Anda di halaman 1dari 6

MAZHAB PSIKOLOGI AGAMA

Pada materi sebelumnya sudah dipaparkan urgensi Psikologi Agama. Dari


segi kekhasan pengetahuannya, ilmu psikologi bukanlah ilmu agama. Psikologi
tidak membahas benar-salahnya sebuah agama. Tidak juga membahas tentang
Tuhan. Dalam psikologi yang dikaji adalah gejala-gejala mental, pikiran dan
perilaku manusia, baik dalam konteks individu maupun kelompok. Namun jika
psikologi dan agama bertemu, maka keduanya menjadi sintesa atau jalan tengah
bagi ilmu pengetahuan. Menurut pendapat Komaruddin Hidayat (2006) psikologi
sangat dekat dan berjasa untuk menjelaskan jalan bagi penanaman nilai-nilai
agama. Sebab jiwa manusia, ibarat tanah, sebelum ditaburi benih agama
sebaiknya dikondisikan dan digemburkan lebih dahulu.
Psikologi membimbing jiwa untuk menapaki jalan mendaki menjemput
kebenaran agama, sedangkan agama turun dari langit untuk menemui jiwa
manusia dengan pemandu psikologi. Dengan kata lain, agama menawarkan nilai-
nilai spiritual-fundamental, sementara psikologi memberikan penjelasan dan
penunjuk jalan bersifat instrumental (Hidayat, 2006: xii). Tentu saja pernyataan
tersebut mengundang perdebatan bagi kalangan agamawan maupun ilmuwan
psikologi. Mengingat dalam agama terdapat beragam mazhab atau sekte,
sebagaimana juga terdapat berbagai aliran dalam diskursus ilmu psikologi.
Paling tidak, terdapat dua kutub ekstrem antara mazhab psikologi sekular
yang tidak memberi ruang pada agama, bahkan anti agama, sebagaimana juga
terdapat pemahaman agama yang tidak memberi ruang penalaran psikologi. Pada
bagian berikut ini, akan dijelaskan padangan ilmuwan psikologi terkait agama
berikut karakteristiknya.
Sigmund Freud (1856-1939)
Hingga hari ini, hampir setiap orang yang mendengar nama
Freud, langsung menghubungkannya dengan dua hal:
psikoanalisa dan seks. Anggapan ini tidaklah berlebihan,
mengingat Freud adalah seorang manusia yang luar biasa dan
didorong oleh intelektualitasnya sangat luas.
Sigmund Freud dikenal sebagai tokoh yang
mengembangkan psikoanalisa, sebuah studi tentang fungsi kepribadian dan
perilaku psikologis manusia. Menurut Freud kepribadian manusia dibangun
melalui tiga sistem: id, ego, superego. Ketiga sistem itu, berada dalam tiga struktur
kepribadian, yaitu alam sadar, alam pra-sadar, dan alam tak sadar. Menurut Freud,
bagian terbesar dari jiwa manusia berada dalam alam ketidaksadaran, bukan alam
sadar. Dan perilaku manusia dikendalikan oleh alam bawah sadar; seperti insting,
hasrat, dan libido.
Kemudian Freud merasa tertantang untuk meneliti studi lanjutannya
mengenai agama. Dari awal memang dikisahkan bahwa Freud merupakan
penolak agama yang paling jelas, penulis biografinya mengatakan bahwa dia hidup
