Anda di halaman 1dari 10

BUDAYA ARKHAIK DALAM AKTUALISASI AGAMA MODERN

Rannu Sanderan

abstrac:
As defined in Encyclopaedia Britannica, Myth is a symbolic narrative, usually of
unknown origin and at least partly traditional, that ostensibly relates actual
events and that is especially associated with religious belief. Eventhough it is
traditional manner, but the religious belief is absolutely apparent in this modern
age. That’s the interesting problem that need to be studied in this literature
research. the word myth may also be used more loosely to refer to an ideological
belief when that belief is the object of a quasi-religious faith; an example would
be the Marxist eschatological myth of the withering away of the state. The term
mythology denotes both the study of myth and the body of myths belonging to a
particular religious tradition.
Keyword: kebudayaan, remitologisasi, agama.

K
ondisi keagamaan kita secara temporer umumnya menempatkan
modernitas sebagai yang ideal (puncak peradaban). Lalu cenderung
mengidentikkan yang tradisional sebagai kolot dan tak beradab. Alhasil,
kuno, kolot, tradisional dinilai sebagai yang terbelakang atau lawan dari
kemajuan (antitesa modenitas).
Tulisan ini sebagian besar diwarnai oleh pikiran Mircea Eliade,
salah seorang ahli yang sangat penting dalam ilmu sejarah agama,
sakralitas, simbolisme, histori, agama kuno hingga pemikiran modern. Dia
berkebangsaan Romania, studinya dimulai di India dan karyanya berakhir
di Chicago. Karir dan kehidupan Eliade adalah pertemuan dua kutub;
Timur dan Barat, tradisional dan modern, mistik dan rasionalitas,
kontemplasi dan kritik, sangat komprehensif. Pada masa pensiun, dia terus
melakukan riset dan menulis sampai kemudian wafat akibat stroke pada
tanggal 22 April 1986 (Pals; 1995).

Bangunan utama dari teori Eliade adalah: Pertama, posisinya


sebagai kaum reduksionis (the ideas that physical bodies are collections of
atoms or that thoughts are combinations of sense impressions). Posisi ini
banyak mewarnai teori-teorinya. Eliade yakin pada independensi atau
keotonoman agama yang menurutnya tidak bisa hanya diartikan sebagai
produk “realitas yang lain”. Dalam hal ini, fenomena agama patut dilihat
sebagaimana dia tumbuh dalam tahapan-tahapan dirinya sendiri, dan hal
ini akan mungkin dilaksanakan kalau agama dipelajari sebagai sesuatu
yang religius. Menurutnya, kekeliruan akan timbul bila mencoba
memelajari esensi agama hanya melalui psikologi, sosiologi, ekonomi,
bahasa, seni, atau bidang-bidang lain; karena studi-studi ini melupakan
satu hal unik dan bagian yang sama sekali tidak bisa direduksi dalam
agama, itulah dimensi sakralitas agama (Pals, 1995). Sebagai satu elemen
dalam kehidupan manusia, fungsi agama harus dilihat sebagai “sebab”
ketimbang “akibat”. Kedua, merujuk pada hal metode yang dipakai. Kalau
kenyataannya agama adalah sesuatu yang independen, di mana hakikatnya
tidak bisa dijelaskan sebatas psikologi atau sosiologi belaka, maka
pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana sebaiknya agama itu
dijelaskan? Eliade memberi jawaban bahwa kita harus mempergunakan
dua sisi pandang yang terpisah. Karena kebanyakan peminat studi agama
hanya memelajari masa lalu, objek studi mereka dalam satu segi hanya
bersifat historis, maka yang dihasilkan tidak akan jauh berbeda dengan
apa yang dihasilkan sejarawan murni. Mereka hanya mengumpulkan fakta
kemudian menatanya, menggeneralisasikan apa yang didapat, mengkritisi
dan akhirnya mencoba menemukan mana sebab dan mana akibat (Pals,
1995).
Pada tataran lanjut, rasa tentang Yang Sakral bukanlah hal yang
bersifat tentatif atau terjadi hanya pada segelintir orang dan di tempat-
tempat tertentu saja. Dalam masyarakat sekuler di tengah peradaban
modern ini, manusia menganggap perjumpaan dengan Yang Sakral
tersebut adalah sesuatu yang mengejutkan, yang berada di bawah sadar
atau hanyalah berupa mimpi-mimpi nostalgia dan merupakan hasil kerja
imajinasi. Bagaimana pun tersembunyi dan samarnya Yang Sakral itu,
namun intuisi tentang Yang Sakral tetap merupakan bagian tak terpisahkan
dari pikiran dan aktivitas manusia. Tidak ada manusia yang bisa hidup
tanpanya, ketika mata dibuka untuk melihat keberadaannya, ternyata Yang
Sakral berada di segala penjuru (Eliade, 1959).

