PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era tahun 1970-an, trade merk atau identitas seni jaranan
Telungagung dikenal dengan jaranan senterewe dan jaranan bring, di Kediri
dikenal dengan jaranan pegon atau jawa di trenggalek dikenal dengan jaranan
turonggoyakso. Meskipun saat ini berbagai bentuk/jenis jaranan tersebut sudah
berkembang ke berbagai wilayah, seyogyanya tetap melestarikan nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap bentuk/jeins seni jaranan, karena adanya nilai-nilai yang
sudah melekat dalam setiap bentuk/jenis jaranan tersebut merupakan perbedaan
kualitas ataupun kekuatan jaranan menjadi beragam.
Selain itu, peminat atau pecinta seni kuda lumping turun drastis saat ini,
masyarakat Indonesia kurang peduli dalam melestarikannya, salah satu alasannya
karena banyaknya budaya asing yang masuk di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda
tiruan yang terbuat dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkan seni ini
biasanya juga diiringi dengan musik khusus yang sederhana karena hanya
permainan rakyat, yaitu dengan gong, kenong, kendang dan slompret (alat musik
tradisional). Tidak diketahui secara pasti mengenai asal-usul permainan ini,
karena telah disebut oleh banyak daerah sebagai kekayaan budayanya. Hal ini
terjadi karena si pencetusnya tidak mematenkan permainan ini sehingga bisa
dimainkan oleh siapapun. Di Jawa Timur saja seni ini akrab dengan masyarakat
dibeberapa daerah, diantaranya Blitar, Malang, Nganjuk dan Tulungagung,
disamping daerah-daerah lainnya. Jika dilihat dari model permainan ini, yang
menggunakan kekuatan dan kedigdayaan, besar kemungkinan berasal dari daerah-
daerah kerajaan di Jawa. Panggung rakyat dan perlawanan terhadap penguasa.
Selain sebagai media perlawanan, seni Kuda Lumping juga dipakai oleh
para ulama sebagai media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan
suatu kesenian yang murah dan cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat,
seperti halnya Sunan Kalijogo yang menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat
3
kesenian Wayang Kulit dan Dandang Gulo, beliau dan para ulama jawa juga
menyebarkan dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang salah satunya
adalah seni kuda lumping.
Bukti bahwa kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah
adalah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang
ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda,
Barongan dan Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing
mempunyai sifat dan karakter yang berbeda, simbul Kuda menggambarkan suatu
sifat keperkasaan yang penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap
dalam kondisi serta keadaan apapun, simbol kuda disini dibuat dari anyaman
bambu, anyaman bambu ini memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada
kalannya sedih, susah dan senang, seperti halnya dengan anyaman bambu kadang
diselipkan ke atas kadang diselipkan ke bawah, kadang ke kanan juga ke kiri,
semua sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak
menjalani takdir kehidupan yang telah digariskanNya, Barongan dengan raut
muka yang menyeramkan, matanya membelalak bengis dan buas, hidungnya
besar, gigi besar bertaring serta gaya gerakan tari yang seolah-olah
menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang sangat berkuasa dan mempunyai
sifat adigang, adigung, adiguno yaitu sifat semaunnya sendiri, tidak kenal sopan
santun dan angkuh, simbul Celengan atau Babi hutan dengan gayanya yang
sludar-sludur lari kesana kemari dan memakan dengan rakus apa saja yang ada
dihadapanya tanpa peduli bahwa makanan itu milik atau hak siapa, yang penting
ia kenyang dan merasa puas, seniman kuda lumping mengisyaratkan bahwa orang
yang rakus diibaratkan seperti Celeng atau Babi hutan.
Sifat dari para tokoh yang diperankan dalam seni tari kuda lumping
merupakan pangilon atau gambaran dari berbagai macam sifat yang ada dalam diri
manusia. Para seniman kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia bahwa
didunia ini ada sisi buruk dan sisi baik, tergantung manusianya tinggal ia memilih
sisi yang mana, kalau dia bertindak baik berarti dia memilih semangat kuda untuk
dijadikan motifasi dalam hidup, bila sebaliknya berarti ia memlih semangat dua
tokoh berikutnya yaitu Barongan dan Celengan atau babi hutan.
4
Secara filosofis masing-masing alat musik yang digunakan dalam
mengiringi tari kuda lumping juga memiliki makna yang berbeda, kendang
berbunyi ndang…ndang…tak…ndlab mempunyai makna yen wis titiwancine
ndang-ndango mangkat ngadeb marang pengeran yang mempunyai arti kalau
sudah waktunya cepat-cepat bangun menghadap tuhanmu, dalam melakukan
ibadah jangan suka ditunda-tunda kenong ……. Slompret ……. Gong ……..
Umumnya, pertunjukan kuda lumping ini berisi beberapa tarian yaitu tari
Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri. Pada fragmen Buto Lawas,
penari berwujud kepala raksasa berwajah seram (Buto) dan badan manusia.
Fragmen selanjutnya adalah tari senterewe, biasanya ditarikan oleh para pria saja
dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi
kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian ini
menggambarkan tentang kehidupan manusia yang di dalamnya berisi keserasian,
keseimbangan dan perbedaan/ perselisihan dalam hidup. Dalam perjuangannya
meniti kehidupan, penari diganggu oleh perwujudan setan yang divisualisaskan
dengan penari topeng (thethek melek) yang berwwajah menyeramkan, lucu, cantik
yang gerakan tariannya sengaja mengecoh atau mengganggu para penari agar
berbuat kesalahan. Selanjutnya, penari yang hanyut oleh penari topeng akan
kesurupan (ndadi). Nah, pada bagian ini kadang-kadnag apresiasi pelaku seni
terkadang kurang tepat, sehingga untuk menjiwai peran ini melibatkan pihak-
pihak yang dapat membuat orang kesurupan lalu menghentikannya.
Secara garis besar keragaman dalam tari jaranan dapat dipiliah sebagai berikut :
5
Ragam gerak tari jaranan merupakan serangkaian ragam gerak tari yang
menggunakan property jaran (kepang) sesuai dengan bentuk/jenis seni jranan yang
ditarikan (pegon/jawa, breng, senterewe dan lainnya). Dalam keragaman tari
tersebut tentu melekat kesan tari (kekuatan tari atau kualitas tari, pola ritmis, rasa
joged). Kesan tari tersebut memang perlu dipertajam dengan kemampuan penari
melalui kemampuan gerak, kemampuan musikal maupun penghayatan. Penekanan
tari jaranan setidaknya membawa imajinasi seseorang yang menghidupkan gerak
gerik kuda. Karena perwujudannya dengan menggunakan property kuda, maka
dalam tarian tersebut perlu memperhatikan cara-cara menghidupkan property
tersebut, jadi tidak hanya sekedar dibawa (dipegang) untuk melakukan gerak tari.
Pada umumnya ragam gerak tari celeng masih sebatas dilakukan secara
improfisasi, meskipun ada upaya mengembangkan solah celeng dengan kesan
wirengan tanpa menggunakan property celeng. Ada alternative yang bias
dilakukan oleh para penari ataupun para creator (penata tari) bahwa
pengembangan solah celeng dengan menggunakan property maupun tidak
menggunakan property celeng perlu memperhatikan kesan tentang celeng. Pada
saat penari menggunakan property celeng maka yang diperlukan adalah
bagaimana menghidupkan property celeng tersebut, sedangkan pada saat tidak
menggunakan property, maka yang diperlukan adalah bagaimana seseorang
menari menirukan gerak-gerik celeng, imajinasi tentang celeng seyogyanya
melekat pada motif gerak tari yang dipola.
Pada saat menarikan celeng dengan menggunakan celeng, make penari tak
perlu seperti celeng yang menggunakan taring, tetapi cukup rias tajam untuk
membantu karakter celeng. Demikian pula pengembangan pola perang
(rampogan) antara celeng dengan jaran masih sangat diperlukan pola-pola yang
lebih efektif.
6
4. Ragam gerak tari macanan/kucingan
Hal yang penting untuk kita simak bersama dalam permasalahan kekuatan
atau kualitas yang ada pada seni jaranan adalah pendekatan sasaran kualitas gerak
dan kepenarian. Pendekatan sasaran kualitas gerak dibangun dari capaian kualitas
yang melekat dari terbentuknya ragam gerak tari, sedangkan kekuatan ataupum
kualitas yang berhubungan dengan kepenarian adalah ukuran kualitas yang
dibangun/dibentuk oleh tubuh penari sesuai dengan kebutuhan kekuatan ataupun
kualitas gerak.
b. Adeg
Merupakan tatanan sikap tubuh dalam membentuk sikap tari, mulai dari
bagaimana memposisikan ujung kaki hingga ujung kepala.
c. Siku
d. Sabet
Merupakan tatanan cara melakukan gerak dari pose yang satu ke pose
yang lain atau pose berikutnya.
e. Pacak
f. Polatan
Merupakan tata cara melakukan gerak kepala, sehingga arah hadap sesuai
dengan kebutuhan setiap arah gerak tari.
g. Nglaras
Merupakan upaya setiap indifidu dalam mengikuti pola irama dan tempo
sesuai dengan kecepatan setiap ragam gerak tari yang disesuaikan dengan irama
musik. Diharapkan rasa musical mengalir dalam tubuh penari, sehingga terjadi
kesesuaian yang harmonis antara kesan ritmis yang ada dalam tubuh penari
dengan kesan ritmis yang ada pada musik iringan tari. Nglaras juga dimaksudkan
sebagai kemampuan setiap indifidu untuk memberikan nafas gerak tari.
h. Ngayati
i. Kepenarian
Penari merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk mendukung
sebuah penyajian seni jaranan, oleh karenanya kondisi dan kemampuan penari
sangat menentukan keberhasilan penampilan. Pertimbangan yang perlu
dikedepankan dalam hal kepenarian ini antara lain tentang jenis kelamin dan usia
penari.
j. Penari Laki/wanita
k. Penari Anak2/remaja/dewasa
Kondisi secara umum, fisik maupun psikis (kejiwaan) tingkat usia anak-
anak akan tidak sama dengan uisa remaja/dewasa. Meskipun secara fisik
kemampuan gerak anak-anak bisa digenjot agar memiliki bentuk dan teknik yang
baik, sebaliknya pada usia remaja/dewasa tidak akan mempunyai bentuk dan
tehnik yang baik bila tidak mempunyai semangat dan spirit yang tinggi untuk
dapat menari yang baik. Hal penting yang perlu kita sikapi bersama adalah
mewujudkan kemampuan penari sesuai dengan kebutuhan penyajian seni jaranan
dengan mempertimbangan kebutuhan.
1. Musik dasar
9
kendang. Warna musik tersebut diatas sudah membentuk karakter yang sangat
kuat sebagai musik seni jaranan.
2. Musik isen-isen
a. Format penyajian
10
Dalam membangun stuktur (urutan penampilan) penyajian perlu
mempertimbangkan bagaimana memulai adegan, bagaimana mengembangkan
bagian bagian adegan demi adegan dan bagaimana mengakhir adegan.
Misalnya dimulai dari adegan jepaplokan dengan dua penari kuda dalam
komposisi tari bersama, atau mungkin dimulai dari satu penari kuda melakukan
komposisi tunggal kemudian disusul dua penari lainnya menjadi komposisi tiga
penari kuda, dan seterusnya.
c. Mengembangkan bagian
Sebelum menuju bagian berikutnya, perlu mempola adegan yang sedang kita
garap agar tidak berkesan sekedar tampil, kebanyakan hal ini terjadi pada
penggarapan adegan celeng maupun jepaplokan. Saat celeng ataupun jepaplokan
menari bersama penari jaranan, formasi (pola lantai) kurang dikembangkan.
Pada umumnya perubahan adegan ataupun jalinan dari adegan yang satu ke
adegan yang lain selalu terpusat di tengah panggung, belum memanfaatkan daerah
(area) panggung bagian sudut atau agak ke sudut, bias di bagian area belakang
kiri/kanan, depan kiri/kanan ataupun di arena tengah kiri/kanan.
Pola gawang tradisi pada seni jaranan ini sebenarnya sebagai keistimewaan
dalam budaya tradisi kita yang menunjukkan bahwa dalam kesenian kita tidak
bisa dilepaskan dengan nilai-nilai kehidupan, tidak bisa dilepaskan dengan nilai-
nilai spiritual. Hal seperti ini hampir tidak ada pada kesenian modern.
1) Gawang papat
11
Gawang papat sebagai symbol tentang keblat papat lima pancer, formasinya
ditata dengan cara memposisikan dua penari di depan dan dua penari yang lain di
belakangnya.
3) Gawang prapatan
4) Gawang punjer
Yang dimaksudkan dengan gawang punjer atau disebut juga dengan punjer
gawang adalah dalam setiap perubahan gawang penari tetap berpedoman pada
titik pusat panggung.
a. Secara umum
Untuk kebutuhan seni pertunjukan diatas panggung, bila para creator ataupun
pimpinan grup ingin mengembalikan tata busana jaranan seperti sediakala (tanpa
baju) seyogyanya dipertimbangkan aspek keindahannya, mungkin tubuh yang
kelihatan perlu dibedak (mangir atau lulur) sehingga Nampak indah dan bersih.
Banyak sekali para peserta yang mengenakan celana terlalu pendek (diatas lutut)
sehingga mengurangi keindahan, seyogyanya diupayakan celana yang dikenakan
oleh para penari sepanjang menutupi lutut (ketika dibuat jengkeng ataupun
mendak, lutut tidak Nampak).
12
b. Secara spesifik
Perlu ada pengembangan yang lebih karakteristik untuk busana seni jaranan,
terutama pada jepaplokan, celeng, kucingan ataupun peran lainnya. Ada baiknya
bila warna baju juga disesuaikan dengan bentuk dan jenis jaranan, misalnya untuk
mewakili karakter jaranan senterewe yang cenderung agak lincah itu warna apa,
misalnya bisa dengan alternative penggunaan warna merah, kuning, atau warna
apa lagi ?, untuk celeng akan lebih tajam menggunakan warna hitam, untuk
jepaplokan mungkin masih relevan dengan mengenakan kaos lorek-lorek merah-
putih atau lorek lainnya dengan celana panjang yang diberi pisir merah putih pada
pinggiran memanjang kebawah.
1) Kuda kepang
Pada umumnya warna kuda kepang terdiri dari dua warna kontras, teruta ada
nuansa hitam yang lebih kuat dan ada nuansa putih yang lebih kuat, karena warna
hitam-putih ini sebenarnya merupakan symbol tentang kondisi alam, yaitu adanya
siang-malam, baik-buruk, hidup-mati. Nilai filosofi ini sangat sayang kalau
dihilangkan, justru nilai-nilai semacam ini yang perlu difahamkan kepada penari
sebagai wawarah atau tauladan dalam hidup bermasyarakat.
2) Cambuk (cemeti/pecut)
Pemanfaatan cemeti dalam ragam gerak tari perlu dicermati sehingga tidak
hanya berkesan menari dengan membawa cemeti, tetapi cemeti merupakan bagian
dari sebuah komposisi tari atau keragaman tari. Dengan demikain cara memegang
cemeti dalam berbagai pose tari perlu ditata lebih spesifik.
3) Gongseng
Agar gongseng tidak berjatuhan saat digunakan untuk menari, maka sebelum
digunakan perlu dikontrol kondisi jahitannya.
4) Jepaplokan
5) Celeng
Banyak orang yang salah paham dalam memaknai seni Kuda Lumping,
mereka beranggapan bahwa para pelaku seni kuda lumping adalah pemuja roh
hewan seperti roh kuda, anggapan itu adalah salah, simbol kuda disini hanya
diambil semangatnya untuk memotifasi hidup, sama halnya dengan suporter sepak
bola di Indonesia, di kota Malang misalnya, mereka menganggap bahwa dirinya
adalah Singo Edan, seporter bola di Surabaya mereka menamakan dirinya Bajol
Ijo, bahkan Negara Indonesia sendiri menggunakan sosok hewan sebagai lambang
Negara yaitu seekor burung Garuda, yang kesemuanya itu adalah nama-nama
hewan, jadi merupakan hal yang salah bila kesenian Kuda Lumping dianggap
kelompok kesenian yang mendewakan hewan.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Dalam hal ini promosi sangat diperlukan agar kesenian Kuda Lumping lebih
berkembang dan dikenal oleh masyarakat luas, serta tidak dikalahkan oleh
budaya-budaya asing. Maka kepedulian, perhatian dan tindakan nyata dari
pemerintah dan masyarakat Indonesia terutama generasi muda sangat
penting demi perkembangan dan kelangsungan hidup kesenian asli bangsa
kita ini.
15
DAFTAR PUSTAKA
16