kemampuan untuk meramalkan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Karya ilmu hukum
normatif dimaksudkan untuk mengubah keadaan dan melalui analisis terhadap bahan hukum
positif ia menawarkan penyelesaian terhadap problem kemasyarakatan yang konkret. Kedua ilmu
yang sangat berbeda karakter ilmiahnya ini tentu dapat memberikan sinergi yang positif untuk
kepentingan dan kemajuan masyarakat. Meski demikian, sinergi tersebut baru akan memberikan

hasil yang nyata jika orientasi dan karakter masing-masing ilmu tersebut dipahami secara benar
dalam satu hubungan kesetaraan yang saling menyapa dan saling memberikan umpan balik.
Ilmu hukum empiris tidak pernah menjadi ilmu hukum normatif, demikian pula
sebaliknya ilmu hukum normatif tidak akan pernah menjadi ilmu hokum empiris. Ilmu hukum
empiris melakukan kegiatan ilmiah dalam paradigma ilmu sosial, sedangkan ilmu normatif
melakukan kegiatan ilmiahnya dalam paradigm ilmu praktis normologis. Melupakan karakter
kedua ilmu tersebut dan berusaha mempersatukannya adalah suatu tindakan yang ceroboh,
karena tidak menghargai arah dan kualitas ilmiah yang dihasilkan kedua ilmu tersebut.
Memahami dan mamanfaatkan temuan kedua ilmu tersebut untuk kepentingan masyarakat
merupakan upaya yang tidak akan pernah berhenti, apa pun rintangannya.
Auguste Comte yang dianggap sebagai peletak dasar positivism memperkenalkan hukum
tiga tahap perkembangan intelektual manusia, yaitu: 1)
teologi, 2) metafisika, dan 3) positivis. Ini tercermin dari cara manusia menjelaskan berbagai
gejala sosial ekonomi. Manusia pada tahap pertama mengacu kepada hal-hal yang bersifat
adikodrati, pada tahap kedua mengacu kepada kekuatankekuatan metafisika, dan pada tahap
ketiga mengacu kepada deskripsi dan hokum-hukum ilmiah. Positivisme tidak mengakui hal-hal
di luar empiris-sensual manusiatersebut. Bertolak dari hukum-hukum ilmiah, positivisme
menekankan bahwa objek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah
kepada kepastian dan kecermatan. Masih menurut Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk
melakukan kajian ilmiah adalah pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis.
Megingat sosiologi dianggap memenuhi hukum tiga tahap dari Comte ini maka hingga saat ini
penelitian hukum dari sisi empiris dianggap lebih ilmiah dan mendapat banyak dukungan.
Berbeda dengan positivisme yang bertumpu pada fakta-fakta empiris, rasionalisme
menekankan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan
argumentasi secara logis. Apa yang terpenting dalam rasionalisme adalah ketajaman dalam
pemaknaan empiris. Noeng Muhajir menegaskan bahwa pemahaman intelektual dan kemampuan
argumentatif perlu didukung data empiris yang relevan agar produk ilmu yang berlandaskan
rasionalisme betul-betul ilmu, bukan fiksi. Bagi rasionalisme, fakta empiris bukan hanya yang
sensual, melainkan ada empiris logis, empiris teoretis, dan empiris etis. Misalnya, ruang angkasa,