Sementara itu, menurut Arthur Schopenhouer, apapun bentuknya


manusia yang hidup hidup dalam sistem simbol yang pasti memiliki
Perasaan keagamaan, atau kesadaran religius, Sistem ajaran atau sistem
kepercayaan, Sistem peribadahan atau sistem ritual, Komunitas religius
yang menganut sistem atau ajaran suatu kepercayaan. Dan semunya
membutuhkan membutuhkan wahana pengungkapan. Wahana
pengungkapan ini akan terkonkritisasi dalam budaya, khususnya perilaku
hidup dan artifak budaya modern. Wahana kebudayaan pun sejatinya
bersumber dari spiritualitas atau dari berbagai pengalaman yang intuitif.
Jadi agama sesungguhnya inhern pada diri manusia (Schopenhouer; 1966).

Fenomena yang kita temui di tengah-tengah masyarakat tradisional


atau arkhaik adalah suatu bentuk eksistensi dalam dua wacana. Yang
Profan adalah wilayah kehidupan konkrit, yakni setiap hal yang dilakukan
sehari-hari secara teratur, kadang pula acak dan hal ini tidak terlalu
dipentingkan. Pada sisi lain, yang Sakral merupakan bidang yang
supernatural, sesuatu luarbiasa, sulit untuk dilupakan dan hal ini sangat
dipentingkan. Bila Yang Profan itu mudah hilang dan terlupakan, hanya
bayangan, sebaliknya Yang Sakral itu abadi, penuh substansi dan realitas.
Pandangan selanjutnya, Yang Profan adalah tempat di mana manusia
berbuat salah, selalu mengalami perubahan dan terkadang dipenuhi chaos.
Yang Sakral adalah tempat di mana segala keteraturan dan kesempurnaan
berada, tempat berdiamnya roh para leluhur, para kesatria dan dewa-dewi.
Setiap kita berjumpa dengan masayarakat arkhais, maka agama yang kita
dapati di tengah masyarakat itu beranjak dari konsep pemisahan kedua
wacana ini (Eliade; 1959).
Fokus perhatian agama menurut Eliade adalah Yang Supernatural,
sifatnya mudah dimengerti dan sangat sederhana. Agama berpusat pada
dan dari Yang Sakral, bukan hanya sekedar menggambarkan agama seperti
yang dilihat oleh kacamata sosial. Eliade “memaksa” kita untuk berpikir
kembali tidak hanya tentang Durkheim, tapi juga tentang seorang ilmuwan
lain yang jadi pembimbingnya, seorang ahli teologi dan sejarah agama
berkebangsaan Jerman, Rudolf Otto. Eliade mengatakan bahwa dalam
perjumpaan dengan Yang Sakral, seseorang merasa disentuh oleh sesuatu
yang nir-duniawi. Tanda-tanda orang mengalami perjumpaan ini
antaranya, mereka merasa sedang menyentuh satu realitas yang belum
pernah dikenali sebelumnya, sebuah dimensi dari eksistensi yang maha
kuat, sangat berbeda dan merupakan realitas abadi yang tiada bandingnya
(Eliade; 1959).
Seperti yang umum diketahui, diskursus simbol-simbol biasanya
didasarkan pada prinsip kesamaan tipologi atau analogi makna. Intensitas,
pola dan karakter-karakter sesuatu merupakan katalisator bagi kita untuk
berkesimpulan bahwa dua atau beberapa hal tersebut sama dengan sesuatu
yang lain. Demikian juga dalam pengalaman keagamaan, terdapat banyak
hal yang nampaknya sama dengan Yang Sakral atau menjadi penanda
tentang adanya Yang Sakral yang selanjutnya memberi indikasi mengenai
dimensi spiritual. Adapun, mitos-mitos sebenarnya pula merupakan
simbol-simbol dalam wujud narasi. Dalam hal ini, mitos bukan hanya
dipahami sebatas suatu imajinasi belaka atau melulu pertanda, tetapi
imajinasi-imajinasi yang dimuat ke dalam bentuk cerita yang mengisahkan
dewa-dewa, leluhur, para kesatria atau dunia supernatural.
Salah satu bagian paling penting dari kebudayaan-kebudayaan
agama tradisional dewa-dewa langit, yaitu kepercayaan terhadap tuhan-
tuhan yang bercirikan kehidupan surga. Langit menyiratkan sebuah makan
transenden dan jarak dengan apa yang “di atas” kita, sesuatu yang tidak
terbatas, berkuasa penuh dan abadi. Bandingkan dengan kecenderungan-
kecenderungan ajaran agama-agama abad modern sekarang! Warisan
paham arkhaik demikian nampaknya lahir kembali dalam siklis yang
spiral.

