Anda di halaman 1dari 9

Resume

Identitas Buku :
Judul : Nine Theories of Religion
Penulis : Daniel L. Pals
Identitas Resebsator :
Nama : Almas Inti Kiasati
NIM : 21200011110
Jurusan : Ilmu Perpustakaan dan Informasi

Introduction / Pendahuluan
Dalam Bab pendahuluan di buku Nine Theories of Religion milik Daniel L. Pals diawali dengan
menerangkan Max Muller, seorang Profesor dari Oxford University. Alasan Pals membahas
mengenai Muller ialah karena Muller merupakan salah satu orang yang pertama kali
mengemukakan frase “Ilmu Agama (Science of Religion)” di depan audiensnya pada tahun 1870
di panggung Royal Institution London. Selain itu Muller juga merupakan seorang peneliti yang
berusaha untuk melihat agama dari sudut pandang saintis, yaitu dengan mengumpulkan berbagai
fakta, kebiasaan, ritual dan kepercayaa (data) dari semua agama di seluruh dunia dan
mengemukakan teori untuk menjelaskannya, sebagaimana seorang ahli biologi atau kimia yang
mencoba menjelaskan cara kerja alam. Muller mendapat penentangan dan kritik keras dari Adolf
Von Harnack, seorang sejarawan Gereja terkemuka pada saat itu, ia bersikeras bahwa hanya ke
kristenan yang penting, agama lain tidak, Harnack berpendapat bahwa yang tidak mengenal agama
Kristen sama dengan tidak mengenal siapa-siapa, ia juga menambahkan bahwa tidak ada gunanya
pergi ke India atau Cina, apalagi Afrika atau Papua, karena kebenaran hanya ada pada pemeluk
Kristiani. Namun Muller meyakini bahwa studi yang serius akan menunjukan bagaimana intuisi
spiritual tertentu akan menhubungkan orang-orang bijak dari berbagai negara termasuk Asia yang
jauh dari ke kudusan.
Pals dalam buku ini akan membahas mengenai 9 teolog yang membahas mengenai Agama yang
dilihat dari sudut pandang saintis, mulai dari (1) EB Tylor dan James Frazer, (2) Sigmund Freud,
(3) Emile Durkheim, (4) Karl Marx, (5) Max Weber, (6),-William James, ( 7) Mircea Eliade, (8)
EE Evans—Pritchard, dan (9) Clifford Geertz.
Definisi Istilah
Para teoritis lebih suka dengan definisi-definisi substantive yang serupa dengan pendekatan akal
sehat. Para teoritis mendefinisikan agama dalam batasan kandungan konseptual, atau ide-ide, yang
dijalankan atau dirasa penting oleh orang-orang yang religius. Namun para teoritis lain
menganggap pendekatan ini terlalu restrictif, dan sebagai gantinya, mereka menawarkan definisi
yang lebih fungsional. Mereka mendefinisikan agama sekedar dalam Batasan bagaimana ia
beroperasi dalam kehidupan manusia. Mereka ingin tahu apa arti agama bagi seorang individu
secara psikologis atau bagi suatu kelompok secara social. Mereka cenderung menggambarkan
agama sebagai sesuatu yang memberi dukungan pada suatu kelompok atau sesuatu yang membawa
rasa senang atau kesejahteraan bagi seorang individu.
Dalam masalah “teori”. Pada pandangan pertama, ide tentang “penjelasan” agama tidak sulit untuk
dipahami, namun semakin dalam orang menjelaskan secara sungguh-sungguh maka semakin
banyak keruwetan yang muncul. Ilustrasi singkat mungkin cukup untuk membuktikan masalah
tersebut. Pertama, seorang teoritis yang berniat ingin menjelaskan agama dengan menunjukan
“asal-usul”-nya, maka kata ini dapat berarti beberapa hal; asal-usul prasejarah; asal-usul social
atau psikologis dll. Dalam menilai teori, penting untuk mengetahui apa jenis “asal-usul” agama
yang mereka ajukan, dan apa hubungan suatu jenis asal-usul dengan jenis asal-usul lainnya.
