Anda di halaman 1dari 9

ALIRAN PSIKOLOGI ISLAM

Di tengah isu Islamisasi sains, Psikologi Islam menjadi bagian yang tak
terpisahkan. Sebagai disiplin ilmu yang relatif muda, Psikologi Islam
diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembentukan pribadi
manusia ideal (insan kamil). Karena kita sadari, Psikologi Barat (modern)
ternyata tidak bisa memberikan jawaban secara lebih utuh terhadap
problem-problem manusia yang begitu unik. Bagi Psikologi Barat, manusia
hanya diletakkan dalam tinjauan yang bersifat egosentris, sedangkan
manusia itu sendiri memiliki rangkaian kemanusiaan yang lebih lengkap,
yaitu jasad (tubuh), ruh, nafs (jiwa) dan qalb (hati). Jika manusia hanya
ditinjau dari satu sisi saja, maka sosok manusia tidak akan pernah
terpotret secara utuh.
Oleh karena itu, kehadiran Psikologi Islam sebagai madzhab kelima
menjadi keniscayaan. Terlepas masih pro-kontra penamaan Psikologi
Islam maupun Psikologi Islami dan sebagainya, Psikologi Islam menjadi
lahan ”ijtihad intelektual” yang tidak pernah habis. Namun, yang jelas,
Psikologi Islam mendasarkan kerangka teori dan bangunan penelitian
didasarkan pada nilai-nilai Alquran, Hadits dan warisan (turats) intelektual
Islam masa lalu.
Tentu, untuk mewujudkan keinginan tersebut diperlukan kajian-kajian
yang konkrit, riil, dan utuh serta kesungguhan semua pihak. Memang kita
akui, bangunan metodologi dan epistemologi Psikologi Islam belum berdiri
tegak.

Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad


kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak
pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog.
Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan
kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya.
Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat
disederhanakan dalam tiga pengertian.
Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti studi
yang dilakukan Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) tentang
kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa.
Kedua, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan
mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan
ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt.
Ketiga, Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku
organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia
terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori
oleh John Watson. [1]

HAKEKAT PSIKOLOGI ISLAM

Pengertian psikologi yang dimaksud lebih cenderung pada pengertian


pertama. Ada beberapa alasan mengapa pengertian pertama yang dipilih :

[Type text]
Pertama, Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang mandiri baru
memasuki proses awal. Pendekatan yang digunakan lebih mengarah pada
pendekatan spekulatif, yang membicarakan hakekat mental dan
kehidupannya. Sumber data yang digunakan berasal dari proses deduktif,
yang digali dari nash (al-Qur`an dan al-Sunnah) dan hasil pemikiran para
filosof atau sufi abad klasik, dan belum memasuki wilayah empiris-
eksperimental;

Kedua, Psikologi Kontemporer Barat dalam perkembangannya


mengalami distorsi yang fundamental. Psikologi seharusnya
membicarakan tentang konsep jiwa, namun justru ia mengabaikan bahkan
tidak tahu-menahu tentang hakekat jiwa, sehingga ia mempelajari “ilmu
jiwa tanpa konsep jiwa.”[2]

Ketiga, karena alasan ke dua di atas, psikologi kontemporer


mempelajari manusia yang tidak berjiwa. Atau, menyamakan gejala
kejiwaan manusia dengan gejala kejiwaan hewan, sehingga temuan-
temuan dari perilaku hewan digunakan untuk memahami perilaku
manusia.

Hakekat psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:


“kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan
perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat
membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang
objektif, bahkan boleh dikatakan telah mencapai derajat supra ilmiah.
Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf pseudo-ilmiah adalah
tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah.
Objektifitas suatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kriterianya
bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif. Psikologi Kontemporer
telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri. Demikian juga
Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum
muslimin. Jika orang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi
melalui pola pikirnya sendiri, serta mengklaim keabsahan dan
objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yang sama,
yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir
Islam.
Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-akhir ini
telah membukan jendela untuk ‘mengintip’ wacana yang berkembang di
dalam khazanah Islam.[3] Mereka sadar bahwa Psikologi Barat
Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan
fenomena kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang. Mereka
mengetahui kedalaman materinya, lalu mereka masuk ke dalamnya dan
mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulis satu bab
khusus untuk ‘Psikologi Timur’. Menurutnya, salah satu sumber yang
sangat kaya dari psikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-
agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawwuf)
telah bertindak sebagai para psikolog terapan.[4] Tasawwuf merupakan
dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa,
dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya,
proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk), proses penyucian jiwa
(tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dan

[Type text]
sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah
psikologi.

Perbedaan Psikologi Barat dengan Psikologi Islam

1. Jika Psikologi Barat merupakan produk pemikiran dan penelitian


empiric, Psikologi Islam , sumber utamanya adalah wahyu Kitab Suci Al
Qur’an, yakni apa kata kitab suci tentang jiwa, dengan asumsi bahwa
Allah SWT sebagai pencipta manusia yang paling mengetahui anatomi
kejiwaan manusia. Selanjutnya penelitian empiric membantu menafsirkan
kitab suci.

2. Jika tujuan Psikologi Barat hanya tiga; menguraikan, meramalkan dan


mengendalikan tingkah laku, maka Psikologi Islam menambah dua poin;
yaitu membangun perilaku yang baik dan mendorong orang hingga
merasa dekat dengan Allah SWT.

3. Jika konseling dalam Psikologi Barat hanya di sekitar masalah sehat dan
tidak sehat secara psikologis, konseling Psikologi Islam menembus hingga
bagaimana orang merasa hidupnya bermakna, benar dan merasa dekat
dengan Allah SWT.

Arah dan Tantangan Psikologi Islam

Dalam perspektif Alquran (Islam), manusia adalah


makhluk unik. Di satu sisi, ia disanjung sedemikian tinggi,
bahkan melebihi ketinggian malaikat sebagai makhluk
spiritual, sampai mereka disuruh Tuhan untuk bersujud dan
mengakui keunggulannya. Sedangkan di sisi yang lain, ia
dicerca, direndahkan serta dihinakan, bahkan lebih hina dari binatang.
Keunikannya itulah yang menyebabkan berbagai disiplin ilmu
pengetahuan tentang manusia kemudian lahir. Salah satu disiplin ilmu
pengetahuan tersebut adalah psikologi, yaitu ilmu yang melihat dan
menempatkan manusia sebagai objek kajiannya, khususnya perilaku
manusia. Bahkan, karena keunikannya itu pula, madzhab-madzhab
psikologi seperti Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanisme
antroposentris tidak bisa memberikan jawaban tuntas tentang perilaku
manusia. Masing-masing madzhab hanya mampu melihat manusia dari
satu sisi pandang saja.
Sebagai disiplin ilmu baru, Psikologi Islam lahir sebagai antitesis
terhadap berbagai Madzhab Psikologi Barat modern. Dalam wataknya
yang terbuka, saat ini, disiplin ilmu Psikologi Modern harus mere-definisi
dirinya, sehingga Psikologi Islam bisa menjadi salah satu alternatif yang
dapat ditawarkan. Meskipun Psikologi Barat berfokus pada ego sebagai
subjek dan objek yang menjadi landasan sentral paham hedonisme dan
individualisme Barat, sedangkan Psikologi Islam mendasarkan pada
spiritualisme, namun keduanya memiliki titik singgung dimana manusia
sebagai objek kajiannya.
Seiring dengan kesadaran kembali spiritualisme di dunia Barat, agama
kini mulai dilirik kembali sebagai solusi alternatif. Di Indonesia, beberapa
universitas seperti UI, UIN, UMS, UII, UGM, Unisba dan lainnya
menawarkan mata kuliah Psikologi Islam. Asosiasi Psikologi Islam (API)
bahkan sudah menjadi bagian dari HIMPSI, dan International Association of

[Type text]
Muslim Psychologist. Namun, bangunan konsepsi Psikologi Islam yang
integral belum berdiri, kerangka teori belum utuh, penjabaran terapan
belum baku, bahkan penelitian-penelitian empirik yang ekstensif untuk
mendukung teori dan terapannya belum dilakukan secara massif. Selain
itu, fokusnya masih diarahkan pada wilayah Psikoanalisis.
Jika kita amati, wilayah kajian Psikoanalisis dalam pengembangan
Psikologi Islam memang yang paling menyolok, karena menyediakan
perbedaan yang paling kontras dengan konsepsi Alquran tentang
manusia. Hampir setiap hal yang dikemukakan oleh psikoanalisis
merupakan kebalikan dari apa yang menjadi konsepsi dasar Islam tentang
manusia. Sementara psikoanalisis bukan aliran pemikiran yang dominan di
dalam psikologi modern.
Dalam konsepsi Islam, tingkah laku adalah ekspresi jiwa manusia. Dari
dulu manusia bertanya apa itu jiwa? Ilmu yang berbicara tentang jiwa
antara lain; filsafat, tasawuf, dan psikologi. Kalau Psikologi yang lahir di
Barat dimensinya hanya bersifat horizontal karena basic-nya sekuler,
sedangkan dalam Islam jiwa dibahas dalam konteks hubungan manusia
dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Psikologi Islam, "Istana" yang Belum Berdiri

Belum genap lima belas tahun usia Psikologi Islam di


Indonesia berdiri. Sejak kelahirannya pada simposium
tahun 1994 di Solo, yang dibidani oleh Psikolog-psikolog
muslim yang genial dan terampil telah menunjukkan
perkembangan yang cukup pesat. Betapa tidak, sekitar
40-an lebih, buku-buku referensi telah diterbitkan plus
membludaknya animo ilmuwan maupun akademisi yang telah menjadikan
material psikologi keislaman sebagai obyek dalam penelitian mereka,
seperti berupa jurnal maupun hasil penelitian untuk internal kampus
(skripsi, tesis bahkan disertasi) dan lain-lain, baik di PTN maupun PTS yang
ada. Namun, di sisi yang lain, tidak sedikit kalangan yang mencibir
kemampuan dan keilmiahan Psikologi Islam, baik dari kalangan psikologi
arus utama (istilah Dennis Fox --mengacu pada Psikologi Modern) dengan
alasan tidak bisa diverifikasi secara ilmiah, atau adanya kecurigaan
sebagian kalangan bahwa disiplin Psikologi Islam kelak dapat
menimbulkan kekhawatiran akan munculnya “sengketa lahan”. Benarkah
demikian? Jawabnya, bisa ya dan bisa tidak.
Jika jawabnya “iya” karena banyak intelektual Islam sendiri, ketika
mereka menyoroti dasar-dasar keislaman yang dijadikan landasan teori
Psikologi Islam, masih terkesan rapuh dan cenderung asal comot, bahkan
lebih parahnya lagi, ada sebagian yang menganggap kehadiran tokoh-
tokoh Psikologi Islam ini karena “aji mumpung” atau diuntungkan oleh
“peluang”. Bahkan, pada tahap anggapan yang menyedihkan, ada
seorang ilmuan agama yang hanya karena menyusun buku-buku kejiwaan
islam yang nyaris “garing” kajian psikologinya dijadikan sebagai “imam”
Psikologi Islam Indonesia. Bisa jadi, hal tersebut karena faktor sedikitnya
ilmuwan serupa sebagai pesaing yang intens dan mau ambil bagian dalam
proyek Islamisasi psikologi di nusantara ini. Padahal kalau dikritisi secara
mendalam, ilmuan yang “terlanjur” dijadikan kiblat tersebut ternyata
belum, atau bahkan tidak mampu membangun karakter sebuah teori
keilmuan dalam Psikologi Islam, seperti bangunan epistemologi dan
metodologinya.

[Type text]
Namun, jika jawabnya “tidak”, langkah bijak untuk menyikapi tuduhan
dan kecurigaan diatas, setidaknya ada dua hal yang perlu kita ambil
langkah. Pertama; defensif-proaktif yaitu sebuah langkah bertahan-
berkreasi dengan menciptakan karya ilmiah, tidak patah semangat dan
kalau perlu menganggap “angin lalu” atas tuduhan dan kecurigaan
tersebut. Tentu saja karya ilmiah yang kita akan bangun harus memiliki
kekokohan teori yang tahan banting dari goncangan dan terjangan ombak
kritik dan tuduhan. Memang, untuk mewujudkan upaya tersebut, tugas
ilmuwan Psikologi Islam dalam menformulasi ajaran agama “yang
terserak” yang bersumber dari Alqur`an, Hadits maupun dari khazanah
(turrats) keilmuwan seperti filsafat maupun tasawuf hingga menjadi
sebuah teori yang kokoh bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kemudian
bangunan teori tersebut dituntut tidak hanya utuh, namun juga bersifat
praksis, sehingga merangsang adanya tindak lanjut penelitian bagi
pengembangan landasan Psikologi Islam yang bisa dirasakan manfaatnya
oleh peradaban manusia di planet bumi ini. Demikian juga bukan tugas
yang ringan, yaitu upaya mereformulasi teori-teori Psikologi Barat
sehingga sesuai, paling tidak mampu memberikan “suntikan” nilai-nilai
idealisme Islam.
Dalam sejarah perkembangan modern Indonesia, sebenarnya langkah-
langkah tersebut telah dilakukan oleh “tokoh-tokoh” Psikologi Islam,
seperti Hanna Djumhana dan Fuad Nashori, yang pernah mencoba
mereformulasikan melalui karya-karyanya yang berjudul “Integrasi
Psikologi dengan Islam” dan “Paradigma Psikologi Islam”. Kemudian diikuti
oleh beberapa tokoh lain yang datang kemudian. Namun,
mereformulasikan bangunan “Psikologi Islam” memang membutuhkan
kemampuan ekstra, setidaknya kemampuan ilmu alat seperti ilmu mantiq
(logika) dan Bahasa Arab yang kuat untuk dapat mengakses khazanah
Islam klasik.
Tanpa bermaksud menggurui para ilmuan muslim yang berupaya keras
membangun Psikologi Islam, analog sederhana antara psikologi modern
dan Psikologi Islam diibaratkan seperti tender sebuah proyek bangunan
(rumah) yang memiliki karakter perbedaan yang besar. Psikologi modern
(Barat) seperti bangunan rumah yang berarsitektur amatiran
(tokoh/teoritikus Barat), dan bahan material (teori-teori) bukan dari bahan
yang bermutu, namun mereka memiliki banyak tukang (ilmuwan
konstruktif) yang berpengalaman dan profesional serta beberapa gelintir
mandor (ilmuwan tukang kritik). Sehingga “bangunan rumah” tersebut
dalam waktu 1 x 24 jam dapat diselesaikan meski hanya berukuran kecil
dan kurang kokoh. Walaupun kecil, rumah itu sudah mampu memberikan
manfaat bagi segelintir orang, yang melindunginya dari terik matahari dan
dinginnya malam ketika hujan tiba.
Sementara Psikologi Islam ibarat rumah yang berarsitektur paling
profesional (konsepsi Alquran dan Hadist seperti tentang hakikat manusia)
dengan rancangan maket (miniatur) sebuah istana yang kokoh yang dapat
menampung ribuan orang, dengan bermodalkan bahan-bahan material
pilihan dan berkualitas tinggi. Namun hingga saat ini, bangunan itu masih
belum bisa berdiri, bahkan para mandor masih sibuk berwacana tentang
fondasi (epistemologi dan metodologinya). Hal ini disebabkan karena rasio
antara mandor (ilmuwan + tukang kritik) dan tukangnya (ilmuwan
konstruktif) lebih banyak mandornya. Sehingga tidak mengherankan
apabila tender-tender yang ada selama ini selalu dimenangkan oleh
Psikologi Modern.

[Type text]
Kedua, menjadikan kritikan tersebut sebagai bahan refleksi untuk
mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang ada sebagai acuan untuk
perbaikan dan pengembangan di masa mendatang.

Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan


terhambatnya perkembangan Psikologi Islam sehingga terkesan
“jalan ditempat”, dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, masih adanya kesenjangan antara teori dan praktek.
Sekitar delapan tahun lalu, Riyono mengidentifikasi kelemahan ini, meski
selama itu banyak perkembangan namun masih belum mencapai taraf
cukup, apalagi ideal. Menurutnya, perbincangan Psikologi Islam selama ini
baru menyentuh tataran filosofis dan belum masuk dalam metodologi
ilmiah (sains). Jika wacana ini mandeg dalam kancah perdebatan filosofis,
maka sulit diharapkan manfaat praktisnya. Apalagi metodologi ilmiah
adalah jembatan yang mampu menerjemahkan filosofi ke ajang praktik
dan amalan keseharian. Hanya dengan jalan itulah, ilmu Psikologi Islam
bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak (Riyono, 1998).
Kedua, adanya polarisasi kemampuan dan keahlian ilmuwan
Psikologi Islam. Di satu sisi mereka mewakili ilmuwan psikologi murni,
umumnya mereka sangat expert dibidangnya, menguasai teori-teori
psikologi dan sangat berpengalaman dalam wilayah praksisnya, namun
kurang memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki basis
pengetahuan keagamaan yang kuat. Akibatnya, kalangan ini sangat
menggelikan sekali ketika mereka mengomentari atau memberi penilaian
tentang aspek-aspek material dalam keislaman. Disisi lain, ilmuan agama
murni seperti mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama,
namun mereka tidak memiliki pengetahuan psikologi yang memadai.
Akibatnya pula, seringkali ide-ide kajian keislamannya yang dikaitkan
dengan kajian psikologi tidak memiliki relevansi (tidak nyambung),
kalupun ada, analisa psikologinya tidak detail dan kurang menyentuh
persoalan yang diangkat. Sehingga distingsi tersebut terkesan sangat
kaku, parsial bahkan jauh dari idealisme Islamsasi sains.

Problematika Psikologi Islam Kini dan Esok

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern,


kehadiran Psikologi Islam telah menjadi mainstream baru
dalam perkembangan keilmuan psikologi dewasa ini. Posisi
Psikologi Islam tidak saja bernilai The Indigenous Psychology,
tetapi juga dianggap sebagai psikologi alternatif yang
menelusuri alam syahadah (empirik) dan alam ghaib (meta-
empirik), atau bisa dikatakan memasuki alam dunia dan
akhirat. Paling tidak, untuk alasan terakhir inilah, Psikologi
Islam itu eksis serta diharapkan banyak dalam membentuk kepribadian
manusia sempurna yang tidak ditemukan pada madzhab psikologi yang
lain.
Embrio terlahirnya Psikologi Islam sebenarnya telah di mulai di
beberapa negara Islam. Gerakan ini berawal ketika Malik B Badri,
seorang psikolog dari sebuah negara di Afrika, menerbitkan buku The
Dilema of Moslem Psychologys pada tahun 1979. Buku yang mengkritik
secara tajam psikologi Barat ini telah mendapat sambutan yang luar biasa
dan menjadi peluang bagi bangkitnya disiplin ilmu Psikologi Islam.

[Type text]
Di Indonesia, gerakan ini dimulai tahun 1990-an. Gaungnya semakin
keras di awal milenium ini dengan sambutan hangat oleh intelektual
muslim, khususnya perguruan tinggi seperti UI, UIN, IAIN, UII, UMS, UNDIP,
UGM, UMM dan sebagainya. Perkembangan lebih lanjut yang patut
disyukuri adalah respon yang diberikan oleh Departemen Agama terhadap
perjuangan wacana Psikologi Islam di Indonesia. Paling tidak, Departemen
Agama pernah mengundang para pakar Psikologi Islam dan studi Islam
pada bulan Agustus 2005 di Puncak-Bogor untuk merumuskan
nomenklatur Psikologi Islam. Mereka diantaranya adalah Hanna Djumhana
Bastaman, Fuad Nashori, Abdul Mujib, Yadi Purwanto, Mulyadi
Kertanegara, Nasaruddin Umar, Netty Hartati, Zahrotun Nihayah, Mulyadi
dan lainnya.
Ada tiga hal yang menjadi kesepakatan dalam forum tersebut, yaitu
landasan filosofis, kurikulum dan infrastruktur. Berkaitan dengan
kurikulum, ada empat kelompok mata kuliah yang wajib diberikan di
lingkungan Departemen Agama, yaitu mata kuliah keislaman wajib di
PTAI, mata kuliah wajib psikologi (Diknas), mata kuliah wajib Psikologi
Islam dan mata kuliah bebas PT.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan bagi para
penggagas gerakan Psikologi Islam untuk menjadikannya sebagai
madzhab baru pasca psikoanalisis, behaviorisme, humanisme dan
transpersonal. Disamping itu, beberapa simposium dan pertemuan
nasional telah mencanangkan bahwa Psikologi Islam akan menjadi
madzhab kelima atau madzhab alternatif.
Fuad Nashori mempunyai beberapa alasan kenapa Psikologi Islam
pantas dijadikan sebagai madzhab kelima. Pertama, Psikologi Islam
mempunyai pandangan khas tentang dimensi sentral manusia, yaitu
qalbu, kedua, Psikologi Islam dalam konteks ilmu psikologi modern
mempunyai cara pandang baru tentang hubungan manusia dengan
Tuhan, ketiga, Psikologi Islam memiliki potensi menjawab tantangan
problema manusia modern, dan keempat, Psikologi Islam berperan dalam
memperbaiki situasi nyata kehidupan manusia.

Problematika Psikologi Islam

Perlu disadari, bahwa perjuangan Psikologi Islam di Indonesia ternyata


tidak semudah yang dicita-citakan. Sejumlah problematika baik pada
tataran teoritik, aplikatif maupun kelembagaannya menunggu di hadapan
kita. Beberapa problematika diantaranya sebagai berikut :
Pertama, adanya problem metodologis yang sampai saat ini
belum sepenuhnya disepakati. Hal ini perlu disikapi karena salah satu
persyaratan membangun ilmu pengetahuan adalah akurasi metodologis.
Secara aksiologis, semua pihak sepakat akan artinya Psikologi Islam dalam
menuntaskan permasalahan umat, karena Psikologi Barat kontemporer
selama ini ternyata tidak sepenuhnya mampu menjawabnya. Namun
secara epistimologis, dikotomi pola pikir masih tampak disana-sini.
Sarjana berbasis studi Islam misalnya, masih banyak berkutat pada
pendekatan normatif, sedangkan sarjana berbasis Psikologi Barat ketika
mengintegrasikan dengan Islam banyak yang berkutat pada pemahaman
Psikologi Baratnya.
Kedua, integrasi psikologi dengan Islam masih bertaraf teoritik
dan belum pada tataran aplikatif. Hal itu terlihat pada bidang-bidang
penelitian dan diagnosis masalah-masalah psikologis. Dalam kasus

[Type text]
penelitian yang dilakukan oleh beberapa sarjana muslim, pada tingkat
kerangka teori, mereka mencoba mengintegrasikan antara teori-teori
psikologi Barat dengan Islam. Namun, ketika membuat instrumen
penelitiannya, mereka hanya men-download dari hasil penelitian
sebelumnya yang dianggap permanen, sehingga antara kerangka teorinya
tidak memiliki koneksitas dengan instrumen penelitian lainnya.
Ketiga, masalah diagnosis persoalan psikologis. Sampai saat
ini, Psikologi Islam belum memiliki alat tes dalam mengukur
kriteria-kriteria tertentu. Jika Psikologi Islam dipandang sebagai ilmu
praktis, maka kedudukan alat tes menjadi tolak ukur keberadaannya.
Ironisnya, saat ini para psikolog masih berkutat pada penggunaan alat-alat
tes yang diadaptasi dari teori-teori Barat tanpa mempertanyakan validitas
teorinya. Kita harus berupaya mengkonstruksi alat tes sendiri yang benar-
benar Islami.
Keempat, dalam training psikologis yang dilakukan oleh
praktisi muslim, kalau boleh dijustifikasi sebagai produk Psikologi
Islam, sesungguhnya telah menunjukkan prestasi yang
spektakuler. Sebut saja Ary Ginanjar Agustian dengan ESQ (Emosional
Spiritual Quetiont) nya. Training ini bertujuan untuk pengembangan diri
dalam membangun mentalitas ummat, bukan pada pendekatan
simptomatis yang menterapi gangguan kejiwaan. Sebagai entrepreneur,
Ary telah menunjukkan keunggulan training yang diturunkan dari nilai-nilai
Islam. Lembaganya memiliki jaringan, yang tidak saja pada kalangan
akademisi, tetapi juga pada kalangan eksekutif. Dalam kasus yang hampir
serupa, terapi-terapi ruqyah telah menjadi psikoterapi alternatif bagi umat
Islam. Tujuan terapi ini adalah untuk menghilangkan gangguan kejiwaan
pada umat karena gangguan sihir, makhluk halus atau lainnya. Namun,
jika hal ini ditransformasikan di lingkungan akademis, maka tidak
terelakkan klaim bahwa kampus menjadi praktek perdukunan. Padahal
pada kenyataannya, terapi ruqyah ternyata memberikan solusi bagi umat
yang tidak mampu dilakukan oleh para psikolog.
Kelima, kerancuan kurikulum Psikologi Islam di perguruan
tinggi. Penyajian kurikulum Psikologi Islam yang ditawarkan oleh
Perguruan Tinggi Agama Islam(PTAI) masih bersifat sparatis. Artinya,
psikologi Islam masih dipahami sebagai matakuliah yang memiliki bobot
SKS seperti mata kuliah yang lain. Idealnya, seluruh mata kuliah
kepsikologian seharusnya mengintegrasi pada wawasan keislaman,
sehingga tidak terjadi pengulangan dan tumpang tindih pada pokok-pokok
bahasannya. Untuk pokok bahasan kepribadian misalnya, tidak perlu
memasarkan dua mata kuliah seperti psikologi kepribadian Barat dengan
psikologi kepribadian Islam, tetapi cukup dalam satu mata kuliah,
psikologi kepribadian yang keduanya termuat di dalamnya. Masalah-
masalah tersebut perlu dipecahkan segera, karena transformasi teori
Psikologi Islam sesungguhnya bermula dari kerangka kurikulum yang
dibangun dalam suatu lembaga perguruan tinggi. Usaha-usaha untuk
mendirikan fakultas atau program studi psikologi Islam harus tetap
dilanjutkan, sekalipun sering mendapatkan kendala politis.
Kendatipun masih banyak berbagai kelemahan dan kekurangan,
sebagai disiplin ilmu yang relatif muda, tapi telah menunjukkan
perkembangan yang sangat pesat. Untuk itu, prospek Psikologi Islam ke
depan menjadi tanggung jawab kita bersama seperti ilmuan psikologi,
praktisi, peneliti, institusi dan peminat psikologi Islam untuk menciptakan
gerakan massif memperjuangkan tegaknya Psikologi Islam sebagai disiplin
ilmu yang kokoh, baik di Indonesia maupun dunia internasional. Semoga

[Type text]
Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi hambaNya dari setiap niat
yang tulus dan mulia.

[1]Frank. J. Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj. Cecilia G. Samekto,


judul asli, "Dictionary of Key in Psychology",(Yogyakarta: Kanisius, 1989),
h. 236-237

[2]Misalnya yang terjadi pada aliran Behaviorisme John Dollard, Neal E.


Miller, B.F. Skinner dari Psiko-operan yang tidak begitu tertarik dengan
persoalan struktur kejiwaan manusia yang menetap dan relatif stabil.
Mereka lebih berminat mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dapat
mengakibatkan respons-respons tertentu yang pada gilirannya
membangkitkan stimulus-stimulus yang memiliki sifat pendorong. Atau
berminat pada tingkah laku yang dapat diubah. Lihat!, Calvin Hall dan
Gardner Lindzey, Teori-Teori Sifat dan Psikobehavioristik, diterjmahkan
oleh Yustinus, judul asli; “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius,
1993), hh. 320-221,326

[3]Di antaranya: (1) Shafii, Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and
Psychotherapy, (1985); (2) Hoesen Nasr (ed.), Islamic Spirituality:
Foundation, (1989); dan (3) Ronald Alan Nicholson, Fi al-Tashawwuf al-
Islami wa Tarihihi, terj. Abu al-‘ala al-Afifi (1969).

[4]Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Holistik (Organismik-


Fenomenologis), terj. Yustinus, judul asli, “Theories of Personality”,
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 222

[Type text]

Anda mungkin juga menyukai