Bagi masyarakat tradisional (baca:arkhaik), menurut Eliade bahwa


tidak ada simbol yang bisa mendekatkan transendensi ilahi menjadi begitu
dekat dengan manusia selain penyelamat yang difigurkan. Yang dimaksud
adalah dewa-dewa yang menentukan hukum, kematian dan kebangkitan
kembali dari kematian guna mendapatkan ampunan dari mereka. Karena
dewa-dewa tersebut juga memiliki sifat yang “manusiawi”
(antropomorfik), dengan demikian mereka memiliki arti yang begitu
penting dalam agama-agama (Eliade; 1969).

Cara berpikir masyarakat tradisional sangat dipengaruhi oleh peng-


asosiasi-an, hubungan, pengulangan-pengulangan yang selalu memperluas
cakupan rasa sakralitas, bahkan nyaris pada seluruh aspek kehidupan –dari
suasana upacara-upacara besar sampai ke hal-hal yang sepele. Eliade
berpendapat bahwa sebagian simbol atau mitos lebih superior ketimbang
yang lain. Simbol yang lebih “besar”, lebih kompleks dan universal adalah
yang paling baik, karena bisa mencakup seluruh hal Yang Sakral yang
sebenarnya. Satu contoh yang bisa menjelaskan hal ini adalah masyarakat
primitif dari satu wilayah menemukan sesuatu yang supernatural di dekat
sebatang pohon, maka masyarakat tadi berkesimpulan bahwa pohon
tersebut telah menampakkan Yang Sakral. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya, para tetua masyarakat itu akan memikirkan
kembali simbol ini dan menyimpulkan bahwa pohon tersebut adalah
pohon kosmik, pusat alam semesta, yang juga merupakan satu hierophany
yang lebih besar dari hierophany sebelumnya. Pohon tersebut adalah
representasi Yang Sakral yang jauh lebih baik, karena memiliki cakupan
dan skala yang lebih luas dari pohon sakral yang asli. Dengan
berdasarkan keputusan para tetua kampung itu, tanda kemunculan Yang
Sakral di tempat pohon lokal tadi kemudian dinaikkan tingkatnya menjadi
image Yang Sakral yang lebih kuat lagi dari yang pertama. Simbolisme
“pohon dunia” ini kemudian menggantikan simbol lama yang jadi
hierophany kampung itu.