peninggalan sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya. Semuanya merupakan
realitas, tetapi tidak mudah dihayati
secara sensual melainkan dapat dihayati secara teoretis. Karena itu, sekali lagi,
rasionalisme mengakui realitas empiris teoretis dan empiris logis. Inti pemikiran positivisme
adalah bahwa apa yang dinamakan ilmu harus bias dibuktikan secara empiris. Pemikiran ini
sebenarnya merupakan embrio dari aliran empirisisme dengan adagium, Experience is the source
of all human knowledge (pengalaman adalah sumber ilmu pengetahuan). Metode yang
digunakan dalam pemikiran ini didasarkan pada logika induktif. Dalam kaitan dengan ilmu
sosial, wacana yang dikembangkan aliran ini bahwa ilmu adalah seluruh informasi yang
mengandung pengetahuan dan telah teruji secara benar menurut prosedur sain tentang suatu
kejadian di alam empiris.
Penentangan terhadap pemikiran aliran ini muncul dari kalangan rasionalisme dengan
jargon yang terkenal di kalangan mereka, The reason is the source of all human knowledge (akal
budi manusia merupakan sumber ilmu pengetahuan). Dengan pernyataannya itu maka metode
yang digunakan didasarkan pada logika deduktif, logis dan matematis. Pada dasarnya, menurut
pandangan rasionalisme, realitas dapat diketahui atau beberapa kebenaran tentang realitas dapat
diketahui tanpa bergantung pada pengamatan, pengalaman, dan penggunaan metode empiris.
Kebenaran tidak perlu diuji dengan prosedur verifikasi indrawi, tetapi dengan kriteria konsistensi
logis.
Kalangan positivisme mengajukan asas verifikasi untuk membuktikan kebenaran ilmiah.
Berdasarkan asas ini, suatu putusan ilmiah adalah benar hanya jika keputusan itu dapat
diverifikasi secara empiris, medan ujinya adalah fakta atau kenyataan yang dapat diobservasi.
Untuk ini metode yang digunakan adalah metode empiris melalui penalaran induksi. Sementara
itu, tentang kebenaran, aliran positivisme menganut teori korespondensi yang menyatakan bahwa
kebenaran adalah kesesuaian antara putusan atau proposisi dan dunia kenyataan.
Pada sisi lain, aliran rasionalisme mengembangkan teori falsifikasi yang rumit. Inti
pemikiran aliran ini bertumpu pada pernyataan bahwa pengetahuan ilmiah harus objektif dan
teoretikal dengan analisis akhir yang harus mampu menggambarkan dunia yang dapat
diobservasi. Meski tetap mendasarkan pada kebenaran atas dasar teori korespondensi, namun

aliran rasionalisme menegaskan bahwa putusan ilmiah yang sesuai dengan kenyataan yang
teramati hanya menghasilkan pengetahuan yang mungkin benar. Karena itu, pengetahuan
tersebut hanya dipandang benar sampai dibuktikan sebaliknya. Dengan demikian, aliran ini
menolak metode induksi sebagai metode ilmiah dalam memperoleh pengetahuan. Mengingat,
kesimpulan umum yang dihasilkan metode induksi bertumpu pada premis-premis partikuler.
Metode ilmiah yang tepat menurut aliran ini adalah menggunakan logika deduksi, yakni
berdasarkan dalil umum lalu ditarik kesimpulan khusus atau proposisi partikuler.
Bertolak dari pola pikir rasionalisme, variabel penelitian tidak bisa dipahami secara
fragmentatif, melainkan harus dipahami secara holistik dalam suatu kerangka nilai dan sistem
sosio-kultural, politik dan ekonomi. Karena itu, di antara kritik rasionalisme terhadap positivisme
adalah: a. Positivisme cenderung mengabaikan pencarian makna di balik empiris sensual,
sehingga hasil-hasil penelitian menjadi kehilangan makna. b. Positivisme terlalu mengunggulkan
fakta fragmentatif, sehingga kehilangan konteks sosio-kultural hasil-hasil penelitian. c.
Positivisme bersifat reduksionis karena hanya mengakui fakta empiris yang sensual, padahal di
samping yang sensual masih terdapat empiris logis, teoretis dan etis.
Dominasi pemikiran aliran positivisme dalam hukum mencapai puncaknya pada paruh
pertama abad ke-19 M, seiring munculnya berbagai pengaturan dalam bentuk hukum yang
menuntut kepatuhan serta memberi ancaman sanksi agar tercipta masyarakat yang teratur.
Struktur masyarakat yang semakin kompleks, tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta semakin pesatnya perdagangan antarbangsa, membutuhkan para Juris profesional untuk
menangani permasalahan hukum. Para Juris yang mendasarkan karyanya pada hukum
positivistis-analitis membangun pemikiran rasional dalam memandang hukum sebagai sebuah
sistem yang utuh.
Dampak lain pemikiran aliran positivisme dalam hukum adalah berkembangnya ilmu
hukum dengan menggunakan format ilmu sosial dalam paradigma ilmu empiris. Para ilmuwan
hukum merasa lebih percaya diri apabila menggunakan pendekatan sosial empiris. Dengan
menggunakan pendekatan ini, penjelajahan ilmu hukum akan lebih ilmiah karena dapat
dikwantifikasi dan memungkinkan digunakannya rumus-rumus ilmu pasti untuk menjamin
pembuktian ilmiah dari segi empiris. Pemikiran Comte menginginkan apa yang bersifat sosial

