Anda di halaman 1dari 6

Psikologi dalam Pandangan Islam

July 16, 2014 hamkapsikologi

Semerbak diskursus islamisasi sains menebar pesona dengan


mencitrakan diri sebagai ilmuwan Islam yang benar. Dengan argumen
historis menampilkan superioritas yang pernah diraih. Pesonanya pun
seakan membangkitkan gairah para intelaktual (yang beragama) Islam
untuk membangun kembali puing-puing reruntuhan. Tidak
ketinggalan para muslim yang bergelut di bidang psikologi, juga turut
meramaikan pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggagas
Psikologi Islam.
Namun seperti halnya gagasan islamisasi pengetahuan yang
mengandung kontroversi, Psikologi Islam juga menebar aroma
perdebatan antara yang pro dan kontra. Yang pro Psikologi Islam
berpendapat bahwa dalam khasanah Islam pada dasarnya tidak
sedikit yang membincangkan manusia sebagai objek material dari
psikologi itu sendiri. Untuk itulah dengan gagasan Psikologi Islam
mereka ingin menegaskan bahwa pandagan Islam lebih baik daripada
konsepsi yang ada dalam hamparan Psikologi modern (barat)
Sedangkan yang menolak gagasan tentang Psikologi Islam
berargumentasi hampir sma dengan penolakan terhadap islamisasi
ilmu pengetahuan. Bahwa pada dasarnya konsepsi psikologi yang
sudah ada tidak perlu diislamkan karena terlalu naïf jika teks
keagamaan yang ada dalam Islam hanya dijadikan legitimasi pada
konsepsi psikologi yang sudah ada akan berujung pada labelisasi.
Terlepas dai pro dan kontra munculnya psikologi Islam tersebut,
penulis ingin mencoba menelaah ulang gagasan Psikologi Islam yang
sampai saat ini pun diantara para pendukungnya sendiri masih
memperdebatkan apakah menggunakan istilah Psikologi Islam,
Psikologi Islami atau Psikologi Muslim. Walaupun sebenarnya cita-
cita yang ingin dicapai sama, yakni menjadikan Psikologi selaras
dengan nilai-nilai Islam. Dari perdebatan tersebut bisa dilihat secara
sederhana tentang gagasan psikologi Islam kosong tanpa landasan
epistemologi. Padahal dalam rentangan sejarah ilmu pengetahuan
selalu ditopang oleh rancang bangun epistemologi.
Sejarah keilmuan Islam yang gemilang mencatat tiga corak
pendekatan dalam memahami jiwa manusia.
Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana jiwa manusia dipahami
dengan merujuk pada keterangan kitab suci al-Qur’an dan hadis-hadis
Rasulullah saw. Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal
manusia (syahwat kepada lawan jenis, properti, uang, fasilitas mewah,
takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah, mudah
frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang
berzikir, ikut petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu, hidup
merana dan mati menyesal, di akhirat masuk neraka), dan beberapa
karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat jahat (ammarah
bis-su’), yang senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang tenang
damai (al-mutma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh
semisal Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya ar-Ruh,
misalnya, diterangkan bagaimana ruh menjalar di tubuh manusia
yang memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak. Ruh
orang mati itu wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun
jasadnya hancur.
Kedua, pendekatan Falsafi dimana pelbagai masalah jiwa dibahas
menurut pandangan para filsuf Yunani kuno. Mazhab falsafi ini mulai
berkembang pada abad ke-10 Masehi, menyusul penerjemahan karya-
karya ilmuwan Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Para psikolog
Muslim pada masa itu banyak dipengaruhi oleh teori-teori jiwa Plato
dan Aristoteles. Tak mengherankan, sebab Aristoteles mengupas
aneka persoalan jiwa manusia dengan sangat logis dan terperinci.
