Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PSIKOLOGI ISLAM

PENGANTAR PSIKOLOGI ISLAM

Dosen Pengampu :

Abd. Hamid Cholili., M.Psi., Psikolog

Oleh:

Jendral purnama Adi (200401110079)

Evin Yusmafati (200401110095)

Destya Salsabila (200401110106)

Alifah Aulia Putri D. (200401110193)

M. Aqiel Alfansyah (200401110303)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah yang berjudul "Pengantar Psikologi Islam" dapat tersusun sampai dengan
selesai. Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Islam.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang pengantar Psikologi
Islam bagi para pembaca dan juga penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abd. Hamid selaku dosen Mata
Kuliah Psikologi Islam. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 2 Maret 2023

Kelompok 1
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan semakin hari semakin pesat. Terutama


tentang psikologi, para filosifis- filosofis dari Barat sangat semangat dalam
memperdalam ilmu psikologi dan memperjuangkannya agar menjadi ilmu yang
independent berdiri sendiri. Dalam dunia Islam pun kita tidak kalah dimana para
tokoh psikologi muslim juga menekuni konsep psikologi islam, kaum Muslim
dalam memperjuangkan ajaran agama Islam agar dapat masuk kedalam lini
psikologi dan akhirnya melahirkan psikologi Islam sebagai cabang ilmu baru dari
ilmu psikologi.
Walaupun terbentuknya Psikologi Islam karena adanya perkembangan
psikologi di Barat yaitu Psikologi Kontemporer, itu bukan masalah, sebab jika di
dunia ini tidak ada keterkaitan atau hubungan maka tidak akan ada proses. Jadi
terbentuknya Psikologi Islam melalui proses asimilasi atau pembauran dengan
pemilahan dan pemilihan dari Psikologi Barat Kontemporer menggunakan
konsep-konsep sesuai agama Islam untuk mencapai kedamaian dunia dan akhirat.
Psikologi identik dengan manusia, maka dari itu dalam Psikologi Islam
manusia sebagai subjek yang berhubungan dengan alam sebagai objek dan di
antara keduanya ada keterkaitan dengan Yang Maha Subjek dan Yang Maha
Objek yaitu Tuhan, Allah SWT.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah psikologi kontemporer dan sejarah psikologi islam ?
2. Apa definisi dan ruang lingkupnya ?
3. Bagaimana metodologi psi islam?
4. Apa saja tugas dan pendekatan ilmiah?
5. Apa saja metode ilmiah dalam psi islam ?
6. Apa saja sumber kajian, metode dan pendekatan psi islam ?
7. Bagaimana persentuhan psikologi sengan agama ?
8. Apa saja sumber kajian psikologi islam ?
9. Bagaimana metode pengkajian psikologi islam ?
10. Bagaimana pendekatan dalam membangun konsep dan teori psikologi
islam ?
Tujuan
1. Mengetahui sejarah psikologi kontemporer dan sejarah psikologi islam
2. Mengetahui definisi ruang lingkup psikologi islam
3. Mengetahui metodologi psi islam, tugas dan pendekatan ilmiah psikologi
islam
4. Mengetahui metode ilmiah dalam psi islam
5. Mengetahui sumber kajian, metode dan pendekatan psi islam
6. Mengetahui persentuhan psikologi sengan agama
7. Mengetahui sumber kajian psikologi islam
8. Mengetahui metode pengkajian psikologi islam
9. Mengetahui pendekatan dalam membangun konsep dan teori psikologi
islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Psikologi Kontemporer

Psikologi kontemporer merupakan disiplin ilmu yang berbeda


menggambarkan berbagai macam pengaruh sejarah bagi perkembangan
psikologi. Psikologi Kontemporer Diawali pada abad 19 dimana saat itu
berkembang 2 teori dalam menjelaskan tingkah laku, yaitu:
1. Psikologi Fakultas

Psikologi Fakultas adalah doktrin abad 19 tentang adanya kekuatan


mental bawaan, menurut teori ini, kemampuan psikologi terkotak-kotak
dalam beberapa fakultas yang meliputi : berpikir, merasa, dan
berkeinginan. Fakultas ini terbagi lagi menjadi beberapa sub fakultas :
kita mengingat melalui sub fakultas memori, pembayangan melalui
subfakultas imaginer dan Sebagian

2. Psikologi Asosiasi

Bagian dari psikologi kontemporer abad 19 yang mempercayai bahwa


proses psikologi pada dasarnya adalah asosiasi ide. Dimana ide masuk
alat indra dan diasosiasikan berdasarkan prinsip- prinsip tertentu seperti
kemiripan, kontras dan kedekatan. Dalam pengembangan ilmu psikologi
kemudian, ditandai dengan berdirinya laboratorium oleh Wundt (1879).
Pada saat itu pengkajian psikologi didasarkan atas metode ilmiah
(eksperimental). Juga mulai diperkenalkan metode introspeksi,
eksperimen, dsn. Beberapa sejarah yang patut dicatat antara lain :
F.Galton (merintis tes psikologi), C Darwin (memulai komparasi dengan
binatang), A. Mesmer (merintis penggunaan hipnosis), S. Freud (merintis
psikoanalisa)

B. Sejarah Psikologi Islam

Perkembangan tentang psikologi sudah sejak lama, sehingga mendorong


umat Muslim untuk membentuk ilmu baru yang berkaitan dengan psikologi
dan berlandaskan ajaran agama Islam, yaitu Psikologi Islam. Psikologi Islam
ini dijadikan sebagai semangat membangkitkan dunia Islam dan
menghidupkan kembali ajaran Islam dalam kehidupan.

Sejarah lahirnya psikologi Islam terjadi karena adanya persentuhan


agama dengan psikologi, terdapat empat periode. Periode pertama pada abad
ke-19. Tahun 1879 psikologi sebagai sains dimulai, ketika Wilhelm Wundt
(1832-1920) dari Universitas Leipzig di Jerman mendirikan Laboratorium
untuk eksperimen dan observasi. Di periode ini persentuhan agama dan
psikologi belum muncul. Periode kedua di akhir abad ke-19 sampai awal abad
ke-20, para psikolog berusaha untuk mengkaji dan menafsirkan perilaku
beragama berdasar konsep dan teori psikologi. “Psikologi of Religion”
(psikologi agama) sudah menjadi salah satu cabang dari psikologi dengan
tokoh utama Edwin Diller Starbuck, James H. Leuba dan William James
dengan tulisan-tulisan karya mereka.