dalam masyarakat dapat diredusir ke dalam dalil-dalil yang pasti sehingga lebih bersifat ilmiah
sesuai hukum tiga tahap yang dikembangkannya.
Dengan memasukkan ilmu hukum ke dalam struktur ilmu sosial maka penelitian hukum
harus melakukan adaptasi sesuai karakteristik data-data lapangan yang mesti digali, diolah dan
dianalisis sedemikian rupa. Fakta-fakta maupun peristiwaperistiwa sosial yang tengah terjadi di
masyarakat diolah dengan menggunakan perangkat teori-teori hukum sebagai alat analisisnya.
Kemudian temuan berupa konsep-konsep hukum yang dihasilkan secara kwalitatif dapat
dikwantifikasi untuk dapat diukur tingkat validasinya.
Mengadopsi metode penelitian ilmu sosial nampaknya memang sulit dihindarkan dalam
penelitian hukum lantaran jenis data yang diperlukan memiliki aspek kesamaan berupa faktafakta fenomenologi. Tentu saja adopsi ini dilakukan dengan mengawinkan atau sekurangkurangnya melakukan adaptasi sehingga tidak mengenyampingkan karakteristik penelitian
hukum yang empiris sekaligus logis. Khusus dalam penelitian hukum Islam, panduan umum
berupa dasar-dasar teori yang bersumberkan wahyu mesti dijadikan alat pembimbing dalam
melakukan penelitian. Sebab merupakan bagian karakteristik hukum Islam adalah mempunyai
pijakan wahyu baik secara langsung berupa dalil-dalil juzi yang bersifat mikro maupun tidak
langsung berupa dalil-dalil kulli yang makro.
Implikasi Perbedaan Hukum Islam dan Positivisme Barat
Auguste Comte tidak menggolongkan ilmu hukum ke dalam salah satu kelompok ilmu.
Alasan Comte sederhana, ilmu hukum tidak memenuhi kriteria positif dalam hukum tiga tahap
yang melandasi penggolongan ilmu versi Comte. Baginya, hokum merupakan bagian dari
metafisika yang tidak masuk akal dan tidak mengandung moral. Menurut pandangan sosiologis,
filsafat positivisme Comte merupakan penyebab lenyapnya cita rasa hukum untuk selamalamanya. Namun demikian, pada sisi lain pemikiran Comte memberikan banyak andil
pencerahan bagi ilmuwan hokum sesudahnya. Istilah positif dalam lingkup ilmu hukum mulai
digunakan secara intens pasca digulirkannya pemikiran filsafat positivisme Comte.
Jika diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, paham positivism menghendaki
dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para pendukung
aliran hukum alam (naturalis) atau aliran hukum kodrat. Karena itu menurut paham positivisme,

setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif,
serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontrak yang konkret antar warga masyarakat atau
wakilwakilnya. Dalam konteks ini, hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral
metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah mengalami
positivisasi guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum.
Meski penggunaan makna positif versi Comte juga memberikan pengaruh terhadap para
ilmuwan hukum, namun tidak boleh dilupakan bahwa kata positif juga merupakan asli kata dari
kosakata dalam ilmu hukum. Asal kata positif dalam hukum berbeda dengan istilah positif
versi Comte. Istilah positif dalam hokum merupakan terjemahan dari ius positum menjadi hukum
positif yang mengandung makna hukum yang ditetapkan. Jadi, munculnya istilah ius positum
pada zaman hukum romawi jauh lebih awal sebelum pemunculan karya-karya pemikiran Comte.
Dalam etimologi latin, positivisme atau positivus mempunyai makna ditetapkan,
ditentukan oleh kehendak, dikehendakkan, dan positif. Makna lain dari positivism adalah
meletakkan, yaitu bahwa tindakan manusia itu adil atau tidak, sepenuhnya bergantung pada
peraturan atau hukum yang diletakkan atau diberlakukan.
Dalam konteks hukum Islam, apa yang disorot comte sebenarnya mengarah pada elemen
hukum ibadah (ritual) yang memang mempunyai watak immutable dan tidak didasarkan pada
fakta empiris dan logis. Dalam ranah hukum ibadah unsure akal-budi dan intelektual manusia
tidak banyak berperan dalam proses penelusuran makna di balik apa yang tersurat. Sebaliknya,
dalam elemen hukum muamalah penilaian comte bahwa hukum merupakan bagian dari
metafisika yang tidak masuk akal dan tidak memuat unsur moral tidak memiliki relevansinya.
Sebab, muatan hukum muamalah dalam Islam selain sangat positivistik juga mengapresiasi
nilai-nilai moral dalam membangun pranata sosial berbasiskan ketentuan-ketentuan hukum
operasional. Selain itu, akal-budi manusia mempunyai peran cukup signifikan dalam rangkaian
kerja istinbath untuk menelorkan ketentuan-ketentuan hukum.
Sumber inspirasi dalam hukum muamalah selain berupa prinsip-prinsip umum dalam
ketentuan