Teori agama tak kalah dari definisi, dapat juga bersifat fungsional ataupun substantif. Para teoritis
yang mendukung pendekatan substantif cenderung menjelaskan agama secara intelektual, dalam
Batasan ide-ide yang mendorong, menggerakan dan mengilhami orang. Para teoritis yang
menekankan peran pemikiran dan perasaan manusia ini terkadang pendekatan mereka dianggap
lebih bersifat “ menafsirkan (interpretative)” ketimbang “menjelaskan (explanatory)”. Para teoritis
ini menolak “penjelasam” karena penjelasan hanya berbicara tentang “benda” bukan orang.
Sebaliknya, para teoritis fungsional sangat tidak setuju. Mereka menganggap bahwa meskipun
penjelasan baik bagi benda (bagi objek fisik dan proses alami), penjelasan berguna pula untuk
memahami orang. Mereka berpendapat bahwa ada struktur social yang pokok atau penderitaan
psikologis tanpa perhatian yang merupakan akar tinglah laku agama yang sesungguhnya.
Chapter 2
Agama dan Kepribadian
Sigmund Freud
Dalam Bab 2 dari buku Nine theories of religion milik Daniel L. Pals menerangkan mengenai
konsep agama dan kepribadian milik Sigmund Freud. Freud adalah seorang dokter yang tertarik
dalam menganalisis jiwa manusia. Freud merupakan salah satu orang yang berusaha untuk
memahami agama / menerangkan agama menggunakan teori psikoanalisis. Teori psikoanalisis
milik Freud, merupakan salah satu teori yang membahas tentang hakikat dan perkembangan
bentuk kepribadian yang dimiliki oleh manusia, atau secara sederhananya psikoanalisis merupakan
teori yang cenderung melihat kepribadian manusia berdasarkan analisis mimpi / alam bawah sadar.
Freud lebih mengandalkan penalaran deduktif dibandingkan dengan metode riset yang ketat, selain
itu Freud menggunakan pendekatan studi kasus serta merumuskannya berdasarkan hipotesis-
hipotesis terhadap fakta kasus yang ditemukan.
Dalam buku Group Psychology and the Analysis of the ego (1921), Freud menguraikan konsep
tentang libido atau nafsu seksual, dengan memasukan ide yang lebih luas tentang keterkaitan
emosional yang tersebar, seperti yang ditemukan dalam keluarga. Kemudian Freud
menerapkannya untuk menerangkan bagaimana suatu komunitas besar seperti gereja memiliki
ketergantungan atau keterkaitan personal terhadap seorang pemimpin di dalam agama Kristen
misalnya kebaktian terhadap pribadi Kristus dan sesama orang beriman adalah apa yang
memberikan rasa solidaritas yang mengikat pada komunitas umat yang besar dan bervariasi.
Pendekatan Freud terhadap agama bertentangan dengan pendekatan kaum religius. Orang-
orang religius mengatakan bahwa mereka percaya terhadap agama karena Tuhan telah berbicara
pada mereka melalui Bibel, karena suatu keutuhan yang telah menyentuh hati mereka, atau karena
yang diajarkan oleh gereja atau sinagog mereka adalah kebenaran. Freud sebaliknya, betul-betul
yakin bahwa ide-ide agama tidak berasal dari Tuhan atau para dewa, karena dewa tidak ada, dan
tidak juga kepercayaan semacam itu berasal dari suatu jenis pemikiran logis tentang dunia yang
biasanya mengarah pada kebenaran. Freud meyakini bahwa kepercayaan agama adalah salah, dan
tahayul yang menarik, yang mengangkat persoalan penting tentang hakikat manusia. Salah satu
yang menjadi persoalan Freud adalah “Mengapa jika kepercayaan itu jelas-jelas salah, namun
begitu banyak orang yang terus mempertahankan kepercayaan tersebut? Jika agama tidak rasional,
lantas bagaimana orang mendapatkannya?” Dalam psikoanalisis, ia mengklaim telah menemukan
jawabannya.