Teori-teorinya tertuang dalam bukunya De Anima (tentang hakikat
jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan Parva Naturalia (risalah-
risalah pendek mengenai persepsi inderawi dan hubungannya dengan
jiwa, daya hapal dan ingatan, hakikat tidur dan mimpi, firasat dan
ramalan). Adapun Plato ialah filsuf yang pertama kali melontarkan
teori tiga aspek jiwa manusia: rasional (berdaya pikir), animal
(hewani), dan vegetatif (berdaya tumbuh).
Hampir semua filsuf Muslim yang menulis karya tentang jiwa bertolak
dari pandangan Aristoteles. Mulai dari Miskawayh yang menulis kitab
Tahdzib al-Akhlaq dan Abu Bakr ar-Razi pengarang kitab at-Thibb ar-
Ruhani hingga Ibnu Rusyd dan Abu Barakat al-Baghdadi. Menurut
mereka, jiwa manusia adalah penyebab kehidupan. Tanpa jiwa,
manusia tak berarti apa-apa. Kecuali ar-Razi, semua filsuf percaya
bahwa jiwa manusia itu tunggal dan sendiri. Karenanya mereka
menolak teori transmigrasi jiwa dari satu tubuh ke tubuh yang lain,
seperti dalam kepercayaan agama tertentu. Dalam salah satu kitabnya,
Ibnu Sina menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah
seperti shalat dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan
mampu menangkap sinyal-sinyal dari alam ghaib yang dipancarkan
melalui Akal Suci (al-‘aql al-qudsi). Kemampuan semacam inilah yang
dimiliki oleh para nabi, tambahnya. Jiwa para nabi itu begitu bersih
dan kuat sehingga mereka mampu menerima intuisi, ilham dan wahyu
ilahi (Lihat: kitab an-Nafs, ed. Fazlur Rahman, hlm 248-50 dan
Avicenna’s Psychology, hlm 36-7).
Ketiga ialah pendekatan Sufistik dimana penjelasan tentang jiwa
manusia didasarkan pada pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf.
Dibandingkan dengan psikologi para filsuf yang terkesan sangat
teoritis, apa yang ditawarkan para sufi lebih praktis dan
eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab ar-Riyadhah wa Adab
an-Nafs karya al-Hakim at-Tirmidzi (w. 898) dimana beliau terangkan
kiat-kiat mendisiplinkan diri dan membentuk kepribadian luhur.
Menurut Abu Thalib al-Makki (w. 996), jiwa manusia sebagaimana
tubuhnya membutuhkan makanan yang baik, bersih, dan bergizi. Jiwa
yang tidak cukup makan pasti lemah dan mudah sakit. Semua itu
diterangkan beliau dalam kitab Qut al-Qulub (‘nutrisi hati’).
Tokoh penting lainnya ialah Imam al-Ghazali (w. 1111 M) yang
menguraikan dengan sangat memukau aneka penyakit jiwa dan
metode penyembuhannya. Penyakit yang diderita manusia ada dua
jenis, ujarnya, fisik dan psikis. Kebanyakan kita sangat
memperhatikan kesehatan tubuh tetapi jarang peduli dengan
kesehatan jiwa. Bagaimana cara mengobati penyakit-penyakit jiwa
seperti egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi, waswas, dsb beliau
jelaskan dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulumiddin. (Lihat juga:
Amber Haque, “Psychology from Islamic Perspective: Contributions of
Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim
Psychologists,” Journal of Religion and Health 43/4 [2004], hlm 357-
77).
Di abad modern, upaya-upaya untuk menyelami lautan ilmu psikologi
Islam dan “menjual mutiara-mutiara”nya brilian masih terkendala
oleh beberapa hal. Selain sikap prejudice terhadap khazanah
intelektual Islam di satu sisi, dan sikap fanatik terhadap psikologi
Barat modern yang nota bene sekular-materialistik di sisi lain,
penguasaan bahasa Arab merupakan conditio sine qua non (syarat
mutlak) untuk bisa menjelajahi literatur psikologi Islam yang sangat
kaya namun belum terjamah itu. Psikolog muslim tinggal memilih
mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow, Ellis, dsb atau
belajar dari para ahli psikologi Islam.
Psikologi Hukum Islam, Kajian Interdisipliner Hukum Islam Berbasis Psikologi

