Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PSIKOLOGI ISLAMI II

MODEL SPIRITUALITAS MANUSIA

Disusun oleh:

Basofi

(1400013327)

Innas Muhammad Abdau

(1400013338)

Rizki Zuharudin Alamsyah (1400013352)


Abdul Hanif

(1400013355)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA

MODEL SPIRITUALITAS MANUSIA


Pelbagai Tingkatan Realitas
Upaya untuk menyusun suatu model holistik tentang manusia telah dilakukan oleh sejumlah
ahli. Sejak dahulu kala, para ahli telah berupaya untuk mengintegrasikan pendekatan
psikologi dan instrumentasi belum berkembang seperti saat ini.
Di bagian-bagian beikutnya akan dijelaskan pelbagai tingkatan realitas ini, dan bagaimana
hubungannya dengan konsep Akal Bertingkat dari Ibnu Sina. Dengan pemahan akan
adanya realitas bertingkat itu maka akan dipahami 3 jenis otak yang merupakan bagian
penting dari neurosains spiritual.
Neurosains Spiritual
Neurosains spiritual adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan spiritualitas manusia
dalam perspektif kesehatan dan kedokteran. Merupakan gabungan dari 3 pendekatan: (1)
Neurosains, (2) Hierarki akal (Ibnu Sina), (3) Experienced God atau Tuhan yang dialami
(Tuhan empirik). Neurosains spiritual adalah istilah yang berbeda dengan psikologi agama
atau psikologi transpersonal yang sudah lebih dulu berkembang dan mapan sebagai sebuah
disiplin ilmu. Baik psikologi agama maupun psikologi transpersonal memiliki titik tumpu
pada psyche manusia. Sementara neurosains spiritual bertumpu pada otak manusia. Dalam
menghasilkan spiritualitas otak berfungsi sebagai mediator atau fasilitator. Otak memiliki
sejumlah komponen khas manusia yang dapat memediasi lahirnya spiritualitas. Otak
membuat Tuhan menjadi sesuatu yang dialami sebagai pengalaman empirik. Karena itu, bagi
seseorang yang memiliki spiritualitas Tuhan itu ada mengalami internalisasi (berupa
pengalaman spiritual dan emosi positif) dan eksternalisasi (makna hidup dan ritual).
Neurosains adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dengan memberi perhatian pada
sistem saraf, terutama otak. CPF (Cortex Prefontal) merupakan bagian otak yang paling
berkembang dan menempati 30% dari otak manusia. Makna hidup dan kemampuan manusia
membedakan baik buruk berasal dari CPF ini. Neurosains spiritual, khususnya dalam kaitan
dengan hierarki akal, membagi otak menjadi 3 tingkatan; otak esensial adalah potensi otak
dan segala sesuatu yang dimungkinkan oleh kehadiran penciptaan otak.Otak esensial ini tak
bisa diindrai tetapi bisa diyakini keberadaannya. Keyakinan bahwa otak esensial ini ada bisa
dibuktikan secara aktuil maupun empirik. Otak aktuil adalah otak yang mengaktualkan
potensi unlimitednya itu, meskipun aktualisasi itu juga tak terindrai. Kemampuan otak untuk
melihat, mendengar, merasai, berbahasa, dan berbagai fungsi luhur (higher function) lainnya,

adalah hasil otak aktuil manusia. Keterkaitan otak aktuil dengan otak empirik antara ain yang
disebut imajinasi. Otak empirik adalah otak yang terindrai. Otak ini yang gambarnya secara
telanjag bisa dilihat dengan mata,atau dengan alat-alat canggih untuk melihat kejadian pada
tingkat seluler dan molekul otak. Termasuk disini pergerakan darah dalam pembuluh darah
yang bisa dilihat dengan alat-alat canggih. Saat ini sudah ada alat canggih yang bisa
menelusuri bagian paling kecil otak yang tersembunyi dalam sel melalui terikatnya zat
tertentu dengan zat yang ada didalam sel. Ini artinya, otak sudah bisa dilihat lebih dari
penggunaan mata telanjang saja. Otak empirik inilah yang sering dipahami oleh mereka yang
tidak memperlajari otak secara mendalam lalu menolak otak disamakan dengan al-Aql, anNafs, dan ar-Ruh. Kurangnya pengetahuan tentang otak esensial dan otak aktuil telah
memungkinkan hal ini terjadi. Ketiadaan otak (anensefali), otak terisi cairan (hidrosefali) atau
adanya tonjolan pada tulang belakang ketika lahit (spina hifida) adalah ketidak normalan otak
karena bentuk saraf pusat itu tidak umum dan kebanyakan. Ketidaknormalan tidak hanya
tampak secara makro, tetapi juga mikro(gambaran histologis yang berbentuk lain). Setelah
bentuk, maka ketidaknormalan akan berkaitan dengan fungsi. Anak-anak dengan otak tak
normal, baik dengan penglihatan mata telanjang maupun dengan menggunakan alat, seperti
penderita autism, dianggap sebagai penyakit karena otaknya tidak normal secara seluler
maupun anatomis. Hierarki akal (Ibnu Sina) adalah konsep Ibnu Sina seorang dokter teolog
dan filsuf (370-429/980-1037) yang menjelaskan soal hierarki atau jenjang realitas yang ada
pada diri manusia. Konsep Ibnu Sina ini menarik karena dia berhasil memadukan sesuatu
yang esensial,aktual dan empirik. Dia dapat menjelaskan keesensialan-nya Tuhan itu dengan
menyebutnya sebagai Akal Arif yang berada diluar manusia, ke-aktual-annya dengan Akal
Aktual (al-aql bi al-fili) dan Akal Perolehan(al-aql al-mustafad) dan ke-empirikan-nya
dengan Akal Potensial( al-aql al-Hayyulani).
Model Desekriptif Neurospiritual
Model deskriptif spiritualitas merupakan perpaduan antara siruit spiritual dan hierarki akal
(akal I- akal IV).Sirkuit spiritual memiliki bukti neurobiologis yang salah melalui pencitraan
otak (brain scanning),sementara hierarki akal merupakan penjelasan fisiologis tentang
hubungan manusia dan Tuhan.
Model deskriptif spiritualitas terdiri dari sejumlah komponen sebagai berikut:
Ritual, termasuk distant healing dan self care
Area Asosiasi Orientasi, Area Asosiasi Atensi dan Sistem Saraf otonom yang
berkaitan dengan pengalaman spiritual.

Strur khas otak manusia:

decision making (f1),future planning (F2) dan Moral

Judgedment (F3)
Hierarki akal (al-aql al Hayulani) atau akal material yakni otak biologis fisis (Akal
1) al-aql Malakut atau akal habitual (Akal 2), al-aql bi al-fil atau akal aktif (A3),dan
al-aql al Mustafad atau akal perolehan (Akal 4 ).
Makna hidup (F5) yang memberikan konsekuensi berupa emosi-emosi positif
Kesehatan dalam pengertian yang holistiki,baik kesehatan fisik,jiwa,maupun
kesehatan jiwa spiritual.
Seluruh komponen diatas bekerja sebagai seuah soistem yang saling berhubungan satu
dengan yang lainnya.
Empat hal berikut ini merupakan manifestasi spiritualitas yang dapat diamati dan karena
itu secara konseptual bisa didefinisikan. Karena bisa didefinisikan,maka secara
psikometrik dapat diukur :
1.
2.
3.
4.

Ritual
Pengalaman spiritual
Makna Hidup
Emosi-emosi positif (Syukur, Sabar, Ikhlas)

Empat manifestasi spiritualitas diatas merupakan suatu God Experienced,suatu pengalaman


empirik yang terjadi akibat manusia merasakan adanya Tuhan yang hadir dalam dirinya.
Spiritualitas dan Sirkuit Neurobiologi
Sirkuit spiritual merupakan salah satu sirkuit yang dikategorikan sebagai fungsi luhur otak.
Sebagai sebuah sirkuit, sirkuit spiritual ini bersifat dinamis dan fungsional. Dinamis berarti
bahwa sirkuit berubah-ubah bergantung pada rangsangan eksternal dan internal otak.
Fungsional berarti nilai dari sirkuit ini bergantung pada kegiatannya. Pada tingkat molekul
kegiatan-kegiatan

pembentukan

sirkuit

ini

berlangsung

melalui

kegiatan

sinapsis.Neurotransmitter dan reseptor memainkan peranan kunci disini. Operator


Neurspiritual (ONS) terdiri dari (1) dua area asosiasi, yakni Area Asosiasi Atensi (AAA) yang
terletak dilobus frontal dan Area Asosiasi Orientasi (AAO) yang terletak dilobus occipitalis
(2) sistem limbik yang terdiri dari sejumlah subsistem yang saling mendukung untuk memback up fungsi emosi dari kegiatan spiritual dan (3) sistem saraf otonom terbagi menjadi
saraf simpatis dan parasimpatis yang terutama berperan ketika kegiatan ritual dilakukan.
Selain ONS ini yang berperan dalam mekanisme neurobiologi pengalaman spiritual, Cortex
Prefrontalis (CPF) berperan utama melahirkan makna hidup.

