Anda di halaman 1dari 9

BAB 7

MANUSIA SEBAGAI KESATUAN JIWA DAN TUBUH

Disusun Oleh :

Anna Mardiana ( 10517812 )

Aprilia Chairunnisa ( 10717887 )

Arman Fadhila ( 10517971 )

2P03

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK

MEI

2019
MANUSIA SEBAGAI KESATUAN JIWA DAN TUBUH
Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Jiwa dan tubuh merupakan topik
sangat penting dalam filsafat manusia. Konsep rational animal dan religious
animal ingin melihat manusia dari struktur metafisik dan fisik. Manusia dilihat
sebagai makluk yang terdiri dari materi dan forma, atau tubuh dan jiwa. Konsep-
konsep itu melihat jiwa dan tubuh saling mempengaruhi.
A. Tubuh
Manusia menyadari diri sebagai AKU. AKU bukan badan, bukan jiwa,
tapi keutuhan diriku, keutuhan jiwa dan tubuh. Menurut N. Driyarkara, tubuh
adalah unsur diriku. Ia bukan seperti sepatu di kaki, atau topi di kepala
1. Arti tubuh
Kita memiliki tubuh. Tapi pernahkah Anda mencoba merenungkan dan
bertanya apa artinya tubuh? Menurut Prof. Dr. N. Driyarkara, ada dua arti dari
tubuh, yakni (1) aspek jasmani manusia, (2) jasmani yang dirohanikan.
Tubuh adalah aspek jasmani manusia: Tubuh dapat dipandang. Tubuh punya
struktur biologis yang terdiri dari banyak sel. Aspek jasmani itu penuh dengan
aspek rohani. Keduanya tidak berdampingan, tapi menyatu.
Ada ketegangan antara jiwa dan tubuh. Tubuh otonom, hidup menurut
hukumnya. Ia materi dan sebab itu tunduk pada hukum yang berlaku bagi barang
materi. Misalnya, agar supaya tetap hidup, kita harus makan. Ini hukum.
Tubuh adalah jasmani yang dirohanikan/rohani yang menjasmani:tubuh adalah
jasmani yang dirohanikan atau rohani yang menjasmani. Artinya, tubuh itu luhur
dan mulia. Tubuh baru betul-betul luhur kalau ia mengabdi roh. Tubuh adalah
pancaran atau cerminan jiwa. Tepatlah ungkapan bahasa Latin yang sering kita
dengar: Mens san in corpore sano (jiwa yang sehat ada dalam tubuh yang sehat).
2. Karakter Spesifik Tubuh
Sebagai makluk hidup tubuh manusia sama dengan tubuh hewan dan
tumbuhan. Sama-sama benda hidup dan organis. Di dalamnya ada aktivitas
tertentu seperti perubahan sel-sel, zat kimia, atau cairan yang harus terus terjadi
agar organisme itu berfungsi dan dipertahankan. Jika aktivitas berhenti, organisme
mati. Ada beberapa karakter spesifik tubuh manusia, yakni posisi tegak, serta
sistem syaraf dan otak lebih kompleks.
Posisi tubuh tegak: posisi tegak merupakan posisi yang lebih unggul dibanding
posisi hewan umumnya. Dengan posisi tegak manusia mampu melihat benda-
benda dari atas dan memudahkan peningkatan aktivitas rohani. Posisi tegak ini
membuat gerakan-gerakan manusia lebih fleksibel (khususnya tangan dan lengan).
Sistem syaraf dan otak yang lebih kompleks: manusia memiliki sistem syaraf dan
otak yang lebih kompleks dibanding yang terdapat pada hewan. Hal ini
memungkinkan manusia mengenal dan menentukan jumlah korelasi yang tak
terbatas. Prof. Eschbach mengatakan keunggulan manusia terletak pada
perkembangan otak. Bukan dalam hal bobot otak (karena ternyata otak mastodon
lebih berat), bukan juga dalam luas materi otak (karena ternyata otak lumba-
lumba lebih luas), tapi sifat otak yang asimetris sehingga otak manusia bersifat
dialektis.

