Anda di halaman 1dari 15

KONSEP MANUSIA BERDASARKAN AL QUR’AN DAN HADIST

Mata Kuliah: Konsep Manusia dalam Islam

Disusun oleh :

Intan Mustika Mukarom 20050121341

Kelas B

MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2021
I. Pendahuluan
Psikologi islam merupakan ilmu yang memahami manusia dan tingkah lakunya
berdasarkan nilai-nilai islam dari Al-Quran dan Hadis. Ada yang berpendapat bahwa
psikologi islam lahir karena desakan budaya dan latar belakang peradaban islam. Pendapat
lain mengatakan, psikologi islam lahir karena ketidakpuasan akan bahasan psikologi
kontemporer yang mengesampingkan faktor rohani dalam memahami manusia.
Dalam perkembangannya, psikologi sebagai ilmu perlu dikaji apakah ilmiah atau tidak.
Maka dari itu, dalam artikel ini akan mencoba memahami psikologi islam, bagaimana
psikologi islam memandang manusia secara ontologi, epistemologi dan aksiologi. Selain
itu akan membahas juga bagaimana manusia dalam Al-Quran dan bagaimana filosofis
manusia dalam Al-Quran dan hadis.
II. Isi Pokok
Psikologi islam
Menurut Prof Zakiah Daradjat (2002) dalam Ema yudiani terdapat beberapa preferensi
dalam mendefinisikan psikologi islam:
1. Psikologi islam merupakan ilmu mengenai manusia, terutama kepribadian manusia
berdasarkan filsafat, teori, metodologi dan pendekatan masalah yang berlandaskan
sumber formal islam (Al-Quran dan hadis), akal, indera dan intuisi.
2. Psikologi islam adalah ilmu yang mempelajari manusia dimana kerangka konsep
dibangun berdasarkan semangat islam dan sumber formal (Al-Quran dan hadis) dan
memenuhi syarat-syarat ilmiah.
3. Psikologi islam merupakan corak psikologi yang membahas citra manusia sesuai
ajaran islam, dengan mempelajari keunikan dan pola perilaku manusia sebagai
ungkapan interaksi dengan diri sendiri, lingkungan dan alam kerohanian, bertujuan
untuk meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagamaan.

Mujib & Muzakir (2002) dalam Ema Yudiani mendefinisikan psikologi islam sebagai
“kajian islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia,
agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan
mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi islam merupakan ilmu mengenai manusia dan
segala proses dibalik nya yang dikaji berdasarkan sudut pandang islam. Psikologi islam
berusaha membahas manusia melalui dimensi kerohanian dan dimensi spiritual. Kedua
dimensi tersebut tidak dijelaskan oleh psikologi kontemporer.

Dalam pengkajiannya, psikologi islam memiliki ciri khas, yaitu:

1. Mengkaji masalah-masalah keislaman dan memiliki kedudukan yang sama dengan


berbagai disiplin ilmu keislaman yang lain.
2. Membahas aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek kejiwaan manusia dalam
islam meliputi al-Ruh, al-Nafs, al-Kalb, al-‘Aql, al-Damir, al-Lubb, al-Fu’ad, al-Sirr,
al-Fitrah dan sebagainnya. Masing-masing aspek menjelaskan dinamisme dan proses
perilaku yang dikaji melalui al-Quran dan hadis.
3. Sarat akan nilai etik.