https://vano2000.wordpress.com/2010/06/26/kajian-psikologi-dalam-hukum/

Hukum Islam sebagai disiplin ilmu adalah ilmu yang mempelajari tentang syariah atau seperangkat
aturan atau hukum dalam ajaran Islam dalam berbagai bidang kehidupan yang bersumber dari dalam al-
Qur'an dah Hadits.

Sejauh yang penulis ketahui, setidaknya hukum Islam mengatur empat hal pokok, yaitu: 1) Munakahat
(Perkawinan), 2) Muamalat (Hubungan antar manusia), 3) Jinayat (Pidana), dan 4) Siyasat (Politik dan
Tata Negara).

Hukum Islam ini memiliki corak khas dan keistimewaan tersendiri karena merupakan hukum yang yang
berasal dari Tuhan (Allah SWT) secara langsung dan merupakan hukum yang kompleks karena mengatur
segala aturan mengenai bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari agar seorang muslim menjadi
pribadi yang saleh dan taat serta takwa dan memiliki hubungan baik dan seimbang antara manusia
dengan Allah SWT dan manusia dengan manusia (habluminaalah dan hablumminannas).

Berbicara mengenai hukum Islam, dalam perkembangannya disiplin ilmu ini memiliki beberapa cabang
ilmu, diantaranya: a) Filsafat Hukum Islam, b) Sosiologi Hukum Islam c) Politik Hukum Islam dan ada juga
d) Psikologi Hukum Islam.

Cabang ilmu hukum Islam yang terakhir yakni Psikologi Hukum Islam merupakan yang masih baru
diantara keempat cabang ilmu hukum Islam, terbukti sangat minimnya referensi atau literatur
mengenai dasar atau pondasi keilmuan Psikologi Hukum Islam.

Hal ini berbanding terbalik dengan cabang ilmu hukum positif yaitu Psikologi Hukum yang terlebih
muncul dahulu, cabang ilmu ini mempelajari atau mengkaji hukum sebagai suatu perwujudan dari jiwa
manusia.
Disinipun Psikologi Hukum telah mempunyai dasar-dasar teori menurut para ahli hukum, salah satunya
menurut Soerjono Soekanto yang berbunyi "Psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha
menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan
kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut".

Untuk merespons pengembangan dasar atau standar keilmuan Psikologi Hukum Islam, maka perlu
dilakukan pendefinisian ulang tentang Psikologi Hukum Islam. Berikut penulis berusaha untuk
menyumbangkan pemikiran untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan apa yang dimaksud dengan

Psikologi Hukum Islam:


Psikologi ditinjau dari segi ilmu bahasa, psikologi berasal dari psyche yang diartikan jiwa dan logos yang
berarti ilmu atau ilmu pengetahuan. Karena itu psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan
tentang jiwa atau disingkat ilmu jiwa atau psikologi juga memiliki pengertian ilmu yang mempelajari
perilaku manusia yang merupakan perwujudan dari gejala kejiwaan manusia.

Hukum Islam adalah hukum syar'i yang berasal dari Tuhan (Allah SWT) dan termaktub dalam al-Qur'an
dan Hadits sebagai rule of the game menjalani kehidupan sehari-hari di dunia yang diperuntukkan bagi
kaum muslim.

Disini setelah sebutkan pengertian Psikologi dan hukum Islam, maka Psikologi Hukum Islam menurut
penulis dapat dipandang dari dua (2) perspektif yaitu: a) Psikologi Hukum Islam dari perspektif psikologi
dan b) Psikologi Hukum Islam dari perspektif hukum Islam. Berikut penulis paparkan kedua perspektif
tersebut:

Psikologi Hukum Islam perspektif psikologi


Dalam perspektif ini Psikologi Hukum Islam lebih condong mengkaji terhadap perilaku-perilaku atau
gejala-gejala kejiwaan manusia dalam penerapan atau penegakan hukum Islam, gejala-gejala kejiwaan
yang dimaksud disini adalah segala hal yang berasal dari kejiwaan manusia dan termanifestasikan dalam
perilaku untuk merespons hukum Islam.

Disini juga dapat dikaji mengapa manusia melanggar hukum Islam, konsekuensi psikologis akibat
pelanggaran hukum Islam dan perilaku pemicu pelanggaran hukum Islam yang juga dapat menimbulkan
gangguan kejiwaan pada manusia sehingga lebih rentan terhadap pelanggaran hukum Islam.

Psikologi Hukum Islam perspektif hukum Islam


Dalam perspektif ini Psikologi Hukum Islam lebih condong mengkaji tentang peran dan pengaruh hukum
Islam terhadap psikologis manusia. Disini juga dapat dikaji mengenai mengapa manusia taat pada syariat
Islam, konsekuensi ketenangan psikologis bagi muslim yang taat syariat Islam. Selain itu juga dapat dikaji
keterkaitan hukum Islam dengan psikologis (jiwa) manusia melalui salah satu maqasid syariah yang
primer yaitu hifdz al-Nafs (menjaga diri dan jiwa).

Demikian kedua perspektif kajian dalam Psikologi Hukum Islam yang penulis tawarkan demi kemajuan
dan perkembangan keilmuan Psikologi Hukum Islam agar muncul kejelasan dasar-dasar, batasan-
batasan dalam kajian Psikologi Hukum Islam.

Tak lupa, penulis juga mengajak pembaca terutama akademisi hukum Islam maupun psikologi Islam di
Indonesia untuk berijtihad dalam pengembangan keilmuan Psikologi Hukum Islam agar kajian atau studi
hukum Islam di Indonesia lebih mengarah ke kajian atau studi hukum Islam interdisipliner sehingga
semakin kaya dalam pemecahan masalah (problem solving) hukum Islam di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai