Dosen Pengampu:
1. Daryanto, S.Pd., M.Si.
2. Tri Asiati, S.S., M.Pd.
Disusun Oleh:
Isnaen Nur Layla Safitri (J1C019053)
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Kesenian Kuda Lumping” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas terstruktur mata kuliah Budaya Banyumasan. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan mengenai kesenian lokal bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Daryanto, S.Pd., M.Si. dan
Ibu Tri Asiati, S.S., M.Pd. selaku dosen mata kuliah Budaya Banyumasan yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Purowkerto, 4 April 2021
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Sejarah Kesenian Kuda Lumping..............................................................3
2.2 Diferensiasi Kesenian Kuda Lumping di Indonesia..................................4
2.3 Partukularitas Kesenian Kuda Lumping Banyumas..................................7
2.4 Ikonitas Kesenian Kuda Lumping.............................................................8
BAB III PENUTUP..............................................................................................11
3.1 KESIMPULAN.......................................................................................11
3.2 SARAN...................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.2 Diferensiasi Kesenian Kuda Lumping di Indonesia
1. Ebeg, Banyumas
Tarian Ebeg di daerah Banyumas menggambarkan prajurit perang
yang sedang menunggang kuda. Gerak tari yang menggambarkan
kegagahan diperagakan oleh pemain Ebeg. Diperkirakan, kesenian Ebeg
ini sudah ada sejak abad 9, tepatnya ketika manusia mulai menganut aliran
kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan
Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk in trance
(kesurupan) atau wuru. Dan satu grup ebeg biasanya terdiri dari 15 orang
atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg dan si penthul-
tembem memakai topeng. Tarian ini termasuk tarian massal, jadi biasanya
tarian ebeg dilakukan di tempat luas seperti lapangan ataupun pelataran
rumah yang cukup luas. Pertunjukan ebeg biasanya dapat ditonton pada
saat awal Sura (tahun baru Jawa) serta di berbagai acara hajatan penduduk,
seperti khitanan, pesta perkawinan, dan pesta rakyat Banyumas.
2. Jaranan Sentherewe, Tulungagung
Jaranan Sentherewe ini merupakan kesenian yang telah dikenal
sejak abad 13. Uniknya, visualisasi kesenian ini telah terpahat pada relief
Candi Penataran di Blitar. Jaranan Sentherewe ini dimainkan dengan 2
buah jaranan dan 1 buah jejaplok yang diiringi 1 buah kendang, 2 buah
serone dan 1 buah kempul. Jaranan senterewedalam penampilannya
seninya lebih mengutamakan kreatifitas gerak, kekayaan serta kepadatan
gerak. Iringan gamelan yang ditampilkannya juga lebih riang dan dinamis.
Kesenian ini diselenggarakan untuk mengumpulkan warga pada acara
kerja bakti di desa. Namun, sekarang ini Jaaranan Sentherewe juga
ditampilkan untuk menjadi hiburan pada upacara Kemerdekaan RI di
Tulungagung.
3. Jaranan Thek, Ponorogo
Jika dilihat jaran thek itu seperti tarian jatilan namun terdapat
warok sejenis barongan namun hanya ada satu orang saja di dalamnya.
Biasanya para pemain jaran thek mengalami kesurupan dalam tengah-
tengah acara. Hal ini dikarenakan budaya ini masih bercampur dengan
4
mistis orang Jawa. Biasanya dalam permainan jaran thek ini diiringi
dengan alunan musik khas jawa dengan menggunakan gendang sehingga
bisa membuat tarian lebih bersemangat serta lebih menarik untuk
dipertontonkan.
4. Jaranan Turonggo Yakso, Trenggalek
Jaranan Turonggo Yakso bercerita tentang raksasa yang
mengganggu aktivitas masyarakat. Raksasa itu akhirnya bisa dikendalikan
oleh kesatria. Dalam pertunjukan, Turonggo Yakso digambarkan dengan
penari jaranan bertopeng raksasa. Turonggo itu artinya jaranan. Sementara
yakso itu artinya buto atau raksasa. Tari Turonggo Yakso ini berbeda
dengan Kesenian Jaranan yang ada di luar Kabupaten Trenggalek. Jika
pada Kesenian jaranan, kuda tersebut menggambarkan kuda yang benar-
benar berbentuk kuda. Sedangkan pada Tari Turonggo Yakso, kuda yang
dipakai untuk tampil adalah kuda yang berkepala raksasa. Namun dalam
gerakannya hampir sama, hanya saja pada Tari Turonggo Yakso masih
belum terbebaskan dari gerakan-gerakan yang menjadi tumpuan utama
pada awal Tari Turonggo Yakso terlahir.
5. Jaranan Buto, Banyuwangi
Perihal penamaan, dikatakan bahwa istilah Jaranan Butho
mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo. Terdapat beberapa
anggapan yang mengatakan bahwa Minakjinggo adalah seorang yang
berkepala raksasa yang dalam Bahasa Jawa disebut Butho. Kuda tiruan
yang digunakan memiliki kepala menyerupai kepala raksasa atau buto
yang menyeramkan.
Tata rias wajah pemain Jaranan Buto terlihat menyeramkan karena
menyesuaikan dengan karakter buto (raksasa), namun juga terlihat sangat
gagah dengan balutan kain tradisional, selendang dan hiasan kepala.
Secara keseluruhan penampilan pemain Jaranan Buto memang sangat jelas
menggambarkan raksasa yang kekar dan menyeramkan.
6. Jaranan Dor, Jombang
Jaranan Dor merupakan jenis jaranan yang ditarikan dengan unsur
humor, pada penampilannya tidak jarang pemain jarana dor akan
5
melakukan aksi-aksi lucu yang akan mengundang tawa penontonnya.
Gerak tari dan musik pengiringnya tidak jauh berbeda dengan jenis jaranan
lainnya. Yang menjadi pembeda seni jaranan dor dengan jaranan jenis
lainnya adalah alat musik Gong dalam instrument gamelannya diganti
dengan alat musik Bedug.
7. Jaran Sang Hyang, Bali
Jaran Sang Hyang dibawakan oleh seorang penari atau juga
pemangku yang mengendarai sebuah kuda mainan terbuat dari pelepah
dau kelapa. Ia menari dalam keadaan kerasukan roh kuda tunggangan
dewa kahyangan, berkeliling sambil memejamkan mata, menginjak bara
api dari batok kelapa yang telah dihamparkan.
Tarian Sang Hyang ini adalah tari sakral, yang terdapat dalam
rangkaian sebuah upacara adat suci. Sampai saat ini, tari Sanghyang tidak
diadakan sekedar sebagai sebuah tontonan. Tari Sanghyangmerupakan tari
kerauhan (trance) karena kemasukan roh (bidadari kahyangan dan
binatang lainnya yang memiliki kekuatan merusak seperti babi hutan,
monyet, atau yang mempunyai kekuatan gaib lainnya). Tari ini adalah
warisan budaya Pra-Hindu yang dimaksudkan sebagai penolak bahaya,
yaitu dengan membuka komunikasi spiritual dari warga masyarakat
dengan alam gaib.
8. Jathilan Dipenogoro, Yogyakarta dan Jawa Tengah
Jathilan berasal dari kalimat berbahasa Jawa “jaranne jan thil-thilan
tenan,” yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
“kudanya benar-benar joget tak beraturan.” Joget tak beraturan (thil-thilan)
ini memang bisa dilihat pada kesenian jathilan utamanya ketika para
penari telah kerasukan.
Tari kuda lumping yang menggunakan properti kuda tiruan terbuat
dari bambu sebagai bentuk apresiasi serta dukungan rakyat terhadap
pasukan berkudanya Pangeran Diponegoro, dimana pasukan berkuda
tersebut teramat gigih melawan penjajahan Belanda. Waktu penjajahan itu,
kesenian tari jathilan ini sering kali dipentaskan di dusun – dusun
6
terpencil, selain sebagai hiburan ternyata pementasan jathilan ini juga
digunakan sebagai media menyatukan rakyat demi melawan penindasan.
7
melakukan puasa weton atau puasa hari lahir, puasa Senin-Kamis, dan
bersemedi di petilasan leluhur. Ritual tersebut bertujuan meminta doa restu
dari leluhur untuk meneruskan budaya daerah. Para penari juga diharuskan
mandi di sungai untuk membesihkan diriya dan tahap yang terakhir yaitu
pentas (gebyak). Persiapan waktu untuk ritual dan latihan itu selama kurang
lebih 3,5 bulan – 7 bulan untuk latihan sebelum pentas (Daryanto, 2010).
8
bergerak, supaya semakin lincah. Pada bagian atas pinggulnya dilapisi
dengan selendang yang bercorak batik.