1.1 Ontologi, Epistemologi dan aksiologi mempelajari manusia berdasarkan perspektif


psikologi islam
1. Ontologi
Ontologi adalah teori yang membahas mengenai keberadaan sebagai keberadaan.
Ontologi membahas ada dan tiada, mencari inti dalam setiap kenyataan dan
menjelaskan yang ada. Ciri khas ontologi antara lain; ada, nyata, eksistensi, esensi,
substansi, perubahan, tunggal dan jamak. Dalam kaitannya dengan psikologi islam,
cara berpikir ontologi membantu dalam menelusuri keberadaan manusia menurut
pandangan islam.
Hakikat Manusia
Manusia pada dasarnya memiliki hakikat, Zuhairini mencoba menggambarkan
pandangan mengenai hakikat manusia yang meliputi; aliran serba zat, serba roh,
dualisme dan pandangan eksistensialisme.
Aliran serba zat menganggap bahwa ada itu hanya zat atau materi. Keduanya
merupakan hakikat dari segala yang ada, termasuk manusia. Proses terbentuknya
manusia pun berasal dari suatu zat yaitu tanah, sebagaimana dalam Q.S Al-
Mu’minun (12) “dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari (saripati)
berasal dari tanah.”. Selain itu, dalam Al-Quran lebih jauh lagi dijelaskan bahwa
manusia tercipta dari zat lain, yaitu air mani. Terdapat pada surat Al-Hajj (5) dan
Al-Mu’minun (13-14).
Sementara itu, aliran serba roh memandang hakikat manusia sebagai roh. Zat
tercipta sebagai manifestasi roh yang ada diatas dunia. Artinya, segala yang ada
merupakan penjelmaan dari roh. Pandangan ini membuat roh menjadi lebih
berharga dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan materi.
Aliran dualisme memiliki pandangan yang berbeda, dalam aliran ini hakikat
manusia terdiri atas dua, yaitu jasmani dan rohani. Keduanya ada bersamaan,
sehingga tidak memiliki hubungan ketergantungan. Badan dan roh keduanya
berintegrasi dan menjadi manusia. Sehingga jika seseorang memiliki sakit jiwa
maka akan berpengaruh pada fisik.
Manusia dalam Al-Quran
Secara umum, dalam islam asal-usul manusia berasal dari penciptaan Adam a.s. dan
Siti Hawa, sebagaimana firman Allah dalam Q.S An-Nisa “Wahai manusia!
Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu
(Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari
keduanya Allah memperkembangkiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan
(peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasimu.”.
Dalam Al-Quran terdapat berbagai istilah yang merujuk pada manusia, salah
satunya adalah An-nafs, yang mengandung makna netral, bukan laki-laki maupun
perempuan. An-nafs merujuk pada pengertian jiwa, nyawa, roh, kepribadian dan
substansi psikofisik dari manusia. Selain itu, pengertian An-nafs juga merujuk pada
insting, naluri, tabiat, perangai, dan sifat bawaan. Berdasarkan pengertian tersebut
maka an-nafs dapat disimpulkan sebagai potensi jasad-rohani manusia yang telah
melekat sejak manusia siap untuk menerima nya. Potensi yang dimaksud bersifat
aktual hanya jika manusia tersebut berupaya untuk mengembangkan sesuai fitrah
nya.
Menurut Baharuddin dalam buku, An-nafs adalah bagian pokok dari diri manusia,
yang menjadikannya sebagai unsur penting. An-nafs merupakan aspek dan dimensi
dari jiwa manusia, termasuk didalamnya ada nafsu, jiwa, diri, dan daya pendorong
untuk melakukan sesuatu.
An-nafs berada diantara jasad dan roh. Roh berasal dari Allah, maka ia selalu
membawa an-nafs ke jalan Allah dan ajaran-Nya secara kaffah. Sedangkan jasad
berasal dari suatu zat atau materi. Sehingga jasad mengarahkan an-nafs untuk
menikmati kenikmatan dan kesenangan material.
Jika ditarik kesimpulan, maka an-nafs memiliki kedudukan dan berfungsi sebagai;
(1) berada di psikofisik (rohani-jasadi); (2) bawaan sejak lahir; (3) pendorong dan
penentu tingkah laku.
Lebih jauh lagi, an-nafs terbagi kedalam tiga unsur, yaitu al-qalbu, al-aqlu dan an-
nafsu. Ketiga unsur ini dapat saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.
1. Al-qalbu,,merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi
dan daya emosi. Kalbu terdiri dari tiga kondisi menurut Ibnu
Qayyim, yaitu (a) baik, seperti hidup sehat dan bahagia; (b) buruk,
seperti mati dan sengsara; (c) antara baik dan buruk, seperti hidup
dengan penyakit. Kalbu yang sehat akan membantu manusia dengan
menjalankan fungsi dan peran nya dengan baik agar manusia dapat
mencapai fitrah nya yaitu kebahagiaan dan keselamatan hidup di
dunia maupun akhirat. Namun, jika kalbu sakit, ia akan mengalami
hambatan dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Sehingga
peran akal akan lebih dominan dalam menentukan segala
perbuatannya.
2. Al-aqlu, secara harfiah berarti ar-ribath (ikatan), al-bajr (menahan),
an-nahy (melarang), al-man’u (mencegah). Artinya orang yang
berakal adalah orang yang mampu untuk menahan dan mengikat
nafsu sehingga fungsi rasional dapat berjalan dengan baik dan ada
dalam hidupnya. Otak merupakan pusat akal yang dipersiapkan
untuk memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (a’-
mudrikati). Akal merupakan daya pikir manusia untuk mendapatkan
dan memproses ilmu pengetahuan secara rasional, logis, dan dapat
menentukan keberadaan manusia secara utuh. Akal berfungsi
dengan baik melalui pembinaan dan pengembangan yang optimal
melalui pendidikan. Jika tidak dipakai, akal akan menjadi tumpul,
fungsi psikis menurun dan kesehatan otak terancam. Kondisi
tersebut akan melemahkan fitrah manusia.
3. An-nafsu, merujuk pada daya nafsani dengan dua kekuatan yaitu al-
ghadhabiyah dan asy-syahwat. Kekuatan al-ghadhabiyah merujuk
pada potensi untuk menghindari segala yang membahayakan.
Dalam kata lain, kekuatan tersebut melahirkan perilaku yang
membela atau melindungi ego dari kesalahan, kecemasan dan rasa
malu. Ia bekerja dengan memanfaatkan dan merasionalisasikan
perbuatan. Sementara kekuatan asy-syahwat berfungsi untuk
menginduksi diri dari kesenangan.
4. Epistemologi
Membahas psikologi islam secara epistemologi artinya membahas bagaimana suatu
pemikiran menjadi pengetahuan. Psikologi islam lahir atas beberapa alasan,
diantaranya (1) membahas lebih lanjut mengenai hakikat jiwa dan keberatan akan
praktek yang mengkaji manusia berdasarkan perilaku hewan, (2) ketidakpuasan
akan teori psikologi kontemporer, sehingga melahirkan pandangan bahwa
psikologi dapat dikaji melalui kacamata islam, dan (3) psikologi islam lahir sebagai
wujud dari latar belakang kebudayaan dan karakteristik masyarakat.

Dalam membangun psikologi islam, Mujib & Mudzakir (2002) dalam Ema
menyusun beberapa alternatif metode yang dapat digunakan, yaitu:

1. Metode Pragmatis, merupakan metode pengkajian dan pengembangan


psikologi islam yang mengutamakan aspek kegunaan. Dalam kata lain,
psikologi islam dapat mengadopsi dan mengubah kerangka teori psikologi
kontemporer. Teori tersebut kemudian dikaji berdasarkan hukum islam dan
penilaian nya berlandaskan Al-Quran dan hadis. Metode ini yang disebut
dengan psikologi islami. Metode pragmatis menghasilkan beberapa pola
pendekatan, yaitu:
a. Similarisasi, metode ini menyamakan konsep sains dengan konsep islam
secara langsung tanpa pertimbangan lain.
b. Paralelisasi, metode ini beranggapan bahwa konsep islam dan konsep sains
setara karena adanya kemiripan konotasi.
c. Kontemplementasi, metode ini memandang islam dan sains berusaha
saling mengisi dan memperkuat tanpa menghilangkan eksistensi masing-
masing.
d. Komparasi, metode ini membandingkan konsep dan teori sains dengan
islam mengenai berbagai gejala yang serupa.
e. Pola Induktifikasi, asumsi dasar dan teori ilmiah yang didukung oleh
temuan empiris dan dilanjutkan pemikirannya secara teoritis ke arah
metafisik, lalu dihubungkan dengan prinsip islam.
f. Pola Verifikasi, mengungkap hasil penelitian ilmiah yang mendukung dan
membuktikan ajaran islam.
2. Metode Idealistik, merupakan metode yang mengutamakan pengkajian
psikologi Islam berdasarkan ajaran islam. Metode ini menggali dasar pemikiran
melalui Al-Quran dan Hadis untuk kemudian diolah melalui pola deduktif.
Kemudian, dasar pemikiran yang didapat dijadikan “kebenaran universal”
sebagai acuan penggalian pemikiran lain. Metode ini yang disebut dengan
psikologi islam. Metode ini melibatkan tiga aspek dalam mengembangkan
psikologi islam, antara lain:
a. Skriptualis, pendekatan yang mengkaji psikologi islam berdasarkan Al-
Quran dan hadis secara literal. Dengan asumsi bahwa Allah SWT
menciptakan manusia beserta hukum psikologisnya.
b. Falsafati, pengkajian psikologi islam berdasarkan pada prosedur berpikir
spekulatif. Prosedur tersebut meliputi berpikir sistematik, radikal, dan
universal yang disokong oleh akal sehat.
Sulistik atau Tasawwufi, mengkaji psikologi islam berdasarkan prosedur
intuitif, ilham dan cita-cita. Prosedur tersebut dilakukan dengan menajamkan
kalbu melalui proses penyucian diri agar membuka tabir penghalang ilmu Allah
dengan jiwa manusia. Sehingga dapat memperoleh keterbukaan dan mampu
mengungkap jiwa yang sebenarnya.
Hasil dari kajian metode islam dalam mengembangkan psikologi islam salah
satunya adalah, terciptanya proses perkembangan manusia menurut sudut
pandang psikologi islam. Perkembangan manusia dalam teori psikologi
kontemporer dibahas menurut tokoh dan aliran tokoh tersebut, misalnya Freud
yang membahas perkembangan manusia berdasarkan psikoseksual, sementara
Piaget membahas perkembangan manusia menurut kesiapan kognitif nya.
dalam psikologi islam, perkembangan manusia dibahas dari proses terciptanya
manusia berdasarkan Al-Quran dan Hadis.
Selain itu, dalam psikologi islam juga ada yang disebut pembelajaran dengan
metode tilawah dan ta’lim. Di dalam nya membahas mengenai bagaimana
pemrosesan kognitif dalam pembelajaran. Metode tilawah dan ta’lim ini
berupaya menerapkan pemrosesan penerimaan informasi yang dikaji dalam
psikologi kontemporer ke dalam sistem edukasi peradaban sebagai tugas
risalah nabi Muhammad SAW.
Psikologi islam juga mengenal istilah punishment yang dibahas oleh aliran
behavioristik dalam psikologi kontemporer. Pemberian hukuman dalam
psikologi islam dikenal dengan metode tandzir dan tabsyir. Tabsyir merupakan
kabar gembira bagi orang yang senantiasa melaksanakan perintah Allah, seperti
mendapat pahala, derajat yang luhur, kehidupan baik dan hingga balasan surga.
Sementara tandzir, merupakan peringatan dan ancaman dari Allah SWT berupa
dosa, keburukan, bahaya, bencana, derajat yang rendah dan konsekuensi di
akhirat. Tentunya tandzir di alamatkan bagi mereka yang memenuhi larangan
Allah SWT.
5. Aksiologi
Aksiologi membahas nilai-nilai atau etika. Nilai dibedakan menjadi nilai objektif
dan subjektif. Nilai objektif tidak bergantung pada subjek atau kesadaran dalam
menilai. Sementara nilai subjektif, sangat bergantung pada kesadaran subjek saat
menilai sesuatu. Etika membahas mengenai pengetahuan yang digunakan dalam
penilaian perilaku manusia, berkaitan dengan norma. Etika juga dapat dikatakan
sebagai penilaian baik dan buruk perilaku manusia dalam suatu kondisi yang
melibatkan norma. Dalam kaitannya dengan psikologi islam, aksiologi adalah
bagaimana manusia menentukan perilakunya dengan mempertimbangkan nilai-
nilai dan norma dalam agama islam.
Misalnya, dalam psikologi kontemporer manusia dipandang sebagai mahkluk yang
mengejar kesenangan dan menghindari kesakitan. Dalam Al-Quran dijelaskan
bahwa kesenangan dunia bersifat sementara, jika terlarut dalam kesenangan hingga
melanggar perintah Allah maka yang menunggu mu hanyalah neraka (Q.S.
Ghafir:39; Muhammad:12; Yunus:70). Maka orang yang memegang nilai Islam, ia
akan mengejar kesenangan dengan sewajarnya dan tetap melaksanakan perintah
Allah.
Dalam pandangan psikologi kontemporer, kita mengenal istilah depresi, dimana
penderita nya akan merasakan sedih yang mendalam, putus asa, merasa rendah diri,
dan tidak berharga. Depresi ini sering dikaitkan langsung dengan kurangnya
keimanan. Sebagaimana dalam QS Ali Imran: 139 “Janganlah kamu bersikap
lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang yang paling
tinggi derajatnya jika kamu beriman.” QS Yusuf: 87 “… dan jangan kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir.” Depresi yang dialami tidak serta merta langsung
dikaitkan dengan kurangnya keimanan. Namun, orang yang mengalami depresi
biasanya dimulai dengan rasa sendirian. Allah SWT mengingatkan manusia bahwa
manusia tidaklah sendiri, Allah akan selalu bersama kita, maka dari itu selalu
libatkan Allah sekalipun itu dalam kesedihan. Dengan begitu, Allah akan
menghindarkan kita dari perasaan sedih dan putus asa yang berlarut-larut.