Operator Neurospiritual (ONS) yang menjadi titik tumpu dari neurosains spiritual dan
dorongan mendapatkan makna hidup yang dibangun secara neurobiologis oleh Cortex
Prefrontalis (CPF) merupakan bukti biologis adanya komponen spiritual dalam diri
manusia,terutama dalam otak manusia.Bukti biologis ini merupakan bukti bagaimana
spiritualitas dibentuk dalam otak manusia.Dari sudut pandang ini dapat dikatakan bahwa
Tuhan diciptakan oleh manusia. Pengertian kata diciptakan dalam kalimat ini merupakan
pernyataan harfiah ,bukan pernyataan simbolik, karena memang dengan berfikirlah manusia
bisa menciptakan Tuhan. Meski secara neurobiologis penanti ketuhanan itu sudah ada dalam
otak, tetapi bagaimana Tuhan itu dimaknai sepenuhnya berkaitan dengan pengetahuan
manusia. Dalam sebuah hadis Qudsi dinyatakan bahwa Aku (Tuhan) bergantung pada
persepsi hambaku. Rudolf Otto, ahli dalam mitologi agama, menyatakan bahwa Tuhan dapat
bersifat mysterium tremenendum (misteri yang menakutkan), tetapi sekaligus mysterium
fascinosum (misteri yang memesona). Ketakutan dan keterpesonaan terhadap Tuhan sangat
bergantung pada seberapa besar dan luas persepsi seseorang terhadap Tuhan itu sendiri.
Karena menyangkut persepsi, maka spiritualitas berkaitan dengan aspek kognisi (berpikir).
Dalam soal spiritualitas kognisi, manusia memainkan peranan penting. Paling sederhana,
dalam bentuk ekspresi bahasa yang dipakai.
Semua kebudayaan memiliki konsep tentang kekuatan adikodrati yang kemudian disebut
sebagai Tuhan. Kebudayaan-kebudayaan ini juga memiliki kesamaan secara universal
menyangkut Tuhan, kehidupan setelah mati, doa, pahala, dan dosa, dan lain-lain, meskipun
berbeda dalam ritus-ritus yang dilakukan. Termasuk disini simbol-simbol yang bersifat fisik,
seperti masjid bagi orang Islam, gereja bagi orang Nasrani, Sinagoge bagi orang Yahudi, pura
bagi orang Hindu, dan Vihara bagi orang Buddha. Meski berbeda bentuk dan nama, tetapi
memiliki kesamaan dalam maksud dan tujuan. Demikian pula dengan doa yang dipanjatkan.
Meski memiliki perbedaan dalam cara dan bentuk doa, tetapi memiliki maksud yang sama.
Realitas tentang Tuhan lahir karena adanya aktivitas dari ONS dan CPF. Dalam konteks
filosofis, konsep Ibnu Sina tentang Hierarki Akal atau Akal Bertingkat merupakan
penjelasan filosofis tentang keberadaan Tuhan. Melalui jalur Hierarki Akal dan Neurosains
Spiritual

ini

penjelasan

tentang

bagaimana

hubungan

Tuhan

dan

manusia

dimungkinkan.Ekspresi yang berbeda-beda dalam mitos-mitos dan simbol-simbol agama


dengan kandungan yang universal merupakan bukti ada sirkuit spiritual otak. Sirkuit spiritual
merupakan komponen neurobiologis yang melayani kegiatan spiritual manusia. Bekerjanya
sirkuit spiritual ini akan melahirkan spiritualitas. Konsekuensinya, kerusakan pada salah satu