B. Jiwa
Hakikat setiap makluk hidup adalah kesatuan jiwa dan tubuh. Tumbuhan,
hewan, dan manusia dinamakan makluk hidup karena mereka terdiri dari jiwa dan
tubuh. Hanya saja, jiwa pada tumbuhan, hewan, dan manusia berbeda menurut
tingkatan-tingkatannya. Jiwa pada manusia merupakan bentuk tertinggi dari jiwa
makluk hidup, berkat intelektualitasnya.
1. Jiwa, Tubuh, Roh
Aristoteles, dalam upayanya untuk menunjukkan keunggulan manusia atas
makluk hidup jenis lain, memunculkan unsur baru yang disebutnya roh. Dengan
demikian pada manusia ada unsur jiwa, tubuh dan roh. Menurut Aristoteles,
manusia jauh mengungguli makluk-makluk hidup lain karena unsur roh tersebut.
Penjelasan Aristoteles tentang hakikat serta aktivitas roh dalam hubungan
dengan jiwa dan tubuh adalah sebagai berikut: roh adalah kemampuan reflektif
manusia yang tidak dimiliki makluk hidup lain. Roh berbeda dengan jiwa.
Aktivitas roh berkaitan dengan kehidupan jiwa, walaupun roh itu tidak
merupakan semacam jiwa. Jadi, ada kontras dengan fungsi-fungsi jiwa lain yang
secara langsung berkaitan dengan tubuh. Roh memiliki sifat sangat halus,
sebaliknya jiwa sangat konkret.
Bagaimana roh beraktivitas? Aristoteles menjelaskan sebagai berikut:
seperti indera, roh juga menerima kesan-kesan. Kesan-kesan itu bukan berupa
suara atau warna seperti pada indera, tetapi pengertian-pengertian. roh jauh lebih
otonom terhadap tubuh dan tidak terikat dengan organ-organ tertentu. Dengan
kata lain, roh itu bukannya merupakan sesuatu melainkan kemungkinan (potensi).
Roh tidak mempunyai hakikat, bahkan hampir mendekati ketiadaan. Oleh sebab
itu roh tak dapat dilokalisir.
Hubungan jiwa dan tubuh lebih konkrit. Roh seakan-akan memperlihatkan
sifat dari dunia lain. Roh memanifestasikan diri lewat jiwa. Roh adalah prinsip
aktif.
Menurut Aristoteles, jiwa dan roh juga berbeda menurut asal usulnya. Jiwa
timbul dari sel telur, bukan dari luar. Mengapa? Karena jiwa tidak mungkin ada
tanpa tubuh, seperti halnya berjalan tidak mungkin terlaksana tanpa kaki.
Sebaliknya roh berasal dari luar (thyrathen) dan bersifat ilahi. Dalam melakukan
aktivitasnya roh tidak berhubungan dengan tubuh.
Pandangan Aristoteles punya titik lemah, karena menciptakan dualisme
baru (suatu yang memang disangkalnya) antara jiwa-tubuh di satu pihak, dan roh-
jiwa di pihak lain.
2. Sifat-sifat Jiwa
Ada dua pandangan bertolak belakang tentang sifat jiwa. Pandangan
pertama dikemukakan oleh kaum empiris yang mengatakan bahwa jiwa bersifat
pasif. Pandangan kedua dikemukakan Descartes dan Husserl yang melihat jiwa
sebagai suatu yang aktif dan intensional.
Jiwa bersifat pasif: jiwa adalah penerima impresi-impresi pancaindra dari stimuli
luar. Impresi-impresi itu disimpan dalam bagian ingatan jiwa dan digunakan
kemudian jika dibutuhkan. Ini diajarkan John Locke, David Hume, B.F. Skinner.
 Menurut John Locke manusia dilahirkan dengan jiwa yang merupakan
tabula rasa (kertas kosong).
 David Hume mengatakan jiwa adalah teater dimana dan melalui mana
datang banyak persepsi dan panggung dimana para pemain datang dan
pergi
 Sedangkan Skinner tak mengakui adanya kejadian-kejadian mental (dia
seorang materialis). Dia melihat jiwa sebagai komputer yang kalau
diprogram dan diberi informasi yang tepat, akan menghasilkan output
yang sepadan.
Jiwa bersifat aktif dan intensional: Rene Descartes mengatakan: ketika dia merasa
sangsi, ada kebenaran yang tak dapat disangsikan yaitu bahwa dia sangsi. Manusia
adalah makluk sadar yang berpikir. Dia tak mungkin sangsi jika dia tidak sadar
dan tak berpikir. Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Edmund Husserl
setuju dengan Descartes tapi mengatakan Descartes belum memberikan
keterangan tentang hakikat kesadaran (apa itu kesadaran) padahal itu sangat
penting untuk memahami jiwa manusia. Dia mengemukakan konsep
intensionalitas. Kodrat kesadaran atau jiwa adalah bahwa ia bersifat intensional:
aktif, mengarah ke suatu hal atau obyek (fisik atau mental).
3. Arti Jiwa
a. Jiwa sebagai substansi
Menurut Freud manusia terdiri dari unsur-unsur irrasional. Proses-proses
konatif dan kognitif juga terjadi di bawah-sadar. Jiwa terdiri dari Id, Ego, dan
Superego. Di antara ketiga lapisan tersebut terdapat batas yang tegas. Hal ini
menyebabkan ego aman dari gangguan2 keinginan dalam id, sehingga tingkah
laku sosialnya dapat diterima masyarakat.
b. Jiwa sebagai Kemampuan
Dalam buku Man and the Cosmos (1922) Leighton mengatakan jiwa
manusia tidak sama dengan tubuh. Jiwa bersifat trans-spasial. Artinya, mengatasi
segenap ruang. Jiwa mengembang dan merembesi bagian tubuh lainnya.
Jadi, jiwa merupakan pusat hubungan dan memiliki kemampuan untuk
mengendalikan, merembesi, mempersatukan dan mengarahkan kembali
ketegangan-ketegangan spasial di lingkungan fisiknya.
c. Jiwa sebagai proses
Dalam buku Matter and Spirit (1922) Pratt menyebut jiwa sebagai aku.
Jiwa adalah suatu yang mempunyai cita-cita dan tujuan, memiliki kehendak, yang
menderita, yang berusaha, yang mengetahui. Jadi, jiwa sebagai proses dan
kemampuan. Dalam arti proses, jiwa adalah apa yang dikerjakannya. Dalam arti
kemampuan, jiwa menggunakan tubuh sebagai instrumen. Pandangan ini bersifat
dualistis.
d. Jiwa sebagai Tingkah Laku
Y.H. Krikorian mengemukakan pandangan ini dalam A Naturalistic View
of Mind yang dimuat dalam buku Naturalism and The Human Spirit (1944).
Pandangan ini dianut behaviorisme dan naturalisme. Jiwa adalah respons, tapi tiap
respons bukan otomatis bersifat kejiwaan.
Krikorian menyebutkan tiga matra (fungsi/corak kegiatan) respons yang telah
diramalkan sebelumnya, yakni: (a) Daya pemahaman atau kemampuan
memperoleh pengetahuan. Ini adalah kemampuan menggunakan sarana dalam
mencapai tujuan, mis. mengingat-ingat, mencerap, berpikir, (b) Kemampuan
berkehendak atau menaruh perhatian. Ini adalah kemampuan mengejar tujuan
sebagai tujuan yang telah dibayangkan, (c) Kesadaran, yakni kemampuan
memperoleh pengetahuan tentang jiwa. Kesadaran selalu berarti sadar akan
sesuatu.
4. Munculnya Jiwa
a. Tradusianisme
Pandangan ini mengatakan jiwa berasal dari orangtua. Ada dua macam
tradusianisme, yakni tradusianisme spiritual dan tradusianisme material. Menurut
tradusianisme spiritual, jiwa secara langsung berasal dari jiwa orangtuanya.
Tradusianisme material mengajarkan bahwa orang tua menghasilkan badan, lalu
badan mengembangkan sebuah jiwa manusia.
b. Kreasionisme
Pandangan ini mengatakan bahwa jiwa anak langsung berasal dari Tuhan,
dan bukan berasal dari tubuh orangtua. Jiwa anak juga tak dapat berasal dari jiwa
orang tua. Jiwa anak langsung dicpitakan oleh Tuhan.
c. Kreasionisme Lanjutan
Menurut pandangan ini jiwa anak diciptakan oleh Tuhan, tapi dalam arti
Tuhan membuat orang tua itu mampu mengatasi kekuatan mereka sendiri, dengan
demikian menghasilkan jiwa anak.

