Anda di halaman 1dari 3

Agama Arkais: Simbol dan Mitos

Satu hal yang perlu kita menggarisbawahi tentang Yang Sakral, yaitu bahwa
Yang Sakral bukan sekadar untuk ditemukan lalu dideksripsikan. Menurut Eliade hal
itu akan terjawab oleh "pengalaman tidak langsung" terhadap bahasa-bahasa Yang
Sakral yang dapat ditemukan dalam simbol dan mitos-mitos.
Simbol-simbol didasarkan pada prinsip kemiripan atau analogi. Mitos-mitos
sebenarnya juga merupakan simbol-simbol berwujud narasi. Sampai di sini, semuanya
semakin terlihat jelas. Tapi masalahnya adalah bagaimana mungkin bahasa tidak
langsung ini mampu menceritakan Yang Sakral kepada kita? Kalau dikatakan
memang riil, lalu realitas macam apakah Dia? Kualitas dan karakter-karakter macam
apa yang terdapat di dalam-Nya? Eliade berusaha menjawab ini dalam studinya dan
kita akan membahasnya dalam dari bukunya yang berjudul Patterns in Comparative
Religion (1949).
Patterns adalah sebuah buku yang memuat penjelasan panjang lebar dan
eksplorasi mendalam dari simbol-simbol religius. Buku ini mencoba memaparkan
asal-usul pemikiran tentang simbol, apa itu simbol, bagaimana cara kerjanya, dan,
terutama, kenapa masyarakat arkais mempergunakan simbol tersebut.
Anggapan dari Eliade, simbol, mitos dan upacara-upacara ritual keagamaan
muncul silih berganti dalam peradaban manusia. Apa saja dalam kehidupan ini yang
bersifat biasa-biasa saja adalah bagian dari Yang Profan. Dia ada hanya untuk dirinya
sendiri. Tapi, dalam waktu-waktu tertentu, hal-hal Yang Profan dapat
ditransformasikan menjadi Yang Sakral. Jadi, seluruh objek simbolik itu bisa
dikatakan memiliki karakter ganda: di satu sisi tetap menjadi dirinya, di sisi lain bisa
berubah menjadi sesuatu yang baru dan beda dengan yang sebelumnya. Eliade
menyebut proses mengalirnya yang supernatural ke dalam yang natural ini dengan
"dialektika Yang Sakral".
Dalam logika sederhana, kontradiksi-kontradiksi yang terjadi kelihatannya
memang tidak masuk akal bahwa yang natural bisa sekaligus menjadi yang
supernatural dan walau yang natural berasal dari yang sakral tapi bertentangan secara
persis. Menurut Eliade, hal itu bisa saja terjadi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
karena rasio manusia tidak bertanggung jawab atas proses pertukaran tersebut."
Simbol dan mitos-mitos mewujudkan diri dalam imajinasi-imajiasi, yang biasanya
muncul dari ide-ide kontradiksi. Kemudian mengikat seluruh aspek pribadi, emosi,
keinginan dan aspek-aspek bawah sadar lain manusia. Dalam satu pengembaraan
intuisi, imajinasi religius melihat hal yang biasa-biasa saja dan profan sebagai hal
yang lebih dari sekadar itu dan dapat berubah menjadi Yang Sakral. Yang natural
menjadi yang supernatural.
Elfade dan Max Muller, menemukan bahan utama untuk simbol dan mitos-mitos
tersebut adalah alam fisik ini. Dalam pemikiran arkais, dunia fisik merupakan bahan
paling jelas yang menjadi imajinasi, bukti, pertanda dan analogi-analogi. Dunia ini
adalah bagian dari satu framework besar dan dunia natural selalu membuka diri untuk
menerima kehadiran aspek supernatural yang disebut Eliade sebagai "modalitas Yang
Sakral". Maka tidaklah mengherankan jika kebudayaan-kebudayaan sangat kaya
dengan figur dan simbol-simbol imajinatif. Bila simbol-simbol ini dikemas ke dalam
bentuk naratif, maka itu semua bisa dianggap sebagai sebuah mitos. Selama berabad-
abad, manusia telah menciptakan ragam simbol dan mitos-mitos yang tidak terhitung
banyaknya.