wahyu,

juga

berupa

realitas

masyarakat

dengan

aspek

perubahan

dan

pengembangannya yang tak bisa dielakkan. H.L.A. Hart, seorang Positivist modern berpengaruh
di Inggris, membangun tesis tentang positivisme dengan memisahkan secara tegas keterkaitan

antara hokum dan moral. Sikap seperti ini sangat berlawanan dengan pandangan aliran hokum
alam yang menegaskan bahwa hukum dan moral tidak dapat dipisahkan. Pengaruh Comte
terhadap pemikiran Hart tampak pada waktu ia menguraikan gagasan tentang hukum murni yang
terpisah dari aspek moral.
Sebagaimana aliran hukum alam, hukum Islam juga tidak memisahkan antara hukum dan
moral. Hukum Islam memandang keduanya sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Sebagai guide-line atau perangkat aturan, hukum tidak bisa berdiri sendiri dalam pergumulannya
dengan masyarakat. Sebaliknya, ia perlu disandingkan dengan komponen lain, yaitu moralitas
yang dalam terminologi agama sering disebut tashawwuf atau akhlaq karimah. Dalam kaitan ini
adagium yang sering dikemukakan adalah hukum tanpa moralitas adalah durjana, sementara
moralitas tanpa hukum adalah utopia. Dalam ungkapan bahasa arab, adagium yang sering
ditekankan para Juris Islam tersebut berbunyi sebagai berikut:
Artinya: Barangsiapa mendalami hukum tapi tidak menekuni tashawwuf (moral) maka
sungguh dia menjadi fasiq. Sebaliknya, barangsiapa mempelajari tashawwuf tapi tidak
mendalami hukum maka dia telah menjadi zindiq.
Pembedaan normativisme dan empirisme dalam hukum barat nampaknya mempunyai
perspektif berbeda dengan klasifikasi hukum Islam. Dalam Islam, hukum secara luas dibagi
menjadi dua elemen besar, yaitu fiqh ibadah (ritual) dan fiqh muamalah (sosial). Apa yang
kemudian disebut normatif dalam nomenklatur hukum barat sesunggunya memiliki aspek
persamaan dengan hukum Islam dalam pembagian pertama (fiqh ibadah). Disebut normatif
lantaran diktum hukum semacam ini berwatak statis dan tidak dapat berkembang mengikuti
irama perubahan yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi dari segi sumbernya keduanya memiliki
perbedaan cukup signifikan lantara fiqh ibadah mengacu pada ketentuan wahyu verbal. Dalam
Islam, fiqh ibadah berkaitan dengan tata cara bagaimana seorang hamba melakukan amalan ritual
sebagai wujud kehambaan dirinya di hadapan sang pencipta. Ini bisa dilihat dalam praktik ritual
keagamaan semisal shalat, puasa, membayar zakat, membaca al-Quran dan lain-lain.
Dari wujud kestatisan fiqh ibadah ini kemudian muncul kaidah hukum atau maxim yang
sangat populer dalam pemikiran hukum Islam, yaitu:

Artinya: Allah tidak dapat disembah kecuali dengan tata cara yang sudah dianjurkan
dalam syariat.
Dengan mengacu pada kaidah ini maka kita tidak bisa mengkreasi sendiri format ritual
keagamaan di luar apa yang sudah ditetapkan dalam diktum-diktum fiqh ibadah. Dalam format
ritual shalat, misalnya, kita tidak bisa menambah atau mengurangi jumlah rakaatnya. Begitu
juga dalam ibadah haji, kita tidak bisa mengubah rukun-rukunnya, misalnya dengan memindah
praktik amalan haji ke tempat lain di luar tanah suci Makkah dan sekitarnya. Karena itu maxim
serupa yang juga populer dalam pemikiran hukum Islam mengatakan:
Artinya: hukum asal dalam fiqh ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang
menunjukkan hukum sebaliknya.
Maksudnya, selama belum ada ketentuan baku dalam syariat menyangkut tata cara
ibadah, kita diharamkan membuat tata cara sendiri di luar ketentuan yang sudah digariskan
dalam syariat. Elemen kedua (muamalah) dalam nomennklatur hukum Islam merupakan
ketentuan-ketentuan hukum berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Elemen fiqh
yang ini dapat mengalami perubahan sesuai konteks perkembangan masyarakat. Apa yang
penting dalam fiqh muamalah adalah bagaimana kita mengapresiasi prnsip-prinsip luhur ajaran
agama yang dituangkan secara garis besar oleh teks agama. Hal ini seperti nilai-nilai keadialan
(al-adalah), kesetaraan (al-musawat), permusyawaratan (al-syura), saling legawa (al-taradli),
tidak terselubung (adamu algharar), tidak ada pemaksaan (adamu al-ikrah), dan tidak spekulasi
(adam al-muqamarah).
Dengan menegakkan prinsip-prinsip di atas maka fiqh sesungguhnya merupakan gerakan
moral dengan menjunjung hak dan kewajiban masing-masing pihak secara proporsional dalam
pergaulan hidup sehari-hari. Selama mengacu pada prinsip-prinsip umum tersebut, ketentuan
dalam fiqh muamalah tidak memerlukan dalil teks secara terperinci dan mendetail. Kaidah
hukum yang sering digunakan dalam menyikapi soal seperti ini adalah,
Artinya: fiqh muamalah pada dasarnya adalah bebas dilakukan hingga diketahui
adanya larangan.
Kaidah lain yang semakna dengan kaidah tadi adalah,

Artinya: hukum asal dari fiqh muamalah adalah boleh dilakukan kecuali terdapat dalil yang
menunjukkan hukum sebaliknya).
Dari kedua kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak seperti hokum ibadah yang
statis, hukum muamalah mempunyai watak fleksibel dan kompatibel dengan perubahan yang
terus terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kenyataannya, teks agama yang berkaitan dengan fiqh muamalah umumnya bersifat
mujmal, hanya mengatur persoalan hukum secara garis besarnya saja. Kondisi seperti ini
bukannya tanpa disengaja oleh syari (pembuat syariat). Sebaliknya, syari sengaja memberi
aturan demikian agar ajaran agama yang berdimensikan sosial dapat bergerak dinamis merespons
aneka persoalan yang terus berkembang di tengah masyarakat.
Dalam menyikapi beragam peristiwa hukum di masyarakat, seorang juris mesti
mengkajinya dengan menggunakan perangkat istidlal baik berupa teks agama maupun
pengamatan terhadap realitas sehingga dapat memunculkan kesimpulan hukum yang mengacu
pada prinsip-prinsip luhur ajaran agama. Dengan ungkapan lain, pretensi juris dalam melakukan
penggalian hukum adalah bagaimana produk hukum yang dihasilkan dapat mencerminkan nilainilai maqashid al-syariah (maksud dan tujuan syariat), yaitu untuk menebar kemaslahatan dan
mencegah terjadinya kerusakan (li jalb al-mashalih wa dari al-mafasid).
Watak fiqh muamalah yang dinamis seperti ini menyebabkan kajian dan penelitian
tentang peristiwa-peristiwa hukum di masyarakat menjadi sangat penting maknanya. Pesatnya
perkembangan masyarakat sebagai obyek hukum meniscayakan perlunya membingkai ketentuan
hukum dengan menggunakan instrumen baru sesuai konteks perubahan. Karena itu pemilihan
metodologi kajian yang sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat perlu dilakukan guna
mengimplementasikan nilai-nilai luhur ajaran di tengah kehidupan mereka. Instrumen penelitian
hukum, dengan demikian, sesungguhnya bisa mengadopsi penelitian ilmu-ilmu sosial lantaran
data-data yang diperlukan berupa fakta alamiah. Penelitian jenis ini kemudian mengalami
adaptasi sesuai watak hukum Islam yang memadukan antara pemahaman atau interpretasi
terhadap gejala teks wahyu di satu pihak dan fenomena alam berupa fakta dan peristiwa yang
terjadi pada masyarakat di pihak lain.