3. Gelang.
Gelang mempunyai fungsi di dalam kesenian kuda lumping sebagai
penghias saja. Biasanya motif gelang yang digunakan bervariasi, biasanya
berwarna emas dan namanya klinting. Baik penari pria maupun wanita
menggunakan gelang klinting ini saat penampilan berlangsung.
4. Sesumping
Sesumping adalah properti yang digunakan pada bagian telinga para
penari. Seperti kaos kaki, sesumping juga bukan properti yang wajib untuk
digunakan. Sesumping akan memancarkan kilau cahaya, bentuknya seperti
yang digunakan dalam pertunjukan kesenian wayang manusia.
5. Apok
Apok merupakan properti yang berupa lapisan penutup paling luar setelah
baju dan rompi. Bentuknya unik dan khusus, menggambarkan kegagahan
dan keperkasaan penari pria. Properti ini digunakan pada bagian dada
hingga menjulur ke bagian belakang.
6. Penutup Kepala.
Penutup kepala lebih identik sebagai properti penari wanita, karena
dijadikan untuk simbol pelindung kepala saat pasukan pergi berjuang ke
medan perang. Akan tetapi penari lelaki juga diperbolehkan
menggunakannya.
7. Selendang.
Untuk kriteria selendang yang digunakan oleh setiap paguyuban juga
berbeda-beda, mulai dari warna, motif, hingga corak.
8. Kacamata Hitam
Kacamata hitam di sini fungsinya bukan untuk bergaya, melainkan supaya
gerak-gerik mata penari tidak kelihatan oleh penonton. Karena mata penari
akan terlihat sangat liar ketika pementasan sedang berlangsung ditambah
lagi jika mantra-mantra sang pawang telah diucapkan.
9. Cambuk
9
Properti cambuk memiliki nama lain cemeti, hampir semua penari
memilikinya. Ada 1 atau 2 cambuk yang memiliki panjang 2 meter,
sifatnya khusus dan apabila dihempaskan ke tanah akan muncul suara
yang nyaring dan keras.
Alat Musik Pengiring Tari Kuda Lumping
Alat musik pengiring Tari Kuda Lumping juga diiringi oleh alat musik
seperti tarian tradisional lainnya. Untuk kuda lumping tariannya diiringi oleh
alat musik gamelan yang komposisinya adalah:
1. Gong
Alat musik Gong berasal dari besi atau perunggu dengan bentuk melingkar
dan berdiameter beragam. Di bagian tengah dari alat musik ini terdapat
lingkaran yang agak menonjol ke depan.
2. Bonang
Bisa disebut dengan kenong, bentuknya mirip gong akan tetapi ukurannya
lebih kecil. Bahannya juga berasal dari besi dan perunggu. Diletakkan
secara horizontal atau mendatar.
3. Saron
Bahan pembuatnya yaitu, besi, perunggu dan kuningan. Ada dua jenis
saron yang digunakan yaitu slendro dan pelog.
4. Kendang
Kendang merupakan salah satu peralatan yang selalu ada di dalam
kesenian kuda lumping.
5. Kendang gandrung.
Kendang yang memiliki ukuran pendek dan dapat mengiringi lagu-lagu
kendang kempul Banyuwangi.
6. Kendang Bali
Kendang yang memiliki ukuran panjang dan biasanya digunakan juga
dalam tarian-tarian tradisional yang berasal dari Bali.
7. Saron janger
Biasanya juga disebut dengan laras Bali. Digunakan untuk iringan music
dalam seni tari janger dari Banyuwangi.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
11
DAFTAR PUSTAKA
https://perpustakaan.id/tari-kuda-lumping/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_lumping
http://tujuanwisata-alam.blogspot.com/2016/04/mengenal-jaran-thek-seni-
klenik-eksotik.html
https://suryaradio.com/2018/12/19/kesenian-jaranan-kultur-budaya-kab-kediri/
http://visit.trenggalekkab.go.id/wisata/1307/
https://seringjalan.com/sejarah-dan-makna-tari-jaranan-buto/2/
https://id.wikipedia.org/wiki/Ebeg
https://mancode.id/berita/mistisnya-pentas-ebeg-di-banyumas/
http://blog.isi-dps.ac.id/nendrakesuma/sanghyang-jaran
https://bramantiaibrahim.blogspot.com/2017/01/makalah-antropologi-
kesenian-ebeg.html
12