Selanjutnya periode ketiga tahun 1930-1950-an, terjadi kemerosotan


hubungan agama dengan psikologi, hubungan agama dengan psikologi tidak
saling menghargai, menganggap dirinya masing-masing benar dan menolak
kebenaran yang lain. Kemudian, periode keempat, dimulai tahun 1960-an
sampai tahun 2001. Pengembangan psikologi mengarah pada usaha-usaha
untuk menjadikan nilai, budaya, dan agama sebagai objek kajian psikologi
dan sebagai sumber inspirasi bagi pembangunan teori-teori psikologi
sehingga hubungan agama dengan psikologi bersemi kembali. Pada periode
ini lahir Psikologi Humanistik dan Psikologi Transpersonal. Objek telaahan
kedua psikologi ini adalah kualitas-kualitas khas kemanusiaan, berupa
pikiran, perasaan, kemauan, kebebasan, kemampuan potensi luhur jiwa
manusia dan lain-lain. Di sini terlihat dengan jelas hubungan yang saling
mengisi dan membutuhkan antara agama dengan psikologi sehingga dapat
menjadi peluang sekaligus tantangan bagi umat Islam untuk melahirkan
konsep-konsep psikologi.

Lain halnya sejarah perkembangan teori-teori psikologi di Barat, adanya


beberapa aliran yang berkaitan dengan ilmu psikologi di Barat. Awalnya
sebelum psikologi menjadi ilmu (sains) yang independen, sebelum tahun
1879, telah muncul analisis yang mengkaji keberadaan jiwa secara analitis-
sintesis dengan menggunakan prinsip-prinsip kausalitas yaitu aliran
associationism. Dengan dasar pengamatan sehingga membentuk ide-ide yang
dapat dihubungkan melalui proses mekanisme assosiasi. Tokohnya adalah
John Locke (1623-1704 M), James Mill (1773-1836 M).

Perkembangan selanjutnya lahir teori strukturalisme, dikemukakan


pertama oleh Wilhelm Wundt (1832-1920 M). Teori ini menguraikan struktur
atau susunan jiwa, terdiri atas elemen-elemen yang saling berhubungan,
sehingga merumuskan bahwa jiwa adalah kesadaran.pemuka teori ini antara
lain G.T. Fechner (1801-1887 M), H.L.F. Von Helmholtz (1821-1894 M), W.
Wundt (1832-1920 M), dan E.B. Titchener (1867-1927 M). Lalu aliran
fungsionalisme yang merupakan reaksi terhadap strukturalisme, mempelajari
aktivitas tingkah laku untuk mencari fungsinya dalam hubungannya dengan
lingkungan. Akhirnya ditemukan bahwa jiwa berfungsi sebagai pemeliharaan
proses kelangsungan hidup, jiwa bersifat dinamis, praktis, dan pragmatis.
Tokoh-tokohnya William James (1842-1910 M), John Dewey (1859-1952
M), dan E.L. Thondike (1874-1949 M).

Kemudian muncul aliran gestalt, berpendapat bahwa jiwa harus dipelajari


secara totalitas. Pemuka aliran ini adalah Max Wertheimer (1880-1943 M),
Kurt Koffka (1886-1941 M), dan Wolfgang Kohler (1887-1967 M).
Selanjutnya teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmunt Freud
(1856-1939 M) mengatakan bahwa jiwa manusia memiliki potensi diri yakni
id, ego, dan super ego. Muncullah paradigma psikologi yang objektif dengan
metode empirism yaitu behaviorisme. Dasarnya bahwa tingkah laku manusia
sebagai manifestasi kejiwaannya merupakan respon dari stimulus yang
diterimanya dari lingkungan dan teori ini lebih dikenal dengan Stimulus-
Respon (S-R). Aliran behaviorisme dengan tokohnya yang terkenal antara
lain Ivan Pavlov, John B. Watson, dan J. F. Skinner. Abraham Harold
Maslow (1908-1970 M) mengembangkan aliran psikologi humanistik yang
mengakui adanya kualitas insani dalam diri manusia berupa berpikir,
abstraksi, imajinasi, perasaan, dan lain-lain. Sekitar tahun 1970 M terbentuk
aliran psikologi transpersonal yang mengkaji manusia secara totalitas dengan
memperhatikan empat dimensi, yaitu dimensi biologis, psikis, sosio-kultural,
dan spiritual.

Tahun 1975-an, muncul kesadaran di kalangan psikolog Muslim atas


paradigma yang berkembang di Barat. Adalah psikologi Islami yang
didasarkan, diadopsi, di transformasikan dari konsep-konsep atau teori-teori
psikologi Barat yang kemudian diislamisasikan, hasilnya dimasukkan ke
dalam khazanah Islam. Penggunaan istilah Islami (dengan huruf i pada kata
Islam) disebabkan ketidakpercayaan bahwa apa yang dihasilkan benar-benar
sesuai dengan Islam atau tidak karena kerangkanya dari khazanah lain.
Metode pengembangan psikologi Islami ini menggunakan metode Pragmatis.

Ada juga yang melalui metode Idealistik, yang mengutamakan


penggalian psikologi Islam dari ajaran Islam sendiri. Yaitu psikologi Islam
(tanpa huruf i pada kata Islam) didasarkan atas nilai-nilai dasar Islam: al-
Quran, Hadist, dan pemikiran para psikolog muslim. Orang Muslim
seharusnya dapat membangun psikologi jauh lebih sempurna dari orang Barat
karena orang Muslim memiliki pedoman dasar yaitu al-Quran dan Hadist.
C. Definisi Psikologi Islam

Secara etimologis psikologi berasal dari kata psycology (bahasa


Inggris), psyche (bahasa Yunani) berarti jiwa (soul, mind).[1] Dalam Islam
istilah jiwa dapat dinamakan dengan al-nafs dan ada yang menyamakan
dengan istilah al-rūḥ. Kata kedua adalah logos yang berarti ilmu pengetahuan.
Dengan demikian psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa.

Psikologi dapat diterjemahkan dalam bahasa Arab menjadi ilmu


nafs, bahkan Soekanto Mulyomartono lebih khusus menyebutkan dengan
nafsiologi. Penggunaan istilah ini disebabkan objek kajian psikologi Islam
adalah al-nafs, yaitu aspek psikologi pada diri manusia.