5. Hominisasi
Kapan jiwa manusiawi mulai bereksistensi? Dengan kata lain, kapan saat
terjadinya manusia (hominisasi)? Kapan embrio bisa dianggap sebagai pribadi
manusia? Teori immediate dan mediate animation menjawab pertanyaan tersebut.
Immediate animation: teori penjiwaan langsung (immediate animation)
mengajarkan bahwa jiwa muncul sejak terjadi pertemuan sel-sel reproduktif.
Mediate animation: teori penjiwaan tak langsung (mediate animation)
mengatakan bahwa jiwa baru bisa ada pada tingkat 'sentro-kompleksitas' tertentu
(de Chardin).
6. Kekekalan Jiwa
Jiwa bersifat spiritual dan sederhana (simplex). Spiritual sebab
berdasarkan hakikat intrinsiknya, jiwa bebas dari materi. Ia tidak terikat pada
materi. Meskipun demikian jiwa bukan roh semata-mata. Secara ekstrinsik ia tetap
bergantung pada materi. Itu suatu kenyataan. Materi jasmani merupakan syarat
bagi aktivitas jiwa.
Jiwa bersifat sederhana (simplex) berarti bahwa jiwa tidak mempunyai bagian-
bagian yang sungguh berbeda.
Kematian adalah saat terputusnya hubungan antara jiwa dan tubuh.
Apakah jiwa juga hancur? Plato, misalnya, mengatakan jiwa ada sebelum bersatu
dengan tubuh. Jiwa akan tetap hidup setelah kematian tubuh. Aristoteles
sebaliknya berpendapat bahwa jiwa akan habis pada saat kematian, sebab jiwa itu
hanya bisa hidup dalam persatuan dengan tubuh, yang adalah materi.
Jadi, ada dua pendapat yang coba menjelaskan pertanyaan tentang
kekekalan jiwa. Yang satu menerima kekekalan jiwa, yang satunya menolak
kekekalan jiwa. Untuk kepentingan praktis, kita akan membahas beberapa teori
yang menerima kekekalan jiwa. Teori-teori itu adalah teori kesepakatan umum,
teori yang berasal dari etika, Theilhard de Cardin, argumen teknis, serta hasrat
kepada hidup dan kebahagiaan.
a. Teori Kesepakatan Umum
Kekekalan itu ada karena kepercayaan terhadap kekekalan merupakan
kepercayaan umum bangsa manusia. Berbagai kepercayaan spontan mengakui
adanya hidup sesudah kematian. Ini terdapat pada semua bangsa, pada semua
zaman, pada semua tingkat peradaban.
b. Argumen dari Etika
Dalam kehidupan di dunia, sering kita temukan realitas yang saling
bertolak belakang. Kita mengalami bahwa orang-orang jujur dan baik sering
mengalami kemalangan, sebaliknya orang-orang jahat mendapat keuntungan
dalam hidup ini.
c. Teilhard de Chardin
Menurut de Chardin, evolusi telah berlangsung jutaan tahun. Evolusi itu
mencapai puncaknya dalam diri manusia. Manusia adalah makota evolusi, karena
dialah makluk yang sadar diri. Maka manusia yakin ada suatu yang harus hidup
terus. Sesuatu itu merupakan makota dari evolusi, suatu yang paling berharga,
yakni pribadi manusia, keakuan, jiwa. Maka evolusi memang menuntut kekekalan
jiwa manusia.
d. Argumen teknis
Argumen ini mengatakan bahwa jiwa manusia tidak dapat berhenti hidup
sebab suatu makluk berhenti hidup karena dua alasan, yakni alasan intrinsik
(berhubungan dengan esensi) dan alas an ekstrinsik (berhubungan dengan
eksistensi).
Jiwa tak dapat musnah karena pembusukan berarti kehancuran unsur-unsur
konstitutif suatu makluk. Jiwa, karena bersifat spiritual, tidak mengalami
pembusukan.
Jiwa juga tak musnah karena kehilangan sandaran esensialnya. Kehilangan
sandaran esensial berarti kehilangan sandaran material. Jiwa manusia bersifat
spiritual, berarti tak bergantung pada materi.
Jiwa tak dapat musnah karena tindakan peniadaan. Peniadaan berarti
berhentinya kegiatan kreatif dari Tuhan yang merupakan sumber segala eksistensi.
Tuhan tidak mungkin akan menghentikan eksistensi hidup dari jiwa.

e. Hasrat Akan Hidup dan Kebahagiaan


Semua manusia mempunyai hasrat akan hidup dan memperoleh
kebahagiaan. Fakta ini memperlihatkan bahwa jiwa itu bersifat kekal. Kerinduan
kodrati itu harus dipuaskan. Tanpa kekekalan pribadi, hasrat kepada hidup
kehilangan arti.

C. Jiwa sesudah Kematian


Bagaimana nasib jiwa setelah hubungannya dengan tubuh terputus? Sebab,
walaupun bersifat spiritual, jiwa tak dapat berbuat apa-apa tanpa persatuan dengan
tubuh. di bawah ini dikemukakan dua kelompok jawaban yang mencoba
menyelesaikan permasalahan ini.
Pertama, sesudah berpisah dari tubuh, jiwa masih beraktivitas sendiri. Kelemahan
jawaban ini: spiritualisme. Jadi, segala aspek esensial manusia seakan-akan
dikembalikan seluruhnya kepada jiwa. Jadi, manusia sama dengan roh murni, dan
ini sangat Platonistis.
Kedua, Karl Rahner mengemukan bahwa sesudah kematian jiwa (keakuan)
berhubungan secara langsung dengan seluruh kosmos. Maka jiwa akan menjadi
pan-kosmis. Tapi kerugiannya, membatasi hubungan langsung kita pada obyek-
obyek tertentu. Padahal, melalui keterbukaan pengetahuannya, keakuan itu
berhubungan dengan seluruh alam semesta material.
Pandangan Rahner berbeda dengan neo-Platonisme. Pada neo-Platonisme
kematian berarti terputusnya keakuan secara total dengan materi. Pada Rahner,
pada saat kematian jiwa justru mampu berhubungan langsung dengan keseluruhan
materi.

Anda mungkin juga menyukai