sebagai seorang atheis. Freud tidak satupun mendapatkan alasan untuk percaya
terhadap agama, sehingga dia menganggap agama tidak mempunyai arti dalam
kehidupan ini. Sebagai mana Taylor dan Frezer menganggap agama sebagai suatu
kekeliruan, Freud juga mengatakan hal yang demikian. Namun berbeda Freud
menemukan gagasanya dari sudut pandang psikoanalisa yang ia lakukan.
Dalam Obsessive Action and religion Practices (1907), Freud berkesimpulan
bahwa pemeluk agama berkelakuan mirip dengan tingkah laku pasien neurosis.
Misalnya kelakuan yang dilakukan oleh pasien neurosisnya hanya mementingkan
hal-hal yang bersifat seremonial, dan sama-sama akan merasa bersalah jika
seremonial yang ia jalankan tidak dengan sempurna. Kedua hal tersebut terjadi
atas dorongan yang paling dasar, dalam psikologi ditandakan dari ketertekanan
dorongan seksual dan dalam agama ditunjukan dari ketertekanan “ke-aku-an”,
kontrol ego. Jadi kalau seksual direpresentasikan melalui dorongan mental
pribadi, agama dikatakan sebagai gangguan mental universal. Dalam
pandangannya alam lebih mirip dengan gangguan jiwa, dan paling tepat untuk
menjelaskannya adalah dengan psikoanalisa.1
Menurut Freud,agama adalah repetisi (pengulangan) pengalaman masa
kanak-kanak. Manusia itu mengatasi tekanan ancaman dalam persoalan yang
sama. Sebagai kanak-kanak ia selalu diselimuti oleh rasa ketidak-amanan dalam
mempercayai, mengagumi, dan menakuti bapaknya. Freud memperbandingkan
agama dengan obsesional jiwa yang kita dapatkan pada masa kanak-kanak.
Menurutnya, agama adalah kumpulan neurosis yang disebabkan oleh keadaan
serupa dari produk jiwa kanak-kanak.2
Analisa Freud mengenai dasar-dasar psikologi agama, berusaha
menunjukkan mengapa seseorang memformulasikan ide tentang tuhan. Bahkan
pernyataann dikerjakan lebih dari sekadar untuk menempatkan dasar-dasar
psikologi ini. Pernyataannya bahwa ketidak realitaan konsep teistik
didemontrasikan dengan membebaskan dirinya menuju dasar illusi mengenai
harapan-harapan manusia. Di samping itu Freud berusaha untuk membuktikan
bahwa agama adalah suatu illusi.
Bagi Freud, agama adalah bersumber dari ketidakmampuan manusia
melawan kekuatan alam luar dan tekanan instinktif dari dalam dirinya sendiri.
Agama muncul lebih dahulu pada tingkat perkembangan manusia ketika manusia
belum dapat mempergunakan pikirannya untuk melawan tekanan-tekanan dari
luar dan dari dalam ini, dan harus menindasnya atau mengaturnya melalui
tekanan-tekanan afektif lainnya. Bahkan sebagai ganti dari tekanan-tekanan ini
dangan mempergunakan penalaran untuk mengatasinya melalui counter effect
oleh tekanan-tekanan emosional yang lain, fungsi-fungsi yang dipakai untuk
mengatasi dan mengontrol apa yang dia tidak mampu untuk mengatasinya secara
rasional.

William James (1842-1910)


1
Daniels L. Pals, Seven Theoris Of Religion, (Sampangan : IRCiSoD Cet. II, 2012) hlm. 98
2
Erich Fromm, Psichoanalysis and Religion (London : Yale University Press,1976), hlm 11-12.
Akhir abad ke-19 terlihat jelas bahwa psikologi yang semakin
berkembang merupakan alat untuk kajian agama, dan kajian
semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara-
cara bertingkah laku, berpikir, dan mengemukakan perasaan
keagamaan. Pada saat itu William James, guru besar pada
Universitas Harvard, diundang untuk memberikan kuliah atas
prakarsa yayasan Gifford di Universitas Edinburgh. Pada waktu itu banyak yang
tidak percaya bahwa ada dapat dikaji. Tetapi sebaliknya, William James menyakini
bahwa melalui kajiannya mampu mengembangan terhadap agama. Dari hasil
kajian William James, maka terbitlah karya pada tahun 1903 dengan judul The
Varieties of Religious Experience.3
Kemudian sebelum akhir abad ke-19, Strarbck melakukan kajian kuantitatif
terhadap konversi agama, yang diterbitkan beberapa tahun kemudian dengan
judul The Psychology of Religion. Walaupun buku ini pada saat itu lebih sedikit
mendapat perhatian dibanding karya James, ini merupakan kajian paling awal di
antara sejumlah penelitian kualitatif dalam psikologi agama yang sekarang
dianggap sebagai kelompok eksprimentalis.
Beberapa tahun setelah penelitian pertama yang dilakukan oleh Starbuck
terhadap konversi agama sebelum para ahli psikologi pada umumnya tertarik
dengan penerapan metode-metode penelitian eksprimen da kuantitatif yang
terhadap berbagai permasalahan psikologi agama. Salah seorang di antara para
pengikut pertama langkah ini adalah Leuba dari Bryn Mawr College. 4
Kemunculan psikologi agama tidak lepas dari peristiwa sejarah panjang
hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap adikodrati (supernatural).
Latar belakang ini dapat dilihat berbagai pernyataan para ahli. Sehingga
kemudian para psikolog mencoba melihat hubugan tersebut dari sudut
pandang psikologi. Menurut mereka bahwa hubungan manusia dengan
3
Robert H. Thouless, An Introduction to the Psychology of Religion, trej. Machnun Husein,
Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 1
4
H. Thouless, An Introduction to the Psychology of Religion, trej. Machnun Husein,
Pengantar Psikologi Agama, hlm. 6-7
kepercayaannya ikut dipengaruhi dan mempengaruhi faktor kejiwaan. Proses
dangan hubungan ini dapat dikaji secara empiris dengan menggunakan
pendekatan psikologi. Misalnya kasus martyr, konversi agama, isi yang
termuat dalam doa-doa ataupun perilaku keagamaan dapat di lihat dari
motivasi yang melatar belakanginya.5
Konsep dasar pemikiran William James yaitu penekanan kepada agama
harus bergerak maju dan konsep dasar pemikiran juga terfokus ke dalam
perilaku keagamaan pribadi. Beberapa dasar untaian pemikiran James dapat
tertuang dari beberapa hasil pemikirannya tentang agama. Menurut James,
agama merupakan hal yang amat pribadi oleh sebab itu apabila ingin
mengetahui maka kita harus empatik dalam kehidupan nya dan harus dapat
memberikan ruang positif untuk berkembang terhadap keyakinan yang di
anut. Tidak hanya itu, William James juga memiliki konsep pemikiran agama
pada poin ke-2 yaitu emotional (emosi).
Emosi disini merupakan elemen penting yang akan membuat manusia
bersikap setereotip terhadap agama tetapi konsep dasar dari emosi disini lebih
ditekankan kepada dokumen batiniyah yang ada dalam diri setiap pribadi
manusia untuk mengetahui tingkat kematangan beragama.
Tulisan dari James (1842/1910) yang berjudul The Variaties of Religious
Experience yang ditulis pada tahun 1902 merupakan bahan- bahan persiapan
untuk memberikan kuliah tentang agama alamiah (natural religion) pada
universitas Edinburgh. Dalam uraiannya William James membuat perbedaan
perilaku beragama kepada dua bentuk perilaku beragama, yaitu agama
institusional (institutional religion) dengan agama pribadi (personal religion).
Agama institusional adalah perilaku beragama dalam bentuk lembaga,
organisasi, sekte- sekte, struktur sosial.
Agama pribadi adalah penghayatan terdalam dan pengalaman spiritual
yang bersifat pribadi. Dalam perkembangan selanjutnya karya yang dihasilkan
oleh William James berturut-turut membuat dinamika penelitian tentang
perilaku beragama semakin beragam. Pada tahun 1904 terbit majalah The
5
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Pres, 1997), hlm. 2
Journal of Religious Psychology yang kemudian disusul dengan The American
Journal of Psychology of Religion and Education.

Zakiah Daradjat
Jalaluddin Rakhmat

Anda mungkin juga menyukai