1.2 Status dan kedudukan manusia dalam al-Quran dan hadist


Status Manusia dalam Al-Quran
Menurut pandangan islam, manusia memiliki status sebagai pemegang amanah Allah.
Salah satunya adalah amanah rububi, rububi artinya meyakini bahwa Allah satu-
satunya zat yang berhak dijadikan rab. Rab dalam arti bahasa adalah pemilik segala
sesuatu, raja, penguasa yang merujuk pada Allah. Jika kita sebagai manusia
mengkhianati amanah rububi maka kita tidak yakin bahwa ada zat yang maha besar
yang menciptakan manusia dan seluruh alam, sehingga di hari akhir nanti manusia
tersebut tidak dapat menyaksikan kebesaran Allah. Sebagaimana dalam QS. Al-araf
ayat 172-173 dimana anak cucu Adam yang beriman dapat bersaksi atas keesaan Allah,
sementara orang yang tidak meyakini keesaan Allah dengan mempersekutukan Tuhan
adalah orang yang lengah.
Kedudukan Manusia dalam Al-Quran
Dalam penciptaan nya, manusia diciptakan dengan keterbatasan dan kelebihan.
Menurut Quraish Shihab, ada tiga faktor keterbatasan manusia, (1) perhatian manusia
hanya tertuju pada persoalan alam materi, (2) ciri khas manusia adalah cenderung
memikirkan hal yang dangkal dan tidak mampu menyingkap hakikat hidup dan (3)
manusia memiliki kompleksitas dan keunikan masalahnya sendiri. Meski begitu
manusia diberikan kelebihan berupa akal, yang dapat membantu manusia berpikir,
menilai dan memutuskan sesuatu.
Dengan bantuan akal, manusia diberikan kedudukan sebagai hamba Allah (Abdullah)
dan sebagai wakil Allah (khalifatullah). Sebagaimana dalam Qs. Al-Baqarah:30, “Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat. “Aku hendak menjadikan
khalifah di bumi.” Mereka hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan
darah di sana, sedangkan kami bertasbih dam memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’
Dia berfirman, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Pada ayat ini khalifah merujuk pada suatu kaum. Dimana Allah SWT berkehendak
untuk menciptakan manusia sebagai kaum yg menggantikan kaum sebelumnya di bumi
hingga kurun waktu tertentu.
1.3 Filosofis manusia dalam al-Quran dan Hadist
Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang menjelaskan secara filosofis mengenai
penciptaan manusia, antara lain:
1. Manusia sebagai Abdillah dan Khalifah
Manusia sebagai abdillah atau hamba Allah yang berkewajiban untuk beribadah
hanya kepada Allah. Sebagaimana dalam QS Al-Baqarah:21, “Wahai manusia!
Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum
kamu, agar kamu bertakwa.”, QS Al-An’am:162-163, “Katakanlah (Muhammad),
‘Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan seluruh alam,” “tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yan
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama berserah diri (muslim).”
Dan QS Az-Zariyat:56 “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku”
Sementara, khalifah adalah peran manusia sebagai pengelola dan pemimpin dunia.
Kata khalifah sendiri merujuk pada “pengganti” karena selalu menggantikan yang
sebelumnya ada atau yang sudah ada. Dengan kedudukan manusia sebagai khalifah
artinya manusia bertanggung jawab akan segala hal yang ada di Bumi. Berikut
hadist yang menyatakan mengenai khalifah,