Simbolisme Langit: Dewa-Dewa Langit


Salah satu bagian paling penting dari kebudayaan-kebudayaan arkais adalah
dewa-dewa langit, yaitu kepercayaan terhadap tuhan-tuhan yang bercirikan kehidupan
surga. Langit menyiratkan sebuah makna transenden dan jarak dengan apa yang “di
atas” kita, sesuatu yang tidak terbatas, berkuasa penuh dan abadi-semuanya adalah
realitas yang penuh kekuatan. Karena langit itu tinggi, maka dengan sendirinya dewa-
dewa langit digambarkan sebagai suatu sosok yang tinggi dan jauh, tidak akan
terjangkau oleh manusia. Dewa Rudra dalam kepercayaan Hindu adalah contoh paling
tepat untuk mengilustrasikan deskripsi “di atas”. Dengan sifat kuat, perkasa dan
penguasa seluruh kehidupan, dia adalah pembawa hujan bagi lahan pertanian di desa-
desa India kuno.
Dalam kaitannya dengan dewa-dewa tersebut, menurut Eliade, di sini akan
nampak aspek psikologis yang amat penting dalam simbol-simbol keagamaan.
Simbol-simbol tersebut bukan hanya mengemukakan kepada kita tentang dunia dan
Yang Sakral, tapi juga kontinuitas antara struktur eksistensi manusia dengan struktur
kosmik. Mitos-mitos tidak hanya merefleksikan daur kehidupan dan kematian di alam
semesta, tapi juga merefleksikan bagaimana daur perjuangan hidup personal dalam
setiap individu manusia; drama kelahiran, kehidupan, kematian serta harapan untuk
dilahirkan kembali untuk penebusan dosa. Elhade mengatakan bahwa tidak ada
simbol yang bisa mendekatkan kehidupan ilahih menjadi begitu dekat manusia selain
figur-tigur penyelamat ini.

Matahari dan Bulan


Eliade menyatakan pemujaan terhadap matahari yang oleh sebagian teoritikus
sebelumnya (khususnya Max Muller) dianggap sebagai inti seluruh mitologi-
sebenarnya jarang ditemukan. Mitos dan simbol-simbol yang paling menonjol dan
tersebar di seluruh dunia sering diasosiasikan dengan peredaran bulan. Simbolisme
bulan juga melambangkan kekuatan yang semakin meluas. Dia akan selalu mencari
hubungan-hubungan baru. Sebagaimana putra dewa, bulan juga berdimensi kosmik
dan personal. Di satu sisi, bulan diagungkan yang dengan kesakralan dan kekuatan
padanya seluruh realitas dan kehidupan termanifestasikan dari dirinya
Dahulu kala. di saat masyarakat arkais berhadapan dengan bencana dan kematian,
mereka berharap bisa hidup kembali dan abadi. Harapan ini diwujudkan dengan
mengkonfirmasikan seluruh peristiwa dengan kemunculan bulan baru. Dengan
perubahan dan pergantian-pergantiannya, bulan memperlihatkan kemusnahan seluruh
dualitas tadi. Inilah salah-satu tema kunci dalam kebanyakan simbolisme Yang
Sakral.
Air dan Bebatuan
Di samping simbol-simbol besar, seperti langit dan bulan, alam pikiran
masyarakat arkais juga dipenuhi oleh simbol lain yang lebih rendah derajatnya
daripada kedua simbol tadi, yang seringkali dihubungkan dengan hal-hal yang juga
lebih dominan dalam kehidupan. Air, misalnya, di mana pun melambangkan alam
tanpa bentuk, dia telah terbentuk sebelum segala sesuatu di alam ini memperoleh
wujudnya dari dewa-dewa. Simbol-simbol dengan bebatuan melambangkan hal yang
sebaliknya. Tidak seperti air, batu memiliki substansi yang keras, kasar, dan tidak
berubah. Sebuah batu biasa tidak akan berpengaruh apa-apa kepada kita, tapi batu
sakral akan menimbulkan perasaan takut dan khawatir dalam diri manusia.

Anda mungkin juga menyukai