Dalam kenyataannya, hukum Islam dalam elemen muamalah mengalami perkembangan


cukup pesat dari waktu ke waktu. Jika pada masa-masa awal, fiqh muamalah banyak
berhubungan dengan jenis-jenis transaksi secara tradisional sesuai realitas masyarakat saat itu,
maka sekarang sedemikian berkembang cakupannya sesuai dinamika alat transaksi modern
sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga dalam hal
perkembangan hukum ketatanegaraan, pada masa-masa awal, hukum tata negara belum seberapa
berkembang lantaran system yang dianut saat itu bersifat monolog dan bertumpu pada aspek
kekhalifahan dan kerajaan. Sebaliknya di masa kita sekarang teori ketatanegaraan sedemikian
dinamis seiring pesatnya perkembangan negara-negara bangsa (nation states) di belahan dunia,
termasuk dunia Islam.
Karena itu tidak mengherankan jika pada masa-masa awal kelahiran hukum Islam, tematema kajian yang muncul berkisar pada transaksi jual beli dan yang sejenisnya, hukum
perkawinan dengan berbagai implikasinya, serta hukum-hukum pidana Islam (jinayah).
Sebaliknya, sekarang, kajian hukum Islam menjangkau tema-tema lebih luas sesuai tingkat
perkembangan. Mengingat luasnya wilayah kajian hukum Islam saat ini maka perlu juga ada
pemilahan-pemilahan lebih spesifik sehingga paradigma hokum muamalah lebih mudah diakses
oleh masyarakat. Pemilahan tersebut, misalnya menjadi Fiqh al-Siyasah (hukum politik), Fiqh alDaulah (hukum tata negara), Fiqh al-Dustur (hukum konstitusi), Fiqh al-Iqtishad (hukum
ekonomi), Fiqh al-Usrah (hokum keluarga), Fiqh al-Marah (hukum gender atau perempuan), AlFiqh al-Jinai (hokum pidana), al-Fiqh al-Madani (hukum perdata), dan Fiqh al-Murafaat
(hukum acara).
Dari sudut pendekatan logika yang digunakan, terdapat perspektif berbeda
walaupun dalam hal tertentu terdapat sejumlah segi persamaan antara hukum Islam dan
positivisme barat. Jika positivisme cenderung menggunakan logika induktifempirik, maka dalam
hukum Islam pendekatan seperti itu direpresentasikan dalam penyekatan aliran mutakallimin di
satu pihak dan aliran ahnaf di pihak lain. Kalangan mutakallimin yang beranggotakan mayoritas
juris dalam hukum Islam menggunakan logika deduktif, sementara Ahnaf cenderung memilih
pendekatan induktif. Dalam nomenklatur hukum barat, aliran rasionalisme juga berseberangan
dengan positivism dan memilih pendekatan logika deduktif-logis sebagaiman digunakan

kalangan mutakallimin dalam hukum Islam. Faktanya, kalangan mutakallimin dan ahnaf lebih
mendasarkan pendekatan logika yang digunakan atas teoretisasi hukum Islam.
Maksudnya, jika kalangan mutakallimin mendeduksi teori hukum Islam (kaidah ushul
fiqh) menjadi postulat-postulat hukum operasional maka kalangan ahnaf sebaliknya, yakni
menginduksi kasus hukum yang terjadi di masyarakat menjadi teori-teori hokum yang kemudian
dilestarikan oleh pengikutnya hingga sekarang. Dalam hukum Islam, pendekatan logika
digunakan untuk melengkapi dalil-dalil wahyu yang sering mengungkapkan persoalan secara
abstrak. Sebab, sejatinya setiap hukum yang melekat pada berbagai peristiwa dan kejadian
mempunyai pijakan dalil berupa wahyu. Namun demikian, tidak semua pijakan wahyu dapat
tergambarkan secara
tersurat dalam lembaran teks al-Quran maupun al-Hadith. Sebaliknya, tidak terkira jumlahnya
pijakan wahyu yang hanya mengungkapkan persoalan hukum secara tersirat. Atas dasar itu maka
dalil wahyu sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a.