sirkuit ini akan mengganggu berlangsungnya kegiatana spiritual. Adanya gangguan pada
CPF, misalnya dapat membuat seseorang kehilangan kemampuan membedakan yang baik dan
yang buruk (moral judgedment). Kerusakan pada sistem limbik juga dapat menghilangkan
nuansa emosi dari suatu peristiwa spiritual. Meskipun secara neurobiologis spiritualitas
memiliki dasar yang kuat, tetapi itu tidak sepenuhnya lengkap. Tuhan dan segala konsekuensi
atas kepercayaan kepada-Nya, berupa spiritualitas itu sendiri-bukan merupakan by product
otak manusia. Otak berfungsi sebagai fasilitator untuk menghadirkan Tuhan dalam kehidupan
manusia.
Hierarki Realitas (Kosmos) dan Hierarki Akal : Komponen Filosofis
Hubungan Tuhan dan manusia, dalam bentuk kehadiran spiritualitas dalam otak manusia, dapat
dimungkinkan karena terdapat berbagai wujud alam semesta (kosmos). Pemahaman tentang manusia
bermula dari pemahaman tentang kosmos. Manusia merupakan salah satu bentuk kosmos yang
diciptakan sebagai subjek alam semesta. Dikenal istilah makrokosmos untuk menunjuk alam semesta
selain manusia, dan mikrokosmos untuk menunjuk manusia. Wujud atau realitas kosmos (dimana
manusia termasuk dalam kosmos) tersusun dalam bentuk hierarki yang saling berhubungan satu
dengan yang lainnya.
Alam semesta, atau kosmos tradisional, yakni seluruh tatanan ciptaan Tuhan terdiri dari tiga keadaan
fundamental, yaitu keadaan materiel atau bendawi, keadaan psikis atau animistik, dan keadaan
spiritual atau malakuti. Dalam tradisi sufi ketiga alam ini disebut berturut-turut sebagai alam nasut,
malakut, dan jabarut. Dunia materiel, yakni dunia kasar, dengan segera diliputi dan didominasi oleh
wilayah psikis, yang juga disebut dunia halus. Kedua dunia ini bersama-sama membentuk wilayah
alam. Dan dunia malakuti-lah yang mengatur semua hukum alam di wilayah kasar dan wilayah
halus.
Ibnu Sina (Avicenna) adalah satu diantara banyak filsuf yang mengembangkan konsep-konsepnya
berdasarkan adanya hierarki realitas ini. Ilmu sejati dalam pandangan Ibnu Sina adalah sains yang
mencari pengetahuan tentang esensi segala hal berkenaan dengan asal-usul ilahiahnya. Ini merupakan
pengetahuan noumena, yang menghubungkan fenomena dengan asal-usul sejatinya yang merupakan
sumber semua eksistensinya.
Realitas alam bersesuaian dengan realitas diri. Terdapat seperangkat alat dalam diri manusia untuk
setiap realitas alam tersebut. Tidak ada suatu pun dalam alam semesta (makrokosmos) yang tidak
diturunkan dari metakosmos, yakni prinsip Ilahi, dan yang tidak ditemukan kembali dalam diri
manusia (mikrokosmos). Struktur tripatrit kosmos tradisional yang terdiri dari alam semesta bendawi,
halus, dan spiritual bersesuaian dengan struktur tripatrit mikrokosmos manusia tradisional yang terdiri

dari tubuh (corpus), jiwa (anima, psyche), dan jiwa (spiritus). Dalam terminologi islam, unsur-unsur
mikrokosmis yang esensial itu secara berturut-turut disebut jism, nafs, dan aql.
Dalam bidan filsafat dan mistisisme, Ibnu Sina (Avicenna) terkenal dengan filsafat emanasi yang
menjelaskan tentang tingkat-tingkat eksistensi, yang bermula pada eksistensi tertinggi, yakni Tuhan.
Dalam filsafat Islam, Ibnu Sina merupakan tokoh yang kali pertama menjelaskan Hipotesis emanasi
ini.
Ibnu Sina memandang bahwa jiwa manusia melebihi jiwa binatang yang hanya memiliki fungsi
bergerak, atau jiwa yang hanya memiliki jiwa untuk bertumbuh seperti tumbuhan. Jiwa manusia
memiliki jiwa rasional (akal) yang berfungsi untuk berpikir. Jiwa rasional ini dibagi menjadi dayadaya praktis (amilah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat dan
daya-daya hipotesis (alimah) yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi,
seperti Tuhan, ruh, dan malaikat. Melalui hubungan kerjasama intelek (akal) agen yang mengandung
intelijibel-intelijibel, bagian hipotesis jiwa rasional menerima penyempurnaan yang tepat,
penyempurnaan yang menjadikan ia sebagaimana adanya.
Memperhatikan konsep Ibnu Sina tentang manusia tampak jelas bahwa Ibnu Sina meletakkan akal
atau intelek sebagai bagian terpenting dari manusia. Akal tidak saja dapat mengetahui fakta,
mempersepsi dan membuat kesimpulan, bahkan membuat abstraksi untuk sesuatu yang objektif, tetapi
akal juga memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan. Akal mampu mencapai Tuhan melalui
serangkaian perubahan dan perkembangan. Dalam pandangan Ibnu Sina, sebagaimana dapat dipahami
dari penjelasannya tentang manusia, terlihat jelas bahwa berpikir tidak sekadar tindakan rasional
belaka, melainkan adanya aspek spiritual disitu.
Titik sentral pandangan Ibnu Sina tentang manusia dapat ditelusuri bagaimana ia menjelaskan
berfungsi akal atau intelek. Dari sudut pandang manusia akal merupakan fakultas pengetahuan yang
tertinggi, yang dapat dipersamakan dengan mata hati (ain al-qalb). Akal, disebut Ibnu Sina,
merupakan pembeda manusia dan binatang. Ibnu Sina membagi jiwa rasional menjadi daya yang
pertama memiliki kapasitas untuk bertindak, yang disebut akal praktis, dengannya seseorang dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Daya yang kedua, yakni akal hipotesis,
mengarah pada dunia ilahiah dan memungkinkan seseorang menerima intelijibel.
Akal hipotesis bergerak dalam tahapan. Pertama, dalam tahap potensi dan belum membentuk konsep
atau menangkap intelejibel, ini adlah akal potensial atau al-aql-hayulani. Kedua, tahapan ketika
potensi ini diaktualisasikan oleh keberadaan intelijibel-intelijibel primer didalamnya, ini disebut akal
habitual (al-aql bi al-malakah). Ketiga, ketika perolehan intelijibel-intelijibel berlangsung konstan,
dan ini disebut akal aktual (al-aql fi al-fil). Keempat, intelijibel-intelijibel itu sendiri, dan disebut
akal perolehan (al-aql al-mustafad). Yang menggerakkan akal hipotesis dari potensial ke bentuk