Sekularisme sekarang begitu kuat melakukan agresi terhadap


wilayah mitologi dari keyakinan masyarakat tradisional dengan
merasionalisasi seluruh aspek mitos. Selain itu ilmu pengetahuan dan
teknologi yang selalu didasari oleh empirisme dan logika berpikir ikut
berperan menggerogoti wilayah religiositas manusia kuno atau tradisional.
Kemampuan mitologi sejatinya dijadikan sebagai kiblat masyarakat
tradisional dalam menyelesaikan problema kehidupan sehari-hari namun
pada akhirnya tergusur (Amstrong; 2003).
Dalam kajiannya, Prof. Mircea Eliade, lebih menyoroti masyarakat
tradisional sebagai obyek, dengan seperangkat nilai sebagai pola dasar.
Bahwa seluruh eksistensi kehidupanya mengandung nilai mitis ontologis,
sehingga dengannya segala tindakan sebelumnya menjadi prototipe dari
tindakan sekarang (in illo tempore, ab origine).
Sejarah merupakan pengungkapan ontologi mistis yang terus
menerus mengulangi (seperti siklus spiral) tindakan primordial secara
sadar melalui pemaknaan isyarat maupun paradigma. Sejarah diatur oleh
arketipe. Jadi tindakan hanya sejauh meniru dan mengulangi arketipe (e.g.
dandan sangka’-Toraja), karena segala tindakan yang tidak memiliki pola
dasar adalah “tidak bermakna”. Bagi kaum modernis, mungkin
menganggap bahwa spritualitas kuno ini akan membuat masyarakat
tradisional tidak mengenali diri sendiri. Meskipun begitu, jika melihat
fakta bahwa melalui pengulangan arketipe dan pengulangan isyarat
paradigmatik maka dapat disimpulkan mengenai pembebasan waktu atau
sejarah. Misalnya dalam konsep korban; yang bukan hanya sekadar
menambah kwantitas korban arkais, namun lebih lagi yaitu mengulangi
(bukan menambah) jumlah korban awal dan persis sama dengan yang
sudah dilakukan dari sejak awal. Jadi durasi waktu duniawi disingkirkan
(Eliade, 2008). Sebagaimana halnya dengan waktu ritual itu sama persis
dengan waktu mistik. Selama seseorang melaksanakan seremoni korban
secara arketipe, maka ia sesungguhnya menginggalkan dunia profan lalu
membawa diri ke dalam kekekalan alam transenden. Dengan demikian
seluruh ritual hidup manusia yang genuine tradisional mendasar secara
teologis (non-secular).
Keunikan masyarakat tradisional, menurut Eliade adalah:
perlawanan mereka terhadap durasi waktu yang konkrit. Penolakan
mereka terhadap yang profan dan yang berkesinambungan (menolak
timeline yang linear). Juga, konsep metafisis dari masyarakat tradisional,
yang tidak diformulasikan dalam bahasa yang ilmiah. Melainkan
ditemukan dalam bentuk ungkapan-ungkapan litani, simbol-simbol, ritus,
narasi lisan dan upacara.
Pada berbagai suku primitif hampir di dunia ini (termasuk Toraja),
ditemukan adanya suatu konsep Taboo pada setiap panen baru, yang bisa
dipersamakan dengan lahirnya Tahun Baru; menyiratkan bahwa ritual
menjadi acuan dalam membagi waktu, di mana ritual yang dimaksud ialah
yang menjamin kelanjutan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sama
seperti Prof. Mircea, para pembaca yang senang memelajari tentang ilmu
pelukisan kebudayaan dari bangsa-bangsa yang ada di bumi ini akan
menyadari bahwa rangkaian periodik dari keseluruhan upacara dalam
masyarakat kuno sangatlah penting. Jika dilihat dari sudut pandang yang
konsepsional maka kita akan berhadapan dengan sebuah problema
mengenai pembebasan waktu atau sejarah. oleh karena itu, keberatan para
rasionalis tidak dapat dihindarkan (Eliade; 2008).
Dalam keberatannya atau kritiknya, manusia modern dapat melihat
keraguan atau kelelahan dalam kehadiran isyarat yang tanpa arketipe,
kecenderungan alam ke arah keseimbangan dan perhentian.
Kecenderungan seperti ini dikenal dalam bentuk kebutuhan rasio manusia
untuk menyatukan yang nyata melalui pengetahuan. Pada suduk kajian
lain Prof. Mircea menyatakan bahwa manusia modern sebenarnya dapat
saja mendekati kembali manusia kuno yang terpenjara dalam cakrawala
mitis arketipe dan pengulangan, yang dalam perspektif orang modern
dianggap sebagai ketidakberdayaan kreatifnya, atau dengan kata lain
ketidakmampuannya untuk menerima hasil atau akibat yang ditimbulkan
oleh setiap tindakan kreatif. Padahal resiko yang ditimbulkan oleh setiap
tindakan kreatif tidak lebih hanya sejauh pada sifatnya yang historis.
Karena itu segala sesuatu ditolaknya kecuali kebebasan untuk membuat
sejarah dengan menciptakan dirinya sendiri.
Selanjutnya, manusia kuno tentunya memiliki hak untuk
memandang dirinya sendiri lebih kreatif daripada manusia modern yang
melihat dirinya sendiri kreatif hanya dalam kaitannya dengan sejarah.
Sebab bukankah telah dipahami sebelumnya bahwa setiap tahun, manusia
kuno juga turut ambil bagian dalam pengulangan kosmogoni, partisipasi
dari tindakan kreatifnya itu bahkan disebut par excellence. Oleh karena itu
kita dapat mengatakan bahwa untuk waktu tertentu, manusia kuno itu
kreatif pada tataran kosmik yaitu dengan meniru kosmogoni periodik dan
berpartisipasi di dalamnya.
Namun pada bagian akhir, Prof. Mircea, sang ahli ilmu agama
bahkan seorang filosof bidang sejarah menyatakan secara mendasar
bahwa: cakrawala dari arketipe dan pengulangan hanya dapat dilampaui
dengan bebas apabila kita mau menerima filsafat kebebasan yang tidak
menyingkirkan Tuhan. Hal ini terbukti ketika oleh kaum Yahudi—
Kristen,yang memperkenalkan kategori baru dalam pengalaman religius
yakni: kategori iman, yang sesunguuhnya melampaui cakrawala arketipe
dan pengulangan (Eliade; 2008).
Janganlah dilupakan bahwa iman Ibrahim dapat didefinisikan
sebagai “bagi Tuhan segala mungkin”, iman Kristen mengimplikasikan
bahwa segala sesuatu juga mungkin bagi manusia.
Pikiran-pikiran Prof. Mircea Eliade, dapat dilihat sebagai cermin
multidimensi bagi agamawan dalam paradigma modern, sekaligus bagi
kaum penganut tradisionalisme religi. Kemampuan beliau mengurai
hampir seluruh piranti dan hakikat primordial dapat memberikan
kejernihan bagi setiap pembaca karya Eliade, bahkan kontradiksi-
kontradiksi gagasan dan analisis yang sistematis membuat gagasan Prof.
Mircea terlihat menjadi tajam.
Tipologi hierophany lain adalah theophany (dari bahasa Yunani
theos, “ketuhanan”), berarti kemunculan/manifestasi tuhan. Menurut
Eliade Teofani dalam diri Kristus bila dihadapkan dengan teofani-teofani
lain adalah bagaikan pohon kosmik dihadapkan dengan pohon yang ada di
kampung masyarakat tradisionalisme tadi. Dia lebih besar, lebih utama
dan tentu saja memiliki image ketuhanan yang lebih baik. Hanya saja,
dalam wujud Tuhan-yang menjadi Manusia, Kristus mampu mencakup
“Yang Sakral” melampaui sosok-sosok lain, katakanlah dewa Pan dari
Yunani yang hanya digambarkan sebagai penguasa padang rumput atau
hutan belantara (Eliade; 2008).
Dalam mengingat kembali (anamnesis) peristiwa kelahiran,
penyaliban, dan kebangkitan kembali Yesus, sejatinya iman Kristen tidak
melibatkan ritual-ritual ingin kembali, mereka tidak berusaha untuk
kembali kepada keabadian. Mereka melakukan pengingatan terhadap
peristiwa-peristiwa historis yang telah final tersebut bahwa yang diminta
dari mereka hanyalah keteguhan hati iman yang sebenarnya kepada Yesus.

Referensi

1. Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan, Kisah pencarian Tuhan yang


dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen dan Isalm selama 4000
tahun, Penerbit Mizan, 2003
2. Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, Dover
Publications, 1966
3. Eliade, Mircea, The Myth of the Eternal Return or, Cosmos and History
(MITOS Gerak Kembali Yang Abadi Kosmos dan Sejarah) Ikon
Teralitera, Yogyakarta, 2008
4. --, The Sacred and the Profane (terj. Willard J. Trask, Chicago, 1959)
5. --, The Quest; History and meaning in religion (terj. Willard J. Trask,
Chicago, 1969
6. Pals, Daniel L. Dekontruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama;
IRCiSod, Yogyakarta, 1995

Anda mungkin juga menyukai