Dalam sebuah artikel dengan judul “Obsesive Actions and Religious Practices” (1907), dalam
artikel tersebut, Freud mengamati bahwa terdapat kesamaan yang dekat antara aktivitas orang-
orang yang religius dengan tingkah laku para pasiennya yang neurotik. Misalnya, keduanya
banyak menekankan pada pelaksanaan hal-hal menurut cara upacara yang terpolakan, keduanya
juga merasa bersalah apabila tidak mengikuti aturan ritualnya hingga sempurna. Dalam kedua
kasus tersebut, upacara terkait dengan represi pada insting-insting dasar. Neurosis psikologis
biasanya muncul dari represi pada dorongan seks, sedangkan agama menuntut represi pada
mementingkan diri sendiri, mengontrol insting ego. Represi pada seks mengakibatkan neurosis
obsessional individual, sedangkan agama menurut Freud merupakan suatu neurosis obsessional
universal karena dipraktekan secara luas oleh bangsa manusia, tidak hanya satu individu saja.
Dalam pandangan Freud, tingkah laku agama selalu menyerupai penyakit jiwa, maka demikian,
konsep paling sesuai untuk menjelaskan agama adalah konsep yang telah dikembangkan oleh
psikoanalisis.
Totem and Taboo
Buku Totem and Taboo (1913) merupakan buku Freud yang dianggap terbaik. Buku itu
menguraikan penafsiran psikologis tentang kehidupan orang-orang primitif. Dalam buku tersebut
Freud menjelaskan mengenai dua praktik orang-orang primitif yang dianggap sangat aneh oleh
pikiran modern, yaitu penggunaan binatang sebagai “Totem” dan adat kebiasaan tentang “Tabu”.
Dalam kasus pertama, sebuah suku atau klan memilih mengasosiasikan dirinya dengan binatang
tertentu (atau tumbuhan), yang dianggap sebagai objek yang suci, atau totemnya. Dalam kasus
kedua, seseorang atau sebuah benda disebut tabu apabila sebuah suku ingin menganggapnya
terlarang. Salah satu tabu yang paling tua dan telah ditaati oleh sebagian besar masyarakatnya
antara lain ialah, yang pertama, tak boleh ada inces, perkawinan harus bersifat “eksogami” yakni
dengan klan atau keluarga lain. Yang kedua, tak boleh membunuh atau memakan binatang totem,
kecuali pada peristiwa seremonial tertentu, ketika peraturan ini dilanggar dengan sungguh-
sungguh, memakan “totem” juga diaggap sebagai “tabu”. Binatang totem disini, dianggap sebagai
pengganti ayah mereka, yang telah mereka bunuh demi dapat mengawini ibunya. Totem digunakan
sebagai simbol dari ayahnya, yang akan mereka sembah, sebagai bentuk penyesalan, dan
penebusan dosa (Oedipus kompleks).
Salah satu persoalan yang ditemukan Freud ialah, jika adalah salah untuk mempercayai totem dan
tabu, lantas mengapa orang-orang terus melakukan hal tersebut?
Freud telah menemukan jawabannya, ia mengklaim bahwa pengalaman dengan pasien yang
neurotik menunjukan bahwa kepribadian orang yang normal dan orang yang terganggu sama-sama
ditandai dengan kuat oleh ambivalensi, atau dapat dikatakan bentrokan antara keinginan-keinginan
kuat yang bertentangan. Orang-orang neurotik obsessif, misalnya terkadang merasakan kesedihan
yang ekstrem ketika seseorang yang dicintai, ayah atau ibu meninggal. Namun, melalui penelitian
bawah sadar, kita sering menemukan bahwa, kesedihan terebut bukanlah cinta, melainkan dosa
dan kebencian yang benar-benar menyebabkan emosi mereka. Seorang neurotik menurut Freud,
secara tidak sadar mengharapkan orang tuanya mati, namun setelah kematian tersebut terjadi,
mereka terus menerus merasakan dosa yang berat karena telah menyimpan harapan yang
mengerikan. Untuk mengatasi stress, seorang neurotik bahkan memproyeksikan pada orang yang
mati tersebut beberapa sifat negatif, sehingga harapan kematian tersebut akan tampak dapat
dibenarkan.
