Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH KEWARGANEGARAAN

KESENIAN REOG PONOROGO


DAN GUDEG

Dosen Pengampau : Febra Anjar Kusuma,M.Pd

Di Susun Oleh :

Nama : Raju Fredy Hati W.

Npm : 1801046

Prodi : S1 Keperawatan

UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU


T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karna rahmat-Nya


Saya dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Kewarganegaraan yang
berjudul “Kesenian Reog Ponorogo Dan Gudeg”.

Makalah tentang Kesenian Reog Ponorogo Dan Gudeg ini disusun


untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kewarganegaraan.

Saya mengakui dan menyadari bahwa makalah ini sungguh


masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, Saya sangat dengan
senang hati menerima kritik dan saran baik secara tertulis ataupun secara
lisan, khususnya kepada Dosen pengampu mata kuliah Kewarganegaraan.
Agar saya bisa meningkatkan sekaligus mengembangkan ilmu
pengetahuan saya kedepanya.

Penulis

RAJU FREDY HATI WIJAYA


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN

BAB III

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

A. LATAR BELAKANG

Kebudayaan adalah segala hal yang terkait dengan seluruh


aspek kehidupan manusia, yang dihayati dan dimiliki bersama. Didalam
kebudayaan terdapat kepercayaan kesenian dan adat istiadat. Kata
kebudayaan memiliki kata dasar “budaya” yang berarti pikiran , akal budi,
hasil.Menurut ilmu Antropologi yang disampaikan oleh Koentjaraningrat
(1985).Kebudayaan adalah seluruh kemampuan manusia yang di dasarkan
pada pemikiran , tercemin pada perilaku dan pada benda –benda hasil
karya mereka, yang diperoleh dengan cara belajar.Dengan demikian
kebudaayaan merupakan ciptaan manusia. Di era globalisai ini semakin
banyak masyarakat yang menganggap kesenian khas daerah yang dalam
hal ini adalah Reog Ponorogo hanya sebuah kesenian masa lalu yang
dianggap kesenian memanggil setan dengan aura mistis. Dan dalam
kenyataannya semakin banyak masyarakat yang melupakan warisan
kebudayan daerah karena semakin majunya hiburan.Reog Ponoroga
merupakan kesenian khas Ponorogo yang pada akhirnya akan luntur
apabila tidak ada peran pemerintah dan seluruh elemen masyarakat
dalam melestarikan kesenian tersebut dan bahkan warga negara lain yang
notabene buka merupakan kesenian khas daerah meraka justru mau
melestarikan peninggalan budaya masa lalu itu. Dan dampaknya muncul
kontraversi kalau negara tetangga mulai mengakui kesenian khas daerah
negara kita.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN

1. Pengertian Reog Ponorogo


2. Sejarah Reog Ponorogo
3. Pementasan Reog Ponorogo
4. Tokoh Dalam Pementasan Reog Ponorogo
5. Musik Pengiring Reog Ponorogo
6. Info Umum Reog Ponorogo
7. Alat Musik Yang Mengiringi Reog Ponorogo
8. Lagu Daerah Yang Mengiringi Reog Ponorogo
9. Alur Cerita dalam pementasan Reog Ponorogo
10. Apresiasi Terhadap Reog Ponorogo
11. Fungsi musik/kesenian Reog Ponorogo
12. Pengertian Gudeg
13. Varian Gudeg
14. Makna Gudeg
15. Fungsi Bagi Kota Yogyakarta
BAB II
(PEMBAHASAN)
1. Pengertian Reog

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari


Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal
Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok
dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan.
Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat
kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.

2. Sejarah Reog
Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di
masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok (Departmen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1978-1979, Reog di Jawa Timur, Jakarta). Namun salah
satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki
Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja
Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka
akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari
Tiongkok, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang
korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan
berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di
mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan
diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini
akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar
bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka
pesan politis Ki
Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan
"sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog
menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal
menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala


singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi
simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak
hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para
rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan,
yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi
kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit
yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada
dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu,
sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih
dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki
Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil
tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok
dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan
pengajaran akan warok. Namun murid- murid Ki Ageng kutu tetap
melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya
sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi
pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya
memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita
rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri
Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang
Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning,
namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri.
Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan
dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang
Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam
tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh
tariannya merupakan tarian perang antara KerajaanKediri dan Kerajaan
Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam
keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.
3. Pementasan Reog
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa
seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog
Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan.
Tarian pertama biasanyadibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan
pakaian serba hitam, dengan mukadipoles warna merah. Para penari ini
menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian
yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaikikuda. Berikutnya adalah
tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaikikuda:

A. Tarian pembuka
Pada reog tradisional, penari ini biasanya diperankan oleh penari
laki- lakiyang berpakaian wanita.Tarian ini dinamakan tari jaran
kepangatau jathilan,yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu
tarikuda lumping.Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa
tarian oleh anak kecil yangmembawakan adegan lucu yang disebut Bujang
Ganong atau Ganongan.

B. Tari inti
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti
yangisinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika
berhubungandengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan
percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita
pendekar.Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang
tersusunrapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang
(biasanya pemimpinrombongan) dan kadang-kadang dengan penonton.
Terkadang seorang pemainyang sedang pentas dapat digantikan oleh
pemain lain bila pemain tersebut kelelahan.

C. Tarian penutup
Adegan terakhir adalahsinga barong,dimana pelaku memakai
topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu
burungmerak dan mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam
mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan
gigitan gigi sepanjang pertunjukan
berlangsung. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topengyang berat
ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan
topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, jugadipercaya
diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan dantapa.Instrumen
pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung
danterutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang
memunculkanatmosfir mistis, unik, eksotis serta membangkitkan
semangat. Satu groupReog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua,
sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu
Kelono Suwandono. Jumlahkelompok reog berkisar antara 20 hingga 30-
an orang, peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.

4. Tokoh Dalam
Pementasan Reog Jathilan

Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh


dalam seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan
ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda.

Warok

"Warok" yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang


mempunyai tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa
pamrih. Warok adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan
wewarah). Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi
petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik
Barongan

Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling


dominan dalam kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain;
Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan
ditutup dengan kulit Harimau Gembong

Klono Sewandono

Klono Sewandono atau Raja Kelono adalah seorang raja sakti


mandraguna yang memiliki pusaka andalan berupa Cemeti yang sangat
ampuh dengan sebutan Kyai Pecut Samandiman kemana saja pergi sang
Raja yang tampan dan masih muda ini selalu membawa pusaka tersebut.

Bujang Ganong

Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah


salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam
seni bela diri
sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh
penonton khususnya anak-anak.
5. Musik Pengiring Reog Ponorogo
Musik pengiring ini di bagi menjadi dua kelompok, yaitu :
Kelompok penyanyi yang terdiri dari dua penyanyi yang menyanyi lagu
daerah seperti Jathilan Jonorogo apabila diadakan di kabupaten Ponorogo
dan apabila di Surabaya para aguyuban reog di Surabaya sering
menggantinya dengan Semanggi Surabaya atau Jembatan Merah yang
merupakan lagu khas Surabaya dengan bahasa jawa lalu kelompok
instrument gamelan memiliki anggota sekitar 9 orang yang terdiri dari:
a. 2 orang penabuh gendang
b. 1 orang penabuh ketipung atu gendang terusan.
c. 2 orang peniup slompret
d. 2 orang penabuh kenong
e. 1 orang penabuh gong
f. 2 orang pemain angklung

Salah satu ciri khas dari tabuhan reog adalah bentuk perpaduan
irama yang berlainan antara kethuk kenong dan gong yang berirama
selendro dengan bunyi slompret yang berirama pelog sehingga
menghasilkan irama yang terkesan magis.

6. Info Umum Reog Ponorogo


a. Nama: Reog Ponorogo
b. Fungsi: dizaman dahulu sebagai upacara adat tetapi seiring
dengan perubahan waktu berubah menjadi kesenian tradisional
dan teater rakyat
c. Waktu: Pertunjukan reog dilaksanakan pada pukul 08.30 sampai
pukul 09.00
d. Tempat: Balai Pemuda Surabaya
e. Jumlah pemain teater: pemain sendra tari & teater reog ponorogo
berjumlah 17 orang yang terdiri dari:
1) Singgo Barong : 1 – 2 orang
2) Pujangga Anom atau Bujanganong : 1 – 2 orang
3) Raja Klono Sewandono. : 1 orang
4) Sekelompok Jathilan : 6 oranng
5) Warok : 7 orang

f. Jumlah pemain musik: pemain musik gamelam pada reyog


berjumlah sembilan orang
1) Pria &Wanita/Pria saja/ Wanita saja
2) Setiap pemain memainkan 1 alat music
3) Pakaian pemain musik menggunakan jas yang dipadukan
dengan celana panjang dan topi belangkon
4) Tata rias: tata rias para pemain gamelan reog relative
tanpa make up

7. Alat Musik Yang Mengiringi Reog Ponorogo


a. Alat musik dalam gamelan reog berjumlah 9 buah
b. 2 orang penabuh gendang dimainkan dengan dipukul dan terbuat
dari kayu dan kulit sapi
c. 1 orang penabuh ketipung atu gendang terusan. dimainkan
dengan dipukul dan terbuat dari kayu, alumunium dan kulit sapi
d. 2 orang peniup slompret dimainkan dengan ditiup dan terbuat
dari bamboo
e. 2 orang penabuh kenong dimainkan dengan dipukul
f. dengan menggunakan alat dan terbuat dari logam dan kayu
g. 1 orang penabuh gong dimainkan dengan dipukul dengan alat dan
terbuat dari logam dan kayu
h. 2 orang pemain angklung dimainkan dengan digoyang dan terbuat
dari bamboo

8. Lagu Daerah Yang Mengiringi Reog Ponorogo


a. Judul nyanyian yang digunakan tergantung tempat di tampilkan
seperti Semanggi Suroboyo atau Jathilan Ponorogo.
b. Nyanyian yang dinyanyikan menggunakan bahasa daerah yaitu
bahasa Jawa.
c. Nyanyian di reog ini dinyanyikan selama ± 20 menit.

9. Alur Cerita dalam pementasan Reog Ponorogo


Alur cerita pementasan Reog yaitu Warok, kemudian Jatilan,
Bujangganong, Kelana Sewandana, barulah Barongan atau Dadak
Merak di bagian akhir. Ketika salah satu tokoh di atas sedang beraksi,
unsur lain akan ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol. Reog
modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti
pernikahan, khitanan dan hari- hari besar nasional. Seni Reog
Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian
pembukaan.
Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani
dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para
penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya
adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada
Reog tradisional, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki
yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang
harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.
Tarian pembukaan, lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh
anak kecil yang membawakan adegan lucu.Tarian inti, setelah tarian
pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya
bergantung kondisi dimana seni Reog ditampilkan. Jika berhubungan
dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan.
Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar.
Adegan dalam seni Reog biasanya tidak mengikuti skenario yang
tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang
(biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan
penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat
digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang
lebih dipentingkan dalam pementasan seni Reog adalah memberikan
kepuasan kepada penontonnya.
Tarian terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai
topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu
burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang
berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk
membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat,
juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

10. Apresiasi Terhadap Reog Ponorogo


a. Fungsi pertunjukan reog ini dizaman dahulu sebagai upacara
adat tetapi seiring dengan perubahan waktu berubah menjadi
kesenian tradisional dan teater rakyat.
b. Keunikan pertunjukan reog ponorogoyaitu Singo Barong yang
memiliki berat 50 – 60 kg hanya di bawakan dan ditarikan
menggunakan gigi dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang
terlatih.
c. Keunikan musik reog ponorogo yaitu bentuk perpaduan irama
yang berlainan antara kethuk kenong dan gong yang berirama
selendro dengan bunyi slompret yang berirama pelog sehingga
menghasilkan irama yang terkesan magis.
d. Pendapat saya tentang seni tari dan teater reog adalah Reog
merupakan sebuah kesenian yang memiliki nilai budaya tinggi
dan berbentuk tari atau teater yang seharusnya kita jaga dan
rawat agar tidak luntur atau munkin bahkan hilang dimakan
globalisasi dan modernisasi dunia.

11. Fungsi musik/kesenian Reog Ponorogo


Adapun kesenian reog Ponorogo dapat di jabarkan menurut Allan
P Merriam serta Soedarsono yaitu :
1. Fungsi Pengungkapan Emosional
Disini music dan tari berfungsi sebagai suatu media bagi
seseorang untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya.
Dengan kata lain, si pemain dapat mengungkapkan perasaan
atau emosinya melalui music dan tari agar peran yang dilakoni
dapat unsur dramatiknya.
2. Fungsi Penghayatan Estetis
Perjalanan music serta gerak tari menunjukkan alur kisah
perjalanan terbentuknya reog ponorogo tersebut, dapat dilihat
nilai-nilai keindahan pada kesenian tersebut yaitu dorongan
dari tempo music yang cepat membuat barongan semakin
cepat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain sehingga
orang yang melihat merasa kagum dan bersemangat dengan
pertunjukan tersebut.

3. Fungsi Hiburan
Reog memiliki fungsi hiburan, mengacu kepada
pengertian bahwa sebuah kesenian pasti mengandung unsur -
unsur yang bersifat menghibur. Hal ini dapat dinilai dari musik,
tarian serta cerita sejarah terjadinya reog ponorogo itu sendiri.

4. Fungsi Komunikasi
Reog memiliki fungsi komunikasi. Hal ini dapat dilihat
dari interaksi sang pawang kepada pemeran yang melakoni
masing-masing peran sehingga penonton dapat
mencerna/mengetahui sejarah dari reog tersebut.
5. Fungsi Perlambangan
Jelas dapat dilihat bentuk perlambangan dari reog ini
contohnya barongan yang memiliki kepala harimau dan diatas
kepalanya terdapat burung merak artinya adalah merupakan
suatu persahabatan yang tidak akan terpisahkan.
6. Fungsi Reaksi Jasmani
Tempo music serta teriakan memberikan stimulus bagi
pemeran reog sehingga dapat menimbulkan gerakan/atraksi-
atraksi yang luar biasa
7. Fungsi yang berkaitan dengan Norma Sosial
Reog berfungsi sebagai media pengajaran akan norma -
norma atau peraturan - peraturan. Penyampaian kebanyakan
melalui musik gerakan tari yang bermaksud melindungi orang
yang di kasihi dan kesetiaan.
8. Fungsi Pengabsahan Lembaga Sosial dan upacara Agama
Fungsi Reog disini berarti bahwa Reog memiliki peranan penting
dalam suatu upacara seperti penyambutan tamu Agung serta upacara
Suroan pada masyarakat kejawen. Reog merupakan salah satu unsur
yang penting dan menjadi bagian dalam upacara, bukan hanya sebagai
hiburan.
9. Fungsi Kesinambungan Budaya
Fungsi ini hampir sama dengan fungsi yang berkaitan dengan
norma sosial. Dalam hal ini, untuk berisi tentang ajaran - ajaran untuk
meneruskan sebuah sistem dalam kebudayaan terhadap generasi
selanjutnya. Contohnya mewariskan kesenian Reog kepada anak cucu
agar tidak punah terkikis oleh zaman karena terlalu banyak pengaruh
budaya asing yang masuk ke Indonesia.
10. Fungsi Pengintegrasian Masyrakat
Reog memiliki fungsi dalam pengintegrasian masyarakat.
Pengaruh dari kesenian ini merangsang penikmat menjadi semangat
dalam kebersamaan, hal ini dapat dilihat dari upacara sunatan ataupun
penyambutan tamu biasanya tamu atau seorang anak yang mau disunat
terlebih dahulu di naikkan ke dadak ataupun kepala barongan setelah
itu diarak keliling jalan.
12. Pengertian Gudeg

Telah diketahui, bahwa gudeg merupakan makanan khas Yogyakarta.


Predikat ini muncul dan tetap dipakai meskipun pada kenyataannya terdapat
juga gudeg di kota lain, seperti Solo dan Jawa Timur, yang agak berbeda dari
gudeg Yogyakarta. Sejarah gudeg yang belum ditemukan secara pasti,
sedikit banyak membuatnya seperti legenda yang masih ada. Berbagai mitos
mengiringi kisah asal-usul gudeg.

Sebagai makanan khas, gudeg menempati posisi penting dalam


kehidupan masyarakat di Yogyakarta. Bahkan bisa dikatakan, tidak ada
orang Yogyakarta yang tidak mengenal gudeg. Dari pengalaman, saya
sendiri belum pernah menemui orang Yogyakarta yang belum pernah makan
gudeg.

Di lain pihak, dari pengamatan sederhana, bisa juga dikatakan bahwa


ada jarak antara gudeg dan masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Jarak ini
tampak dari jarangnya hidangan gudeg dimasak di dalam lingkup rumah
tangga, meskipun gudeg sendiri kerap disantap sebagai makanan harian. Ini
menyebabkan seakan-akan ada rantai yang hilang dari ke-„khas‟-an gudeg
dan kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta yang tak luput dari perihal
makanan, terutama memasak.

Untuk itu, sebelum masuk lebih lanjut, perlu dijelaskan bahwa gudeg
adalah makanan khas Yogyakarta yang menggunakan nangka muda sebagai bahan
utamanya. Makanan ini sebenarnya hanya terbuat dari buah nangka muda dan
disajikan dengan areh. Namun seiring dengan waktu, penyajiannya berkembang
sedemikian rupa. Kini gudeg kerap diasosiasikan dalam paket lengkap: daun
singkong, telur, sambal goreng tempe, krecek, ayam (atau opor ayam), serta tahu
yang dibacem.

Gudeg terkenal dengan rasanya yang manis dan warna coklatnya. Warna
kecoklatan dari makanan ini didapat dari daun jati yang dimasak bersamaan.
Menurut salah seorang informan, gudeg adalah makanan yang „rumit‟, dari cara
pembuatan hingga rasanya. Waktu masaknya pun terkenal lama. Sebagai ilustrasi,
seorang pemilik rumah makan gudeg mengatakan bahwa untuk mempersiapkan
gudegnya saja, ia membutuhkan waktu hingga dua hari hingga gudeg benar-benar
masak.
Masyarakat Yogyakarta di sini saya definisikan sebagai orang suku Jawa
yang tumbuh dan telah hidup di Yogyakarta lebih dari 10 tahun. Ukuran 10 tahun
saya gunakan sebagai tolak ukur seseorang mengenal dan beradaptasi dengan suatu
tempat. Suku Jawa sendiri saya gunakan karena keterkaitan sejarah dan budaya
yang cukup kuat sehingga terdapat kemiripan akar budaya.

13. Varian Gudeg

a. Gudeg kering

merupakan gudeg yang dimasak hingga air mengering dan bumbu menyatu
dengan gudeg. Inilah yang membuat penampilan gudeg tersebut tampak
kering sehingga dinamakan gudeg kering. Biasanya gudeg jenis ini
disajikan dengan areh, biasanya areh yang digunakan kental. Salah satu
contoh gudeg kering adalah Gudeg Yu Djum.

b. Gudeg basah

Gudeg basah merupakan gudeg yang disajikan dengan areh yang masih
encer. Areh yang encer membuatnya tampak basah dan terkadang seakan
berkuah. Seorang informan bernama Indra menjelaskan bahwa gudeg ini
biasanya justru ditemui sore atau malam hari. Salah satu penjual gudeg
yang menjual gudeg basah adalah Gudeg Ceker di daerah Seturan.
14. Makna Gudeg

Terlepas dari seberapa seringnya seorang informan mengkonsumsi gudeg, ini


tidak bisa menjawab pertanyaan mengenai makna gudeg bagi masyarakat
Yogyakarta. Menurut Spradley, “makna sebuah simbol dapat ditemukan dengan
menanyakan bagaimana simbol itu digunakan dan bukan dengan menanyakan
makna.
15. Fungsi bagi Kota Yogyakarta

Dalam kaitannya sebagai makanan khas, dari sudut pandang masyarakatnya, gudeg
juga mempunyai fungsi bagi Yogyakarta. Gudeg bagi Yogyakarta merupakan salah
satu bentuk identitas, seperti batik.

Ini pada akhirnya berkaitan erat pula dengan industri pariwisata Yogyakarta sendiri.
Keberadaan gudeg menjadi salah satu pengalaman (mencicipi) kuliner yang dapat
ditawarkan kepada para turis yang datang ke Yogyakarta. Hera mengatakan:

“Seneng juga Jogja punya gudeg. Kalau ada teman atau saudara dari luar kota
datang, terus nanya referensi tentang makanan, bisa langsung kasih referensi gudeg
yang enak. Biasanya sih mereka suka, apalagi yang belum pernah nyicipin. Kalaupun
mereka nggak suka rasanya karena terlalu manis, paling nggak mereka suka
pengalamannya.”

Karenanya, gudeg juga dapat menjadi alat penggeliat ekonomi dalam hal pariwisata.
Ini tampak dari banyaknya pedagang-pedagang gudeg baik yang telah melegenda
atau yang baru bermunculan.

Sebagai identitas, gudeg juga berperan besar sebagai oleh-oleh yang melambangkan
kota Yogyakarta. Oleh-oleh ini biasanya diberikan pada mereka yang tinggal di luar
Yogyakarta atau tidak ikut berkunjung ke Yogyakarta.

Dalam kaitannya dengan penjualan gudeg, para penjual gudeg pun memperhatikan
pengemasan gudeg itu sendiri. Selain berfungsi memberikan kesan awal, rupanya
pengemasan ini juga sedikit berhubungan dengan ketahanan gudeg itu sendiri.
Pengemasan gudeg ini terbagi ke dalam lima jenis kemasan, yaitu 1) piring, 2)
kotakan, 3) besek, 4) kendhil, dan 5) kaleng.

Sajian dalam piring atau pincuk biasanya ada di tempat makan, yaitu ketika pembeli
memesan gudeg untuk makan di tempat. Penataan di piring sendiri tidak selalu
menjadi perhatian utama dalam penyajian gudeg.

Umumnya, penataan di piring hanya muncul di restoran dan rumah makan yang
terhitung besar. Bagi warung dan kaki lima, penataan di piring tidak diperhatikan,
namun justru memunculkan kesan „sembarangan‟. Rupanya, kesan ini di beberapa
tempat justru menjadi ketertarikan dari pembeli dan memiliki nilai jual tersendiri.
Seorang informan bernama Dadok mengatakan bahwa:

“Kalau makanannya berantakan, justru kesannya nikmat. Gudeg yang rapi memang
kesannya mahal dan bersih, tapi entah kenapa kok malah kesannya rasanya biasa.”

Pengemasan berikutnya adalah di kotakan, atau sering juga disebut gudeg kotakan.
Gudeg ini dikemas dalam kotak kardus semacam nasi kotak biasanya, namun dengan
lauk gudeg lengkap. Gudeg kotakan ini biasanya hanya untuk satu porsi makan dan
kerap digunakan untuk acara-acara khusus.
BAB
III

a. KESIMPULAN

Reog Ponorogo adalah kesenian asli milik Indonesia, khususnya


Ponorogo, Jawa Timur. Kesenian yang satu ini memang sedikit berbau mistik.
Tidak jarang juga dalam sebuah pertunjukan reog ada pemain kesenian reog
yang kesurupan. Namun, ada pawang yang telah bertugas menangani jika ada
pemain yang kesurupan. Kesenian ini terdiri dari lima tokoh utama, yaitu
Prabu Kelono Sewandono, bujang ganong, jathilan, warok, dan barongan.
Sayangnya, banyak remaja sekarang ini ada yang belum mengerti dan
mengetahui akan kesenian reog ini . Sehingga diperlukan usaha untuk
mengenalkan kesenian Reog Ponorogo kepada mereka. Melalui makalah ini
penyusun berharap para pemuda yang tidak mengetahui akan kesenian reog
ini, setelah membaca makalah ini menjadi lebih mengenal kesenian reog ini.
Sehingga diharapkan timbul rasa bangga karena mempunyai kesenian reog
sebagai salah satu kebudayaan Indonesia.

Gudeg adanya fakta bahwa gudeg oleh masyarakat Yogyakarta sendiri


dikenal sebagai makanan khas daerah Yogyakarta. Namun tingkat kekhasan
ini tidak selalu sama dengan makanan khas daerah lain. Meski khas, gudeg
tidak dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari (atau dijadikan makanan
pokok) yang kemudian dapat mencerminkan kebiasaan makan masyarakat
Yogyakarta.

Kedua, gudeg sebagai satu jenis makanan rupanya oleh masyarakat


Yogyakarta dibagi- bagi lagi menjadi berbagai varian lain. Perbedaan varian
gudeg ini disebabkan oleh cara masak dan resep yang berbeda, penampilan
warna, dan juga tekstur dari gudeg itu sendiri.

Adanya berbagai varian gudeg, membuat masyarakat memiliki kesukaan


gudeg yang juga berbeda-beda dan tidak dapat disamakan. Perbedaan varian
ini yang sama-sama „kuat‟ juga menunjukkan bahwa tidak ada satu standar
gudeg tertentu yang dapat menjadi „yang paling asli‟.

Ketiga, dalam kesehariannya, gudeg menjadi makanan yang fleksibel


dalam waktu. Artinya, tidak ada waktu khusus untuk memakan gudeg. Di lain
pihak, meski masyarakat Yogyakarta mengakui bahwa mereka menyukainya,
mereka tidak mengkonsumsi gudeg setiap hari.

Keempat, sebagai makanan khas, familiaritas gudeg diturunkan


dalamkeluarga di Yogyakarta dengan cara kerap mengkonsumsinya meski
belum dapat dikatakan sebagai rutinitas. Namun, cara memasak gudeg
rupanya tidak ikut serta diturunkan dalam keluarga.

Masyarakat Yogyakarta sendiri justru banyak yang tidak tertarik


untuk mempelajarinya. Kebanyakan alasannya adalah karena rumit dan sudah
banyak yang jual. Kalaupun ada yang tertarik dan keluarga tidak dapat
mengajari, mereka hanya dapat mempelajarinya melalui resep- resep yang ada
atau langsung ke penjual gudeg. Hingga saat ini, para informan belum pernah
menemui tempat belajar masak formal yang memuat gudeg dalam
kurikulumnya.

Selain itu, di kota Yogyakarta, oleh masyarakat gudeg dianggap sebagai salah
satu identitas kota Yogyakarta. Meski begitu, dalam tradisi ritual di
Yogyakarta sendiri, gudeg rupanya tidak memiliki banyak peran. Salah satu
peran dalam kegiatan tradisi yang dapat ditemukan oleh peneliti adalah
sebagai sesaji di upacara besar dalam Kraton Yogyakarta, yaitu dalam Sesaji
Rajasuya.

Dengan melihat kesimpulan di atas, kita dapat memperoleh pemahaman lebih


mengenai makna gudeg bagi masyarakat Yogyakarta. Ini dapat dijadikan
dasar sebagai pengembangan gudeg untuk ke depannya, baik dari sisi
pariwisata ataupun dari sisi penjual gudeg.

b. SARAN
Sejalan dengan kesimpulan di atas, Semua pihak harus bersama-
sama terus melestarikan reyog ponorogo ini sebagai sebuah pertunjukan dan
tontonan yang bisa disaksikan oleh generasi-generasi muda pada masa
mendatang. Karena didalam setiap pertunjukan selalu ada pesan-pesan
moral, nilai-nilai pendidikan, cerita dan sejarah.
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra, Dedy Shri, dkk. 2000. “Ketika orang Jawa Nyeni”. Galang Press,
Yogyakarta.

Andiani, Nyoman Dini. (2007). Pengelolaan Wisata Konvensi. Jakarta. Graha


Ilmu.
Ardika, I Wayan. (2007), Pusaka Budaya & Pariwisata. Jogjakarta. Pustaka Larasan
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan jawa. Jakarta. Balai pustaka.

Koentjaraningrat. 1985. Ritus peralihan di indonesia. Jakarta. Balai pustaka.

Lisbijanto, Herry. (2015), Reog Ponorogo. Jogjakarta. Graha Ilmu.


Nurdiyansah. (2012). Peluang dan Tantangan pariwisata Indonesia. Jakarta.
Alfabeta.
Pengaris, Hadi. (2009). Komunikasi Budaya, Pariwisata dan Religi. Jakarta.
Aspikom.
Rahardjo, Supratikno. 2004. Menelusuri Budaya Pariwisata di Indonesia. Jakarta.
Rose, Gilbert. 1999. Trauma Mastery Life And Arts. London. International
Universities Press.

Sedyawati, Edi. 2014. Kebudayaan di nusantara – dari tortor sampai industri


budaya. Jakarta. Komunitas bamboo.

Shri Ahimsa Putra, Heddy. 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta. Galang
Press.

Wijaya, dkk. (2009). Membangun Pariwisata DariBawah. Jogjakarta. UGM Press.

Anda mungkin juga menyukai