Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KESENIAN KUDA LUMPING

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS TERSTRUKTUR MATA


KULIAH BUDAYA BANYUMASAN

Dosen Pengampu:
1. Daryanto, S.Pd., M.Si.
2. Tri Asiati, S.S., M.Pd.

Disusun Oleh:
Isnaen Nur Layla Safitri (J1C019053)

Prodi Sastra Jepang 2019


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Jenderal Soedirman
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Kesenian Kuda Lumping” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas terstruktur mata kuliah Budaya Banyumasan. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan mengenai kesenian lokal bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Daryanto, S.Pd., M.Si. dan
Ibu Tri Asiati, S.S., M.Pd. selaku dosen mata kuliah Budaya Banyumasan yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Purowkerto, 4 April 2021
Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Sejarah Kesenian Kuda Lumping..............................................................3
2.2 Diferensiasi Kesenian Kuda Lumping di Indonesia..................................4
2.3 Partukularitas Kesenian Kuda Lumping Banyumas..................................7
2.4 Ikonitas Kesenian Kuda Lumping.............................................................8
BAB III PENUTUP..............................................................................................11
3.1 KESIMPULAN.......................................................................................11
3.2 SARAN...................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kesenian kuda lumping merupakan salah satu kesenian yang terkenal


di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta daerah di
sekitarnya. Kuda Lumping adalah salah satu kesenian tradisional Jawa yang
menggambarkan sekelompok prajurit penunggang kuda. Kuda yang di
gunakan dalam tarian ini bukanlah kuda sungguhan, namun kuda yang terbuat
dari bambu yang dianyam, atau kulit kerbau atau kulit sapi yang telah
dikeringkan dibentuk dan dihias menyerupai kuda.
Selain Kuda Lumping, tarian ini juga sering disebut “Jaran
kepang/Jaranan/Jathilan” karena bentuk dari kudanya yang dihiasi dengan
rambut tiruan terbuat dari tali plastik dan dihias dengan cara dikepang. Selain
menyuguhkan gerak tari, tarian ini juga terdapat unsur magis karena setiap
pertunjukannya ada beberapa atau semua penari yang mengalami kesurupan
dan ada beberapa ritual yang di lakukan dalam tarian ini.
Terdapat juga beberapa atraksi berbahaya yang dipertontonkan seperti
memakan beling, menyayat sabut kelapa dengan gigi, berjalan di atas pecahan
kaca dan beberapa atraksi berbahaya lainnya. Walaupun masih terdapat
beberapa unsur seperti kesurupan dan atraksi berbahaya, namun pada Kuda
Lumping ini lebih mengutamakan gerakan tari yang menggambarkan jiwa
kepahlawanan para prajurit berkuda dalam peperangan.
Seperti halnya tarian lain yang ada di Indonesia kuda lumping biasanya
ditampilkan pada acara tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan
sebagai ucapan syukur. Untuk menghormati Dewa sang pemberi wangsit dan
memperingati kemenangan kemudian setiap tahun diadakan upacara kebaktian
dengan suguhan acara berupa tarian menunggang kuda-kudaan yang
menggambarkan kepahlawanan. Selanjutnya tarian menunggang kuda-kudaan
itu berubah menjadi sebuah kesenian yang digemari masyarakat dan diberi
nama “Kuda Lumping”.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah kuda lumping?


2. Bagaimana diferensiasi (perbedaan) kesenian kuda lumping di setiap
daerah?
3. Bagaimana partukularitas (keunikan) kesenian kuda lumping?
4. Bagaimana ikonisitas seni tari kuda lumping sebagai ikon seni tari di
Indonesia?
5. Bagaimana busana dan properti dalam kesenian kuda lumping?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini untuk memberikan pengetahuan bagi para


pembaca tentang salah satu kesenian tradisional yang ada di Indonesia.
Namun tujuan khusus penilisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui sejarah kuda lumping
2. Untuk mengetahui perbedaan kesenian kuda lumping di setiap daerah di
Indonesia
3. Untuk mengetahui keunikan kesenian kuda lumping
4. Untuk mengetahui ikon kesenian kuda lumping sebagai seni tari di
Indonesia
5. Untuk mengetahui berbagai properti dan busana yang digunakan dalam
kesenian kuda lumping

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini yaitu dapat


memberikan kontribusi pengetahuan yang berkaitan dengan Kuda Lumping
pada umunya, dan Ebeg Banyumasan pada khususnya. Melalui tulisan
makalah ini diharapkan pula para pemuda generasi penurus bangsa dapat
melestarikan kebudayaan lokal ini dengan melakukan promosi terhadap
masyarakat luas agar kesenian ini tetap lestari dan tidak tergerus oleh zaman.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kesenian Kuda Lumping

Tidak diketahui secara pasti mengenai asal-usul permainan ini, karena


kesenian ini banyak di temukan di beberapa daerah di Indonesia dan banyak
yang mengakui bahwasannya tari kuda lumping adalah tari atau kebudayaan
yang menjadi milik daerah itu sendiri. Dalam sistem pementasannya, tari kuda
lumping ini menggunakan alat-alat yang sifatnya mistis seperti kaca atau
beling serta jimat. Selain peralatan tersebut di dalam pementasannya tarian ini
ada juga yang di iringi oleh gamelan atau alat musik khas jawa seperti
kendang, gong, dan kenong. Selain mengandung unsur hiburan dan religi,
kesenian tradisional kuda lumping ini juga banyak mengandung unsur ritual
yang sangat sakral. Karena sebelum pertunjukan dimulai para pemain kuda
lumping melaukan ritual mandi di sungai dan meminta agar pertunjukan bisa
lancar.
Ada juga kelompok masyarakat lain yang mengatakan bahwa kesenian
kuda lumping berasal dari daerah Ponorogo, Jawa Timur. Menurut mereka
legenda ini menceritakan tentang Raja Ponorogo yang selalu kalah dalam
peperangan. Sang raja masygul dan gundah. Hingga akhirnya ia pergi ke
sebuah pertapaan. Ketika sedang khusuk-khusuknya memohon kepada Dewa
Jawata Sang Marasanga, ia dikejutkan oleh suara tankatingalan. Suara itu
ternyata wangsit dari Sang Jawata. Isinya apabila raja ingin menang perang, ia
harus menyiapkan sepasukan berkuda. Ketika pergi ke medan perang, para
prajurit penunggang kuda itu diiringi dengan "bande" dan rawe-rawe.
Konon, bande dan rawe-rawe itu menggugah semangat menyala,
membabi buta di kalangan para prajurit penunggang kuda. Ketika bertempur
mereka mabuk sehingga tidak sadarkan diri, tapi dengan semangat keberanian
yang luar biasa menyerang musuh-musuhnya. Demikianlah dalam setiap
peperangan para prajurit bergerak dengan kekuatan tangguh dan memenggal
kepala musuh-musuhnya. Akhirya Raja selalu memperoleh kemenangan.

3
2.2 Diferensiasi Kesenian Kuda Lumping di Indonesia

1. Ebeg, Banyumas
Tarian Ebeg di daerah Banyumas menggambarkan prajurit perang
yang sedang menunggang kuda. Gerak tari yang menggambarkan
kegagahan diperagakan oleh pemain Ebeg. Diperkirakan, kesenian Ebeg
ini sudah ada sejak abad 9, tepatnya ketika manusia mulai menganut aliran
kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan
Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk in trance
(kesurupan) atau wuru. Dan satu grup ebeg biasanya terdiri dari 15 orang
atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg dan si penthul-
tembem memakai topeng. Tarian ini termasuk tarian massal, jadi biasanya
tarian ebeg dilakukan di tempat luas seperti lapangan ataupun pelataran
rumah yang cukup luas. Pertunjukan ebeg biasanya dapat ditonton pada
saat awal Sura (tahun baru Jawa) serta di berbagai acara hajatan penduduk,
seperti khitanan, pesta perkawinan, dan pesta rakyat Banyumas.
2. Jaranan Sentherewe, Tulungagung
Jaranan Sentherewe ini merupakan kesenian yang telah dikenal
sejak abad 13. Uniknya, visualisasi kesenian ini telah terpahat pada relief
Candi Penataran di Blitar. Jaranan Sentherewe ini dimainkan dengan 2
buah jaranan dan 1 buah jejaplok yang diiringi 1 buah kendang, 2 buah
serone dan 1 buah kempul. Jaranan senterewedalam penampilannya
seninya lebih mengutamakan kreatifitas gerak, kekayaan serta kepadatan
gerak. Iringan gamelan yang ditampilkannya juga lebih riang dan dinamis.
Kesenian ini diselenggarakan untuk mengumpulkan warga pada acara
kerja bakti di desa. Namun, sekarang ini Jaaranan Sentherewe juga
ditampilkan untuk menjadi hiburan pada upacara Kemerdekaan RI di
Tulungagung.
3. Jaranan Thek, Ponorogo
Jika dilihat jaran thek itu seperti tarian jatilan namun terdapat
warok sejenis barongan namun hanya ada satu orang saja di dalamnya.
Biasanya para pemain jaran thek mengalami kesurupan dalam tengah-
tengah acara. Hal ini dikarenakan budaya ini masih bercampur dengan

4
mistis orang Jawa. Biasanya dalam permainan jaran thek ini diiringi
dengan alunan musik khas jawa dengan menggunakan gendang sehingga
bisa membuat tarian lebih bersemangat serta lebih menarik untuk
dipertontonkan.
4. Jaranan Turonggo Yakso, Trenggalek
Jaranan Turonggo Yakso bercerita tentang raksasa yang
mengganggu aktivitas masyarakat. Raksasa itu akhirnya bisa dikendalikan
oleh kesatria. Dalam pertunjukan, Turonggo Yakso digambarkan dengan
penari jaranan bertopeng raksasa. Turonggo itu artinya jaranan. Sementara
yakso itu artinya buto atau raksasa. Tari Turonggo Yakso ini berbeda
dengan Kesenian Jaranan yang ada di luar Kabupaten Trenggalek. Jika
pada Kesenian jaranan, kuda tersebut menggambarkan kuda yang benar-
benar berbentuk kuda. Sedangkan pada Tari Turonggo Yakso, kuda yang
dipakai untuk tampil adalah kuda yang berkepala raksasa. Namun dalam
gerakannya hampir sama, hanya saja pada Tari Turonggo Yakso masih
belum terbebaskan dari gerakan-gerakan yang menjadi tumpuan utama
pada awal Tari Turonggo Yakso terlahir.
5. Jaranan Buto, Banyuwangi
Perihal penamaan, dikatakan bahwa istilah Jaranan Butho
mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo. Terdapat beberapa
anggapan yang mengatakan bahwa Minakjinggo adalah seorang yang
berkepala raksasa yang dalam Bahasa Jawa disebut Butho. Kuda tiruan
yang digunakan memiliki kepala menyerupai kepala raksasa atau buto
yang menyeramkan.
Tata rias wajah pemain Jaranan Buto terlihat menyeramkan karena
menyesuaikan dengan karakter buto (raksasa), namun juga terlihat sangat
gagah dengan balutan kain tradisional, selendang dan hiasan kepala.
Secara keseluruhan penampilan pemain Jaranan Buto memang sangat jelas
menggambarkan raksasa yang kekar dan menyeramkan.
6. Jaranan Dor, Jombang
Jaranan Dor merupakan jenis jaranan yang ditarikan dengan unsur
humor, pada penampilannya tidak jarang pemain jarana dor akan

5
melakukan aksi-aksi lucu yang akan mengundang tawa penontonnya.
Gerak tari dan musik pengiringnya tidak jauh berbeda dengan jenis jaranan
lainnya. Yang menjadi pembeda seni jaranan dor dengan jaranan jenis
lainnya adalah alat musik Gong dalam instrument gamelannya diganti
dengan alat musik Bedug.
7. Jaran Sang Hyang, Bali
Jaran Sang Hyang dibawakan oleh seorang penari atau juga
pemangku yang mengendarai sebuah kuda mainan terbuat dari pelepah
dau kelapa. Ia menari dalam keadaan kerasukan roh kuda tunggangan
dewa kahyangan, berkeliling sambil memejamkan mata, menginjak bara
api dari batok kelapa yang telah dihamparkan.
Tarian Sang Hyang ini adalah tari sakral, yang terdapat dalam
rangkaian sebuah upacara adat suci. Sampai saat ini, tari Sanghyang tidak
diadakan sekedar sebagai sebuah tontonan. Tari Sanghyangmerupakan tari
kerauhan (trance) karena kemasukan roh (bidadari kahyangan dan
binatang lainnya yang memiliki kekuatan merusak seperti babi hutan,
monyet, atau yang mempunyai kekuatan gaib lainnya). Tari ini adalah
warisan budaya Pra-Hindu yang dimaksudkan sebagai penolak bahaya,
yaitu dengan membuka komunikasi spiritual dari warga masyarakat
dengan alam gaib.
8. Jathilan Dipenogoro, Yogyakarta dan Jawa Tengah
Jathilan berasal dari kalimat berbahasa Jawa “jaranne jan thil-thilan
tenan,” yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
“kudanya benar-benar joget tak beraturan.” Joget tak beraturan (thil-thilan)
ini memang bisa dilihat pada kesenian jathilan utamanya ketika para
penari telah kerasukan.
Tari kuda lumping yang menggunakan properti kuda tiruan terbuat
dari bambu sebagai bentuk apresiasi serta dukungan rakyat terhadap
pasukan berkudanya Pangeran Diponegoro, dimana pasukan berkuda
tersebut teramat gigih melawan penjajahan Belanda. Waktu penjajahan itu,
kesenian tari jathilan ini sering kali dipentaskan di dusun – dusun

6
terpencil, selain sebagai hiburan ternyata pementasan jathilan ini juga
digunakan sebagai media menyatukan rakyat demi melawan penindasan.

2.3 Partukularitas Kesenian Kuda Lumping Banyumas

Banyak sekali kesenian kuda lumping di berbagai daerah di Indonesia,


termasuk juga di Banyumas. Kuda Lumping di setiap daerah memiliki ciri
khas dan keunikannya masing-masing. Seperti halnya kesenian kuda lumping
di Banyumas yang disebut dengan istilah Ebeg. Di Banyumas, biasanya ebeg
ditampilkan dengan iringan musik calung banyumasan atau gamelan
banyumasan. Lagu yang dinyanyikan dalam pertunjukan Ebeg hampir
keseluruhan menggunakan bahasa Jawa Banyumasan atau biasa disebut
Ngapak lengkap dengan logat khasnya. Beberapa contoh lagu-lagu dalam
Ebeg yang sering dinyanyikan adalah Sekar Gadung, Eling-Eling, Ricik-Ricik
Banyumasan, Tole-Tole, Waru Doyong, Ana Maning Modele Wong
Purbalingga dan lain-lain.
Pemain ebeg akan "Mendem" atau "Wuru" (kesurupan) dan mulai
melakukan atraksi-atraksi unik. Bentuk atraksi tersebut seperti halnya: makan
beling atau pecahan kaca, makan dedaunan mentah, makan daging ayam yang
masih hidup, dan berlagak seperti hewan tergantung “Indang” apa yang masuk
ke pemain tersebut. Atraksi tersebut sebagaimana dikenal dalam bahasa
Banyumasan dengan istilah Babak Janturan. Masing-masing pemain memiliki
varian indang yang berbeda. Di antaranya indang kethek, yang mengantarkan
pemain pada kondisi in trance meniru perilaku monyet.
Sering kali para penonton ebeg ini juga ikut mendem sehingga
semakin memeriahkan pementasan Ebeg. Pada saat pemain dan beberapa
penonton sudah kesurupan, pagelaran menjadi sedikit lebih kacau dan brutal.
Namun justru inilah yang menjadi ciri khas Ebeg Banyumasan dibandingkan
seni kuda lumping dari daerah lain. Sebelum dimulainya Pentas Ebeg, penari
yang memperoleh Indhang harus melakukan laku tirakat. Laku tirakat adalah
menjalankan sikap-sikap hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya,
hidup bersih dan melakukan berbagai kegiatan upacara yang meningkatkan
kemampuan untuk berkonsentrasi dengan jalan pengendalian diri, dan
melakukan berbagai latihan semedi. Dalam hal ini, biasanya penari ebeg harus

7
melakukan puasa weton atau puasa hari lahir, puasa Senin-Kamis, dan
bersemedi di petilasan leluhur. Ritual tersebut bertujuan meminta doa restu
dari leluhur untuk meneruskan budaya daerah. Para penari juga diharuskan
mandi di sungai untuk membesihkan diriya dan tahap yang terakhir yaitu
pentas (gebyak). Persiapan waktu untuk ritual dan latihan itu selama kurang
lebih 3,5 bulan – 7 bulan untuk latihan sebelum pentas (Daryanto, 2010).

2.4 Ikonitas Kesenian Kuda Lumping di Indonesia

Kesenian Kuda Lumping ikonik dengan atraksi kesurupan dan


memakan sesaji yang disediakan dalam pertunjukan. Sesaji yang disedikan itu
berbeda-beda tergantung kesukaan pemain kuda lumping. Contohnya seperti
memakan dedaunan mentah, sabut kepala, bunga-bungaan, bahkan pecahan
kaca atau bohlam. Setiap pemain yang kemasukan Indang hewan akan
menirukan gerakan seperti halnya hewan pada aslinya. Misalnya jika
kemasukan Indang monyet, maka pemain tersebut akan memanjat pohon dan
berlarian kesana-kemari seperti seekor monyet, jika kemasukan Indang
ronggeng maka dia akan menari layaknya seorang ronggeng dengan gerakan
yang lemah gemulai. Atraksi-atraksi itulah yang menjadikan kuda lumping
berbeda dengan kesenian lain di Indonesia. Ikonisitas lainnya juga dapat
dilihat dari properti-properti yang digunakan.
 Properti Kuda Lumping
Seperti halnya tarian-tarian lainnya yang menggunakan properti, kesenian
kuda lumping ini juga memiliki properti yang menjadi ciri khasnya, yaitu:
1. Bambu.
Properti pertama yaitu bambu yang dianyam dan dibentuk menyerupai
kuda dan nantinya akan dijadikan tunggangan para penari dalam
melakukan aksinya. Sekarang ini bukan hanya dari bamboo saja bahan
yang digunakan, melainkan ada dari plastik juga.
2. Celana panjang.
Celana panjang yang digunakan biasanya posisinya menggantung (di atas
mata kaki). Fungsinya yaitu untuk memudahkan para penari dalam

8
bergerak, supaya semakin lincah. Pada bagian atas pinggulnya dilapisi
dengan selendang yang bercorak batik.

3. Gelang.
Gelang mempunyai fungsi di dalam kesenian kuda lumping sebagai
penghias saja. Biasanya motif gelang yang digunakan bervariasi, biasanya
berwarna emas dan namanya klinting. Baik penari pria maupun wanita
menggunakan gelang klinting ini saat penampilan berlangsung.
4. Sesumping
Sesumping adalah properti yang digunakan pada bagian telinga para
penari. Seperti kaos kaki, sesumping juga bukan properti yang wajib untuk
digunakan. Sesumping akan memancarkan kilau cahaya, bentuknya seperti
yang digunakan dalam pertunjukan kesenian wayang manusia.
5. Apok
Apok merupakan properti yang berupa lapisan penutup paling luar setelah
baju dan rompi. Bentuknya unik dan khusus, menggambarkan kegagahan
dan keperkasaan penari pria. Properti ini digunakan pada bagian dada
hingga menjulur ke bagian belakang.
6. Penutup Kepala.
Penutup kepala lebih identik sebagai properti penari wanita, karena
dijadikan untuk simbol pelindung kepala saat pasukan pergi berjuang ke
medan perang. Akan tetapi penari lelaki juga diperbolehkan
menggunakannya.
7. Selendang.
Untuk kriteria selendang yang digunakan oleh setiap paguyuban juga
berbeda-beda, mulai dari warna, motif, hingga corak.
8. Kacamata Hitam
Kacamata hitam di sini fungsinya bukan untuk bergaya, melainkan supaya
gerak-gerik mata penari tidak kelihatan oleh penonton. Karena mata penari
akan terlihat sangat liar ketika pementasan sedang berlangsung ditambah
lagi jika mantra-mantra sang pawang telah diucapkan.
9. Cambuk

9
Properti cambuk memiliki nama lain cemeti, hampir semua penari
memilikinya. Ada 1 atau 2 cambuk yang memiliki panjang 2 meter,
sifatnya khusus dan apabila dihempaskan ke tanah akan muncul suara
yang nyaring dan keras.
 Alat Musik Pengiring Tari Kuda Lumping
Alat musik pengiring Tari Kuda Lumping juga diiringi oleh alat musik
seperti tarian tradisional lainnya. Untuk kuda lumping tariannya diiringi oleh
alat musik gamelan yang komposisinya adalah:
1. Gong
Alat musik Gong berasal dari besi atau perunggu dengan bentuk melingkar
dan berdiameter beragam. Di bagian tengah dari alat musik ini terdapat
lingkaran yang agak menonjol ke depan.
2. Bonang
Bisa disebut dengan kenong, bentuknya mirip gong akan tetapi ukurannya
lebih kecil. Bahannya juga berasal dari besi dan perunggu. Diletakkan
secara horizontal atau mendatar.
3. Saron
Bahan pembuatnya yaitu, besi, perunggu dan kuningan. Ada dua jenis
saron yang digunakan yaitu slendro dan pelog.
4. Kendang
Kendang merupakan salah satu peralatan yang selalu ada di dalam
kesenian kuda lumping.
5. Kendang gandrung.
Kendang yang memiliki ukuran pendek dan dapat mengiringi lagu-lagu
kendang kempul Banyuwangi.
6. Kendang Bali
Kendang yang memiliki ukuran panjang dan biasanya digunakan juga
dalam tarian-tarian tradisional yang berasal dari Bali.
7. Saron janger
Biasanya juga disebut dengan laras Bali. Digunakan untuk iringan music
dalam seni tari janger dari Banyuwangi.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kuda Lumping merupakan kesenian yang banyak berkembang di


seluruh daerah di Indonesia. Sehingga sulit mencari dari mana asal mula
pertama kali kuda lumping ini ditemukan. Setiap daerah yang menjadikan
kuda lumping sebagai kesenian di dearahnya memiliki ciri khas dan keunikan
yang berbeda-beda. Namun dari beberapa kesenian kuda lumping di berbagai
daerah di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa kebanyakan tarian kuda
lumping menampilkan adegan prajurit berkuda, namun dalam penampilannya
terdapat juga atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi
memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Seorang pemain
yang kemasukan “Indang” akan hilang kesadaran dan berubah menjadi seperti
monyet apabila kerasukan indang monyet, menjadi seperti ronggeng apabila
kerasukan Indang seorang penari ronggeng, dan masih banyak indang yang
lainnya.

3.2 SARAN

Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin banyaknya budaya


asing yang masuk di Indonesia, kurangnya perhatian dan kepedulian
pemerintah dan bangsa kita terhadap aset- aset budaya bangsa lambat laun
akan menyebabkan kesenian di Indonesia punah dan dilupakan. Oleh karena
itu kesenian daerah menjadi kurang berkembang, kurang diminati dan kurang
dikenal oleh masyarakat. Sehingga sebaiknya generasi muda dan pemerintah
bisa mempertahankan kesenian daerah satu caranya yaitu dengan melakukan
promosi supaya kesenian Kuda Lumping ini terus berkembang dan dikenal
masyarakat umum. Kepedulian pemerintah dan generasi muda penerus bangsa
inilah yang sangat dibutuhkan agar kesenian asli bangsa kita ini bisa tetap
terus ada dan tidak kehilangan tempat.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://perpustakaan.id/tari-kuda-lumping/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_lumping
http://tujuanwisata-alam.blogspot.com/2016/04/mengenal-jaran-thek-seni-
klenik-eksotik.html
https://suryaradio.com/2018/12/19/kesenian-jaranan-kultur-budaya-kab-kediri/
http://visit.trenggalekkab.go.id/wisata/1307/
https://seringjalan.com/sejarah-dan-makna-tari-jaranan-buto/2/
https://id.wikipedia.org/wiki/Ebeg
https://mancode.id/berita/mistisnya-pentas-ebeg-di-banyumas/
http://blog.isi-dps.ac.id/nendrakesuma/sanghyang-jaran
https://bramantiaibrahim.blogspot.com/2017/01/makalah-antropologi-
kesenian-ebeg.html

12

Anda mungkin juga menyukai