Kembali lagi kepada totem dan tabu, meskipun biasanya jiwa totem adalah suci, penelitian yang
baru di Australia menunjukan bahwa ada peristiwa suci tertentu dimana peraturan tersebut ditolak.
Maka binatang totem dibunuh, dan dimakan pada suatu pesta ritual oleh seluruh anggota kelompok
/ klan. Dari sudut psikoanalisis oleh Freud, pengorbanan totem hanya dapat dimengerti sebagai
upacara emosional yang dalam di mana komunitas / kelompok melakukan kembali pembunuhan
awal terhadap ayah pertama yang melalui kematian. Pada tingkat aktivitas yang sadar, para
anggota suku mengidentifikasi binatang dalam pengorbanan totem dengan ayah mereka sendiri
yang telah mati, dan dengan proyeksi, memberi ayahnya status ketuhanan, mereka mengaku bahwa
mereka semua adalah anak-anaknya dan memanjatkan padanya ibadah dengan cara memakan
daging totem, dan menahan nafsu seksual mereka. Namun dalam alam bawah sadarnya juga
mencurahkan kebencian karena penolakan seskual yang mereka tahan hingga sekarang, ritual itu
melahirkan frustasi dan kebencian terhadap dorongan oedipal mereka.
Sakramen modern seperti komuni Kristen juga menunjukan karakter totem ini. Seperti ritual kuno,
ia melakukan kembali dan berusaha menolaknya, kejahatan awal umat manusia. Di dalam komuni,
darah dan daging Kristus, dimakan untuk mengingat penyalibannya, suatu kematian yang diderita
karena “dosa awal” pemberontakan pertama. Atas nama saudara-saudaranya, Kristus menebus
kejahatan prasejarah mereka. Namun, pengenangan tersebut juga merupakan pemeragaan. Karena,
dalam teolog Kristen, ayah dan anak adalah satu, sakramen dari kematian anak secara simbolik
merupakan sakramen terhadap pembunuhan ayah. Jadi komuni secara sembunyi-sembunyi
membangkitkan kembali kebencian oedipal maupun cinta.
Freud mengakui bahwa proses Panjang evolusi terjadi antara bangsa kanibal awal dengan
makan komuni agama Kristen. Ia menyatakan bahwa, setelah waktu berjalan binatang totem
direduksi menjadi anugerah pengorbanan yang sederhana. Tempatnya digantikan oleh yang lain,
pertama oleh dewa manusia-binatang, kemudian oleh dewa-dewa politeisme, dan akhirnya oleh
Tuhan Bapak dari agama Kristen. Perhatian utama Freud, adalah untuk menunjukan hubungan
yang mencolok antara agama pada masa sekarang dengan upacara misterius dari bangsa primitif
dari masa lalu. Freud menegaskan, jika ingin melihat asal-usul agama, hanya perlu melihat pada
peristiwa yang menyedihkan dan ketegangan psikologis yang dalam. Lahirnya kepercayaan itu
dapat ditemukan di dalam Oedipus kompleks, dalam emosi kuat yang terpecah, yang
mengakibatkan manusia melakukan kejahatan besarnya yang pertama, lalu mengubah ayah yang
dibunuh menjadi seorang dewa dan menjanjikan pengingkaran seksual sebagai cara untuk
mengabdi kepadanya.
The Future of an Illusion
Dalam buku tersebut, Freud menjelaskan bahwa kita lebih senang menghadapi hal-hal yang kita
alami di hari-hari cerah pada masa kanak-kanak, di mana selalu ada seorang ayah yang akan
menentramkan kita melawan angin topan dan gelapnya malam. Juga selalu ada suara yang
mengatakan bahwa segalanya akan berakhir baik. Dalam kenyataannya, pada masa dewasa, kita
selalu merindukan masa kanak-kanak walau dalam realitasnya tidak akan terulang kembali.
Dengan mengikuti pola masa kanak-kanak, Freud menyatakan bahwa kepercayaan agama
memproyeksi pada dunia luar suatu wujud Tuhan, di mana melalui kekuasaan-Nya menghalau
terror alam, yang memberi kita kenyamanan saat menghadapi kematian, sehingga kematian
kehilangan sengatannya, dan dengan mengingkari nafsu kita, kita meyakini bahwa kita tidak hanya
membantu masyarakat; tetapi juga menaati hukum-hukum abadi Tuhan yang adil dan Budiman.
