Puji syukur hanyalah milik Tuhan Yesus yang Maha Pengasih. Berkat limpahan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang bertajuk “Kuda Lumping”
ini dengan lancar. Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas Mata
Pelajaran Bahasa Sunda.
Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari
berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala
partisipasinya dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikian apa yang dapat kami sampaikan. Penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk para pembaca.
Kata Pengantar….………………………………………………...…i
Daftar Isi….……………………………..……………..……….……ii
BAB I PEMBUKAAN...…………………………………………..….1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………
1.2 Tujuan…………………………………………………………..
BAB II ISI………………………………………………………….….
2.1 Jenis Kuda Lumping…………………………………………..
2.2 Sejarah Kuda Lumping………………………………………..
2.3 Makna Kuda Lumping…………………………………………
2.4 Hal Menarik……………………………………………………
2.5 Prosedur dan Alat.…………………………………………….
2.6 Pandangan Kekristenan terhadap Seni Kuda Lumping……….
Daftar Pustaka……………………………………………………….
BAB I
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah antara lain:
1. Menambah pengetahuan masyarakat terhadap kesenian Sunda.
2. Memperkenalkan kuda lumping kepada orang banyak.
3. Menanamkan nilai Kekristenan dalam kebudayaan.
BAB II
2.1 Sejarah Kuda Lumping
Kesenian Tari Kuda lumping adalah
sebuah seni tari yang dimainkan
menggunakan peralatan berupa kuda
tiruan yang dibuat dari anyaman bambu
atau kepang yang dicat warna warni dan
diberi motif seperti kuda dan diberi
rambut tiruan, sehingga masyarakat
Temanggung menyebutnya Jaran
Kepang.
Kuda Lumping ternyata tidak hanya ada di satu daerah di Indonesia saja. Sebutan
Kuda Lumping biasanya lebih populer di Jawa Barat, sedangkan sebutan Kuda
Lumping di Banyuwangi adalah Jaranan Buto, Jathilan di Yogya dan Jawa
Tengah, dan Jaranan Sang Hyang di Bali. Prinsipnya sama aja, sama-sama
menari di atas kuda buatan.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan
semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri.
Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan
anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Kuda Lumping sudah ada sejak masa kerajaan Hindu. Pada masa itu, tarian
merupakan sarana komunikasi dengan para leluhur, maka tak heran banyak
upacara-upacara keagamaan menggunakan tarian yang mengandung unsur magis.
Karena sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu, Kuda Lumping dianggap sebagai
sebuah kesenian kuno yang masih ada hingga kini.
Tarian Kuda Lumping mencapai puncaknya ketika salah satu penarinya kerasukan
hal gaib, biasanya roh nenek moyang. Pada saat sang penari kerasukan, ia akan
melakukan hal-hal yang tak dicapai logika orang sehat. Misalnya, si penari akan
kebal dari pukulan atau goresan senjata tajam. Selain itu, penari akan tahan dari
cambukan. Yang paling kita sering lihat yaitu penari akan memakan beling atau
silet tanpa terluka sedikitpun.
Di daerah Ponorogo, kehadiran roh yang masuk ke tubuh salah satu penari yang
membuatnya menjadi bringas dan jahat disebut sebagai warok. Lawannya adalah
gemblakan. Pertandingan antara warok dan gemblakan ini digambarkan sebagai
sifat-sifat manusia. Baik dan jahat ada di situ semua.
MAKNA KERASUKAN
Sedangkan peristiwa kerasukan tersebut dimaknai dengan adanya kekuatan
besar yang ada di luar kendali manusia. Semua yang terjadi pada manusia atas
kehendak Tuhan, lalu muncul rasa pasrah kepada Tuhan berikut dengan
kepercayaannya. Selain itu masuknya roh ke tubuh manusia menjadi suatu
pengingat bagi manusia akan adanya kehidupan selanjutnya setelah
kehidupan dunia.
MAKNA KUDA-KUDAAN
Kuda-kudaan dimaknai sebagai simbol kekuatan, keberanian dan pantang
menyerah. Tiga hal tersebut yang menjadi penting dalam kehidupan manusia.
Sedangkan warna kuda tersebut juga memiliki arti, seperti putih sebagai simbol
kesucian pikiran, merah sebagai simbol keberanian dan hitam sebagai sifat
yang buruk.
Permainan tarian Kuda Lumping diawali dengan seluruh prajurit menari dengan
riang gembira. Kemudian datanglah Jaok yang merupakan Raja dari seluruh
Prajurit Kuda Lumping, dan prajurit menyambut dengan gembira kedatangan raja
mereka. Setelah Jaok pergi, terdengar nyanyian menyerukan untuk bersiap-siap
dalam medan perang dan seluruh prajurit pun bersiap-siap menghadapi sosok yang
dianggap jahat.
Leak sebagai simbol jahat pun masuk dan berperang dengan Wiroyudho. Setelah
Leak dikalahkan, prajurit kembali bersenang-senang merayakan kemenangannya
dengan diselingi beberapa penari perempuan. Biasanya penari wanita menarikan
tarian merak. Kemudian Leak datang kembali dengan membawa seluruh
teman-temannya dan seluruh prajurit kembali berperang. Akhirnya ditutup dengan
keberhasilan memenangkan peperangan. Tarian ini memiliki durasi kurang lebih
1,5 hingga 3 jam dalam setiap penampilannya.
2. Tari Senterewe
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari
senterewe.
ALAT
1. Musik
Untuk mengiringi Kesenian Kuda Lumping maka dibutuhkan seperangkat
Gamelan yang terdiri dari Gong, Bonang (Kenong), Saron dan Kendang. Empat
macam itulah perangkat dasar Gamelan untuk Kesenian Kuda Lumping secara
umum, namun dalam Kuda Lumping Kreasi Baru ditambahkan alat seperti kecrek,
piano dan juga drum, bahkan pada Jaranan Banyuwangian ada tambahan Saron
Janger, Kendang Bali, dan juga Kendang Banyuwangi yang disebut Kendang
Gandrung.
2. Cambuk
Cambuk atau yang biasa disebut pecut terbuat dari serat dan ujungnya
menggunakan tali rafia, bagian pangkal (pegangan) dirajut dengan tali
warna-warni sampai setengah bagian pecut.
3. Kuda Lumping
Kuda mainan yang ditunggangi pemain terbuat dari anyaman dan tali rafia.
Sejauh definisi di atas, adat tidak bermasalah dan ternyata melalui pengertian
yang telah diutarakan diatas, maka adat istiadat merupakan ciri khas suatu
daerah yang melekat sejak dahulu kala dalam diri masyarakat yang
melakukannya.
Dari semua itu, menurut kami yang paling baik ialah Gereja menerima
unsur-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan Injil,
seni tari dan lain-lain sehingga dapat menjadi sarana Injil untuk
membangun iman dan kehidupan.
Yesus mengecam orang Yahudi yang sangat memelihara adat istiadat nenek
moyang tetapi melanggar firman Tuhan. Jelas hal ini tidak boleh terjadi di dalam
kekristenan. Tuntutan Alkitab bahwa setelah seseorang bertobat dan percaya
Tuhan Yesus, maka kita harus meninggalkan dosa. Sehingga jika di dalam adat
istiadat ada hal-hal yang bisa mendorong orang untuk berbuat dosa, maka
lebih baik bagi kita sebagai orang Kristen untuk tidak melakukan adat
istiadat tersebut.
Efesus 5:8
“Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di
dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang”
Efesus 4:24
“dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah
di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya”.
Beberapa ayat di atas merupakan nasihat bagaimana seharusnya hidup sebagai
orang-orang yang telah menjadi milik Kristus. Firman Tuhan di atas menegaskan
bahwa kita tidak hidup lagi seturut dengan kehendak kita, adat kita, budaya kita,
tetapi harus hidup seturut dengan kehendak Tuhan.
Pemakaian cambuk dan atraksi berbahaya seperti makan beling. Dari sisi
kemanusiaan, hal tersebut salah. Apalagi alasan kekebalan para pemain adalah
karena dirasuki roh jahat. Hal ini membawa kita ke permasalahan awal, yaitu
apakah kuda lumping pantas disebut kuda lumping bila unsur gaibnya
dihilangkan. Mungkin bagi orang Kristen tidak masalah karena Tuhan dengan
jelas menyuruh kita hidup seturut dengan-Nya, namun bagaimana dengan
masyarakat?
Dampak Positif
Bagi masyarakat Jawa, kuda lumping adalah sebuah kesenian yang indah dan
bermakna. Kesenian yang sering dipertontonkan di lapangan atau di jalan-jalan itu
adalah budaya yang lekat berada di hati masyarakat. Kuda lumping adalah salah
satu bukti kearifan budaya Indonesia.
Dampak Negatif
Menurut kami, masyarakat akan merasakan adanya sesuatu yang kurang jika daya
tarik dari pementasan kuda lumping, yaitu kerasukan, dihilangkan. Masyarakat
mungkin akan menggangap kesenian yang diubahkan tersebut bukan lagi kuda
lumping, dan lama-kelamaan meninggalkan atau melupakan budaya tersebut
karena tidak tertarik. Dengan demikian, kuda lumping yang merupakan mata
pencaharian sebagian orang akan lenyap, dan menyusahkan orang-orang.
Di lain sisi, jika hal gaib tidak dihilangkan, maka walaupun menarik itu akan
melawan perkataan Tuhan. Dengan demikian kami memikirkan solusi untuk
permasalahan ini:
Solusi
Adat istiadat yang bertentangan dengan iman Kristen harusnya di kaji ulang dan
ditolak bila perlu. Memang tidaklah mudah menghilangkan budaya dari kehidupan
suatu masyarakat sekalipun budaya itu bertentangan dengan ajaran agama, apalagi
jika budaya itu sangat mempengaruhi sistem kehidupan dari masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, unsur-unsur gaib kuda lumping bisa disubtitusi. Menurut kami,
pemain tidak perlu dirasuki namun menari tarian khas seperti biasa dengan
gerakan lebih rumit dan tetap menarik. Cambuk yang dipakai tidak dibuat untuk
menyakiti penari, namun hanya dipakai sebagai aksesoris pertunjukan. Bahan
yang dipakai untuk membuat cambuk diubah menjadi bahan yang tidak berbahaya.
Demikian pula atraksi makan beling atau mengupas kelapa dengan gigi dapat
dihilangkan atau diganti dengan kesenian bela diri yang tidak menggunakan ilmu
gelap.
Walaupun kita tidak bisa memasukan unsur Kristiani, seperti lagu Kristen, secara
langsung, namun dengan substitusi ini, maka adat istiadat dipraktikan untuk
memuliakan nama Tuhan, sebagai seni dan keunikan suatu daerah. Dengan
demikian, kuda lumping dapat dinikmati segala kalangan tanpa
menyesatkan.
BAB III
3.1 Kesimpulan
Sebagai orang Kristen yang telah percaya kepada Tuhan Yesus, maka identitas
kita adalah sebagai anak Tuhan yang hidup seturut dengan kehendak-Nya dan
memandang segala sesuatunya dari perspektif Tuhan. Setiap orang – masyarakat –
harus menghargai adat istiadat yang telah ada, tak terkecuali orang Kristen, namun
kita selayaknya menilai dan mempraktikan adat istiadat dengan takut akan Tuhan
dan memuliakan Tuhan di dalamnya. Kebenaran firman Tuhan harus di atas
segalanya, termasuk adat istiadat. Adat istiadatlah yang seharusnya disesuaikan
dengan standar Alkitab, bukan Alkitab yang disesuaikan dengan standar adat
istiadat.
Kebenaran adat harus disaring dengan kebenaran Alkitab; jika adat itu tidak
bertentangan dengan kebenaran firman Tuhan, maka dikembangkan, dilestarikan
dan dipraktikan, akan tetapi jika adat itu bertetangan, maka sebagai orang
Kristen kita harus menjauhkan adat itu.
DAFTAR ISI
“Kuda Lumping Sangat Indah.” Sindo News. 12 September 2012. Web. 15 Mei
2018.<https://nasional.sindonews.com/read/671868/16/kuda-lumping-sangat-inda
h-1347402365>
“Okultisme: Antara Budaya vs Iman Kristen.” Bukukita. 2011. Web. 15 Mei 2018.
<http://www.bukukita.com/Agama/Kristen/89677-OKULTISME:-ANTARA-BU
DAYA-VS-IMAN-KRISTEN.html
“Sikap dan Pandangan Kristen terhadap Kebudayaan.” Warni Mendrofa. 03
November 2015. Web. 01 Mei 2018. <http://warnimendrofa.blogspot.co.id/2015/
11/sikap-dan-pandangan-kristen-terhadap.html?m=>