aktualitas adalah akal yakni akal agen. Aktualisasi akal sebagaimana dijelaskan Ibnu Sina membuka
peluang terjadi hubungan akal manusia dengan Tuhan. Sebagaimana dalam kosmologi Muslim, Tuhan
itu menjadi sentral kosmologi, maka dalam aktualisasi akal itu, manusia berusaha mencapai Tuhan.
Hubungan Tuhan dan manusia terjadi melalui keberadaan akal aktif, akal yang berfungsi
menghubungkan hal-hal dari sekadar keberadaan materielnya.
Berbagai Pengertian Makna Hidup
Pengertian makna hidup bervariasi menurut bidang kajian masing-masing, bahkan subjektivitas
individual mkna hidup yang memengaruhi kehidupan seseorang tidak berlaku universal (Frankl,
1965). Artinya, apa yang dirasakan bernilai dalam kehidupan seseorang belum tentu bernilai juga bagi
orang lain. Setiap orang memiliki pengertian akan makna hidupnya sendiri. Pengertian makna hidup
terentang dari adanya koherensi dalam kehidupan seseorang (Battista & Almond, 1973; Reker &
Wong, 1988) hingga kehidupan yang bertujuan atau terarah (Ryff & Singer, 1964) atau kebermaknaan
secara ontologis dari kehidupan subjektif individu (Caumbaugh & Maholick, 1964). Baumeister
(1991) berpendapat bahwa makna hidup merupakan hasil pertemuan antara kebutuhan akan nilainilai, tujuan, efifasi, dan self worth. Peneliti lain berpendapat bahwa makna hidup menunjukkan
tingkat kepentingan pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan dalam kehidupan sehari-hari
(Maddi, 1970). Psikolog Goldon Allport mengaitkan malna hidup dengan transendensi diri (Allport,
1961 dan Seligman, 2002).
Meskipun terdapat pengertian yang berbeda-beda, makna hidup itu selalu berkaitan dengan kehidupan
yang autentik (Kenyon, 2000), kebahagiaan (eudamonic), well being, yang merupakan maksimilasi
potesi seseorang (Maslow, 1971; Ryff & Singer, 1998). Pendiri Logo Terapi Viktor Frankl
berpendapat bahwa ciri khas kehidupan manusia adalah Keinginan untuk bermakna. Keinginan ini
merupakan suatu innate drive dan jika seseorang tidak berhasil mendapatkan keinginan bermakna ini,
maka dia akan mengalami stres psikologis. Ketiadaan atau kurangnya makna hidup ini dikaitkan
dengan kebutuhan terapi (Battista & Almond, 1973), depresi, kecemasan (Lubbe & Wezeman, 1993),
kecenderungan bunuh diri dan penyalahgunaan obat (Harlow, Newcomb, Benter, 1986). Sedangkan
perolehan makna hidup yang baik dan bagus berkaitan secara positif dengan kenikmatan bekerja
(Bonebright, Clay & Ankenman, 2000), kepuasaan hidup (Chamberlain & Zika, 1998), dan
kebahagiaan (Debats, 1993).

CPF (Makna
Hidup)
Kebahagiaan

Kenikmatan kerja

Kepuasan hidup

Penulis berpendapat, bahwa makna hidup adalah sesuatu yang bersifat spiritual, dan lahir karena
keunikan manusia sebagai mahluk spriritual, terutama dengan adanya keistimewaan Cortex
Prefrintalis (CPF). Terdapat kaitan sangat erat CPF, makna hidup, spiritualitas, dan kebahagiaan.
Makna Hidup dan Keunikan Manusia
Manusia adalah spesies yang unik di alam semesta. Dia diklasifikasikan sebagai homo sapiens
(mahluk bijaksana) karena kemampuan-kemampuan yang dimilikinya, yang tak dimiliki oleh spesies
lain. Keunikan, yang kemudian menjadi keunggulan itu, disebabkan oleh adanya otak manusia dengan
fungsi berpikir yang khas. Pada level makro, perkembangan otak, baik secara filogenetik maupun
ontogenetik, menunjukkan proses perbaikan dengan jaminan kompleksitas fungsi. Pada level genetis,
meskipun terlihat secara umum terlihat sama, tetapi terdapat perbedaan bermakna antara gen manusia
dan gen mamalia terdekatnya. Dengan menggunakan teknologi laboratorium untuk memeriksa gen
dan produk proteinnya. Para ahli menemukan perbedaan dan persamaan pada tingkat gen. Salah satu
hasil analisis gen dan molekul selama 30 tahun itu adalah fakta bahwa gen dan gen kera besar,
khususnya gorila (Gorilla gorillaI dan simpanse (Pan troglodytes dan Pan paniscus) memiliki
kemiripan genetis. Uji elektroforesis protein menunjukkan protein menunjukkan bahwa kemiripan
genetis manusia dan simpanse itu setara dengan kemiripan spesies-spesies lalat buah (genus
Drosophila), atau ikan matahari (Lepomis) yang serupa secara morfologis. Adanya Ancient Repetitive
Element (ARE) juga menunjukkan kesamaan antara berbagai gen. ARE adalah sejenis elemen yang
dipindahkan dan masuk secara acak pada genom dan dengan analisis gen sekarang ditemukan adanya
beberapa mutasi.
Studi genetika menyodorkan bukti bahwa banyak tentang keunikan manusia. Sekalipun belum
sepenuhnya dikuakkan, tetapi fungsi-fungsi berbagai gen sudah banyak diketahui. Studi-studi pada
anak kembar menunjukkan bukti tentang adanya gen yang bertanggung jawab terhadap masalah
spiritual manusia diturunkan secara genetis. Penulis berpendapat bahwa spiritualitas yang bersifat

genetis (yang diwarisiskan) itulah yang mendorong manusia untuk bertindak mewujudkan dirinya
dalam kehidupan alam semesta dalam suatu tindakan yang bermakna (makna hidup).
Dalam penerapan praktis manajemen menjadi bermakna diterjemahkan, antara lain, dengan
pengertian inspired-dalam istilah ahli manajemen manusia Stephen Covey-lebih dari sekedar
menginspirasi orang lain. Tugas, cinta, dan makna merupakan sumber-sumber tertinggi (highest
sources) dari motivasi manusia dan akan selalu menghasilkan prestasi yang tertinggi dan bertahan
lama. Menjadi bermakna memiliki dorongan yang lebih dari sekedar dorongan fisik. Ada dorongan
emosional dan spiritual yang mendorongan keinginan bermakna itu. Dorongan itu bersifat spiritual.
Keimanan yang kuat membuat orang berimanmendapatkan bahwa jaminan hidup mereka bertujuan
dan bermakna. Mereka merasa bahwa tidak hidup sendiri di alam semesta. Dengan demikian, menjadi
bermakna merupakan kualitas spiritual manusia. Adanya komponen spiritual dalam diri manusiaselain fisik dan mental-yang telah membuat keinginan bermakna mendapat tempat yang tinggi dalam
tujuan hidup manusia.
Ritual Neurobiologi
Ritual merupakan tindakan manusia untuk melahirkan pengalaman spiritual atau merasakan
keterkaitan dirinya dengan sesuatu yang agung, yang disebut dengan berbagai macam cara dan nama.
Dengan melakukan ritual-ritual tertentu, seperti berdoa, shalat, meditasi, menyanyi, menari, bertepuk
tangan sembari menyanyi, dan lain-lain, manusia mengharapkan ia dapat masuk pada suatu situasi di
mana ia dapat berhubungan dengan Yang Transenden.
Secara neurobiologis, kegiatan ritual merupakan perilaku yang:
1. Terstruktur atau terpola
2. Berirama dan berulang
3. Integrasi emosi (afeksi), rasio (kognisi), dan aksi (motorik)
4. sinkronisasi
Ritual dan Sistem Saraf Otonom
Eugene dan Newberg (2001) mendefinisikan perilaku ritual sebagai perilaku yang dicirikan oleh
empat hal berikut: (1.) Terstruktur atau terpola (2.) berirama dan diulang-ulang, (3.)
menyinkronisasikan aspek-aspek afektif, kognitif, dan motorik, untuk menciptakan suatu pengalaman
penyatuan dalam diri pelakunya, dan (4) . sinkronisasi perilaku ini di antara berbagai individu dapat
melahirkan pengalaman menyatu yang sangat kuat di antara kelompok.

Dari perspektif neurobiologi, ritual memiliki dua karakteristik utama: melahirkan kondisi emosi
tertentu dengan derajat yang bervariasi, yang mewujudkan perasaan subjektif pelakunya, dan
merupakan akibat dari suatu perasaan menyatu, yang dalam konteks religius, dinyatakan swbagai
transendensi spiritual. Riset-riset membuktikan bahwa kedua karakteristik dapat dijelaskan secara
biologis karen memang merupakan kegiatan neurobiologis. Dengan ciri-ciri kegiatan ritual umumnya
melibatkan aktivitas susunan saraf otonom (simpatis dan parasimpatis). Riset-riset menunjukkan
bahwa mereka yang mempraktikan perilaku ritual tertentu seperti berdoa, pelayanan religius, meditasi
dan kegiatan fisik tertentu, memiliki tekanan darah lebih rendah, penurunan denyut jantung, frekuensi
pernapasan lebih rendah, penurunan level hormon kortisol, dan menciptakan perubahan positif pada
sistem kekebalan tubuh.
Doa dan zikir merupakan bagian penting dari banyak ritual, tidak saja ritual dalam Islam. Secara
umum, zikir dipahami sebagai penyebut berulang-ulang sebuah kata, sebuah kalimat, yang
disampaikan ketika seseorang melakukan ritual tertentu. Kata atau kalimat ini memiliki fungsi untuk
membawa seeorang pada suatu keadaan terkonsentrasi sekaligus membuka jalan ke dalam keadaan
konsentrasi yang lebih tinggi, yang selalu disebut sebagai keadaan penyatuan. Baik ritual Islam
maupun non-Islam memiliki frasa tertentu untuk membawa seseorang pada kondisi tertentu. Peneliti
Herbert Benson menyamakan frasa zikir dengan frasa fokus dan melihat keseluruhan kegiatan zikir
sebagai upaya respons relaksasi. Jika dicermati kegiatan zikir merupakan kegiatan ritual yang
memadukan aspek kognitif, emosi, dan motorik. Beberapa ahli zikir menjadikan zikir itu sebagai
salah satu metode pengobatan.
Deafereniasi akan mengurangi atau membatasi sensasi (indrawi) yang masuk ke otak, termasuk
sensasi verbal dari area asosiasi verbal dan asosiasi visual (R-VAA-Visual As-sociation Area).
Deaferesiansi parsial pada RAAA maupun ROAA terjadi karena efek inhibisi berlangsung secara
pelan selama ritual dan meditasi. Semakin dalam meditasi semakin besar dan kuat inhibisi.
Deaferesiansi ROAA akan menstimulasi hippocampus kanan dalam arti menumbuhkan semakin
banyak interkoneksi. Deaferesiansi dan stimulasi pada daerah-daerah ini seterusnya menstimulasi
quiscient system pada amigdala (R-Amyg). Amygdala-sebagaimana sudah dijelaskan di depanmerupakan komponen utama yang memainkan peranan dalam penataan emosi.
Mekanisme neurobiology ritual untuk jalur aktif tidak jauh berbeda dengan jalur pasif. Perbedaannya
terletak pada adanya jalur focus pada objek tertentu, seperti orang, kata-kata, bayangan, atau nyayian
tertentu. Objek perhatian dapat berupa symbol-simbol religious yang dapat membawa seseorang pada
keadaan emosi tertentu. Symbol salib pada pengikut kristiani, atau budha sedang bersemedi pada
pengikut budha, merupakan objek yang membawa pada suasana emosi tertentu.

Jika objek perhatian berupa bendaa yang dicerapi oleh mata, maka gelombang cahaya akan masuk ke
retina mata dan berakhir pada daerah asosiasi visual di lobus occipital di otak bagian belakang. Di sini
objek akan dipahami dan kemudian pengertian itu dikirim ke R-OAA. Jika objek perhatian berupa
bayangan mental, memori, atau apa saja yang tidak berada dalam lapangan pengelihatan, maka objek
itu akan diproses di R-AAA, dan selanjutnya dikirim ke R-VAAA untuk dibuatkan bayangan mental
seperti aslinya dan membuat pelaku semakin focus pada objeknya. Dari sini stimulasi akan diteruskan
ke hippocampus dan R-Amygdala. Selanjutnya memicu hypothalamus terutama pada daerah arousal,
yang akan membuat pelaku makin focus dan merasa nyaman. Ritual-ritual ini secara sepsifik dalam
bidang kesehatan seperti distance care dan self care, akan mengaktifkan serangkaian kegiatan
kompleks otak. Hasil akhirnya tidak saja kenyamanan dan ketenangan yang dimediasi oleh system
saraf otonom, tetapi juga lahirnya makna hidup oleh CPF.
Pengalaman Spiritual dan Deaferesiansi Otak
Sudah dijelaskan di depan bagaimana pengalaman spiritual terjadi dan bagaimana pengalaman itu
diceritakan atau diungkapkan oleh seorang yang mengalaminya. Pengalaman spiritual merupakan
sebuah manifestasi dari spiritualitas yang orientasinya cenderung kedalam diri (inward looking) yang
bertolak belakang dengan makna hidup yang cenderung berorientasi keluar (outward looking).
Berbalikan dengan makna hidup, pada pengalaman spiritual orang akan merasa lebih baik jika ia
makin hilang dan tersedot oleh pengalaman itu. Meng-alam-I sedemikian dalamnya sehingga
seseorang merasakan bahwa makin dalam ia kehilangan diri, mak makin kuat pengalaman
spiritualnya. Padaq makna hidup, seseorang merasa lebih baik jika dia larut dalam kebersamaan
dengan orang lain. Merasa menjadi bagian dari alam semesta merupakan kunci penting dari makna
hidup.
William James (1902), sebagaimana dikutip di depan, membuat sejumlah cirri pengalaman spiritual.
Menyambung dan memerinci cirri yang dikemukakan James sebelumnya, Pahnke (1967) dan
McNamara menyebut cirri-ciri sebagai berikut dari pengalaman spiritual.

Perasaan menyatu atau terpadu dalam satu diri dengan yang lain.
Transedensi waktu dan ruang (disorientasi waktu dan tempat, TP)
Perasaan positif yang angat dalam.
Perasaan suci dan sacral
Mengalami keterbukaan (noetik)
Paradoks
Yang dialami tak dapat diungkap dengan kata-kata
Perasaan sangat senang (euphoria).
Mengalami perubahan sikap dan perilaku.
Terjadi peningkatan rasa kekuatan pribadi, atau adanya rasa menerima sesuatu dari Tuhan.
Terjadi peningkatan kekuatan pikiran, yakni kapasitas diri untuk secara akurat menata
keadaan mental dan kesan terhadap orang lain.

Perubahan dalam perilaku seksual (dapat meningkat atau menurun secara drastic).
Perubahan dakam membaca/menulis, palimg sering bermanifestasi dalam peningkatan minat

menulis (pada kasus patologis, ini menjadi sebuah bentuk hipergrafia).


Peningkatan kewaspadaan dan apresiasi terhadap music (sekalipun oleh beberapa sarjana

masih didiskusikan, bahkan diperdebatkan).


Imaji visual dan metaforik kompleks (metafora visual komplek biasanya dikaitkan dengan
perasaan pemahaman noetik yang intens). Gagasan reliji menjadi sangat bermakna yang

hanya dapat ditangkap oleh pembayangan/imaji viswual kompleks).


Merasakan bertemu dengan Tuhan atau ruh suci.
Semua cirri di atas sepenuhnya cirri positif. Kepositifan ini membedakannya dengan
pengalaman spiritual yang dipicu oleh gangguan otak (seperti yang dijelaskan sebelumnya)
yang bersifat negative dan menyimpang (mengalami waham kebesaran atau melihat diri
sendiri sebagai hantu).
Dengan menggunakan dua system yang dikembagkan Gerald Edelman dan rentang
pengalaman spiritual sebagai mana diuraikan oleh Newberg dan Daquili, penulis (TP)
menggabungkan keduanya (dalam bentuk grafik) untuk menjelaskan bagaimana rentang
pengalaman spiritual ini diatur oleh otak. Kunci penjelasan ada pada pada istilah
deaferensiasi. Deaferesiansi adalah proses dimana dua system ini berubah keseimbangannya
jika salah satu diaktifkan dan menjadin padat aktivitasnya. Jika kegiatan berlangsung padat
pada system talamokortikal, maka kegiatan pada system limbic akan mengalami penurunan
dalam lama-kelamaan akan tidak ada kegiatan sama sekali. Kegiatan ritual memberikan
konteribusi dalam pengalihan kerja dari system-sistem atau area-area yang ada.

Anda mungkin juga menyukai