1. Riwayat Hidup
Xenophanes lahir di Kolophon di Asia Kecil. Dalam suatu fragmen puisi yang masih
tersimpan ia menceritakan sendiri bahwa 67 tahun berselang pada usia 25 tahun ia
meninggalkan kota asalnya dan mulai mengembara di seluruh negeri Yunani. Dari situ harus
disimpulkan bahwa pada saat ia menulis syair itu usianya sudah 92 tahun. Tidak mustahil
untuk mengandaikan bahwa Xenophanes melarikan diri dari Kolophon ketika kota ini direbut
bangsa Parsi pada tahun 545 SM. Kalau memang begitu, kita dapat memeastikan tahun
kelahirannya : tahun 570 SM. Ada kesaksian pula bahwa, sesudah meninggalkan kota
asalnya, ia menentap beberapa waktu di kota-kota Zankle (=Messina) dan Katana di pulau
Sisilia.
Dalam tradisi Yunani diceritakan bahwa Xenophanes mengarang suatu syair, ketika
Elea, kota perantauan di Italia Selatan, dididrikan (tahun 540), untuk mengabadikan peristiwa
bersejarah itu. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa ia juga turut dalam pendirian itu
sebagaimana sering kali disimpulkan dalam tradisi. Lagi pula Plato dalam dialognya
Sophistes mengatakan bahwa mazhab filsuf-filsuf dari Elea “mulai Xenophanes, bahkan lebih
dulu”. Rupanya perkataan ini merupakan titik tolak bagi tanggapan yang lazim dalam tradisi
Yunani, bahwa Xenophanes adalah pendiri mazhab Elea. Karena itu, dalam uraian-uraian
mengenai sejarah filsafat Yunani Xenophanes sering dibahas sebagai anggota mazhab Elea.
Tetapi penelitian kritis dari data-data sejarah tidak mengizinkan kesimpulan ini.
Xenophanes menolak juga adanya banyak dewa dengan menekankan keesaan Allah.
Itulah kritik lain atas anggapan-anggapan mitologis. Katanya, “Allah itu satu adanya, yang
terbesar di antara dewa-dewa dan orang-orang manusia, tidak serupa dengan makhluk insani
dan tidak pula berpikiran seperti mereka” (Diels fr. 23). Sudah pernah disimpulkan bahwa di
sini kita bertemu dengan monoteisme yang paling murni. Akan tetapi, kesimpulan seperti itu
pasti melebih-lebihkan. Kita tidak boleh menyisipkan pikiran kita ke dalam perkataan
Xenophanes. Maksudnya tentu tidak sama dengan maksud orang Kristen dan orang Islam,
jika mereka mengatakan “Allah yang Maha Esa”. Dalam sejarah selanjutnya kita akan
melihat bahwa masalah “monoteisme atau politeisme” tidak muncul dalam alam pikiran
Yunani. Apalagi, dalam fragmen 23 tadi Xenophanes sendiri berkata “dewa-dewa dan orang-
orang manusia” dan juga pada kesempatan lain lagi ia menggunakan kata “dewa-dewa”
dalam bentuk jamak. Rupanya pendirian Xenophanes tentang Allah tidak merupakan alasan
untuk menyimpang dari cara berbicara yang tradisional.
3. Kosmologi
Ajaran Xenophanes tentang kosmos tidak begitu penting. Beberapa pendapatnya
bersifat agak primitif dan tidak merupakan kemajuan, jika dibandingkan dengan kosmologi
sebelumnya. Misalnya, ia berpendapat bahwa matahari berjalan terus dengan gerak lurus dan
bahwa tiap pagi terbitlah matahari baru. Gerhana disebabkan karena matahari jatuh dalam
lobang. Tetapi bersama J. Burnet dapat diajukan pertanyaan apakah ucapan-ucapan macam
itu tidak dimaksudkan untuk menyindir sementara pendirian filsafat alam.
Xenophanes menyangka bahwa bumi tersimpul dalam proses peredaran yang selalu
berlangsung terus. Tanah menjadi lumpur, lalu menjadi air laut. Sebaliknya, laut menjadi
lumpur, lalu menjadi tanah. Yang menarik ialah bahwa untuk itu ia menunjuk kepada bahan
bukti empiris. Di pedalaman dan di atas bukit-bukit orang telah menemukan kerang-kerang
laut. Dan di kota Syrakusa dan di pulau-pulau Malta dan Paros – terkenal karena marmernya
– orang sudah menemui fosil-fosil dalam batu. Itu membuktikan bahwa lebih dulu batu itu
dalam keadaan lumpur.