Menurut Wilhelm Wundt, psikologi adalah ilmu pengetahuan


tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, kemauan, dan
ingatan. Plato dan Aristoteles mengemukakan bahwa psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai
akhir. Menurut John Watson, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang
organisme.[2]

Kata Islam berasal dari kata aslama yang berarti patuh atau berserah
diri. Secara terminologi Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah
sebagai petunjuk bagi seluruh manusia untuk mencapai kesejahteraan dan
kedamaian hidup di dunia dan di akhirat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi Islam adalah


ilmu yang mempelajari jiwa manusia dalam berinteraksi di kehidupan dunia
yang berpedoman pada ajaran agama Islam untuk mencapai kedamaian dunia
dan akhirat.

Psikologi Islam adalah usaha membangun sebuah teori dari


khazanah kepustakaan Islam, baik dari al-Quran, al-Sunnah ataupun al-
Hadist. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu
seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, kontrol diri,
realisasi diri,konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan
evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau orang lain.

Menurut Hanna Djumhana Bastaman menjelaskan bahwa Psikologi


Islam adalah corak psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran
Islam yang mempelajari keunikan dan pola pengalaman manusia berinteraksi
dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam keruhanian dengan tujuan
meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagamaan. Menurut
Baharuddin, psikologi Islam adalah sebuah aliran baru dalam dunia psikologi
yang mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya
kepada Islam.

Hakikat psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: kajian Islam


yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar
secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan
mendapatkan kabahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[4]

Hakikat definisi Psikologi Islam mengandung tiga unsur pokok:


Pertama, bahwa psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-
masalah keislaman. Hal ini tidak terlepas dari kerangka ontologi (hakikat
jiwa), epistimologi (bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan
mempelajari jiwa) dalam Islam. Melalui ini akan tercipta bagian-bagian
psikologi dalam Islam, seperti Psikopologi Islam, Psikoterapi Islam,
Psikologi Agama Islam, dan sebagainya. Kedua, bahwa Psikologi Islam
membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek
kejiwaan dalam Islam berupa al-Ruh, al-Nafs, al-Kalb, al-`Aql, al-Damir, al-
Lubb, al-Fu’ad, al-Sirr, al-Fitrah, dan sebagainya. Ketiga, bahwa Psikologi
Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakan demikian
sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang
kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna
untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

D. Ruang Lingkup Psikologi Islam

Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi islam melihat manusia


tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula
berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi islam
bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan apa kata Tuhan
tentang manusia.

Psikologi islam sangat memperhatikan apa yang Tuhan katakan tentang


manusia. Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-
mata mendasarkan diri pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita
pahami dari dalil-dalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan
Tuhan. Kajian tentang diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-
Qur’an:
‫ ِهي ٌد‬TT‫ك َأنَّهُ َعلَى ُك ِّل َش ْى ٍء َش‬ ِ ‫ق َأ َولَ ْم يَ ْك‬
َ ِّ‫ف بِ َرب‬ ُّ ‫اق َوفِي َأنفُ ِس ِه ْم َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ ْم َأنَّهُ ْال َح‬
ِ َ‫َسنُ ِري ِه ْم َءايَاتِنَا فِي اَْألف‬
}53{
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami   di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri,
hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup
bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S.
Fushshilat:53)

Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa di alam semesta maupun dalam


diri manusia terdapat sesuatu yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan
Allah. Yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah rahasia-rahasia tentang
keadaan alam dan keadaan manusia. Apabila rahasia-rahasia tersebut
disingkap manusia, maka jadilah manusia sebagai makhluk yang
berpengetahuan dan berilmu.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia ada


kompleksitas yang bisa dijadikan lahan kajian. Dalam berbagai ayat banyak
disebutkan istilah-istilah yang berbicara tentang keadaan diri manusia, seperti
nafs, aql, ruh, qalb, fitrah, dan sebagainya. Menurut Djamaludin Ancok dan
Fuad Nashori ada beberapa hal yang harus menjadi catatan, yang pertama
bahwa kajian mengenai manusia bukanlah kajiaan yang berdiri sendiri tetapi
digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-hashimi 1991),  yang kedua
adalah untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata menggunakan
teks Al-Qur’an, tapi juga menggunakan, memikirkan dan merefleksikan
kejadian-kejadian di alam semesta dengan akal pikiran, indra dan intuisi.

E. Metodologi Psikologi Islam

Di dalam Metodologi Psikologi Islam terdapat dua hal penting yang


harus diperhatikan Pertama, masalah yang bersifat konseptual, Kedua,
masalah yang bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi,
epistemologi dan ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah
metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.

Menurut Noeng Muhadjir, Filsafat Yunani kuno menekankan aspek


ontologi dengan menggunakan nalar secara optimal untuk memahami
substansi yang menjadi objek pemikiran, baik yang ada dalam kognisi
maupun yang ada dalam realitas inderawi. Trad isi ini memunculkan
pengetahuan yang bersumber dari metode spekulatif. Sedang ilmu
pengetahuan Barat menekankan dimensi epistemologinya pada metode ilmiah
sebagai alat untuk mencari kebenaran. Asumsi dasarnya adalah bahwa
kebenaran sangat tergantung kepada metode ilmiah yang digunakan, sehingga
metode yang digunakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dengan demikian, kualitas metode mencerminkan kualitas kebenaran yang
diperoleh.

Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi
Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu
pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang
mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada
sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi
Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains.
Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus
menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah
saja.

Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan,
keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi
ajaran wahyu.

Perlu diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan
pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan
tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya
dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya
bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan
epistemologi sendiri. Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang
ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya.
Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat
diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan term-term seperti insan,
basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh
mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala.
Dengan alasan itu Noeng Muhajir menyatakan bahwa Psikologi Islam
bermakna sebagai Psikologi yang menemukan landasan filsafat ilmunya pada
nilai-nilai Islam

F. Tugas dan Pendekatan ilmiah

Pengetahuan yang diperoleh lewat pendekatan ilmiah diperoleh lewat


riset ilmiah serta didasarkan pada teori- teori tertentu. Teori dibesarkan
melalui riset ilmiah, ialah riset yang sistematis serta terkendali bersumber
pada informasi empiris. Teori ini pula bisa diuji konsistensi serta stabilitas
internal nya. Maksudnya, bila orang lain melaksanakan uji ulang dengan
memakai langkah yang seragam dalam keadaan yang sama, hingga hasilnya
hendak tidak berubah- ubah(seragam), yakni. hasilnya hendak sama ataupun
nyaris sama dengan hasil lebih dahulu.
Pendekatan ilmiah menuju pada kesimpulan serupa untuk hampir seluruh
orang, sebab pendekatan ini tidak dipengaruhi oleh kepercayaan
individu(periset), prasangka serta emosi. Oleh sebab itu kesimpulan yang
ditarik dari hasil riset ilmiah tidak bertabiat subjektif, melainkan objektif,
oleh sebab itu data yang diperoleh diucap data objektif. Dengan dorongan
pendekatan ilmiah, orang berupaya mendapatkan kebenaran ilmiah, ialah data
nyata yang bisa dibuktikan kebenarannya oleh orang yang berkompeten.