Dalil juzi / tafshili , yaitu dalil-dalil terperinci berupa teks wahyu yang menunjukkan hukumhukum tertentu secara tersurat. Seperti teks wahyu yang dengan lugas menunjukkan hukum
wajib melakukan shalat fardu, puasa ramadhan, haram berbuat zina, mencuri, mengalirkan darah
sesamanya dan lain-lain.

b.

Dalil kulli / ijmali, yaitu dalil global yang tidak menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum
tertentu secara tersurat,tetapi cukup secara tersirat berupa indikator-indikator. Seperti teks hadith
yang berbunyi:
Artinya: Tidak boleh melakukan kemudaratan (HR Imam Ibnu Majah).
Hadith ini tidak secara tersurat menunjukkan hukum haram terhadap peristiwa tertentu.
Sebaliknya, tidak sedikit jumlah peristiwa yang ketentuan hukumnya dilandaskan pada hadith
ini. Seperti keharaman mengonsumsi narkoba serta perbuatan-perbuatan lain yang dapat
mumudaratkan diri sendiri maupun orang lain.
Sungguhpun jenis dalil pertama (juzi) jelas merupakan acuan hukum, namun bukan
berarti jenis dalil kedua (kulli) sama sekali tidak bersentuhan dengan proses pembentukan
hukum. Ojek pembahasan ushul fiqh sebagai metodologi istinbath hukum adalah justeru

berkaitan dengan dalil-dalil yang bersifat kulli ini untuk membuat rumusan kaidah-kaidah yang
mempunyai fungsi memudahkan proses istinbath atau penggalian hukum-hukum operasional.
Dengan ungkapan lain, kaidahkaidah ushuliyyah yang sangat dibutuhkan Mujtahid dalam kerja
akademiknya untuk menggali hukum-hukum operasional bisa disebut juga sebagai dalil kulli
karena ia dibangun berdasarkan dalil-dalil wahyu yang mengungkapkan secara umum dan garis
besar serta dipadukan dengan unsur logika aksioma.
Karena itu dalil kulli dan juzi dalam konteks penggalian dan perumusan hukumhukum
mempunyai hubungan sangat erat dan hampir tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Artinya,
dalam rangkaian kerja istinbath al-ahkam (penggalian hukumhukum) selain diperlukan dali-dalil
juzi yang tersurat dalam teks wahyu, juga tidak bisa mengabaikan dalil-dalil kulli baik berupa
prinsip-prinsip umum seperti tersirat dalam kandungan teks wahyu maupun kaidah-kaidah
ushuliyyah yang sebenarnya juga dikreasi dan diadopsi dari kandungan teks wahyu. Seperti
kaidah yang mengatakan bahwa hukum asal dari teks yang berisi perintah adalah wajib; hokum
asal dari larangan dalam sebuah teks adalah haram; lafadz umum berlakubkeumumannya selama
tidak dijumpai pengkhususan dalam teks lain; dan lain-lain.
Di luar proses pembentukannya, hukum sesungguhnya dikreasi bukan untuk dirinya
melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar di luar dirinya. Pretensi hukum
hanyalah untuk menebar keadilan dan kesejahteraan ummat manusia. Lantaran itu, hukum
bukanlah institusi yang absolut dan final melainkan bergantung pada manusia sebagai user.
Dalam konteks ini, hukum sangat ditentukan oleh faktor manusia dalam melihat dan
menggunakannya. Dalam nomenklatur hukum barat, adalah madzhab sociological jurisprudence
yang berbagi paham dengan legal realism banyak mengapresiasi hukum dengan pendekatan
progresif-dinamis seperti ini. Sementara dalam hukum Islam pendekatan seperti ini
direpresentasikan oleh madzhab mashlahi, yakni aliran hukum yang mengedepankan aspek
kemaslahatan ketimbang formalitas teks secara legal-prosedural. Dengan pendekatan seperti ini,
institusi hukum terus bergerak dinamis membangun dan mengubah dirinya menuju tingkat
kesempurnaan yang lebih baik sesuai cita-cita luhurnya menebar keadilan dan kemaslahatan.
Hukum, dengan demikian, tidak semata bergerak di atas aras formal-positivistik, melainkan
mengarah pada aras sosiologis sesuai tingkat perkembangan dan perubahan masyarakat.
Penutup

Dari hasil penelitian beserta pembahasan yang telah dilakukan menyangkut paradigma
pemikiran hukum Islam dan positivisme barat dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, munculnya paradigma tradisionalisme dan rasionalisme hukum Islam tidak bisa
lepas dari kegelisahan akademik menyangkut materi perdebatan jurisprudensi Islam. Terbatasnya
jumlah teks wahyu dibanding jumlah peristiwa hukum yang terus mengemuka menyebabkan
terjadinya pengkutuban pemikiran dalam jurisprudensi Islam. Kalangan tradisionalisme
cenderung mempertahankan tradisi yang sudah melembaga menjadi acuan formal dalam aktivitas
penggalian hukum. Madzhab ini dimotori oleh Imam Malik bin Anas yang berpusat di Hijaz.
Sebaliknya, kalangan rasionalisme mengedepankan penggunaan akal-budi yang saat itu sering
disimplifikasi menjadi qiyas (analogi) dalam rangkaian proses istinbath hukum. Ketokohan
madzhab ini sering dinisbatkan pada Imam Abu Hanifah yang berpusat di Baghdad. Al-Syafii
tampil yang mempunyai kesempatan berinteraksi dengan dua kalangan di atas tampil moderat
dengan mengapresiasi tradisi dan rasio secara berimbang dan proporsional.
Kedua, dalam kajian hukum barat ditemukan dua aliran pemikiran, yaitu normativisme
(tradisionalisme) yang mendasarkan ketentuan hukum pada pandangan normatif dan positivisme
(empirisme) yang selalu bertumpu pada fakta dan pengalaman empirik. Penentangan terhadap
kedua aliran ini muncul dari kalangan rasionalisme yang mengatakan bahwa ilmu berasal dari
pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logis. Menurut
pandangan rasionalisme, realitas dapat diketahui atau beberapa kebenaran tentang realitas dapat
diketahui tanpa bergantung pada pengamatan, pengalaman, dan penggunaan metode empiris.
Kebenaran tidak perlu diuji dengan prosedur verifikasi indrawi, tetapi dengan kriteria konsistensi
logis. Bagi kalangan ini, substansi norma dan pengalaman empiric tidak mempunyai signifikansi
apa pun tanpa ketajaman dalam pemaknaan keduanya.
Pada ujungnya, artikulasi norma, empirisme dan ketajaman rasio merupakan sesuatu yang
niscaya dalam mekanisme pembentukan hukum. Pemahaman intelektual dan kemampuan
argumentatif perlu didukung selain oleh norma-norma juga data-data empiris yang relevan agar
produk hukum betul-betul mempunyai dimensi ilmu, bukan fiksi.
Ketiga, paham positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai
hukum. Hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak

tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah mengalami positivisasi guna menjamin
kepastian mengenai apa yang terbilang hukum.
Hukum Islam memandang keduanya sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Sebagai perangkat aturan, hukum tidak bisa berdiri sendiri dalam pergumulannya dengan
masyarakat. Sebaliknya, ia perlu disandingkan dengan moralitas yang dalam terminologi agama
sering disebut tashawwuf atau akhlaq karimah. Perbedaan pandangan seperti ini berimplikasi
pada kaitan hukum dengan pranata sosial sebagai subjeknya. Dalam konteks ini, jika hukum
bersentuhan dengan moralitas maka substansi hokum tidak bersifat absolut dan final melainkan
bergantung pada aspek kemaslahatan sebagai muaranya. Intinya, hukum dikreasi bukan untuk
dirinya melainkan untuk menebar keadilan dan kemaslahatan ummat manusia.

Anda mungkin juga menyukai