Menurut Freud, kata terbaik untuk menggambarkan kepercayaan tersebut ialah “Ilusi”. Ilusi adalah
kepercayaan yang karakterisitik utamanya adalah bahwa kita sangat menginginkannya menjadi
benar. Suatu ilusi tidak sama dengan delusi, sesuatu yang kita Yakini ingin menjadi benar, namun
dianggap oleh orang lain bukanlah kebenaran, dan mungkin tidak pernah menjadi kebenaran.
Menurut Freud, ajaran agama bukanlah kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan, bukan pula
kesimpulan logis yang didasarkan pada bukti yang diperoleh secara ilmiah. Sebaliknya, ajaran
agama adalah ide-ide yang kita sangat menginginkan kebenaran dari ajaran tersebut, ajaran agama
adalah harapan manusia yang paling mendesak, paling kuat dan paling tua. Pada akhirnya, Freud
menyatakan bahwa kepercayaan agama adalah delusi. Freud mengatakan bahwa agama adalah
neurosis obsessional umat manusia yang universal, seperti neurosis obsessional dari anak-anak, ia
muncul dari Oedipus kompleks, dari hubungan dengan ayah. Jika pandangan ini benar, dapat
diduga bahwa pemalingan dari agama dapat terjadi pada proses pertumbuhan penting yang tak
terelakan, dan bahwa pada titik waktu ini, kita menemukan diri kita berada pada fase
perkembangan tersebut. Freud berkesimpulan bahwa agama merupakan neurotik pada masa
sekarang, dan ketika umat manusia berada dalam kehidupan dewasa, ia harus membuang agama
dan menggantinya dengan bentuk-bentuk pemikiran yang sesuai dengan masa dewasa. Menurut
Freud, orang-orang dewasa membiarkan hidupnya diatur oleh akal dan sains, bukan takhayul dan
agama.
Moses and Monotheism
Dalam buku Moses and Monotheism, persoalan yang ingin dipecahkan Freud adalah mengenai
bagaimana setelah melalui banyak abad, kepercayaan monoteisme sejati dilahirkan, kelihatan mati,
dan kemudian hidup kembali. Bagaimana mungkin, keimanan Musa yang telah lama menghilang
dari kehidupan umatnya, muncul kembali dalam hati dan jiwa seluruh komunitas Yahudi?
Freud menjawabnya menggunakan psikoanalisis. Di mana sekali lagi, menurut Freud agama paling
baik dipahami bila sejalan dengan neurosis.
Teori psikoanalisis dengan jelas menunjukan bahwa kasus neurosis pribadi mengikuti pola yang
telah lazim. Kasus itu bermula, biasanya di masa awal kanak-kanak, dengan suatu peristiwa
traumatik yang sulit, yang pada suatu waktu dapat keluar dari ingatan. Kemudian diikuti suatu
periode “latensi”, di mana peristiwa traumatik tersebut hilang dari ingatan, semua tampak normal,
tetapi kemudian pada masa puber atau permulaan dewasa, perilaku irrasional sebagai tanda
neurosis tiba-tiba muncul kembali. Kita mengetahui bahwa yang ditekan, pasti akan muncul
kembali.
Kita dapat membandingkan tahapan-tahapan tersebut, dengan urutan yang ditemukan dalam
sejarah agama Yahudi. Namun kita juga tidak boleh melupakan hal-hal yang terdapat pada buku
sebelumnya, mengenai emosi-emosi ambivalen, pembunuhan suku, serta agama sebagai keinginan
anak-anak akan tokoh seorang ayah.
Risalah monoteisme berbicara tentang kerinduan dasar umat Yahudi akan seorang Bapak Ilahi.