2. Manusia sebagai makhluk


Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia dikaruniai kesempurnaan, yang artinya
Allah menjadikan manusia sebagai:
a. Makhluk yang dapat berdiri tegak dan berpenampilan baik
b. Mampu meraih apa yang ia inginkan dengan tangan nya
c. Diberikan akal dan kemampuan, serta kesiapan khusus untuk menguasai
alam. Meskipun, kadang manusia lupa akan keistimewaan diri.
3. Manusia sebagai fitrah dan Hanif
Fitrah merujuk pada keyakinan tentang keesaan Allah SWT. Sebagaimana dalam
hadis “semua bayi terlahir dalam keadaan fitrah (‘ala al-fitrah), dalam keadaan suci
dan tergantung kedua orang tuanya akan dijadikan pemeluk Kristen, Yahudi atau
Majusi.”
Fitrah juga berarti agama yang benar, seperti dalam QS Ar-rum: 30 “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”
Hanif diartikan sebagai sesuatu yang lurus, maksud hanif disini adalah manusia
diharapkan dapat lurus kepada fitrah Allah SWT.
4. Manusia sebagai makhluk berakal
Manusia diberikan kemampuan untuk berpikir dengan menggunakan akal.
Sebagaimana dalam QS. Al- ‘Imran: 190-191 “Sesungguhnya pada kejadian langit
dan bumi, dan pada pertukaran malam dan siang, ada tanda-tanda (kekuasaan,
kebijaksanaan dan keluasan rahmat Allah) bagi orang-orang yang berakal” “(Yaitu)
orang-orang yang menyebut dan mengingati Allah semasa mereka berdiri dan
duduk dan semasa mereka berbaring, dan mereka pula memikirkan tentang
kejadian langit dan bumi...”
Dalam ayat tersebut, manusia perlu memahami alam dengan akal. Allah
menciptakan fenomena alam seperti pertukaran malam dan siang dan tanda
kekuasaan lain, dan hanya manusia yang berakal lah yang dapat memahami dan
memanfaatkan secara bijaksana apa yang telah Allah ciptakan.
5. Manusia memiliki potensi yang berbeda
Selain akal, manusia diberikan potensi yang berbeda-beda. Potensi yang diberikan
menunjang manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai makhluk Allah di bumi.
Potensi tersebut meliputi:
1. Potensi dasar dan tujuan hidup untuk beribadah
2. Potensi untuk berkelompok dan berinteraksi dengan kelompok
3. Potensi untuk bertauhid
4. Potensi untuk lupa dan sifat buruk lain
5. Potensi untuk teguh dalam beribadah
6. Manusia sebagai makhluk sosial
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, dimana dalam Al-Quran digambarkan
sebagai Al-Unas. Al-Unas mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang
berpotensi untuk berkelompok, berinteraksi dalam kelompok, patuh terhadap
kelompok dan memiliki potensi untuk menjadi sama dengan kelompok nya.
7. Manusia bergerak ke masa depan
Manusia diberikan akal, sehingga mampu menentukan jalan yang baik bagi
hidupnya. Manusia yang berakal akan terus bergerak maju kedepan. Sebagaimana
QS Al-Hasyr:18 “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa-apa yang telah dipersiapkan untuk esok,
dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
III. Simpulan
Psikologi islam merupakan ilmu mengenai manusia, terutama kepribadian manusia
berdasarkan filsafat, teori, metodologi dan pendekatan masalah yang berlandaskan sumber
formal islam (Al-Quran dan hadis), akal, indera dan intuisi. Ontologi membahas ada dan
tiada, mencari inti dalam setiap kenyataan dan menjelaskan yang ada. Hakikat manusia
pada dasarnya memiliki hakikat sebagai zat, roh dan keduanya. Manusia berasal dari zat
sehingga wujudnya ada dan terlihat sehingga dapat dikaji berdasarkan sudut pandang