Tujuan utama riset umumnya untuk mengumpulkan data guna(a)


merancang aktivitas sosial; serta( b) meningkatkan isi ilmu itu sendiri. Ilmu
pengetahuan serta riset silih terpaut erat di kala ini sehingga orang tidak bisa
lagi membedakannya. Sains serta riset merupakan 2 sisi dari mata duit yang
sama. Oleh sebab itu, bisa dikatakan jika tugas sains serta riset merupakan
sama. ada pula tugas- tugas ilmu pengetahuan serta riset bisa dijabarkan
secara pendek selaku berikut:
a. Tugas menahan ataupun menggambarkan (membagikan) sandera. Tugas
sains serta riset merupakan mendeskripsikan fakta- fakta yang relevan
secara jelas serta akurat;
b. Tugas uraian (explanation):
Tugas sains serta riset merupakan menerangkan keadaan di balik
peristiwa;
c. Tugas meningkatkan teori:
Tugas ilmu pengetahuan serta riset merupakan menciptakan serta
merumuskan hukum ataupun tata metode yang pengaruhi ikatan antara
kondisi yang satu dengan yang lain, ataupun ikatan antara peristiwa yang
satu dengan peristiwa yang lain;
d. Tugas prediksi:
Tugas ilmu serta riset merupakan membuat ramalan( prognosis), ditaksir
serta ramalan tentang peristiwa yang terjalin ataupun indikasi yang
terjalin;
e. Tugas pengawasan:
Ini pula ialah tugas sains serta riset buat mengimplementasikan langkah-
langkah guna mengatur peristiwa ataupun indikasi.

G. Metode ilmiah dalam psi Islam


Menurut Hanna Djumhana Bastaman, metode ilmiah yang lazim
dipergunakan dalam psikologi, baik kuantitatif dan kualitatif dengan teknik-
tekniknya seperti wawancara, tes, eksperimen, survei bisa berlaku dalam
Psikologi Islam, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama,
kesetaraan porsi dan fungsi antara metode kualitatif dan kuantitatif, karena ada
gejala dan perilaku manusia serta peristiwa khusus yang dialami secara pribadi,
seperti pengalaman keagamaan. Untuk itu metode fenomenologi dapat
dipergunakan. Kedua, selain menggunakan metode ilmiah, Psikologi Islam
mengakui adanya pengetahuan yang didapat melalui ilham dan intuisi dengan
melalui ibadah khusyuk seperti tafakkur, shalat Istikharah, shalat tahajjud dan
doa.

Adapun metode-metode dalam perumusan Psikologi Islam meliputi:


metode keyakinan, metode rasionalisasi, integrasi metode keyakinan dengan
rasionalisasi, metode otoritas dan metode intuisi.

1) Dalam metode keyakinan, seseorang meyakini betul tentang kebenaran


sesuatu (tanpa keraguan) yang bersumber dari al-Quran dan Hadis.
Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta kehidupan yang mengetahui seluk
beluk dari makhluk ciptaan-Nya. Inilah ciri khas Psikologi Islam yang
menempatkan wahyu di atas rasio.

2) Dalam metode rasional Psikologi Islam berpandangan bahwa manusia


harus mempergunakan rasio secara optimal dengan menyadari
keterbatasannya. Penggunaan akal ini sesuai dengan perintah Allah dalam
al-Quran .

3) Metode integrasi metode keyakinan dengan rasionalisasi. Metode ini dapat


digunakan untuk memahami al-Quran dan Hadis.

4) Metode otoritas menyandarkan kepercayaan kepada orang yang


mempunyai banyak pengetahuan dalam bidang tertentu seperti Tafsir bi al-
Ma’tsur yang merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan para sahabat
dekatnya. Dalam Psikologi Islam juga dapat melakukan hal itu, termasuk
penjelasan dari ulama yang mengetahui realitas di balik alam nyata.

5) Metode intuisi yaitu pendayagunaan kalbu atau hati nurani dapat


membantu seseorang melihat dengan mata batinnya kenyataan yang dapat
dilihat dan dirasakan oleh pancaindranya. Berdasarkan penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa dalam mengkaji psikologi Islam harus
menggunakan metode yang beragam, tidak terpaku pada metode ilmiyah
saja, karena jiwa atau Nafs bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia
merupakan satu kesatuan dengan keadaan badan. Antara jiwa dan badan
muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan
unitas.

H. Sumber Kajian, Metode dan Pendekatan Psikologi Islam

Islam merupakan pemikiran serta ketentuan hidup yang sempurna serta


lengkap. Ini merupakan agama, sumber etika, saluran buat bermacam- macam
pengetahuan, penangkal sikap tercela, standar sikap terpuji serta sistem
hukum, seluruhnya terintegrasi serta dibangun jadi Islam yang bersatu.
Psikologi Islam merupakan ilmu manusia yang filosofi, konsep, tata cara serta
pendekatannya didasarkan pada sumber- sumber Islam resmi. Psikologi Islam
menekuni jiwa dengan mencermati badan, keadaan badan manusia ialah
gambaran dari jiwa. Ekspresi badan cumalah salah satu fenomena psikologis.
Psikologi Islam tidak memandang orang cuma bersumber pada sikap fisiknya,
pula tidak bersumber pada spekulasi tentang apa serta siapa orang itu. Abdul
Mujib menguraikan 3 tipe kajian psikologi Islam, ialah:

1) Islam digunakan selaku pisau analisis dalam riset psikologi;

2) kebalikannya, psikologi digunakan selaku pisau analisis buat membongkar


permasalahan psikologis umat Islam;

3) Kajian Psikologi Alquran serta Hadis. Seperti itu sebabnya kajian- kajian
manusia wajib dicari dalam al- Quran, sebab kitab suci merupakan lautan
ilmu yang tidak terukur serta dalamnya tidak terbatas. Al- Quran paling
tidak mempunyai sebelas kata kunci buat menggambarkan manusia.

Tidak hanya itu meter. Usman Najati22 berpendapat kalau umat Islam
wajib merujuk kepada Al- Quran serta Hadits setelah itu menjajaki
pertumbuhan pemikiran para pemikir Islam terdahulu lewat riset psikologi.
Maksudnya mengenali konsep- konsep psikologi Islam dengan baik sehingga
bisa jadi bawah buat dipelajari lebih lanjut. Dia pula mengkritisi psikologi
modern yang memakai tata cara riset raga bersumber pada kenyataan empiris
objektif, pada dasarnya ilmu ini kehabisan ruh yang jadi objek utama riset
psikologi. Bagi Fuat Nashor23, kajian psikologi Islam bisa dipecah jadi 4
model, ialah:

1) rumusan psikologi bersumber pada Al- Quran serta Hadits;


2) rumusan psikologi bersumber pada khazanah Islam;

3) membentuk psikologi dengan mengambil inspirasi dari khazanah


psikologi modern serta mendiskusikannya dengan pemikiran dunia Islam;
Dan

4) merumuskan konsepsi manusia yang diawali dari orang yang hidup


dalam Islam.

Dari sebagian komentar yang dikemukakan di atas, penulis merumuskan


kalau titik tolak ataupun sumber riset psikologi Islam merupakan Al- Quran
serta Hadits dan hasil pemikiran para pemimpin umat Islam. Al- Quran yang
diturunkan kepada Nabi selaku petunjuk untuk manusia ialah sumber inspirasi
untuk pengembangan ilmu pengetahuan sebab petunjuk ini muat petunjuk-
petunjuk ke arah tersebut. Interpretasi dibutuhkan buat menguasai sinyal-
sinyal ini. Secara historis, nampak kalau para ulama terdahulu berupaya
menguasai Al- Quran dengan menafsirkannya. Teman Rasul senantiasa
mengacu pada hakikat isinya, memandang hukum serta uraian ayat- ayat yang
memiliki nasehat, petunjuk, kisah- kisah religi yang bisa dikumpulkan dari
redaksi ayat- ayat tersebut. Kala bacaan ayat tersebut tidak bisa dimengerti,
para Teman mengacu pada apa yang mereka tahu tentang alibi diturunkannya
ayat tersebut. Bila sebab- sebab timbulnya ayat tersebut tidak dikenal, para
teman membicarakannya.

Pada masa khalifah Bani Umayyah serta Abbasiyah, pengertian Al-


Quran mengacu pada hadits sebagaimana para Teman tabiin serta tabi tabiin
menafsirkannya. Pengertian dicoba dengan mengumpulkan hadis- hadis yang
menafsirkan Al- Quran cocok urutan ayat- ayat Mushhaf Usmaniy.

Metode perumusan psikologi Islam adalah: Metode keyakinan, metode


rasionalisasi, memadukan keyakinan dengan rasionalisasi, Metode Otoritatif
dan Metode Intuitif.

1) Dalam metode kepercayaan, seseorang benar-benar percaya akan


kebenaran sesuatu diturunkan (tidak diragukan lagi) dari Al-Qur'an dan
Hadits. percaya akan hal itu Allah adalah Pencipta kehidupan, yang
mengetahui kekhasan ciptaan ciptaannya. Inilah ciri psikologi Islam yang
mengutamakan wahyu Hubungan.
2) Menurut metode rasional psikologi Islam, orang harus Maksimalkan
hubungan dengan memahami keterbatasannya. Penggunaan akal ini sesuai
dengan perintah Tuhan dalam Al-Qur'an.

3) Metode untuk mengintegrasikan metode persuasif dengan


rasionalisasi. Metode ini bisa terbiasa memahami Al Quran dan Hadits.

4) Metode otoritatif didasarkan pada kepercayaan pada orang yang


memilikinya banyak informasi di bidang tertentu seperti Tafsir bi al-Ma'tsur
itu mengacu pada penjelasan yang diberikan oleh Nabi dan para sahabat
dekatnya. Di dalam Psikologi Islam juga bisa, termasuk penjelasan para
ulama siapa yang tahu realitas di balik dunia nyata.

5) Metode intuitif, menggunakan hati atau hati nurani, dapat membantu


Manusia suka melihat realitas yang terlihat dan dirasakan oleh panca
indranya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ini akan


diverifikasi Psikologi Islam harus menggunakan metode lain, bukan terpaku
pada metode itu hanya metode ilmiah, karena jiwa atau nafis tidak terisolasi.
Dia merupakan bagian integral dari tubuh. Antara jiwa dan tubuh muncul
kesinambungan yang mencerminkan adanya keutuhan dan kesatuan .
I. Persentuhan Psikologi dengan Agama

1. .Agama Sebagai Bentuk Gangguan Kejiwaan

Dalam perspektif Freud, agama ditandai dengan dua ciri yang


menonjol; kepercayaan kepada Tuhan dalam sosok bapak dan ritus-ritus
wajib yang dijalankan secara njlimet.18 Freud memperhatikan adanya
sifat-sifat ritual yang agaknya kompulsif (memaksa), aura kesucian yang
meliputi ide-ide agama, dan kecenderungan orang beragama untuk merasa
berdosa dan takut akan hukuman Tuhan. Dari sinilah Freud
membandingkan unsur-unsur tersebut dengan gejala- gejala obsesif
neurosis yang ia pandang sebagai mekanisme pertahanan dalam
menghadapi impuls (dorongan) yang tidak dapat diterima.19

Freud menyimpulkan bahwa kepercayaan dan praktik keagamaan


berakar pada pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia dini, anak-
anak meng- anggap orang tua, terutama bapak, sebagai orang yang maha
tahu dan maha kuasa. Pemeliharaan yang penuh perlindungan dan kasih
sayang yang dilakukan oleh sosok-sosok berjasa seperti itu
menenteramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan serta menciptakan
surga buatan baginya. Perasaan seperti ini me- ngendap ke alam bawah
sadar. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam dan situasi hidup
lainnya sekali lagi membangkitkan perasan tidak berdaya, kerinduan
individu akan sosok seorang bapak yang berkuasa memperoleh
pemuasannya dalam pengkhayalan citra tuhan sebagai bapak yang
mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapak inilah, oleh Freud
disebut sebagai akar setiap bentuk agama.20

Dengan demikian, agama bagi Freud adalah hasil pemuasan


keinginan kekanak-kanakan, bukan hasil pengamatan/pemikiran, dan
perilaku orang beragama tidak lebih seperti perilaku pasien neurotis.21
Oleh karena itu, hanya dengan meninggalkan agama dan ajarannya yang
dogmatis, serta bertumpu pada sains dan akal, individu dan masyarakat
akan berkembang melewati tahap kekanak-kanakannya, karena agama dan
ide ketuhanan yang diusungnya adalah ilusi semata.

2. Keberagamaan sebagai Perilaku Semata

Sebagaimana paparan di atas, aliran behaviorisme melihat sebuah


perilaku merupakan respon dari suatu stimulus, sehingga agama juga
dipahami dalam kerangka pikir seperti itu. Dari sudut kausalitas, agama
dilihat sebagai penguat sejarah. Fungsi ini dijalankan oleh bentuk-bentuk
institusionalnya, tempat agama menjadi pembentuk perilaku. Dari segi
akibat, agama dalam diri individu adalah respon terhadap stimuli sosio-
religius. Dengan ini, hubungan antara manusia dan agama (Tuhan)
hanyalah bersifat mekanistis atau hubungan sebab akibat. Manusia
menyembah Tuhan karena ada timbal balik (keuntungan) yang didapat dari
Tuhan, sehingga tidak tidak ada sakralitas dalam beragama (ber- Tuhan),
tidak ada kemuliaan dan ketulusan dalam relasi ini yang ada hanyalah
hubungan sebab akibat.22

Dalam batas yang ekstrem, aliran behavior menekankan agar perilaku


manusia dibuat tunduk terhadap terhadap hukum kausal dengan setepat-
tepatnya sehingga tidak ada peluang untuk menilai apa makna hidup.
Hidup menjadi hampa, manusia menjadi semacam tuts piano yang tidak
bisa berbuat lain selain yang bisa dilakukannya yang mengikuti tekanan-
tekanan yang memainkan tuts-tuts itu.

3. Agama Sebagai Pengolahan Kognitif


Menurut aliran ini, psikologi bisa saja mengabaikan kesadaran tetapi
tidak bisa mengabaikan proses-proses kognitif. Teori yang kompeten wajib
memasukkan peta-peta kognitif, walaupun tidak diwajibkan memasukkan
pengetahuan sadar.23 Sama persis dengan memahami sebuah komputer
yang dibutuhkan seseorang untuk menjelaskan program-program yang
digunakan komputer itu untuk menyortir dan menata data, walaupun tanpa
mengasum- sikan bahwa komputer itu memiliki kesadaran. Akan tetapi
dengan ini semua, sudahkah kita memperoleh model yang kompeten untuk
makhluk manusia yang utuh? Penyimpanan, pemanggilan kembali, dan
penggunaan informasi tentu saja penting, tetapi apakah hanya ini
kemampuan utama kepribadian? Seka- lipun psikologi kognitif sudah lebih
maju dari psikologi psikoanalisis dan behavior, namun karena tidak
banyak menyentuh wilayah kesadaran, sehingga perilaku agama dianggap
sebagai respon kognitif saja.

Lebih jauh, kaitannya dengan model manusia, pengolah kognitif tidak


merasakan rasa malu atau bangga; mereka tidak punya rasa cemas, rasa
hormat, ketakutan, ataupun harapan; mereka tidak gembira bila berhasil
menyelesaikan pekerjaan dengan baik atau bersedih saat gagal. Pengolah
kognitif seakan tidak mempunyai emosi dan mengabaikan suasana hati.
Dengan ini semua, agama menjadi sesuatu yang hambar tidak berasa.

4. Agama sebagai Aktualisasi Diri

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa psikolog humanistik sangat


mementingkan diri (self), maka jika dihubungkan dengan agama, psikologi
humanistik mendekati konsep dualistik psiko-fisikal agama, yaitu: jasmani
manusia versus jiwa atau pikirannya. Bahkan, Abraham Maslow
menyatakan bahwa dari lima kebutuhan diri, kebutuhan aktualisasi diri
menempati hirarki paling atas.24 Seseorang yang bisa mengaktualisasikan
diri adalah seseorang yang mempunyai kebermaknaan (meaning) dalam
hidup, dan agama tentu mempunyai banyak peran dalam wilayah ini.
Adapun lima kebutuhan diri itu adalah: kebutuhan fisiologis dasar
(makanan, pakaian, perumahan), kebutuhan akan rasa aman
(lingkungan/keadaan yang bebas dari segala bentuk ancaman), kebutuhan
untuk dicintai dan disayangi (kesempatan yang diberikan untuk menjalin
hubungan yang akrab dengan orang lain/terdekat), kebutuhan untuk
dihargai (pemberian penghargaan atau reward, mengakui hasil karya/jasa
individu), dan kebutuhan aktualisasi diri (kesempatan dan kebebasan untuk
merealisasikan cita-cita atau harapan individu).
Di samping itu, dalam psikologi humanistic ada sebuah keyakinan
aksio- matis pada ‘manusia pada dasarnya baik hati’.25 Dorongan-
dorongan manusia adalah dorongan-dorongan yang baik, kalau dilepaskan
secara pas dan seim- bang, kalau tidak dihambat oleh pola asuh yang
menekan, sistem sosial, dan dogma-dogma budaya. Perbuatan-perbuatan
manusia yang kejam dan mementingkan diri sendiri dipandang sebagai
tingkah laku patologik yang disebabkan oleh penolakan dan frustrasi dari
sifat yang pada dasarnya baik itu. Seorang manusia tidak dipandang
sebagai mesin otomat yang pasif, tetapi sebagai peserta yang aktif yang
mempunyai kemerdekaan memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dan
nasib orang lain. Dari sini, para teolog (muslim) me- ngaitkannya dengan
konsep fitrah Islam, sifat baik sejak lahir yang diberkahi Penciptanya
kepada manusia, dan keyakinan Islam tentang tanggung jawab manusia
terhadap apa yang akan dia lakukan dalam hidup ini.

J. Sumber Kajian Psikologi Islam

Islam adalah pandangan dan aturan hidup yang lengkap dan sempurna.
Ia adalah agama, sumber etika, sumber tersalurnya berbagai ilmu
pengetahuan, penangkal perilaku tercela, daya rujukan perilaku terpuji dan
sistem hukum, yang kesemuanya terpadu dan terpahat dalam satu kesatuan
Islam.  Psikologi Islam adalah ilmu tentang manusia yang filsafat , konsep,
metodologi, dan pendekatannya didasarkan pada sumber-sumber formal
Islam. Psikologi Islam akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan,
keadaan tubuh manusia merupakan salah satu cerminan jiwa. Ekspresi badan
hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Psikologi Islam tidak melihat
manusia hanya dari perilaku yang diperlihatkan badannya, bukan pula
berdasar spekulasi tentang apa dan siapa manusia.mengemukakan tiga tipe
studi terhadap kejiwaan dalam Islam yaitu 1) Islam dijadikan pisau analisis
bagi pengkajian psikologi; 2) sebaliknya, psikologi dijadikan pisau analisis
dalam memecahkan persoalan-persoalan psikologis umat Islam; 3) menggali
psikologi dari al-Qurān dan Hadis. Dengan demikian, studi terhadap manusia
harus dicari dalam al-Qurān karena kitab suci tersebut merupakan samudera
keilmuan maha luas dan kedalaman yang tak terhingga. 

M. Usman Najati mengemukakan bahwa umat Islam perlu merujuk


kepada al-Quran dan Hadis, kemudian menelusuri perkembangan pemikiran
tentang kajian kejiwaan yang dilakukan oleh para pemikir muslim terdahulu.
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui secara benar tentang konsep-konsep
kejiwaan Islam, agar dapat melandasi penelitian-penelitian berikutnya. Ia juga
mengkritik psikologi modern yang memakai metode penelitian ilmu fisika
yang bertumpu kepada realitas empirik objektif yang pada hakikatnya ilmu
ini kehilangan roh yang menjadi objek utama dari penelitian ilmu jiwa. 
Adanya pendapat tersebut, kesimpulan yang dapat ditarik dalam sumber
pengkajian Psikologi Islam berasal dari Al-Quran dan Hadis serta hasil
pemikiran para Pemuka Islam.

K. Metode kajian Psikologi Islam

Adapun metode-metode dalam perumusan psikologi Islam meliputi:


metode keyakinan, metode rasionalisasi, integrasi metode keyakinan dengan
rasionalisasi, metode otoritas dan metode instuisi. Metode ini disebut juga
dengan metode non ilmiah.

a) Metode Keyakinan (method of tenacity). Dalam metode keyakinan


seseorang harus meyakini betul tentang kebenaran sesuatu yang bersumber
dari Alquran dan Hadis dengan asumsi dasar bahwa Allah adalah pencipta
kehidupan yang mengetahui seluk beluk dari makhluk ciptaan-Nya. Inilah
ciri khas psikologi Islam yang menempatkan wahyu di atas rasio.
Pandangan seperti ini banyak mendapat sanggahan baik dari kalangan
ilmuwan non-muslim, maupun dari kalangan ilmuwan muslim sendiri.
Mereka beranggapan bahwa wahyu dan ilmu adalah sesuatu yang berbeda
penggunaannya dan tidak dapat dipersandingkan, namun banyak ilmuwan
kontemporer yang menggunakan metode keyakinan sebagai salah satu
metode dalam penelitiannya. Mereka menggunakan ayat Alquran sebagai
sumber pengetahuan. Problem utama adalah dapat tidaknya mengukur
aspek yang menyentuh “wilayah keimanan”. Ada 3 pendapat, yaitu: a).
Menolak dengan alasan bahwa iman adalah aspek spiritual yang bersifat
doktrin, diterima secara apriori, irrasional, subyektif, tidak logis.
Mengukur iman berarti mengukur ketidaklogisan. b). Menerima dengan
kerangka materialistik, mereka adalah ilmuwan perilaku dalam psikologi
Agama dengan pandangan positivisme. Akibatnya semua aspek iman
disamakan dengan asfek perilaku dan dibedah dari sudut pandang obyektif.
Padahal iman berhubungan dengan yang gaib, aspek rahasia dan hidayah
kebenaran. c). Menggabungkan keduanya. Bagi mereka iman memiliki
aspek ilahiah dan subyektik. Iman eksoteris yang memiliki ranah obyentif
yang dapat diukur, yaitu kognitif (aqli), efektif (zawuq) dan psikomotorik
(amal) dapat diukur berdasarkan aspek–aspek kemanusiaan (Q.S. al-
Mumtahanah/60:10), dan ada iman esoteris yang bersifat rahasia dan
wewenang pemberi hidayah.20
b) Metode integrasi keyakinan dengan rasionalisasi. Psikologi Islam
berpandangan bahwa manusia harus mempergunakan rasio secara optimal
dengan menyadari keterbatasannya. Penggunaan akal ini sesuai dengan
perintah Allah dalam Alquran. Sebagai contoh, ketika seorang berusaha
memahami suatu realitas, sebaiknya mempergunakan rasionya sambil tetap
meyakini bahwa ada keterbatasan rasio dan adanya keyakinan bahwa
wahyu Allah di atas segalanya.
c) Metode otoritas (method of authority). Menyandarkan kepercayaan kepada
orang yang mempunyai banyak pengetahuan dalam bidang tertentu seperti
Tafsir bi al-Ma‟tsur yang merujuk kepada penjelasan Rasulullah melalui
hadis-hadisnya, para sahabat dan ulama. Psikologi Islam dapat melakukan
hal itu untuk mengetahui realitas di balik alam nyata.

d.) Metode intuisi. Pendayagunaan kalbu dapat membantu untuk mengetahui


apa yang ada di dalam diri manusia. Metode eksperimen spritual ini
memerlukan perlakuan tertentu secara ruhani untuk mengetahui
dampaknya. Contohnya, membiasakan salat malam dengan berusaha
mengetahui bagaimana rasa hati terhadap Allah dengan kebiasaan tersebut.
Dengan cara ini akan terbukalah penghalang (kasyful mahjub) di mana
seseorang akan mampu memahami realitas yang tak terjangkau oleh panca
indera, seperti peristiwa Nabi Khidr yang mampu mengetahui seorang
anak yang apabila dibiarkan hidup maka akan menjadi durhaka, karena
itulah lalu beliau membunuh anak tersebut. Peristiwa ini dapat terjadi pada
seorang nabi, orang beriman dan shaleh, serta di kalangan sufi peristiwa
semacam ini menjadi sesuatu yang sangat mungkin dilaksanakan.