Kepribadian yang kuat dari Musa, di mana umat Yahudi bahkan telah mengidentikannya dengan
Tuhannya, mengingatkan kembali tokoh ayah pertama yang mengagumkan dari kelompok
manusia awal. Kematian Musa di dalam pemberontakan di gurun pasir lebih dari sekedar peristiwa
sejarah, ia dapat dipahami sebagai pemeragaan pembunuhan awal terhadap ayah yang agung,
peristiwa tersebut memberikan rasa traumatik bagi umat Yahudi. Setelah pembunuhan tersebut
dilakukan, komunitas yang melakukan Tindakan tersebut, berusaha menghilangkan kesalahannya
dengan berusaha menghapus seluruh memori tentang Musa, monoteisme dan pembuhuhan, dan
membiarkan agama Yahweh mengambil tempatnya, periode ini merupakan periode latensi, suatu
periode yang Panjang, di mana ia terkubur dan hampir dilupakan dari pikiran Yahudi komunal.
Namun, hukum neurosis adalah jelas, apapun yang ditekan, pasti akan muncul kembali. Setelah
berabad-abad mundur, kepercayaan yang murni dan kuno dari sang pendiri kembali dengan kuat
melalui sabda para nabi. Sejak saat itu, monoteisme yang murni, kembali menjadi keimanan semua
orang Yahudi. Dari pembahasan dalam buku Totem and Taboo, jelas sekali bahwa pemberontakan
di dalam kelompok manusia pertama, menimbulkan akibat emosi ganda, yaitu cinta dan ketakutan.
Judaisme membangkitkan kembali dorongan untuk mengidealkan Bapak, untuk menjadikannya
Tuhan penuh cinta dan menekan rasa bersalah di balik pembunuhannya.
Freud menjelaskan bahwa daya tarik dari agama tidak terletak di dalam kebenaran ajaran mereka
tentang seorang dewa atau seorang penyelamat, atau klaim mereka tentang mukjizat dan umat
pilihan, karena doktrin-doktrin tersebut adalah kosong. Freud menunjukan bahwa kekuatan agama
sesungguhnya harus ditemukan di luar doktrin-doktrinnya, di dalam kebutuhan psikologis yang ia
penuhi dan emosi bawah sadar yang ia ungkapkan.
Analisi
1. Psikologi dan Agama
Analisis Freud tentang kekuatan-kekuatan yang tersembunyi didalam kepribadian manusia,
tidak hanya telah mendorong orang-orang yang perhatian dengan praktik agama, tetapi juga
semua orang yang tekait dengan praktiknya, seperti teolog, pendeta, penasihat, dan guru.
Untuk melihat tentang doktrin-doktrin yang diterima dan menemukan unsur kepribadian yang
dalam dan tak diperhatikan, yang membentuk kepercayaan agama manusia dan pada akhirnya
dibentuk olehnya. Menariknya, meskipun Freud memiliki pandangan-pandangan negatif pada
perilaku agama, tetapi para pemimpin psikoanalisis yang lain, bahkan seluruh aliran pemikiran
psikologi kontemporer, ingin sekali mengambil pandangan Freud didalam pandangan mereka
sendiri yang jauh lebih simpati. Salah satunya ialah psikolog Swiss Carl Jung (1875—1961),
salah satu suara terpenting dalam lingkaran rekan Freud yang paling awal. Bagi Jung, agama
menggunakan dana gambaran yang dalam dan ide-ide yang secara kolektif dimiliki oleh umat
manusia dan menemukan ekspresinya di mitologi, cerita rakyat, filsafat, dan sastra. Agama,
seperti yang lain ini upaya , memanfaatkan sumber daya "ketidaksadaran kolektif" ini bukan
sebagai bentuk neurosis tetapi sebagai ekspresi sehat dari kemanusiaan yang sejati dan
mendalam.

2. Penjelasan Freud Tentang Agama


Bagi Freud agama merupakan sesuatu yang bersifat intelektual ; ia adalah system ide yang
telah dipercaya tulus dan pada masa sekarang telah dikenal salah dan tak masuk akal. Tetapi
walau sudah dikatakan bahwa agama tidak masuk akal, mengapa hingga saat ini agama masih
dipertahankan? Menurut Freud alasan agama tetap bertahan meskipun telah didiskreditkan
oleh sains atau filsafat yang lebih baik, kita hanya perlu beralih pada psikoanalisis yang
mengatakan dengan jelas bahwa sumber daya tarik agama yang sesungguhnya bukan lah
pikiran rasional, tetapi alam bawah sadar, ia paling baik dilihat sebagai neurosis obsessional.
Kritik
1. Problem tentang Agama-Agama Teistik dan Nonteistik
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa Freud tidak menawarkan banyak teori
agama kepada kita secara umum sebagai teori agama Yahudi-Kristen, atau setidaknya
monoteistik khususnya. Dalam ketiga karya yang telah kami periksa, ide-ide dari
Kompleks Oedipus dan kebutuhan akan citra ayah sangat penting dalam diskusi bahwa
sulit untuk melihat bagaimana argumen dapat diterapkan pada segala bentuk agama yang
tidak monoteistik.
2. Problem Analog Sejarah
Teori Freud menghadirkan kesulitan, salah satunya ialah persoalan sulit yang menyangkut
cara berpikirnya dengan analog. Misalnya, seperti yang ada dalam Toteem and Taboo dan
Moses and Montheism, argumen dari kedua buku itu berkisar pada suatu perbandingan
yang diperluas antara pertumbuhan psikologis individu dengan perkembangan sejarah
kelompok social besar. Namun dalam kasusu itu, secara logis, apa alasan kita harus
mengasumsikan adanya persamaan yang nyata atau hubungan yang jelas antara kedua hal
yang berbeda? Apa alasannya kita harus berpikir bahwa seluruh sejarah orang Yahudi
sesuai dengan pola perkembangan yang ditemukan dalam satu kepribadian manusia yang
terganggu?
3. Problem Sirkularitas
Dalam The Future of an Illlusion, Freud menegaskan bahwa agama sangat serupa dengan
neurosis. Sebagaimana orang-orang neurotik percaya dan melakukan hal-hal yang
irrasional, begitu juga orang-orang beragama percaya dan melakukan hal-hal yang
irrasional. Namun terdapat penggunaan analog yang aneh oleh Freud, karena konteksnya
sangat penting untuk menjelaskan perilaku. Contohnya ialah, seorang biarawati yang
menghabiskan waktu berjam-jam untuk beribadah dan menghitung tasbihnya, dan seorang
neurotik yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk menghitung kancing dibajunya,
keduanya terlibat dalam bentuk perilaku yang sama, tetapi hanya satu orang yang secara
mental terganggu. Bagi Biarawati berdoa adalah normal bukan neurotik, Freud memilih
menemukan motif bawah sadar untuk perbuatan semacam itu, hanya karena sejak awal ia
telah berasumsi bahwa doa merupakan perbuatan yang abnormal.
4. Psikoanalisis sebagai Sains
Freud telah menerima kritikan sejak dasawarsa-dasawarsa lalu, para kritikus dari banyak
tempat meminta untuk menilai kembali tentang psikoanalsisi dengan lebih teliti dan penuh
selidik. Karena bagi mereka “Apapun bakatnya, Freud bukanlah seorang saintis. Dan
apapun klaimnya, psikoanalisis bukanlah sains.” Tuduhan terberat terhadap disiplin itu
telah dilontarkan oleh seorang filsuf sains Amerika, Adolf Grunbaum, yang berpendapat
bahwa psikoanalisa secara teratur mengasumsikan hal-hal yang mereka harapkan untuk
dibuktikan dalam pekerjaan mereka dengan pasien, bahwa teknik mereka untuk
mengumpulkan bukti secara ilmiah tidak sehat, dan bahwa ketika bukti yang dapat
digunakan, pada kenyataannya, diajukan, itu tidak mendukung kesimpulan-kesimpulan
Freud yang rumit dan secara konvensional ditarik darinya. Greenbaum tidak mengatakan
bahwa bidang itu pada prinsipnya tidak ilmiah, tetapi dia menyatakan bahwa bidang
tersebut belum menetapkan metode yang benar-benar ilmiah untuk menguji klaimnya.
Pada saat yang sama harus diperhatikan bahwa psikoanalisis hanyalah sebuah aspek dari
psikologi modern.

Anda mungkin juga menyukai