psikologi islam. Epistemologi membahas bagaimana suatu pemikiran menjadi
pengetahuan. Dalam perkembangannya sebagai ilmu, psikologi islam berdiri berpijak pada
dua metode yaitu metode pragmatis dan idealistik. Aksiologi membahas mengenai nilai
dan etika. Dalam hubungannya dengan psikologi islam, aksiologi membahas bagaimana
manusia melahirkan perilaku dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan norma dalam
agama islam.
Dalam Islam, manusia memiliki status sebagai pemegang amanah rububi, artinya meyakini
bahwa Allah satu-satunya zat yang berhak dijadikan rab. Jika manusia mengkhianati
amanah rububi maka kita tidak yakin bahwa ada zat yang maha besar yang menciptakan
manusia dan seluruh alam, sehingga di hari akhir nanti manusia tersebut tidak dapat
menyaksikan kebesaran Allah. Sementara manusia berkedudukan sebagai hamba Allah
(Abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah). Khilafah merujuk pada suatu kaum.
Dimana Allah SWT berkehendak untuk menciptakan manusia sebagai kaum yg
menggantikan kaum sebelumnya di bumi hingga kurun waktu tertentu.
Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang menjelaskan secara filosofis mengenai
penciptaan manusia, antara lain:
1. Manusia sebagai Abdillah dan Khalifah
Manusia sebagai abdillah atau hamba Allah yang berkewajiban untuk beribadah
hanya kepada Allah. Sementara, khalifah adalah manusia bertanggung jawab akan
segala hal yang ada di Bumi.
2. Manusia sebagai makhluk
Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia dikaruniai kesempurnaan
3. Manusia sebagai fitrah dan Hanif
Fitrah merujuk pada keyakinan tentang keesaan Allah SWT dan fitrah juga berarti
agama yang benar. Hanif diartikan sebagai sesuatu yang lurus, maksud hanif disini
adalah manusia diharapkan dapat lurus kepada fitrah Allah SWT.
4. Manusia sebagai makhluk berakal
Manusia diberikan kemampuan untuk berpikir dengan menggunakan akal.
5. Manusia memiliki potensi yang berbeda
Selain akal, manusia diberikan potensi yang berbeda-beda. Potensi yang diberikan
menunjang manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai makhluk Allah di bumi.
6. Manusia sebagai makhluk sosial
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, dimana dalam Al-Quran digambarkan
sebagai makhluk yang berpotensi untuk berkelompok, berinteraksi dalam
kelompok, patuh terhadap kelompok dan memiliki potensi untuk menjadi sama
dengan kelompok nya.
7. Manusia bergerak ke masa depan
Manusia diberikan akal, sehingga mampu menentukan jalan yang baik bagi
hidupnya. Manusia yang berakal akan terus bergerak maju ke depan.
Daftar Pustaka
AL-Quran
Arifin, B.S. (2018). Psikologi Kepribadian Islam: Memahami Perilaku Manusia
dengan Paradigma Islam.CV Pustaka Setia
Halimah, L & Wangi E. N. (2021). Konsep Manusia Dalam Islam: Modul 2 “Status
dan Kedudukan Manusia dalam Al-Quran”. Profesi Psikologi Pascasarjana
Halimah, L & Wangi, E. N. (2021). Konsep Manusia Dalam Islam: Modul 3
“Filosofis Penciptaan Manusia”. Profesi Psikologi Pascasarjana
Ilyas, R. (2016). Manusia Sebagai Khalifah dalam Perspektif Islam. Mawa’izh,
1(7). https://doi.org/10.32923/maw.v7i1.610
Rusdi A. & Subandi. (2019). Psikologi Islam: Kajian Teoritik dan Penelitian
Empirik. Asosiasi Psikologi Islam
Saryono. (2016). Konsep Fitrah dalam Perspektif Islam. Medina-Te, 14(2), Jurnal
Studi Islam.
Yudiani, E. (2013). Pengantar Psikologi Islam. Jurnal Ilmu Agama UIN Raden
Fatah, 14(2).

Anda mungkin juga menyukai