L. Pendekatan untuk membangun konsep dan teori dalam psikologi


Islam

Pada hakekatnya, psikologi Islam lebih berorientasi pada pendekatan


riset ilmiah dengan kajian ilmu agama; yang tujuannya merupakan
mendekatkan kajian psikologi secara universal dengan kajian al- Quran.
Oleh sebab itu, bisa dimengerti kalau landasan filsafat keilmuan psikologi
Islam merupakan konsep manusia bagi al- Quran. Mujib berkomentar
kalau konsep seorang bagi Alquran merupakan konsep yang berkata kalau
manusia tidak cuma terdiri dari tubuh; namun pula secara rohani. Sinergi
keduanya seperti itu yang mendefinisikan Nafsan. Ketiga sistem ini
membentuk karakter orang seorang. Selaku agama, Islam memiliki
seperangkat nilai yang jadi pedoman sikap pemeluknya. Nilai- nilai yang
diartikan seluruhnya tercantum dalam Al- Quran serta al- Sunnah.
Psikologi Islam menekuni jiwa dengan mencermati badan, keadaan badan
manusia ialah gambaran dari jiwa. Ekspresi badan cumalah salah satu
fenomena psikologis.

Psikologi Islam tidak memandang orang cuma bersumber pada sikap


fisiknya, pula tidak bersumber pada spekulasi tentang apa serta siapa orang
itu. Psikologi Islam berupaya menarangkan manusia dengan merumuskan
Firman Tuhan tentang manusia. Sebagian pendekatan yang digunakan
dalam membangun psikologi Islam, semacam yang dicoba para psikolog
Islam di masa klasik, merupakan pendekatan skripturalis, pendekatan
filosofis/ filosofis, serta pendekatan tasawwufis/ tasawuf.

a) Pendekatan Kitab Suci merupakan yang berkaitan dengan wahyu.


Dalam menekuni psikologi Islam, pendekatan skriptualis didasarkan pada
teks- teks Alquran ataupun Hadits serta pengucapannya, yang ialah
petunjuk( dilala) yang dikira jelas( sharih). Anggapan filosofisnya
merupakan kalau Tuhan menghasilkan jiwa manusia dengan seluruh
hukum kejiwaannya.

b) Pendekatan filosofis/ filosofis merupakan pendekatan yang berkaitan


dengan ide( Burhan). Pendekatan filosofis kajian psikologi Islam ini
didasarkan pada tata cara berpikir spekulatif( sistematis, radikal, serta
umum yang didukung oleh ide sehat). Pendekatan ini mengutamakan nalar
tanpa menolak bacaan, namun cuma sebagaimana dimengerti, mengambil
arti hakiki yang di milikinya.

C. Pendekatan Tasawwufis/ Sufist merupakan pendekatan yang


berhubungan dengan intuisi( Irfan). Pendekatan sufi kajian psikologi Islam
didasarkan pada prosedur intuitif( al- hadsiyah), inspirasi serta cita-
cita( al- zauqiah) penajaman struktur hati lewat proses pemurnian
diri( tazkiyah al- nafs). hijab( jilbab) yang ialah penghalang ilmu Allah
dengan jiwa manusia sampai terungkap( angkatan laut(AL) kasyaf) serta
bisa mengatakan hakikat jiwa yang sesungguhnya. Bagi William James,
terdapat 4 karakteristik yang bisa dimengerti dalam pendekatan sufi ini,
ialah:

1) Mereka mengutamakan emosi 2) Dalam kondisi neurotik( Syatahat) 3)


Dalam kondisi puncak yang kilat lalu namun dalam 4) Apa yang diterima
merupakan hadiah yang tidak dicari.

D pendekatan psikospiritual Islam. Pendekatan ini bertujuan buat


menciptakan aspek psikologi karakter Islam. Riset pilihannya berfokus
pada konsep alam serta hubungannya dengan struktur karakter. Struktur
alam yang ditafsirkan dalam konsep serta teori yang tercantum di
dalamnya menggapai ukuran transendental serta spiritual dalam karakter
manusia, sehingga kepatuhan terhadap ajaran serta standar agama Tuhan
tidak dilihat selaku indikasi neurosis, delusi serta ilusi yang diteorikan oleh
Freud serta Skinner..

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

psikologi Islam adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia dalam


berinteraksi di kehidupan dunia yang berpedoman pada ajaran agama Islam
untuk mencapai kedamaian dunia dan akhirat. Psikologi Islam membicarakan
aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam
Islam berupa al-Ruh, al-Nafs, al-Kalb, al-`Aql, al-Damir, al-Lubb, al-Fu’ad,
al-Sirr, al-Fitrah, dan sebagainya. Ketiga, bahwa Psikologi Islam bukan netral
etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakan demikian sebab Psikologi
Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar
mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Lahirnya psikologi Islam terjadi karena adanya persentuhan agama
dengan ilmu psikologi, perkembangan tentang ilmu psikologi pun semakin
berkembang, sehingga mendorong umat Muslim untuk membentuk ilmu baru
yang berkaitan dengan psikologi yang berlandaskan ajaran agama Islam, yaitu
Psikologi Islam.).
Metode-metode dalam perumusan psikologi Islam meliputi: metode
keyakinan, metode rasionalisasi, integrasi metode keyakinan dengan
rasionalisasi, metode otoritas dan metode instuisi. Metode ini disebut juga
dengan metode non ilmiah.
BAB IV

REFERENSI

Depan Yandi Hafizallah, M., & Husin, S. (2019). PSYCHOSOPHIA


ejurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/psc. Journal of Psychology, Religion,
and Humanity, 1(1), 1.
Jaya, F. (2021). Sumber Kajian, Metode dan Pendekatan Psikologi Islam. 1, 1–18.
Narulita, S. (2015). Psikologi Islam Kontemporer. Jurnal Online Studi Al-Qur’an,
11(1), 55–69. https://doi.org/10.21009/jsq.011.1.04
Siti Faridah (2016) Metodologi Dalam Kajian Psikologi Islam
Farida Jaya (2021), Sumber Kajian, Metode, Dan Pendekatan Psikologi Islam
Ancok, Djamaludin & Fuat Nashori Suroso. 1995, Psikologi Islami, Solusi Islam
atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai