Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH

ADAT DAN HUKUM ADAT KABUPATEN PONOROGO

Disusun Oleh
Wahyu Angga Firmansyah (185010100111121)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
Adat dan Hukum Adat Kabupaten Ponorogo

A. Pendahuluan
Kabupaten Ponorogo adalah sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa
Timur,Indonesia. Kabupaten Ponorogo dikenal dengan julukan Kota Reog atau Bumi
Reog karena daerah ini merupakan daerah asal dari kesenian Reog. Ponorogo juga dikenal
sebagai Kota Santri karena memiliki banyak pondok pesantren, salah satu yang terkenal
adalah Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak di desa Gontor, kecamatan Mlarak.
Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496, tanggal inilah yang
kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan
kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala berupa sepasang batu
gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batara Katong dan juga
mengacu pada buku Hand book of Oriental History. Pada batu gilang tersebut tertulis
candrasengkala memet berupa gambar manusia yang bersemedi, pohon, burung garuda dan
gajah. Candrasengkala memet ini menunjukkan angka tahun 1418 Saka atau tahun 1496 M.
Sehingga dapat ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo
yaitu hari Minggu Pon, tanggal 1 Besar 1418 Saka bertepatan tanggal 11
Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya melalui seminar Hari Jadi Kabupaten
Ponorogo yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 1996 maka penetapan tanggal 11
Agustus sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo telah mendapat
persetujuan DPRD Kabupaten Ponorogo.

B. Pembahasan
Macam-Macam adat atau kesenian di Ponorogo :
1) Seni Reog Ponorogo
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti
pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari
beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya
dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka
dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani.
Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada
reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian
wanita. Tarian ini dinamakan tarijaran kepang atau jathilan, yang harus dibedakan
dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada
biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut
Bujang Ganong atau Ganongan. Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan
adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika
berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan.
Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar. Adegan dalam seni
reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi
antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang
dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan
oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam
pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya. Adegan
terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa
dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai
50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan
untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga
dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
2) Grebeg Suro
Grebeg Suro adalah acara tradisi kultural masyarakat Ponorogo dalam wujud
pesta rakyat. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional,
Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.
Grebeg suro merupakan acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal 1 Muharram (1
Suro pada tahun Jawa). Acara ini merupakan kegiatan awal dalam menyongsong
Tahun Kunjungan Wisata Jawa Timur setiap tahun.
3) Kirab Pusaka
Acara Kirab Pusaka dimulai dengan start di Makam Bathoro Katong (Daerah
Pasar Pon) dengan menggelar Risalah Do’a terlebih dahulu. Kirap Pusaka ini diarak
dari Kota Lama (Pasar Pon) menuju Kota Baru (Paseban Aloon-Aloon Ponorogo).
Acara ini bertujuan memindahkan benda-benda pusaka dari kota Lama ke kota Baru
untuk dicuci.
4) Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel
Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel merupakan rasa syukur masyarakat
kepada tuhan yang maha esa untuk itu mereka membuat sebuah gundukan sesajen
yang akhirnya akan di bawah ke tengah telaga kemudian mereka berdoa bersama di di
telaga tersebut.
5) Gajah Gajahan
Gajah-gajahan adalah salah satu bentuk pertunjukan rakyat Ponorogo selain
Reyog. Jenis kesenian ini mirip dengan hadroh atau samproh klasik, terutama alat-alat
musiknya. Perbedaannya adalah bahwa kesenian ini tidak memiliki pakem yang tetap
mulai alat-alat musik, gerak tari, lagu, dan bentuk musiknya berubah seiring
perkembangan zaman. Perbedaan paling utama adalah hadirnya patung gajah yang
terbuat dari kertas karton yang dilekatkan pada kerangka bambu. Dari segi simbol
binatang yaitu gajah yang dijadikan salah satu alatnya, menunjukkan bahwa gajah
adalah binatang yang mudah ditundukkan, santun serta banyak membantu pekerjaan
manusia.
   Gajah-gajahan bukan sekedar kesenian panggung, tetapi juga sebagai sarana
sosialisasi suatu kabar tertentu (misal; pengajian) dari si penghajat kepada masyarakat
luas. Saat memerankan fungsi sosialisasi ini, gajah-gajahan diarak keliling desa atau
beberapa desa di sekitarnya. Cara mengarak gajah gajahan dengan berkeliling desa
itu, diharapkan akan mengundang perhatian warga untuk mendengarkan pesan pesan
yang akan disampaikannya. Pada hajatan khitanan misalnya yang naik gajah-gajahan
adalah anak kecil yang dikhitan. Kini seiring perkembangan zaman fungsi ini di geser
seperti fungsi jathil pada kesenian Reyog (yang pada mulanya laki-laki berubah
menjadi perempuan), yang mungkin agar memiliki unsur artistik.
6) Wayang Kulit
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di
Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual,
dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah
bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa
menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja.
Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog
tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan
sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang
memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,
sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan
wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton
harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di
layar.
7) Becekan
Masyarakat Ponorogo memiliki adat-istiadat yang sangat khas yaitu, becekan
(suatu kegiatan dengan mendatangi dan memberikan bantuan berupa bahan makanan;
beras, gula, dan sejenisnya kepada keluarga, tetangga atau kenalan yang memiliki
hajat pernikahan atau khitanan) dan sejarah (silaturahim ke tetangga dan sanak
saudara pada saat hari raya Idul Fitri yang biasanya dilakukan dengan mendatangi
rumah orang yang berumur lebih tua).
8) Odrot
Seni musik yang dipengaruhi oleh seni pertunjukan Islam, biasanya
dipentaskan pada acara resepsi pernikahan atau khitanan.
Merupakan kesenian peninggalan Jawa penjajahan Belanda yang hidup clan
berkembang di Ponorogo. Kesenian ini merupakan seni pertunjukan musik yang
menggunakan instrument pokok berupa terompet. Thekthur Kesenian yang
penyajiannya dalan musikal bentuk ini terbuat dan bambu dan awalnya merupakan
sarana penggalang masa bagi masyarakat dalam menjaga keamanan
Iingkunganny'adanpada perkembangannya dijadikan sarana membangunkan orang
untuk makan sahur bagi yang menjaankan ibadah puasa.

Hukum Adat yang ada di Ponorogo :


Di Ponorogo masih menganut Hukum Adat tentang pembagian waris, dimana
warisannya bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum pewaris meninggal dunia,
tergantung dari musyawarah masing-masing pihak. Hal ini sangat berbeda dengan
kewarisan hukum BW dan hukum islam yang mana harta warisan harus dibagikan
pada saat ahli waris telah meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan pada saat
pewaris belum meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum
islam biasa disebut sebagai hibah.
Di desa Tulung kecamatan Sampung contohnya mayoritas penduduknya masih
menerapkan hukum adat yang pembagiannya tidak sesuai dengan fara’id yang
seharusnya perempuan mendapat setengah dari pendapatan laki-laki tetapi dibagi
sama rata.
Contoh lain di daerah kelurahan Bangunsari yang letaknya di kota juga masih
menerapkan hukum adat dalam pembagain waris ini. Meskipun disana juga banyak
pondok pesantren yang notabennya seharusnya masyarakatnya juga paham akan tata
cara pembagian waris menurut islam. Kabanyakan dari mereka beranggapan yang
terpenting dalam pembagian waris ini adalah tidak menimbulkan pertikaian kepada
penerima waris. Tetapi lebih dari itu mereka juga memegang tradisi turun temurun
dari keluarga terdahulunya.

Anda mungkin juga menyukai