Anda di halaman 1dari 5

Nama : Arif Fahmi

NIM : 19058044

UJIAN AKHIR SEMESTER

SOSIOLOGI AGAMA

1. Jelaskan asal usul agama menurut E. B Taylor dan J. G Frazer? Kenapa asal usul agama
menurut mereka berbeda? Jelaskan perbedaan dan persamaan pandangan mereka beserta
penjelasan dan contoh?
Jawaban :

E.B. Tylor mendefinisikan agama sebagai suatu keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual.
Menurutnya esensi setiap agama adalah animisme, yang  artinya kepercayaan terhadap
sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada di balik segala sesuatu. Seperti adanya
roh di dalam tumbuhan, sungai, pepohonan, binatang dan bintang-bintang. Animisme
merupakan bentuk pemikiran tertua dalam sejarah religi manusia.

Menurut Tylor, agama berkembang dari animisme menjadi politeistik dan menuju
monoteistik, sebagaimana pada umat Kritiani dan Yahudi – dan tentu juga Islam.
Rekonstruksi teori Tylor tentang asal-mula agama dapat dikutip sebagai berikut:

Manusia dalam kebudayaan tingkat rendah yang telah memiliki budaya berpikir sepertinya
sangat dipengaruhi oleh dua persoalan biologis. Yang pertama adalah apakah yang
membedakan antara tubuh yang hidup dan yang telah mati; apa yang menyebabkan
manusia bisa terjaga, tidur, pingsan, sakit dan mati? Kedua, wujud apakah yang muncul
dalam mimpi dan khayalan-khayalan manusia? Mencermati kedua persoalan ini, para
“filosof liar” (savage philosopher) masyarakat primitif kemudian mencoba menjawabnya
dengan dua tahap; pertama, dengan menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dua hal,
yaitu jiwa dan roh (phantom) sebagai bayangan dan diri kedua bagi jiwa. Kedua hal ini
juga dianggap sebagai bagian yang terpisah dari tubuh. Kedua, dengan mengkombinasikan
jiwa dan roh tadi, para “filosof liar” berhasil mendapatkan konsepsi tentang Jiwa Yang
Memiliki Pribadi.

Menurut Fazer Jalan agama untuk menguasai alam bagi masyarakat primitif adalah magis.
Frazer membagi magis menjadi dua macam, yaitu : magis imitatif dan magis penularan
(kontak). Magis dibangun atas asumsi bahwa jika satu ritual atau perbuatan dilakukan
secara tepat, maka akibat yang akan dimunculkannya juga pasti akan terwujud seperti
yang diharapkan. Biasanya orang yang menguasai magis akan memiliki status sosial yang
kuat di masyarakat. Menurut Frazer, magis dapat disebut sebagai pseudosains (ilmu
pengetahuan palsu). Selanjutnya, Frazer ingin membedakan antara magis dan agama.
Bahwa ada prinsip-prinsip magis yang ditolak oleh agama. Sebagaimana bila seorang
ingin mengendalikan atau mengubah kekuatan alam, yang semestinya dia lakukan bukan
merapalkan mantera-mantera magis, melainkan berdoa dan memohon kepada dewa-dewi
yang mereka yakini. Kekuatan yang terdapat di balik alam semesta bukanlah prinsip tapi
kekuatan itu berbentuk pribadi yang disebut Tuhan. Bagi Frazer, kepercayaan terhadap
kekuatan supernatural dan usaha-usaha manusia untuk memperoleh pertolongan-Nya
dengan cara berdoa atau melakukan ritual-ritual lain, telah membebaskan pikiran manusia
dari belenggu keyakinan magis, dan membawanya kepada keyakinan keagamaan.
Perkembangan pemikiran dari magis menuju agama merupakan suatu bentuk kemajuan
sebab penjelasan agama tentang dunia lebih baik ketimbang yang diberikan magis.

Persamaaan dan perbedaaan pandangan mereka:

a) Bahwa dalam menjelaskan fenomena keberagamaan harus terlepas dari peristiwa-


peristiwa alam gaib. Sebaliknya dalam mengkaji fenomena tersebut sebaiknya
berdasarkan penjelasan yang bersifat kealaman dan didukung oleh fakta empiris
sebanyak mungkin, kemudian diteruskan dengan pengkomparasian dan
pengklarifikasian, sehingga didapatkan suatu teori umum yang mencakup segala aspek.
Salah satunya dengan bantuan ilmu etnologi dan antropologi.
b) Kedanya komitmen untuk menjelaskan agama dari segi asal-usulnya di masa prasejarah.
Mereka yakin dapat mengkaji asal usul agama dengan menemukan proses kemunculan
agama pertama kali. Agama merupakan buah dari evolusi intelektual manusia sejak
jaman primitif.
c) Para teoritikus sekarang sering mangatakan bahwa Tylor dan Frazer adalah pendukung
utama pendekatan “individualisme” terhadap agama. Sebab pandangan keduanya tentang
asal usul agama yang berasal dari pemikiran seorang filosof liar jaman primitif. Agama
tidak dipandang sebagai sebuah kebutuhan, struktur dan aktivitas sebuah kelompok.

Sumber bacaan :

Mahendradhani, G. A. A. R. (2017). Animisme dan Magis EB Tylor dan JG Frazer


(Sebuah Analisis Wacana Agama). VIDYA SAMHITA: Jurnal Penelitian Agama, 3(2).

2. Kenapa Durkheim mengatakan bawha masyarakat sebagai yang sakral bukan agama
sebagai yang sakral? Uraikan dengan jelas dan berikan penjelasan beserta contoh?
Jawaban :

Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama


bukanlah terletak pada elemen-elemen ”supernatural”, melainkan terletak pada konsep
tentang ”yang sakral” (Sacred), di mana keduanya yaitu supernatural dan yang sakral,
memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan
manapun, baik yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik
umum yaitu memisahkan antara ”yang sakral” (Sacred) dan ”yang profan” (profane), yang
selama ini dikenal dengan ”natural” dan ”supernatural”. Durkheim menambahkan bahwa
hal-hal yang bersifat ”sakral” selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa,
yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-hal
yang bersifat ”profan” merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa
saja.

Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada ”yang sakral”, karena
memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota
masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya
merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Maka, Durkheim mengingatkan bahwa
dikotomi tentang ”yang sakral” dan ”yang profan” hendaknya tidak diartikan sebagai
sebuah konsep pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai ”kebaikan” dan yang profan
sebagai ”keburukan”. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan samasama ada dalam
”yang sakral” ataupun ”yang profan”. Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi
profan dan begitupula sebaliknya yang profan tidak dapat menjadi yang sakral. Dari
definisi ini, konsentrasi utama agama terletak pada hal-hal yang sakral.

Durkheim, menjelaskan kata ”komunitas” (community) dan Gereja (church), mempunyai


arti yang signifikan. Menurutnya fungsi sosial dan komunal agama merupakan inti dalam
pemikiran dan teori agama-nya. Agama pada dasarnya merupakan sesuatu yang kolektif,
bahkan Durkheim membedakan agama dari magis dengan menyatakan. Magis merupakan
upaya individual, sedangkan agama tidak dapat dipisahkan dari ide komunitas peribadatan
atau moral. Magis dan agama dapat saja hidup berdampingan, sebab yang pertama
berusaha dengan hal-hal yang bersifat personal, sedangkan yang kedua menyangkut
dengan hal-hal yang bersifat sosial. Maka, menurutnya seseorang yang berkemampuan
magis dapat saja memiliki beberapa klien, tetapi tidak akan pernah memiliki jama’ah dan
mungkin tidak pernah ada yang dinamakan gereja magis.

Sumber bacaan :
Muhammad, N. (2013). Memahami konsep sakral dan profan dalam agama-
agama. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 15(2), 266-278.

Gunawijaya, I. W. T. (2021). Cetik Pegulatan Profan & Sakral. Proseding Mistisisme


Nusantara Brahma Widya.

3. Kenapa Marx mengatakan bahwa agama membentuk masyarakat teralienasi? Uraikan


dengan jelas dan berikan contoh?
Jawaban :

Bagi Marx, agama adalah sebuah ilusi. Dalam hal ini, ia secara khusus dipengaruhi oleh
pandangan Feuerbach yang memandang agama sebagai sebuah bentuk proyeksi esensi
manusia ke dalam satu entitas yang dianggap suci, yang kemudian diberi sifat-sifat
kekuasaan yang melebihi manusia. Dalam agama, manusia menciptakan Tuhan yang
kemudian dianggap sebagai penciptanya. Bahkan lebih buruk lagi, agama mengandung
konsekuensi kejahatan, yaitu sebagai alat penindas. Hal ini merupakan contoh paling
ekstrem dari sebuah ideologi, sebuah sistem yang memiliki legitimasi kebenaran bagi
dirinya sendiri.

Marx menganggap bahwa ajaran Hegel dan teologi Kristen mempunyai kesalahan yang
sama. Para agamawan telah bersepakat menentukan kualitas personal, seperti kebaikan,
kecantikan, kebenaran, kebijaksanaan, dan cinta, kemudian menyebutnya sebagai kualitas
yang harus ada pada manusia. Lebih dari itu, kualitas personal tersebut mengindikasikan
sesuatu yang sama tidak berhubungan dengan manusia, yaitu Tuhan. Inilah yang
dimaksudkan Marx sebagai kesalahan teologi Kristen. Marx sendiri tidak pernah bisa
melupakan bahwa keluarganya terpaksa meninggalkan agama Yahudi karena tekanan
politik yang didominasi oleh teologi Kristen.

Agama mengambil sifat-sifat ideal moral dari kehidupan manusia yang dasar, dan secara
tidak wajar memberikannya pada suatu wujud asing dan khayal yang disebut tuhan.
Agama merampas kebaikan individu manusia dan memberikan kepada tuhan. Agama telah
mengalienasikan manusia dari dirinya sendiri.

Marx juga mempersalahkan Hegel yang mengajarkan ide-ide abstrak seperti kebebasan,
akal, kebaikan, dan objektivitas. Baik ajaran Hegel maupun teologi Kristen sama-sama
telah mengalienasi kesadaran manusia, karena menundukkan manusia di bawah entitas
suci yang diciptakannya. Manusia menciptakan agama, tetapi agama tidak pernah
membuat kehidupan manusia menjadi lebih manusiawi.

Meskipun demikian, agama tetap saja menarik bagi masyarakat secara umum.
Menurutnya, orang tertarik kepada agama karena didasari oleh kebutuhan emosionalnya
yang jauh dari kebahagiaan. Penderitaan ekonomi membuat orang tidak memiliki pilihan
lain, sehingga mengekspresikannya ke dalam agama. Dengan demikian, agama tidak lebih
dari halusinasi sesaat, sehingga ia merupakan musuh yang harus dimusnahkan. Manusia
tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya jika ia masih dalam ilusi
keagamaan.

4. Kenapa Weber mengatakan perilaku ekonomi masyarakat kaltolik mempengaruhi perilaku


ekonomi masyarakat katolik? Uraikanlah dan berikan contoh?
Jawaban :

Berbicara mengenai agama, Max Weber mengawalinya dengan adanya stratifikasi social
antara kelas menengah rendah dengan kelas menengah atas. Weber mengatakan bahwa
kelas menengah rendah dianggap memainkan peranan yang startegis dalam sejarah agama
Kristen yang dipercayai sebagai aama keselamatan. Berbeda dengan kecenderungan
keagamaan kaum petani yang mana Weber mengatakan bahwa kaum petani yang
merupakan kelas sosial rendah tidak sudi dalam menyebarkan agama kecuali tidak
diancam. Di samping itu, kaum pengrajin telah terlibat dengan kegiatan yang bersifat
magis yang mampu berkembang kepada sikap yang rasional. Hal inilah yang tidak
dijumpai pada kaum petani kecuali ada pemaksaan dan pihak-pihak yang bersikeras
(Weber, 1963).
Di balik itu semua, Weber melihat bahwa kaum pedagang kaya tidak mempercayai yang
namanya etika pembalasan, ini berbeda sekali dengan keyakinan yang dipercayai oleh
kelas menengah rendah. Weber menilai bahwa kelas pedagang kaya tidak mempercayai
yang namanya agama penyelamat. Akhirnya, Weber menyimpulkan bahwa semakin tinggi
keadaan suatu kelas atau kaum, maka semakin tidak terlihat perjuangan mereka dalam
mengembangkan agama keduniawaian lainnya (Weber, 1963).

Di sisi yang lain, Weber melihat bahwa para kesatria dalam kesehariannya tidak
memperlihatkan etika yang tepat dalam berperilaku di bawah keyakinan adanya Tuhan,
sehingga tidak memahami apa itu dosa, pentingnya keselamatan dan kerendahan hati
dalam menjalankan agama. Ketika kaum ini menghadapi kematiannya, mereka tidak
memperlihatkan sikap yang rasional dan tidak bisa diterima dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka hanya cenderung memainkan moment agama sebagai sebuah pelindung dari roh
jahat, berdoa hanya untuk sebuah kemenangan dan meyakini bahwa kelak telah ada surga
buat kaum kesatrian dengan sendirinya. Keadaan inilah yang membuat kaum kesatria jauh
dari makna sebuah agama dan hanya mengedepankan kebutuhan duniawi semata.

Selain melihat gaya kehidupan kaum kesatria, Weber juga mengamati kaum elit lainnya
dan kelas yang tidak mempunyai hak yang istimewa. Akan tetapi, kaum elit diketahui juga
tidak mengembangkan gagasan keselamatan, akibatnya mereka hanya memanfaatkan
fungsi agama sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya di dunia. Di sisi yang lain, kelas-
kelas yang tidak mampu atau kelas bawah tidak akan dapat bertindak membawa panji-
panji agama tertentu seperti para budak dan buruh harian, sehingga terjadi ketidakadilan
dalam kehidupan antara kaum elit dengan kaum bawah (Weber, 1963).

Selanjutrnya, berkaitan dengan pusat perhatian Weber bahwa ia mempelopori


penyelidikan antara soal-soal sosial dan pengaruh berbagai agama. Pokok pikiran Weber
memperlihatkan bahwa agama Kristen Barat sebagai suatu keseluruhan yang tumbuh serta
muncul sebagai akibat dari reformasi, dan telah banyak mendorong terbentuknya keadaan
perekonomian yang memancing terjadinya kapitalisme modern. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa pusat perhatian Weber ialah agama memengaruhi pandangan hidup
manusia terhadap masyarakat dan Perubahan ekonomi sekaligus sosial sangat
mempengaruhi agama.

Anda mungkin juga menyukai