Anda di halaman 1dari 6

WAYANG KULIT

A. SEJARAH WAYANG
Menguraikan penjelasan tentang kronologi sejarah wayang pada umumnya dan
sejarah Wayang Menak Sasak khususnya, dimaksudkan untuk membantu memberikan
gambaran umum tentang perubahan fungsi wayang dalam masyarakat Sasak. Kronologi
historis yang dapat disajikan di sini bersifat diakronik (sejarah urutan peristiwa) dan
dengan mengandalkan data-data sekunder, semisal penuturan lisan beberapa pengamat
budaya di Lombok dan sumber-sumber data tertulis dari para pengkaji wayang.
Sekedar catatan, sumber data mengenai sejarah Wayang Menak Sasak dari
penuturan lisan dan tulisan babad ini lebih banyak yang dapat dijumpai bersifat
spekulasi. Karenanya, terkadang data lisan yang diberikan nara sumber lebih tampak
sebagai suatu dongengan daripada sebuah fakta sejarah. Meskipun demikian, keberadaan
dongeng sebagai cara menuturkan peristiwa masa lalu, bukan sesuatu yang mesti
diabaikan. Kemauan untuk memungut dongeng sebagai bahan data bukan pertama-tama
berangkat dari kehendak untuk mendapatkan validitas fakta, sebab di dalam dongeng
validitas fakta diragukan. Memungut dongeng sebagai data lebih dikarenakan oleh
kenyataan bahwa mendongeng adalah cara masyarakat khususnya yang belum mapan
dalam tradisi tulis mengkonstruksi realitas masa lalu. Karena itu, meski data dari
sumber lisan yang bersifat spekulasi (dongengan) ini diragukan kebenarannya, paling
tidak penuturan itu telah sedikit memberi satu peluang untuk mengetahui bahwa sebuah
peristiwa pernah terjadi pada masa itu.

B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT


Asal-usul wayang kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para
ahli. Belum ada kesepakatan tentang apakah Wayang Kulit merupakan kesenian asli
Indonesia, dari India atau dari negara lain. Kerancuan dalam menentukan asal usul
wayang ini juga disebabkan perbedaan konsep tentang apa yang dimaksud dengan asal
usul.
Meskipun asal usul wayang belum dapat ditentukan dengan pasti, penulis akan
mencoba menguraikannya berdasarkan sumber data pustaka. Catatan tertua yang
menyatakan kehadiran pertunjukan yang disebut wayang di Jawa Tengah berasal dari
tahun 907 A.D. Sebuah prasasti batu yang dikeluarkan oleh Raja Balitung menyebut
pertunjukan wayang sebagaimawayang. Hal itu tak dapat dibuktikan apakah yang
dimaksud mawayang ini sungguh-sungguh sebuah pertunjukan wayang sebagaimana
yang dikenal sekarang atau bukan.
Selain itu ada pendapat yang mengemukakan bahwa pertunjukan wayang pada
awalnya diperuntukkan sebagai sarana menyembah roh-roh leluhur. Wayang juga
dijadikan sebagai alat penyebaran agama Hindu. Ketika agama Islam datang yang
disebar luaskan oleh para Wali yang tergabung dalam kelompok Wali Songo, wayang
dimanfaatkan sebagai media penyebaran agama Islam, khususnya kepada masyarakat
Jawa. Mereka yang menggemari wayang, dipersilahkan menonton dan masuk Islam. Ini
membuktikan bahwa pada masanya, wayang merupakan media populer yang efektif
sebagai media hiburan, pembawa berita atau informasi.
Sementara di lingkungan budaya Bali, pertunjukan wayang kulit diperkirakan
sudah ada sejak sekitar abad ke IX. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun aka
818 (896 M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah istilah
seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang. Sejak masa
lampau, pertunjukan wayang kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi
warga masyarakat. Pertunjukan wayang kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa,
sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer
yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabarata dan Ramayana,
kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan
sosial. Dari situ masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa,
yadnya, etika dan lain-lain. Oleh masyarakat penonton, ajaran-ajaran dalam pementasan
wayang ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

C. UNSUR-UNSUR SENI DALAM PEWAYANGAN


Seni pewayangan sedikitnya mengandung tujuh (7) unsur seni, yakni:
1. Seni Drama
Melalui seni drama dapat kita ketahui dan hayati makna kefalsafahan yang dalam dari
setiap cerita atau lakon wayang yang bersifat klasik seperti cerita Dewa Ruci dari epos
Mahabharata, yang mengisahkan Werkudara ketika berguru pada Dewa Ruci
mengenai ilmu kesempurnaan dan kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam
badannya. Cerita tersebut memberikan gambaran, bahwa kejiwaan manusia lebih luas
daripada dunia dengan segala isinya.
2. Seni Lukis Atau Seni Rupa
Seni lukis atau seni rupa yang dapat dilihat dari bentuk wayang, sunggingan dan tata
warnanya yang masing-masing warna mewakili simbol kejiwaan tersendiri, antara
lain: bentuk wayang yang menunjukkan karakter atau watak dari tokoh wayang
tersebut dengan sunggingan yang serasi, komposisi warna yang sempurna, sehingga
tidak mengacaukan padngan dan menyelaraskan jiwa bagi mereka yang melihatnya.
Sebagai contoh, untuk busana (kain) tokoh wayang Arjuna ataupun Kresna tidak akan
disungging dengan corak Kawung ataupun Parang Rusak, karena kedua tokoh
tersebut merupakan tokoh adhiluhung bagi seniman-seniman pencipta wayang.
3. Seni Tatah (Pahat) Atau Seni Kriya
Seni pahat atau seni kriya yang dapat disimak dari wujud wayang yang dibuat dari
kulit kerbau atau sapi atau kayu, melalui proses yang lama dan memerlukan
ketekunan, rumit tapi rapi. Dalam seni pahat atau seni kriya tersebut terdapat beberapa
jenis pahatan dan tatahan, antara lain; pahatan atau tatahan untuk pedalangan (wayang
pedalangan) agar dalam pementasan dengan sinar lampu dapat nampak terlihat jelas
ukirannya , dan ada pula pahatan atau tatahan kasar yang ditujukan untuk komersial.

4. Seni Sastra
Seni sastra yang dapat didengar dari bahasa pedalangan yang begitu indah dan
menawan hati. Bahasa pedalangan untuk daerah Jawa Tengah dan Jawa Timut pada
umumnya digunakan bahasa menurut tata bahasa Jawa dengan menggunakan idiom
Kawi yang menimbulkan rasa luhur dan angker, unggah-ungguh dalam penggunaan
bahasa seperti ngoko, ngoko alus, tengahan, krama, krama inggil, kedatonan,
kadewan, dan bahasa bagongan. Sementara untuk pergelaran wayang kulit ataupun
wayang golek Sunda biasanya dipergunakan bahasa Sunda dengan penggunaan kata-
kata Kawi yang dianggap sakral dan luhur. Tentunya Antawacana dan janturan
pedalangan wayang golek di daerah Jawa Barat pada umumnya tidak sama dan tidak
berpedoman pokok seperti standar pedalangan Jawa Tengah; Surakarta dan
Yogyakarta.
5. Seni Suara
Seni suara yang kita tangkap dalam setiap pergelaran wayang, dikumandangkan
secara ngerangin oleh para wiraswara (penyanyi) dan swarawati (pesindhen) serta ki
dalang, yang diiringi dengan perpaduan bunyi gamelan dengan alunan dan irama lagu
yang begitu indah. Bagi seorang dalang, seni suara dengan vokal yang mantap
merupakan syarat utama dalam mempertahankan mutu pergelarannya, selaras dengan
nada atau irama gamelan karena suara tokoh wayang berpedoman pada seni
karawitan. Semisal volume suara Prabu Duryudana lain dengan volume suara Arjuna,
berbeda pula dengan nada (laras) untuk tokoh Yudhistira atau tokoh-tokoh wayang
lainnya.
6. Seni Karawitan
Seni karawitan yang dapat dinikmati dari lagu-lagunya yang etis dan estetis. Seni
karawitan merupakan pengiring lagu yang harmonis, laras dan anggun untuk lakon
yang dipergelarkan ki dalang. Peranan gamelan sangat penting dalam parkeliran atau
pergelaran wayang, terlebih dengan tuntutan suasana khidmat, nges, harmonis serta
luhur merupakan perpaduan dari peran gamelan, kandha (dialog) seta suluk
(pengucapan ki dalang tentang situasi cerita) menjadi sangat penting. Sebagai contoh
penggambaran suasana dari tiap adegan dalam pergelaran wayang kulit Purwa Jawa
Tengah ialah pathet yang dibagi dalam tiga bagian, yaitu: pathet nem (6) dengan
iringan gamelan ahtara pukul 21.00-24.00; pathet sanga (9) dengan iringan gamelan
antara pukul 00.00-03.00; pathet manyura antara pukul 03.00-06.00. Bagian pertama
menggambarkan suasana netral, bagian kedua menunjukkan suasana yang agak tegang
dan bagian ketiga menunjukkan suasana yang telah berubah menjadi dinamik yang
menuntut penyelesaian.
7. Seni Gaya
Seni gaya yang dapat dilihat dari gerak dan gaya wayang hasil pantulan sinar lampu
atau blencong yang dapat memberikan nafas kehidupan dari setiap pelakunya. Dari
seni gaya tersebut dapat kita lihat adanya berbagai macam gaya, yang dalam seni
pewayangan disebut gaya sabetan, gaya seni rupa wayang dan gaya pergelaran.
a) Gaya sabetan
Menunjukkan suatu kreativitas atau sanggit sang dalang dalam memainkan
wayangnya.
b) Gaya seni rupa wayang
Menunjukkan bentuk wayang yang berlainan ornament serta tinggi-rendahnya
wayang, antara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, gaya Banyumas dan gaya
Cirebon.
c) Gaya pergelaran
Pada wayang kulit Purwa (Jawa), yang lazim disebut gagrak, antara lain: gagrak
Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta), gagrak Kasunanan (Surakarta), gagrak
Jawa Timuran, gagrak Banyumasan dan gagrak Cirebonan atau gagrak pesisiran
(daerah pantai utara antara Cirebon dan Semarang)
8. Seni Pertunjukan
Orang Jawa paling sedikit mengenal enam macam pertunjukan wayang, antara lain:
a) Wayang Purwa
Wayang Purwa merupakan salah satu pertunjukan wayang yang paling terkenal dan
masih sangat digemari sampai saat ini. Tekniknya telah banyak berubah dari suatu
kesenian rakyat menjadi kesenian Kraton. Jalan cerita Wayang Purwa diambil dari
Serat Rama (Ramayana) dan Bharatayudha (Mahabharata). Bentuk wayang ini
adalah pipih berdimensi dan dibuat dari kulit yang ditatah, dengan lengan yang
dapat digerak-gerakkan. Wayang digerakkan sedemikian rupa sehingga
menimbulkan bayangan pada suatu layar putih yang dipasang di depan dalang.
b) Wayang Gedhog
Wayang Gedhog juga menggunakan boneka-boneka yang dibuat dari kulit yang
pipih dan ditatah, tetapi jalan cerita yang diambil berasal dari epos panji yang
berasal dari daerah Asia Tenggara. Wayang ini kurang digemari oleh orang Jawa,
meskipun teknik permainannya hampir sama dengan ringgit purwa.
c) Wayang Golek
Wayang Golek dimainkan dengan boneka-boneka kayu dalam bentuk tiga dimensi,
jenis ini lebih disukai daripada wayang Gedhog, dan cerita-ceritanya diambil dari
cerita Menak.
d) Wayang Klithik atau Krucil
Wayang Klithik atau Krucil menggunakan boneka-boneka kayu yang berbentuk
pipih, dengan lengan-lengan yang terbuat dari kulit. Sumber cerita didasarkan pada
cerita-cerita Panji. Seni ini sampai sekarang sudah hampir tidak pernah lagi
terdengar beritanya.
e) Wayang Beber
Wayang Beber adalah suatu bentuk pertunjukan wayang yang hampir hilang.
Wayang beber ini teknik pertunjukannya berfokus pada seorang tukang cerita yang
menceritakan secara panjang lebar dongeng dari gambar-gambar yang ada pada
sehelai kain, kulit atau kertas panjang yang digulung di kedua sisinya pada dua
batang kayu. Pada bentuk pertunjukan ini juga ada orkes gamelan yang
mengiringinya.
f) Wayang Madya
Wayang Madya adalah suatu kategori dari semua jenis pertunjukan wayang
berdasarkan syair-syair kepahlawanan abad ke-19, atau berdasarkan kreasi baru
yang mengisahkan peristiwa-peristiwa di abad 20. Ada yang berwujud wayang
Kuluk, wayang Dupara, wayang Suluh (sejarah kontemporer Indonesia, termasuk
revolusi Indonesia) dan wayang Wahana (mengenai kehidupan dan masalah sosial
sehari-hari).

Anda mungkin juga menyukai