Anda di halaman 1dari 162

KATA PENGANTAR

Kesenian dapat hidup tumbuh dan berkembang karena terdepat tiga


komponen utama. Masing-masing komponen yakni seniman sebagai daya
cipta, masyarakat sebagai daya penyangga, dan karya seni sebagai daya
penggerak. Seniman merupakan daya cipta yang menyebabkan kesenian ada,
terlahir, dan mewujud dalam bentuk-bentuk. Komponen kedua adalah
komunitas dan/atau masyarakat apresian yang menentukan keberlanjutan
kehidupan kesenian itu sendiri. Komponen ketiga adalah karya seni yang di
dalamnya termuat nilai-nilai bermakna, memberi umpan balik bagi
kehidupan lahir batin masyarakatnya sehingga secara dinamis dapat
menggerakkan dan memberi pengaruh perkembangan serta perubahannya.
Tumbuh dan kembangnya kesenian berlangsung dari dua sisi, yaitu kualitas
dan kuantitas. Sisi kualitas diwujudkan dengan cara penyemaian nilai-nilai ke
dalam bentuk seni, ketepatan metode dalam pelaksanaan teknik-teknik, dan
kepantasan yang dihayati oleh budaya penyangganya. Sisi kuantitas
diwujudkan dalam bentuk memperbanyak pelaku seni dan perluasannya
melalui persebaran.

Tari, adalah cabang seni yang menuntut ketiga persyaratan dimaksud


untuk kelangsungan hidupnya. Persebarannya ditentukan oleh bagaimana
pelaku seni dapat diperluas dengan kemampuan teknik-teknik yang
mumpuni. Maka konteks pembelajaran teknik tari disertai pemahaman
mendalam atas tata nilai yang melatarbelakangi merupakan kontens yang
tepat untuk dipersiapkan. Perkembangan dalam arti persebaran dalam tari
menyangkut pembelajaran dengan materi, pengajar dan metode yang tepat.
Materi disusun dalam suatu program yang dijabarkan pada rencana
pembelajaran. Pengajar dipilih yang memiliki kualifikasi profesi dan
kompetensi linier dengan muatan pembelajaran. Tari gaya Surakarta adalah
yang dimaksud dalam tulisan ini dipersiapkan untuk kelengkapan
profesionalitas kepengajaran. Maka materi ajar merupakan pengetahuan
berbasis teknik dan sain dipersiapkan melalui penelitian.
Tari silang gaya Surakarta merupakan salah satu kontens mata kuliah
yang dibelajarkan kepada mahasiswa Jurusan Seni Tari di Sekolah Tinggi
Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Sebagai wujud pengkayaan bentuk-
bentuk tari nusantara, tari gaya Surakarta dinyatakan sebagai materi ajar yang
harus ditempuh oleh setiap mahasiswa dan wajib lulus. Persyaratan ini
menghendaki pengajarnya untuk mempersiapkan secara baik dan benar

i
materi dan metode ajarnya. Amanah ini termuat dalam Undang-undang, no:
14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menyatakan dosen sebagai
ilmuan profesional. Dan Peraturan Menteri Koordinator Pengawasan dan
Pengembangan Pendayagunaan Aparatur Negara (Menkowasbangpan) no: 38
tahun 2009 perihal Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dosen sebagai ilmuan profesional mengemban tugas utama
Pendidikan dan pengajaran, Penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Tiga tugas utama dosen berurutan saling berkait satu sama lain. Pendidikan
dan pengajaran ditunjang oleh hasil-hasil penelitian. Pengabdian kepada
masyarakat merupakan implementasi kompetensi profesi sebagai bentuk
sumbangsih dosen kepada masyarakat berupa ketrampilan dan keilmuan.
Untuk menjadi profesional, dosen dituntut menyiapkan dan
mengembangkan materi pembelajaran melalui kegiatan penelitian. Sesuai
dengan kompetensinya, jalur penelitian dipetakan atas penelitian pustaka,
penelitian lapangan, juga penelitian pustaka dan lapangan. Ketiga jalur ini
merupakan ranah-ranah penelitian, dikembangkan sesuai capaian setiap
standar kompetensi mata kuliah. Oleh sebab itu dosen mengemban kuajiban
menguatkan keahlian keilmuan dan ketrampilan agar pada waktunya sampai
pada peringkat kepakaran. Posisi kepakaran sangat signivikan bagi dosen,
mahasiswa dan institusi.
Bagi dosen, kepakaran merupakan nilai legitimasi atas dedikasi
menggeluti ilmu di bidangnya. Bagi mahasiswa, kepakaran menjadi tolok
ukur bahwa dosen layak ditimba ilmunya. Bagi institusi, kepakaran dosen
berfungsi tidak sebatas menaikkan derajat kepercayaan masyarakat terhadap
perguruan tinggi tetapi produk-produk karya ilmiah dosen dapat
meningkatkan prestasi institusi. Surat Keputusan Mendiknas No.
3712/A2.7/KP/2006 perihal Jabatan Lektor Kepala terhitung mulai tanggal 1
Januari 2006 yang menugaskan peneliti sebagai pengampu matakuliah Tari
Surakarta, dan Kreativitas tari, adalah modal hukum peneliti untuk
melaksanakan tugas profesi kedosenan.
Atas dasar pemikiran tersebut, penulis berkesempatan ikut
berpartisipasi dalam program Lembaga Penelitian dan Pengabdia Kepada
Masyarakat STK Wilwatikta Surabaya pada bidang penerbitan buku referensi
bagi mahasiswa Jurusan tari pada khususnya dan kepada para pembaca
sekalian tentunya. Buku referensi ini berisi deskripsi Tari Klana, Tari
Gunungsari, dan Tari Golek Manis disertai latar belakang kesejarahan, perihal
gaya, kaidah-kaidah, jenis genre dan jenis kualitas, konsep keindahan,

ii
koreografi, dan teknik pelaksanaan gerak. Secara hukum, Silang Tari Gaya
Surakarta merupakan mata kuliah yang wajib penulis ampu. Kuajiban penulis
pula untuk membina dan mengembangkan keilmuannya. Melalui penelitian
dan selanjutnya diterbitkan dalam bentuk buku referensi ini penulis berharap
mata kuliah tari gaya Surakarta mendapatkan acuan yang jelas dalam materi
dan pengembangannya.
Perlu dipahami bahwa matakuliah teknik repertoar tari tidak
membidik kemampuan mahasiswa sekedar teknik tari tetapi aspek
pengetahuannya penting untuk dibelajarkan. Aspek pengetahuan yang
dimaksud mencakup pengertian gaya tari, nilai histori, filosofi, dan
estetikanya. Dalam kaitan ini, penelitian tari gaya Surakarta merupakan
bagian signifikan dalam pengembangan bahan ajar. Semoga usaha ini
mendapat Ridlo-Nya, dan saran dari berbagai pihak penulis harapkan untuk
lebih baiknya.

Salam,
Penulis

iii
DAFTA ISI

Halaman Judul
Halaman Pengesahan 0
Kata Pengantar i
Daftar Isi iv
Daftar Bagan vi
Daftar Gambar vii

BAB. I PENDAHULUAN 1

BAB. II GAMBARAN UMUM TARI GAYA SURAKARTA 6

1. Pengertian Gaya Tari 9


2. Jenis Tari Gaya Surakarta 10
a. Jenis Genre Tari Gaya Surakarta 10
b. Jenis Kualitas Tari Gaya Surakarta 27
3. Kaidah-Kaidah Tari Gaya Surakarta 38
4. Garap Koreografi Tari Gaya Surakarta 42
5. Tema Sebagai Pembentuk Karakter Tari Gaya 43
Surakarta

BAB. III KONSEP KEINDAHAN DAN TEKNIK GERAK TARI 49


GAYA SURAKARTA

1. Konsep Keindahan Tari Gaya Surakarta 49


2. Konsep Repertoar dan Teknik Gerak Tari Gaya 53
Surakarta
3. Fungsi Tari Gaya Surakarta 65

BAB. IV DESKRIPSI IDEASI REPERTOAR TARI GAYA 69


SURAKARTA

1. Deskripsi Ideasi Tari Klana Topeng 69


2. Deskripsi Repertoar Tari Klana Topeng 73
3. Deskripsi Ideasi Tari Gunungsari 95
4. Deskripsi Repertoar Tari Gunungsari 98
5. Deskripsi Ideasi Tari Golek Manis 116
6. Deskripsi Repertoar Tari Golek Manis 118

iv
BAB. V PEN UTUP 138

1. Intisari Pembahasan 183


2. Epilog 141

DAFTAR PUSTAKA 142


LAMPIRAN-LAMPIRAN

v
DAFTAR BAGAN

Bagan. 1 Diagram struktur kualitas tari gaya Surakarta 28


Bagan. 2 Diagram kaidah teknik gerak tari gaya Surakarta 40

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar. 1 Bentuk Tanjak Kanan Putri Dilihat Dari Depan 29


Gambar. 2 Posisi Bentuk Kaki 30
Gambar. 3 Bentuk Tanjak Kanan Alus Dilihat Dari Depan 30
Gambar.4 Posisi Bentuk Kaki 31
Gambar.5 Bentuk Tanjak Kanan Gagah Dilihat Dari Depan 31
Gambar.6 Posisi Bentuk Kaki 32
Gambar.7 Bentuk Adeg (Ng)groda 32
Gambar.8 Bentuk Adeg Angrau Akung 33
Gambar.9 Bentuk Adeg (n)Duran Tinangi 34
Gambar.10 Dalam Gerakan Mengangkat Tungkai 35
Gambar.11 Angkat Tungkai Lurus 35
Gambar.12 Angkat Tungkai Tekuk 36
Gambar.13 Lumaksana Impur 36
Gambar.14 Lumaksana Mager Timun 37
Gambar.15 Bentuk Tubuh Tarian Gagah (kualitas Bratasena) 46
Gambar.16 Bentuk Tubuh Tari Gagah (kualitas Gatutkaca) 46
Gambar.17 Bentuk Tubuh Tari Alus (kualitas Arjuna) 47
Gambar.18 Bentuk Tubuh Tari Putri (kualitas Sinta) 47
Gambar.19 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putri Luruh (Oyi) 55
Gambar.20 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putri Lanyap (Endhel) 56
Gambar.21 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Alus Luruh 57
Gambar.22 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Lanyap 58
Gambar.23 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Dugangan Kalang 58
Kinantang Kasatriyan
Gambar.24 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Dugangan Kalang 59
Kinantang Punggawan
Gambar.25 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Agalan Jenis 60

vii
Bapang Raja
Gambar.26 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Agalan jenis 60
Bapang Kasatriyan
Gambar.27 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Agalan Jenis 61
Bapang Punggawan
Gambar.28 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Agalan Jenis 61
Bapang Jeglong
Gambar.29 Gareng (tokoh wayang kulit) Karakter Gecul 62
Gambar.30 Petruk (tokoh wayang kulit) Karakter Gecul 62
Gambar.31 Pola bentuk serupa Bapang Punggawan 62
Gambar.32 Pola bentuk Kambeng Cekithingan 63
Gambar.33 Pola gerak Kambeng Bithen 64
Gambar.34 Pola gerak Kambeng Gegeman 64
Gambar.35 Pola gerak Kambeng Cekithingan 64
Gambar.36 Pola gerak Kambeng Kepelan 65
Gambar.37 Topeng Klana Sewandana Tampak Depan 72
Gambar.38 Topeng Klana Sewandana Tampak Samping Kanan 72
Gambar.39 Topeng Klana Sewandana Tampak Samping Kiri 72
Gambar.40 Sosok Tari Klana Topeng dengan Rincian Busananya 73
Gambar.41 Topeng Gunungsari Tampak Depan 97
Gambar.42 Topeng Gunungsari Tampak Samping Kanan 97
Gambar.43 Topeng Gunungsari Tampak Samping Kiri 97
Gambar.44 Sosok Tari Gunungsari dengan Rincian Busananya 98
Gambar.45 Sosok Tari Golek Manis dengan Rincian Busananya 117

viii
BAB I
PENDAHULUAN

Tari gaya Surakarta, oleh kalangan umum dikenal sebagai kesenian


Mataraman 1 . Fakta sejarah mengabarkan bahwa tarian ini merupakan produk
kebudayaan kerajaan Mataram masa lampau di Jawa Tengah. Semantara kita
diingatkan bahwa Mataram telah terbagi menjadi dua ketika terjadi Perjanjian
Gianti pada tanggal 12 Februari 1755. Perundingan Gianti menghasilkan
perjanjian pemisahan Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan di Surakarta dan
Kasultanan di Yogyakarta. Di Surakarta, disusul lagi perundingan yang
dikenal perjanjian Salatiga 2 tahun 1757 yang menandai pecahnya kerajaan di
Surakarta menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagara.
Pecahnya kekuasaan kerajaan di Surakarta menjadi Kasunanan dan
Kadipaten, diikuti pula terbaginya Keraton Ngayogyakara menjadi Kasultanan
Yogyakarta dan Pakualaman Yogyakarta. Peristiwa ini berpengaruh besar
terhadap hidup, tumbuh, dan berkembangnya kesenian Mataraman tersebut.
Di Yogyakarta dikenal sebagai tari tradisional klasik (Kussudiardjo, 2000:35),
di Surakarta memiliki gaya tari tersendiri yang tradisional romantis
(Sedyawati, 1981:4). Dalam perkembangannya, di Yogyakarta terdapat gaya
Yogya Kasultanan dan Yogya Pakualaman, di Surakarta berkembang gaya
Surakarta Kasunanan dan Surakarta Mangkunegaran. Demikian ini
merupakan konskuensi kekuasaan keraton yang memiliki hak dan kuajiban
menumbuh kembangkan produk-produk kebudayaan keseniannya. Maka di
setiap kekuasaan keraton berkembang gaya sendiri-sendiri yang berbeda.
Tulisan ini difokuskan pada tari Surakarta di Kasunanan, yang
kemudian dikenal sebagai tari Surakarta gaya Kasunanan. Gaya Kasunanan
lebih berkembang luas di luar tembok keraton dibandingkan dengan tari
Surakarta gaya Mangkunegaran. Masyarakat umum di luar keraton-pun lebih
mengenal tari Surakarta gaya Kasunanan dibanding tari Surakarta gaya

1 Sebutan Mataraman dikenakan kepada kebudayaan beserta produk-produknya

berasal dari kerajaan (keraton) Mataram di Jawa tengah. Kekuasaan Mataram (Lama –Hindu—
dan baru –Islam--) masa lampau cukup lama, menghasilkan kesenian termasuk tari. Seni tari
hidup di keraton dan kemudian menyebar ke luar keraton hingga dikenal luas masyarakat
umum. Karena lahir dari kerajaan (keraton) Mataram, maka orang selanjutnya menyebut
produk kebudayaan tersebut sebagai kesenian Mataraman.
2 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Baru 1500-1900 (Jakarta Gramedia, 1987:233-
234)

1
Mangkunegaran. Oleh sebab itu, orang kemudian lebih tahu dan mengenal
tari Surakarta gaya Kasunanan sebagai tari gaya Surakarta. Penulispun
menyebut tari gaya Kasunanan Surakarta ini sebagai tari gaya Surakarta.
Dalam tulisan ini juga menggunakan sebutan tari gaya Surakarta untuk
menyebut tari Surakarta gaya Kasunanan.
Ketika keraton kehilangan kekuasaan politik karena Indonesia menjadi
republik, tidak ada lagi kekuatan keraton untuk menghasilkan karya-karya
seni baru. Kekuasaan tinggal sebatas melestarikan budaya seni dan aspek
budaya lain yang masih dapat dipelihara. Para seniman ndalem 3 karena untuk
bertahan di dalam benteng kerajaan tidak lagi mampu meneruskan
pekerjaannya sebagai empu atau budayawan keraton, maka ia melestarikan
dan menumbuh kembangkan hasil-hasil pekerjaannya di luar tembok keraton.
Tersebarlah karya tari gaya Kasunanan di luar tembok keraton, tidak hanya di
lingkungan dekat tetapi tersebar jauh bahkan di luar wilayah teritorialnya.
Berkembang pula seniman-seniman baru di luar keraton untuk menciptakan
tari berkiblat pada tari gaya Kasunanan ini.
Sederet nama-nama seniman tari seperti K.R.T Kusumakesawa, R. Ng
Wignyahambeksa, Pamarditoyo, Prawirarejo, S. Ngaliman, dan R.M Suseno,
serta Pancasewoko. Mereka semua mempunyai peran penting bagi
perkembangan tari gaya Surakarta dengan berbagai karya tari yang
diciptakannya. Karya-karya tari yang diciptakan oleh K.R.T Kusumakesawa
dan S. Ngaliman sampai saat ini masih berkembang dan acapkali
dipertunjukkan (Widyastutieningrum, 1012:3). Widyastutieningrum
menjelaskan pula bahwa tari gaya Surakarta terdapat tiga kualitas tari yaitu:
1) kualitas tari putri, 2) kualitas tari alus, dan 3) kualitas tari gagah.
Perbedaannya ditentukan oleh ciri-ciri gerak yang digunakan. Kualitas tari
putri menggunakan gerak anggota badan yang cenderung sempit hampir
lekat dengan tubuh. Kualitas tari alus lebih luas dari volume gerak tari putri,
dan begitu selanjutnya tari gagah menggunakan gerak anggota badan dengan
volume yang luas.
Supanggah membagi genre tari gaya Surakarta menjadi empat yang
utama yakni: Bedhaya 4 , Srimpi 5 , Gambyong 6 , dan Golek 7 serta Wireng 8 dan

3
Seniman ndalem adalah sebutan budayawan seni di dalam kerajaan yang mendapat
gaji dari kerajaan karena pekerjaannya ketika kerajaan masih memiliki kekuasaan politik.
4 Tari bedhaya ditarikan penari putri berjumlah sembilan (9) orang. Tarian ini di dalam

keraton bersifat sakral merupakan bagian dari upacara kerajaan.


5Tari srimpi dikatakan juga tari bedhaya dalam bentuk mini karena ditarikan oleh
empat (4) penari perempuan.

2
Pethilan 9 disamping ke empat genre (Supanggah, 2007, 123). Genre tarian ini
merupakan jenis tari utama yang dimiliki oleh keraton Kasunanan Surakarta
dan juga Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjalanan waktu, tarian yang
diciptakan dan dipertunjukkan di dalam keraton ini telah berkembang di luar
keraton. Tak ubahnya tari Bedhaya yang bersifat sakral sebagai bagian dari
upacara kerajaan, keluar juga dari keraton. Genre terus berkembang yakni
Wireng Pethilan, Wayang Wong, Dramatari atau Sendratari, bahkan Kelompok
Bertema (Nanik dkk, 2007: 38). Berdirinya pendidikan seni tari seperti KOKAR,
ASKI (sekarang ISI) Surakarta telah melakukan rekonstruksi dan pemadatan
berbagai genre tari yang ada di dalam keraton dan menciptakan genre baru
tersebut.
Sebagai tarian yang mengalami perjalanan waktu cukup panjang,
struktur, repertoar gerak, dan tekniknya membaku dalam bentuk yang pasti.
Pola geraknya seakan mengkristal dan lekat dalam jenis kualitas dan genre-
nya hingga dikatakan sebagai tari tradisi. Sebegitu kuat wujud jenis dan
genre, tari gaya Surakarta menciptakan kepastian keindahannya sendiri yang
dikatakan adi luhung. Dalam penyajiannya yang berhasil penari telah harus
melampaui tahapan ketrampilan hingga penghayatan. Tahapan tersebut
dikatakan sebagai yang wiraga, wirama, dan wirasa. Sedangkan pola-pola
gerak, ritme, tempo, volume dan hubungan gerak dengan gendhing tari,
dibakukan dalam kaidah-kaidah yang disebut sebagai: Hasta Sawanda 10 yakni:
1) pacak, 2)pancat, 3) ulat, 4)lulut, 5)luwes, 6)wilet, 7) irama, dan 8) gending.
Konsep Hasta Sawanda ini merupakan gagasan R.T Atmokesowo (alm)
mengenai tolok ukur bagi penari tradisi Surakarta yang disebut “sampurna”
atau dasar seseorang untuk mencapai kualitas kepenarian tari Surakarta yang
lebih baik (Nanik dkk, 2007:46). Disamping konsep teknik dan rasa tersebut

6 Tarin gambyong inspirasi dari tayub yang ada di tengah-tengah masyarakat yang

diangkat ke dalam keraton untuk mendapatkan stilisasi hingga struktir dan pola geraknya
tertata halus dan rapi
7 Tari golek diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja putri dalam keraton,

menggambarkan kegembiraan anak-anak menuju remaja


8 Tari wireng. Susunan tari tunggal atau atau pasangan, baik berjumlah dua atau

kelipatannya yang dapat terdiri darimputra saja, putyri saja, atau putra dan putri, bertema
prajurit.
9 Tari pethilan, suatu bentuk koreografi dengan menggunakan tema/karekter tokoh

yang diambil atau me3ndapat inspirasi dari suatu cerita tertentu. Terdapat satu atau dua sosok
tokoh karakter dari cerita tertentu yang dikenal masyarakat Jawa.
10 Hasta Sawanda yang berarti delapan menyatu dalam tubuh (wanda) merupakan

kosep teknik menari yang sempurna.

3
terdapat juga konsep menari pada tingkat kepantasan budaya tari yang
disebut: sengguh, mungguh, lungguh (empan papan) 11 .
Melihat dengan seksama bahwa isi tari atau yang disebut tema, tari
gaya Surakarta memilih persoalan-persoalan batin manusia secara
membudaya. Gejolak batin manusia dalam persoalan hidupnya, dalam
interaksinya dengan individu pribadi, dengan individu pihak lain, individu
dengan lingkungan, bahkan individu dengan yang ada dimana yang
mengatasi dirinya. Peristiwa batin manusia itu selanjutnya dicarikan wadah
yang diambil dari cerita-cerita terkenal seperti Mahabarata, Ramayana, Cerita
Panji, Serat Lokapala, dan cerita terkenal lain yang diakrabi masyarakat Jawa
utamanya. Namun ada pula diambil dari cerita rakyat, mitos, legenda, dan
juga benda-benda yang dekat dengan lingkungannya.
Tema atau isi tari dikemas dalam perwujudan tokoh manusia ideal
yang fiktif maupun yang nyata ada dalam kehidupan. Ideal dalam pengertian
karakteristik yang dimiliki setiap tokoh menggambarkan sifat-sifatnya yang
jelas. Sifat buruk, sifat serakah, angkara murka, pemarah, licik, dan sifat-sifat
negatif lainnya. Dibalik itu terdapat sifat yang baik, jujur, pemaaf, kasih
sayang, lembut, dan sifat positif lainnya. Namun ada pula sifat jenaka yang
sekedar lucu, tetapi juga jenaka yang kritis terhadap fenomena yang terjadi di
lingkungan, dan masih banyak karakteristik yang menggambarkan sifat
manusia seluruhnya. Tema digambarkan dengan ketokohan dan
karakteristiknya diperhatikan secara seksama melalui berbagai tindakan. Bisa
melalui sifat fisiologi (tubuh fisik), pemilihan gerak, suara dan dialog,
pewarnaan dalam atribut busana dan tata riasnya, rasa gendhing, dan lain-lain.
Membahas tari gaya Surakarta secara komprehensip membutuhkan
waktu yang cukup lama dan kajian yang mendalam karena teba wilayahnya
sangat luas. Pada kesempatan kali ini dipilih tiga repertoar tari yang
digolongkan dalam genre Golek, Pethilan dan/atau Wireng Pethilan. Repertoar
tari yang dimaksud adalah tari Klana, Gunungsari, dan Golek Manis. Tari
Klana digolongkan genre Pethilan dengan struktur Wireng 12 . Tari Golek Manis
termasuk genre Golek, sedangkan tari Gunungsari tidal ada beda dengan tari
Klana yaitu Pethilan dengan struktur Wireng. Tulisan ini difokuskan pada
deskripsi gerak dan dijelaskan pula struktur, jenis kualitas, genre,

11 Periksa Wahyu Santosa Prabowo, “Tari Wireng Gaya Surakarta Refleksi Kearifan

Budaya (Pidato Dies Natalis XLIII ISI Surakarta, 14 Juli 2007). 30-31
12 Genre Pethilan menggunakan struktur Wireng selanjutnya dapat disebut Wireng

Pethilan merupakan perkembangan yang kemudian setelah sebelumnya Wireng ada terlebih
dulu kemudian lahir genre Pethilan.

4
karakteristik, tema dan aspek keindahannya. Alasan pemilihan dan fokusnya
perlu dijelaskan di sini bahwa ketiga tarian ini merupakan materi ajar pada
Jurusan Seni Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.
Sebagai materi silang gaya tari, pembelajarannya adalah kemampuan
mahasiswa untuk menguasai secara teknik repertoar gerak sehingga keluaran
mata kuliah adalah kemampuan menyajikan tari yang dimaksud. Namun
demikian sebagai masyarakat akademis, tujuan utama bukan saja pada
kemampuan penguasaan repertoar tari atau penguasaan teknik gerak tari
yang berujung pada penyaajiannya. Tetapi bagaimana yang teknik tersebut
dapat merangsang kepada kemampuan telaah sebagaimana dipersyaratkan
sebagai warga akademik. Tersebab itu, aspek lain sebagai penguat nilai
akademik perlu dan penting dibelajarkan. Bahwa tari bukan sekedar penataan
gerak kemudian dipamerkan di atas pentas, tetapi tari merupakan produk
budaya, di dalamnya termuat nilai-nilai yang signifikan bagi masyarakatnya,
oleh karenanya signifikan pula untuk diketahui sebagai pengetahuan. Nilai
histori, nilai filosofi, nilai artistik dan nilai keindahannya. Dengan jangkauan
pengetahuan tentang tari tersebut, mahasiswa mampu menguasai secara
teknik juga lebih dapat mengapresiasi secara luas.
Atas dasar pemikiran tersebut, perlu diadakan catatan dalam bentuk
buku referensi yang memuat secara teknik juga aspek pengetahuan yang
melatar belakanginya. Catatan atau buku referensi ini terbilang dalam tataran
pemula, kedepan perlu diadakan pengembangan yang lebih luas sehingga
cakupan wilayah teknis dan non teknis tari gaya Surakarta dapat memberikan
pengetahuan yang lebih bermakna akademis bagi mahasiswa pada khususnya
dan para pembaca pada umumnya.

5
BAB II
GAMBARAN UMUM TARI GAYA SURAKARTA

Telah disebut pada bab. terdahulu bahwa tari gaya Surakarta


merupakan hasil kebudayaan Kerajaan Mataram utamanya Mataram Baru.
Setelah terpecah menjadi kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta, dan lebih
kecil lagi di Yogyakarta menjadi Kasultanan dan Pakualaman, sementara di
Surakarta menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran, tari gaya Surakarta 13
mengalami perkembangan pesat justeru di luar tembok keraton. Ketika
keraton tidak lagi memiliki kekuasaan politik, maka seniman yang
sebelumnya bekerja untuk kesenian di keraton lebih mengembangkan hasil-
hasil karyanya di luar keraton.
Kehadiran para seniman keraton di dalam masyarakat mendapat
sambutan yang positif utamanya bagi para penggiat seni tari. Keberadaannya
menginspirasi banyak kalangan lebih-lebih ketika berdiri pendidikan dasar
tingakat menengah atas (Konservatori Karawitan disingkat KOKAR) dan
ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Surakarta tingkat perguruan
tinggi, serta kelompok-kelompok dan/atau sanggar yang mengelola seni tari.
Seniman tari seperti K.R.T Kusumakesawa, R.T Atmokesowo, S. Maridi, S.
Ngaliman, memiliki pengaruh besar bagi perkembangan tari gaya Surakarta
di luar tembok keraton dan utamanya bagi pendidikan seni. K.R.T 14
Kusumakesawa tahun 1930-an menyusun gerak dasar tari putri, alus dan
gagah dengan repertoar gerak yang disebut sebagai tayungan dan sekaran.
Tayungan adalah gerak berbagai jenis berjalan (lumaksana) dan sekaran
merupakan bentuk repertoar gerak dengan berbagai jenis variasi (kembangan).
Susunan gerak berjalan dan sekaran ini kemudian disebut rantaya adalah
dasar belajar menari tari gaya Surakarta 15 .
Berikutnya tahun 1960-an beliau menciptakan cukup banyak tarian
yang ber-genre Wireng dan Gambyong. Diantara karya karyanya adalah: Retna
Pamudya, Pancaretna, Nawaretna, Mandraretna, Saptaretna, Retna Aditya,

13
Tari gaya Surakarta yang peneliti maksud adalah tari yang tumbuh dari keraton
Kasunanan di Surakarta.
14 K.R.T adalah kependekan dari Kanjeng Raden Tumunggung merupakan gelar

kehormatan kerajaan yang diberikan kepada orang yang dekat atau berjasa kepada kerajaan di
Jawa
15 Periksa Sri Rochana Widyastutieningrum, Revitalisasi Tari Gaya Surakarta, 2012:6, ISI

Press Surakarta bekerja sama dengan Pascasarjana ISI Surakarta.

6
Kridarini, Kridakusuma, Surenglaya, Sukaretna, dan Kukila. Dari kreativitasnya
juga tercipta tari Tandingan Putra Alus, Nagapasa, Ngrenas (Ngrenaswara)
Gambyong Pangkur, Sri Pamasa dan Rama Adilaga (Sumargana, 2001:57). Dari
tangan dinginnya juga terlahir Sendratari Ramayana yang pola koreografinya
dapat disaksikan pertunjukannya hingga saat sekarang ini.
Periode berikutnya S. Ngaliman menunjukkan eksistensinya dengan
menciptakan banyak genre tarian. Sederet nama karya tarinya dapat disebut
disini adalah: Tari Prawiraguna, Sembadra Larung, Kridawarastra, Sendratari
Keong Mas, Bathik, Retna Tinanding, Taman Soka, Burung untuk Ramayana,
Gambyong Campursari, Bondan Mardisiwi, Bondan Tani, Kartini, panggayuh, Jaka
Tarup, Pejuang, Retna Ngayuda, Rahwana Badra, Ciptoning, Pemburu Kijang,
Yudasmara, Kumbakarna Gugur, Pamungkas, Panji Topeng, Babad Alas Wanawarto,
Gambyong Pareanom, Manggalaretna, Sancaya Kusumawicitra, Begawan Wisrawa,
Topeng Gunungsari, Panji Tunggal, Bedhaya Anglirmendung, Bedhaya Pangkur,
pemadatan Karna Tinanding, Panji Kembar, Srimpi Gambir Sawit Srimpi Dhempel,
Srimpi Anglir Mendung, dan Srimpi Gandakusuma.
Dekade berikutnya S. Maridi juga menciptakan tari Eko Prawiro,
Prawira Watang, Pethilan Anoman Anggada, Merak, Karonsih, Enggar-enggar
(endah), Lutung, Dramatari Bangun Majapahit, Srikandi Mustakaweni, Dramatari
Harya Penangsang Gugur, Lambangsih, Adaninggar Kelaswara, Garudayaksa,
Ramayana, Dramatari Wandansari, Dramatari Panji Semirang, Pethilan
Wirapratama, Wayang Orang, Golek Mugi Rahayu, Harjunasasra Sumantri,
Pasanggrahan, dan Dramatari Langen Sorengpati. Karya-karya tari yang
diciptakan oleh seniman tersebut berpijak secara ketat pada tari tradisi yang
tumbuh dari Keraton Kasunanan Surakarta, karena meraka semua adalah abdi
dalem langentaya di keraton Kasunanan Surakarta (Widyastitieningrum, 2012;
7-8).
Selanjutnya adalah peran lembaga Pengembangan Kesenian Jawa
Tengah (PKJT) dan pendidikan tinggi yang dalam hal ini adalah Akademi
Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta yang kedua lembaga tersebut
dipimpin oleh S.D Humardani. Upaya yang dilakukan untuk kelangsungan
hidup tari gaya Surakarta adalah: 1) Penggalian, 2) Penggarapan dan/atau
Pemadatan, 3) Penciptaan karya tari baru disertai peningkatan mutunya, dan
4) Penyebarluasan. Proyek penggalihan, dua lembaga tersebut melibatkan
seniman keraton seperti: Darsodipuro, Sulomo, Sutjiati Djoko Suharjo, ibu
Yudadiningrat, dan Satrio Suripto. Dari kegiatan penggalihan tersusunlah
kembali Srimpi Tamenggito, Srimpi Gambirsawit, Srimpi Sangupati, Srimpi
Gandakusima, Bedhaya Pangkur, dan Bedhaya Duradasih. Dalam bentuk tari

7
Wireng, tersusun kembali Karna Tanding, Palguna Palgunadi, Lawung, Panji
Enem, dan sebagainya. Dari penggalian tersebut dilanjutkan dengan
pemadatan untuk mengurangi pengulangan-pengulangan gerak agar lebih
mantap tidak membosankan. Periode berikutnya, kerjasama Agus Tasman, S.
Maridi, Sunarno, dan Wahyu Santosa Prabawa pada tahun 1971 tercipta
Dramatari Bangun Majapahit yang dipentaskan beberapa kali bahkan tahun
1974 dipentaskan di luar Jawa. Karya Dramatari Bangun Majapahit kemudian
menginspirasi lahirnya tari Pethilan yaitu tari enggar-enggar (endah) oleh S.
Maridi dan Minakjiggo Ronggolawe karya Sunaro Purwolelono.
PKJT dan ASKI merupakan semangat baru bagi hidup, tumbuh, dan
berkembangnya tari gaya Surakarta. Perubahan dalam arti pengembangan
telah dilakukan kedua lembaga tersebut dalam bentuk pola “baru” yang
sangat berbeda dengan yang hidup dan berkembang di dalam keraton
Kasunanan. Perbedaan itu sangat terasa karena perubahan utamanya pada
tari gagah dan tari putri. Untuk tari gagah berkembang pola onclangan, ayun,
junjungan kaki, genjotan, juga pola gerak kiprahan. Perubahan juga dilakukan
pada perluasan volume, dinamika dan kualitas gerak. Pola rampak juga
dihasilkan oleh lembaga ini sehingga lahir konsep baru yaitu rampak dalam
tari Kelompok Bertema (Widyastutieningrum, 2012:42-51)
Sinergi PKJT dan ASKI melahirkan karya-karya baru. Seluruh genre
tari gaya Surakarta mendapatkan perhatian dan penanganan serius. Melalui
kerja penggalian, pemadatan, dan penciptaan susul menyusul hingga
menghasilkan karya baru tak terhitung jumlahnya. Sebagiannya
dimanfaatkan untuk meteri ajar bagi mahasiswa kuliah, untuk kepentingan
festival, dan event-event penting lainnya. Pada era ini dan sesudahnya
muncul seniman-seniman baru yang produktif. Ada nama Sardono W.
Kusuma, Sulistya Tirtakukuma, dan Retno Maruti. Di dalam kampus sebagai
pengajar adalah para seniman juga seperti: Agus Tasman, Sunarno
Purwolelono, Wahyu Santosa Prabawa. Lebih muda lagi S. Pamardi, dan
Nuryanto, Didik Wahyudi, Bambang Suryono (mbesur) dan diteruskan yang
lebih muda lagi Eko Supriyanto, Eko Supendi dan lain-lain. Sedangkan untuk
seniman perempuan ada nama Nora Konstantina Dewi, Rusini, lebih muda
lagi Darmasti dan lain-lain. Sederet nama ini adalah seniman produktif
hingga karya-karyanya tak bisa disebutkan dalam tulisan ini. Dari keberadaan
para seniman tersebut tari gaya Surakarta mendapatkan perhatian dan
penanganan yang terus berkembang. Berkembang kuantitas juga berkembang
kualitas, berkembang warna dan genre-genre baru yang mungkin belum
terdeteksi dan terdefinisi dengan baik, berkembang pula persebarannya.

8
1. Pengertian Gaya Tari
Pada bab. satu (I) disinggung perihal pengertian gaya tari. Namun jika
bercermin kepada batasan tersebut, kita belum mendapatkan gambaran riil
perilaku yang memberi ciri khusus tentang gaya tari dimaksud. Kita memang
dipahamkan bahwa keaneka-ragaman budaya melahirkan gaya-gaya tari.
Pertanyaannya adalah, ciri khusus yang bagaimana yang memberikan
pengertian tentang gaya tari. Edy Sedyawati menyoroti tari Jawa yang secara
khusus mempunyai kaidah sebagai perilaku tari dan standar nilai yang
menyangkut rasa keindahanya. Tari Jawa menurut Sedyawati digambarkan
sebagai berikut:
Tari Jawa pada umumnya ditandai sikap dada yang tegap, langkah yang
serba tenang, dan sangat lekat dengan tanah, gerak lengan dengan variasi
arah yang halus tetapi dengan posisi stabil pada siku, gerak serba halus
tertahan berkelanjutan, gerak leher tertoleh dalam variasi, selendang
digunakan untuk memperluas kemungkinan bentuk, wajah tenang tidak
dimainkan (Sedyawati, 1986: 16).
Generalisasi tari Jawa menurut konsep Sedyawati ini bisa dimengerti
sebagai konsep umum tentang tari Jawa, karena kalau kita melihat secara rinci
dari masing-masing wilayah budaya tari Jawa masih memiliki ciri unik yang
membedakan dari wilayah Jawa yang lain. Lebih sempit lagi pada wilayah
sub. kultur dalam satu wilayah. Sebagaimana dalam pembahasan ini adalah
menyangkut produk budaya Kerajaan Mataram yang satu terpecah menjadi
empat wilayah yang berkembang pula empat sub. kultur. Yogyakarta yang
Kasultanan dan Pakualaman, Surakarta yang Kasunanan dan
Mangkunegaran.
Berkaitan dengan perbedaan yang semakin mengecil ini, lebih khusus
Sedyawati (1986:13) melihat kekhususan gaya tari sebagai sifat pembawaan
tari, yaitu menyangkut cara-cara bergerak tertentu yang merupakan ciri
pengenal dari gaya yang bersangkutan. Makna yang disampaikan
mengangkat ciri yang menonjol dalam gaya tari di samping karena teknik
pelaksanaan gerak adalah juga bentuk dan kualitasnya.
Suatu tari tertentu dilandasi oleh teknik tertentu dan dijiwai oleh sikap
badan dan sikap batin tertentu. Yang dimaksud dengan teknik tari adalah
cara-cara melaksanakan gerak-gerak tari secara tepat sehingga mencapai
bentuk serta gaya yang dikehendaki. Sedangkan sikap-sikap dari segi yang
lain adalah: sikap badan yang tepat, yang dapat diperinci atas sikap masing-

9
masing anggota badan seperti: torso, leher, kepala, lengan, dan tungkai; arah
bergerak yang tepat bagi setiap anggota badan. Ritme yang tepat dalam
melakukan rangkaian gerak dan kualitas gerak atau rasa gerak yang tepat
yang menandai keseluruhan tari, atau kualitas-kualitas gerak yang tepat bagi
bagian-bagian pada tari tertentu.
Pengertian ketepatan disebutkan di atas bukan ketepatan matematik
yang dinyatakan dengan ukuran-ukuran metrik. Tetapi ketepatan itu adalah
ukuran-ukuran yang harus bisa dirasakan sebagai sesuatu yang pantas dalam
kerangka gaya tari yang bersangkutan, dan dalam tata nilai kebudayaan yang
bersangkutan. Nah. Sikap, teknik, ketepatan dan kualitas yang disebutkan itu
menghasilkan bentuk-bentuk yang dapat diamati oleh penglihatan. Bagi
penonton bentuk-bentuk itu memberikan pengalaman visual dan sekaligus
pengalaman penghayatan rasa tari.
Bentuk mewujud dalam ruang membawa lambang-lambang ide yang
hendak disampaikan melalui tari yang bersangkutan. Sedangkan kualitas atau
rasa gerak merupakan segi teknik tari yang mempunyai pengaruh terhadap
penonton karena kualitas gerak tertentu menghasilkan rasa gerak dengan
karakter tertentu. Inilah kemudian menghasilkan gaya tari dengan sebutan
gaya tari Surakarta, gaya tari Yogyakarta, gaya tari Minangkabau, gaya tari
Bali, Malang, Madura dan sebutan-sebutan gaya personal seperi gaya S.
Ngaliman, S.Maridi, Munali Pattah, Ali Markasah, Toebi, Bolet dan lain
sebagainya. Kesemuanya merupakan kesatuan wujud tari dengan gaya yang
dibentuk oleh budaya lingkungannya. Dalam pembahasan berikutnya
dibicarakan lebih rinci mengenai sikap, teknik, ketepatan, kualitas dan
karakter yang kemudian menghasilkan gaya tari Surakarta.

2. Jenis Tari Gaya Surakarta


Memperbincangkan perihal jenis terdapat dua jenis yakni jenis sebagai
genre dan jenis yang menunjukkan kualitas. Pada pembahasan berikutnya
akan dibedakan keduanya.

a. Jenis Genre Tari Gaya Surakarya


Seperti disinggung pada bab. pendahuluan bahwa tari gaya Surakarta
terdapat setidaknya empat (4) genre utama dari dalam keraton, Yakni
Bedhaya, Srimpi, Gambyong, dan Golek (empat genre utama), dan dua genre
lagi yang lebih baru yaitu Wireng dan Pethilan, (Supanggah, 2007: 123).
Berikutnya tumbuh genre baru lagi menjadi sepuluh (10) ketika

10
berkembang di luar keraton yakni: Wireng Pethilan, Wayang Wong,
Dramatari atau Sendratari, dan kelompok Bertema. Berikut akan dibahas setiap
genrenya.

1. Genre Bedhaya
Bedhaya dari asal kata ambudhaya yang menurut Wedha
Pradangga adalah jajar-jajar sami beksa sarta tinabuhan ing gangsa
Lokananta (gending kemanak) binarung ing kidung sekar kawi atawi sekar
ageng (diterjemahkan: menari dalam posisi berbaris diiringi gamelan
Lokananta disertai nyanyian Sekar Kawi atau Sekar Ageng
(Prajapangrawit, 1990: 5, dalam Prabawa, 1990:114). Tari Bedhaya pada
dasarnya bukan tarian tontonan karena merupakan bagian dari
upacara atau atribut raja-raja Jawa (Kasunanan dan Kasultanan).
Di keraton, tari Bedhaya disajikan oleh sembilan (9) penari
lajang dengan gerakan yang nyaris sama, tata rias dan asesori busana
yang sama menyajikan suatu “ceritera” tertentu, biasanya bertema
perang dan/atau percintaan yang diungkapkan dengan cara yang
sangat abstrak, sehingga sulit untuk dimengerti oleh orang yang tidak
biasa dengan genre tari ini. Untuk mengetahui jalan ceritanya,
seseorang perlu mengikuti cakepan sindhenan, pola lantai (gawang), dan
tentunya koreografi tari ini yang gerakan dan (warna) kostum dan
aksesorinya sarat dengan simbol. Tari Bedhaya cenderung
menggunakan ekspresi wajah yang “beku” nyaris seperti topeng. Hal
ini berbeda sekali dengan Dramatari yang selalu menampilkan ekspresi
wajah untuk menunjang dan menguatkan watak tokoh (Supanggah,
2007:124-125).
Keraton Kasunanan Surakarta memiliki Bedhaya yang sangat
dikeramatkan yaitu Bedhaya Ketawang, kalau di Kasultanan
Yogyakarya Bedhaya Semang namanya. Keberadaan Bedhaya dalam
keraton ini banyak menyimpan misteri. Hal ini dikaitkan dengan
pemilihan penari yang masih lajang, dalam keadaan suci ketika
menari, dan melakukan ritual terlebih dahulu selama beberapa hari
menjelang pementasan. Begitu teliti dan rumit maka tari Bedhaya
dikatakan sebagai bentuk ritual semedi. Ini juga tidak terlepas dari
terciptanya tari Bedhaya awal mulanya yaitu pada pemerintahan Sultan
Agung Hanyakrakusuma yang gemar semedi dan kebiasaan itu
diteruskan oleh raja-raja berikutnya untuk mendapatkan petunjuk
gaib. Inilah kemudian tari Bedhaya sarat dengan simbol-simbol.

11
Sembilan (9) penari adalah semacam simbolis yang ditafsirkan
berbagai macam. C.A Van Peursen memberi tafsiran bahwa sembilan
penari Bedhaya berhubungan erat dengan eksistensi sembilan syakti
Dewa Syiwa 16 . Ini terkait dengan pola kepercayaan para ningrat Jawa
yang berlatar belakang pemikiran Hindu. Prabawa dalam tesisnya
menyebut sembilan sebagai simbol mikrokosmos (jagat kecil manusia)
ditandai dengan organ tubuh manusia yang terdiri dari: jantung atau
hati, kepala sebagai perwujudan pikiran dan jiwa, dua lengan, dua
tungkai, leher, dada, dan kelamin sebagai keinginan hati (Prabawa,
1990:119). Maka penari dalam tari Bedhaya mempunyai peran sendiri-
sendiri. Pada tari Bedhaya Yogyakarta disebut: endhel (semua nafsu
yang timbul dari hati), bathak (kepala dengan akal), jangga (leher), apit
ngajeng (lengan kanan), apit wingking (lengan kiri), dhadha (dada),
endhel wedalan ngajeng (tungkai kanan), endhel wedalan wingking
(tungkai kiri), dan buntil (alat kelamin atau organ seks). Penamaan itu
agak berbeda dengan Bedhaya di Surakarta, yaitu: bathak, endhel, endhel
ajeg, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, gulu, dada, dan buncit.
Rusini dalam tulisannya mengutip sembilan (9) sebagai jumlah
lubang pada tubuh manusia: kedua mata, kedua telinga, kedua lubang
hidung, mulut, dubur dan kelamin yang dikatakan sebagai babahan
hawa sanga. Menari Bedhaya adalah semedi untuk menutup lubang
sembilan (9) agar tidak tergoda nafsu jahat dan mendapat petunjuk
dari Tuhan Yang Maha Esa (GPH. Brontodiningrat 1982,
Prodjopangrawit, 1990:57) dalam rusini 1999:122). Setyoasih melihat
angka sembilan (9) merupakan pengaruh Hindu yang menyebut
sebagai pancaran rasa: cinta, tawa, kesedihan, kemarahan, semangat,
ketakutan, kemuakan, keheranan, dan ketenangan atau ketenteraman
hati (Setyoasih, 2000:32).
Tafsir angka sembilan (9) yang simbolik memang berseliweran
di sana sini, tetapi kita bisa melihat bagaimana angka sembilan (9)
dalam tari Bedhaya bermula. Bahwa Sultan Agung setelah menciptakan
gending yang diberi nama: Gendhing Ketawang 17 , Sultan memilih putri

16 Periksa C.A Van peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976.
P. 18.
Ketawang berarti angkasa. Diberinama gendhing ketawang karena Sultan Agung dalam
17

semadinya mendengar suara gaib dari angkasa, kemudian diingat suara tersebut dan
dicatatnya dalam ingatan beserta suasana yang menyelimuti malam sepi saat semadinya.
Kemudian diciptalah gendhing ketawang. Periksa R.T Warsadiningrat, 1943. Wedhapradangga.

12
untuk menarikan Bedhaya dari nayaka wolu (delapan pejabat istana)
yang masing-masing diambil seorang. Kemudian ditambah satu lagi
agar menjadi sembilan yaitu cucu perempuan patih dalem (patih raja)
untuk berperan sebagai bathak. Seperti inilah awal mula adanya tari
Bedhaya Ketawang dengan sembilan (9) penari di dalam kerajaan
Mataram Islam. Lantas jumlah sembilan (9) juga dikaitkan dengan
jumlah para wali yang berada pada kekuasaan Mataram Islam. Tari
Bedhaya Ketawang hingga sekarang tetap menjadi milik keraton dan
ditarikan oleh abdi keraton.
Ketika PKJT dan ASKI memerankan program penggalian,
muncul tari Bedhaya dari program ini. Tari Bedhaya Ela-ela adalah yang
pertama hasil penggalian kemudian dipadatkan. Ela-ela selanjutnya
diubah menjadi Lala atau Bedhaya Lala. Agus Tasman berperan penting
dalam penafsiran gerak yang sebelumnya telah ada gendhing Ela-ela
yang direkonstruksi oleh Martapangrawit. Berikutnya bermunculan
tari Bedhaya masih dalam hasil penggalian dan pemadatan seperti:
Bedhaya Pangkur dan Bedhaya Tolu, Bedhaya Alok, Bedhaya Kadukmanis
atau Si Kadukmanis, dan Bedhaya Lemah Putih oleh A. Tasman.
Selanjutnya Nora Konstantina Dewi mencipta Bedhaya Candrakirana,
Rusini mencipta Bedhaya Banguntulak dan Badhaya Timasan serta
memadatkan tari Bedhaya Duradasih. Sri Sumarni adalah mahasiswa
Jurusan Tari di STSI (yang dulu ASKI) dalam tugas akhir
kesarjanaannya menciptakan Bedhaya namanya Bedhaya Dudu. Bahkan
sebelumnya Bagong Kussudiardjo menciptakan Bedhaya Gendheng.
Berikutnya terus lahir Bedhaya-Bedhaya seperti Bedhaya Pajang oleh
Eulalia Gunarti, Bedhaya Pulung oleh S. Ngaliman, Bedhaya Ciptoning
oleh Sulistyo Haryanti, Bedhaya Arumdalu oleh Dwi Maryani, Bedhaya
Kakung Siguse, dan Bedhaya-Bedhaya lain yang tidak disebut dalam
tulisan ini (periksa Widyastutieningrum, 2010: 59-79)
Bedhaya yang sampai saat ini sering dipertunjukkan adalah
Badhaya Lala, Bedhaya Duradasih. Selain dipertunjukkan untuk acara-
acara resmi upacara di Institusi ISI Surakarta juga untuk materi mata
kuliah pada jurusan tari.

Naskah tulisan tangan huruf Jawa yang ditransliterasikan oleh R. Nwiranto Wijoyosuwarno
(1972), kemudian disunting oleh Sri Hastanto dan Sugeng Nugraha (1990), P. 54-55.

13
2. Genre Srimpi
Tari Srimpi hampir sama dengan tari Bedhaya, jika ditinjau dari
tata rias, busana dan aksesoris, ekspresi penari yang dingin dan beku.
Bahkan orang menyebut genre tari Srimpi sebagai jenis tarian yang
tidak ada bedanya dengan Bedhaya, hanya saja Tari Srimpi memiliki
format yang lebih kecil yaitu ditarikan oleh empat (4) remaja putri.
Persyaratan pemilihan kualitas penari juga tidak seketat dan seberat
tari Bedhaya. Tetapi panari Srimpi di keraton berasal dari keluarga atau
kerabat, anak cucu raja.
Jika Bedhaya merupakan sarana upacara kerajaan yang bersifat
ritual, Tari Srimpi ini sedikit berbeda yakni untuk kelangenan, sarana
hiburan keluarga kerajaan, juga untuk disuguhkan dihadapan tamu
agung kerajaan. Bahkan Tari Srimpi acap kali dibawa keluar dari
keraton untuk dipamerkan, dipergelarkan dalam acara jamuan
penting seperti dengan gubernur atau residen Belanda waktu itu. Atau
dimana saja diperlukan dalam rangka kunjungan kerja pejabat
kerajaan 18 .
Di Keraton dapat dijumpai berbagai jenis tari Srimpi,
diantaranya: Srimpi Dempel, Srimpi Ludiramadu, Srimpi Gandakusuma,
Srimpi Anglir Mendung, Srimpi Sangopati, Srimpi Tamenggito, Srimpi
Lobong, Srimpi Sekarsih, dan masih ada lagi Srimpi-Srimpi lain yang
tidak disebutkan pada tulisan ini. Secara musikal tari Srimpi juga
memiliki kesamaan dengan musikal tari Bedhaya utamanya pada
penggunaan alat musik spesial yang disebut kemanak 19 dan keplok-
alok 20 . Pada era sekarang ini pertunjukan tari Srimpi makin jarang
dijumpai di dalam keraton karena posisi keraton tidak lagi memiliki
kekuasaan politik sehingga tamu atau kunjungan kerja tidak ada lagi
yang memerlukan jamuan istimewa dengan menghadirkan tarian.
Tetapi tari Bedhaya Ketawang tetap menjadi bagian upacara yang pada
saat jumenengan 21 atau tingalan dalem 22 raja.

18 Periksa Rahayu Supanggah, 2007. Bothekan Karawitan II: Garap. Surakarta, ISI Press.
19
Kemanak adalah alat musik berbentuk pisang dibelah, terbuat dari perunggu.
Kemanak yang digunakan adalah sepasang dengan nada yang berbeda.
20 Keplok alok merupakan bunyi dan suara yang berasal dari tepuk tangan (keplok) dan

suara dari rongga mulut para wiraswara pengrawit (alok) yang ditata sedemikian rupa dalam
ritme yang pasti
21 Jumenengan adalah pengangkatan raja baru yang harus dirayakan besar-besaran dan

tari Bedhaya Ketawang hadir menjadi bagian dari upacara kebesaran raja baru.

14
Di luar tembok keraton, tari Srimpi telah banyak dipentaskan
oleh kelompok-kelompok, komunitas, dan/atau sanggar-sanggar tari
yang mengelola tari gaya Surakarta. Termasuk juga ISI Surakarta 23
adalah lembaga perguruan tinggi seni yang mengelola seni tradisi
Surakarta banyak berperan melestarikan dan mengembangkannya.
Tari Srimpi juga menjadi perhatian untuk dikembangkan dengan cara
pemadatan dan pemantaban kualitasnya.
Atas anjuran S.D Humardani, para pengajar di perguruan
tinggi seni di Surakarta (isi), diantaranya adalah: Agus Tasman,
Rusini, dan Nora Konstantina Dewi (alm) berhasil memadatkan
beberapa tari Srimpi, yakni: Srimpi Sangopati, Srimpi Anglir Mendung,
Srimpi Ludiramadu, Srimpi Gandakusuma, Srimpi Sukarsih. Berikutnya
Rusini memadatkan lagi Srimpi Lobong untuk 1000 hari meninggalnya
Martapangrawit. Dilanjutkan memadatkan lagi Srimpi Dhempel. Nora
Konstantina dewi (alm) dan Rusini lagi-lagi memadatkan Srimpi
Tamenggito untuk materi pembelajaran di jurusan seni tari ISI
Surakarta (Widyastutieningrum, 2012:30).
Fenomena tari Srimpi tidak berhenti pada rekonstruksi dan
pemadatan yang masih lekat dengan kaidah-kaidah tradisi secara
ketat. Terdapat pula kreativitas sebagai bentuk pernyataan yang
kekinian. Apakah bertujuan untuk menanggapi pola yang cenderung
beku ataukah untuk memberi warna lain dari kebiasaan komposisi
yang formal. Kreativitas terus berlangsung meskipun tetap berpijak
pada tradisi yang ada. Seperti ungkapan Sal Murgianto:
Para koreografer yang cenderung terikat pada kaidah-kaidah
tari tradisi berusaha melakukan revitalisasi tari tradisi. Dalam
revitalisasi diperlukan kreativitas untuk dapat menyusun
kembali tari yang kreatif dalam membuat bervariasi
(Murgianto, 2004:xii)
Sinyal yang dihembuskan Sal Murgianto ditangkap oleh penata
tari dengan menciptakan tari Srimpi Kesrimpet. Citra baru
dikembangkan melalui penataan gerak, komposisi ruang, busana dan
musikalitas, bahkan terdapat vokal berlagu (tembang) dari penarinya.

22 Tingalan dalem adalah hari ulang tahun diangkatnya raja. Pada setiap tahun selalu

dirayakan dengan pertunjukan Bedhaya Ketawang.


23 ISI Surakarta yang pada masa awal berdiri berstatus Akademi yaitu Akademi Seni
Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta. Kemudian berubah status menjadi Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta, yang pada saat penelitian ini dilakukan sudah berubah menjadi
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

15
Konstruksi yang membangun imajinasi tari Srimpi sebagai tari yang
dingin dan beku dalam ekspresi dibongkar habis dalam Srimpi
Kesrimpet. Bahwa Srimpi baru yang diciptakan kelompok sagita 24 ini
bersifat sarkastis, emosional, dan lucu berbaur padu menciptakan
imajinasi paradoks.
Tari Srimpi, apapun jenis dan namanya telah berkembang baik
kualitas dan persebarannya. Tari Srimpi kemudian dapat dinikmati
tidak sebatas di dalam keraton yang melahirkannya tetapi telah dapat
disaksikan jauh dari wilayah budayanya. Di Surabaya, oleh kelompok
Tri Bhuana, dan Mustika Yuastina, tari Srimpi bahkan tari Bedhaya telah
menjadi bagian dari nomor-nomor pertunjukan yang dapat dinikmati
oleh khalayak umum.

3. Genre Gambyong
Tari Gambyong, nama generiknya yang lebih tua disebut
Sedyawati sebagai Runggeng (Sedyawati, dalam Widyastutieningrung,
2004: xi) merupakan tarian yang semula berasal dari tayub dan/atau
tledhek 25 . Berita tari Gambyong yang bermula dari tayub dan/atau
tledhek ini banyak diceritakan pada tulisan-tulisan lama seperti: Serat
Centini, Serat Sastramiruda, bahkan dalam buku The History of Java, dan
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Fakta ini menunjukkan
bahwa Gambyong memang terkait dengan pertunjukan Tayub. Tayub
sebagai nama genre pertunjukan terdapat di dalamnya waranggana
yang sekaligus bisa menari itulah tledhek sebagai cikal bakal tari
Gambyong.
Dalam penulisan ini peneliti tidak membahas sejarah Gambyong
dengan mengambil data dalam tulisan-tulisan seperti disebutkan
sebelumnya, tetapi melihat Gambyong sebagai genre tari yang juga
tumbuh sementara waktu di dalam lingkungan kerajaan dan keluar
lagi dalam bentuk kemasan yang menarik dan berkembang pesat di
luar tembok keraton. Di Kasunanan Surakarta, Gambyong pada
awalnya disebut sebagai tayub. Data yang menyebutkan adanya tayub
juga tertulis dalam Babad Cariyos Lampahanipun Swargi R.Ng.

24 Sagita merupakan nama kelompok kesenian yang lebih banyak bergerak pada

pertunjukan tari. Kelompok sagita lahjir dari kota Solo yang memanfaatkan tari unhtuk
dikemas ulang menghadirkan nuansa barun yang komedian.
25 Iastilah tledhek cukup beragam dalam sebutan dan penulisannya, seperti: kaledhek,

taledhek, atau ledhek saja. Dalam tulisan ini peneliti menyebut secara beragam.

16
Ronggowarsito. Buku tersebut mengungkap adanya pertunjukan tayub
dalam acara syukuran atau kaul karena R.Ng. Ronggowarsito yang
ketika muda bernama Bagus Burham telah selesai menempuh
pendidikan di pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo. Disebut dalam
terjemahan sebagai berikut:
Pada waktu itu tayub segera mulai atas persetujuan M.Ng.
Ronggowarsito, yang diminta tampil lebih dahulu adalah
Kramaleya didampingi oleh Ki Tunajaya, dan Ki Jasana, diiringi
gendhing Cangklek Panaraga. Tingkah laku mereka sangat lucu
dan segala gerak geriknya membuat penonton tertawa. Penari
taledhek bernama Gambyong memiliki ketrampilan menari dan
kemerduan suara, sehingga menjadi pujaan kaum muda pada
zaman itu (Sudibyo, 1979:180).
Tampaknya dalam tulisan tersebut nama Gambyong disebut
sebagai nama taledhek. Tetapi itu tidak serta merta nama tari Gambyong
diambil dari nama teledhek, karena nama tari Gambyong sudah disebut
jauh sebelum masa R.Ng. Ronggowarsito, yakni pada masa Serat
Centini ditulis oleh Susuhunan Paku Buwana IV dan Susuhunan Paku
Buwana V. Sementara R.Ng. Ronggowarsito hidup pada masa
Susuhunan Paku Buwana IX. Nama tari Gambyong juga dikaitkan
dengan gendhing yang mengiringi tarian tersebut yakni gendhing
Gambirsawit dilanjutkan gendhing Boyong. Namun sekali lagi tulisan ini
tidak sedang mengungkap sejarah Gambyong, oleh sebab itu kita
hentikan polemik tentang asal usul nama tarian Gambyong karena
peneliti terdahulu-pun yang meneliti sejarah tari Gambyong belum
mendapatkan jawaban yang pasti.
Terdapat beberapa nama tari Gambyong, seperti: Gambyong
Gambirsawit, Gambyong Pareanom, Gmbyong Pangkur, Gambyong
Mudatama, Gambyong Ayun Ayun, Gambyong Sumyar, Gambyong Pangkur
Langen Kusuma, Gambyong Sala Minulya, Gambyong Campursari
(Widyastutieningrum, 2004:88). Nama-nama tari Gambyong tersebut
diambil dari nama gendhing yang mengiringinya. Masih terdapat nama
tari Gambyong yang lain seiring perkembangan tari Gambyong itu
sendiri seperti Gambyong Pancasila, Gambyong Dewandaru, Gambyong
Pancarena, dan terdapat nama Gambyong lain yang tidak disebut disini.
Berbagai ragam dan macam tari Gambyong menunjukkan
tingkat penerimaan masyarakat yang baik. Sudah barang tentu setiap
tari Gambyong memiliki ciri-ciri yang spesifik menunjukkan karakter
internalnya yang unik. Namun demikian semua menuju karakter

17
umumnya yang “menampilkan olah keprigelan wanita yang meliputi:
tregel (lincah), kenes (genit), kewes (lemah gemulai), luwes (tidak
canggung), dan prenes (lincah). Nyi Bei Mardusari 26 menambahkan
bahwa tari Gambyong itu menampilkan rasa berag (gembira)
(Widyastutieningrum, 2004:8).
Dari beragam nama Gambyong yang tercipta, ada beberapa tari
Gambyong yang memiliki keunggulan. Keunggulan tari Gambyong
tersebut dapat dicermati dari eksistensinya di tengah-tengah
kehidupan masyarakat yakni mendapat kesempatan hadir dalam
berbagai perhelatan. Tari Gambyong yang dimaksud seperti Tari
Gambyong Pareanom, Tari Gambyong Pangkur, dan berikutnya tari
Gambyong Gambirsawit. Tari Gambyong yang baru disebutkan banyak
dijadikan materi ajar pada lembaga-lembaga pengelola tari seperti
untuk materi pelajaran atau materi kuliah atau juga materi pelatihan di
sanggar-sanggar tari. Keberadaan tari Gambyong tersebut acapkali kita
saksikan di hajatan-hajatan kemasyarakatan seperti pernikahan dan
juga pada acara instansional pembukaan operasional perusahaan.
Bahwa tari Gambyong masih memiliki fungsinya yang utama yakni
untuk menghibur masyarakat.

4. Genre Wireng
Genre Wireng, disebut sebagai tari tunggal atau pasangan, baik
berjumlah dua atau kelipatannya, yang dapat terdiri dari putra saja,
putri saja atau putra dan putri (Supanggah, 2007: 129). Pada awal
mula, penciptaan tari Wireng tidak menggambarkan karakter tokoh
tertentu, tetapi hanya menunjukkan gerak dan penyatuannya dengan
gendhing dalam orkestra gamelan Jawa sebagai musik tari
(Purwolelono dalam Nanik dkk, 2007: 119). Istilah Wireng, menurut
Supanggah merupakan kata jadian dari bahasa Jawa wira yang
mendapat sufiks ing. Wireng dengan demikian berarti prajurit atau
kesatria, dan faktanya dapat dilihat bahwa kebanyakan Wireng gaya
Surakarta merupakan beksan atau tari yang bertemakan perang atau
latihan perang-perangan (Supanggah, 2007: 129).
Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa tarian Wireng
diantaranya: Tari Kusuma Tanding untuk Wireng tunggal putri, tari Eko

26
Nyi Bei Mardusari adalah tokoh penari Gambyong dari Pura Mangkunegaran pada
masanya

18
Prawira untuk Wireng tunggal putra gagah, tari Dhadhap untuk Wireng
putra alus. Sedangkan untuk Wireng pasangan seperti tari Bandayuda,
tari Jemparing Alit dan Jemparing Ageng, Tari Lawung Alit dan tari
Lawung Ageng. Untuk tari Wireng pasangan ini bisa juga
dilipatgandakan jumlah penarinya yaitu empat, enan, dan seterusnya.

5. Genre Wireng Pethilan


Genre Wireng Pethilan terdapat beberapa perbedaan jika
dibandingkan dengan genre Wireng. Wireng Pethilan menggambarkan
tokoh tertentu dengan karakter tertentu yang diambil dari cerita
tertentu. Seperti istilahnya yaitu pethil yang berarti mengambil
sebagian. Jadi Pethilan adalah menggambil sebagian tokoh dari cerita
tertentu. Dalam Wireng Pethilan dapat diketahui misalnya: Tari Arjuna
Sasara dan Sumantri, Karna Tanding, Anila Prahasta, Sancaya
Kusumawicitra, Setyaki Burisrawa, Duryudana Wrekudara, Handaga Bugis,
Tohjaya Bugis, untuk Wireng Pethilan pasangan dua jenis karakter. Tari
Panji Kembar, Bugis Kembar, untuk pasangan sejenis satu karakter. Tari
Klana Gandrung, Gunungsari, Burisrawa Gandrung, Gatutkaca Gandrung,
adalah tari Wireng Pethilan tunggal. Terdapat juga Wireng Pethilan tiga
karakter dan empat karakter. Tiga karakter seperti tari Klana Sekartaji
yang terdiri dari tokoh Klana Sewandana, Dewi Sekartaji, dan Panji
Inukertapati. Sedangkan empat karakter yaitu tari Kusumayuda yang
menggambarkan empat kesatria dari tokoh Gatutkaca, Abimanyu,
Antareja, dan Setyaki. Tentu masih banyak lagi jenis Wireng Pethilan
yang tidak disebut dalam tulisan ini.

Ciri-Ciri Genre Wireng


Struktur tari Wireng terdiri dari:
a. Maju Beksan, yaitu awal sebuah tarian Wireng dimulai.
Lantunan vokal atau yang akrab dikatakan sebagai ada-ada.
Pada bagian ini penari menuju posisi yang disebut gawang.
Posisi atau gawang yang dituju adalah posisi tengah bagian
paling belakang. Penari duduk bersila menunggu gending
berikutnya yaitu gendhing srepeg. Ketika gendhing Srepeg
dimulai, penari mulai dengan gerak sembah dengan dua level
yaitu sembah sila dan sembah jengkeng. Dilanjutkan penari berdiri

19
melakukan gerak penghubung, sabetan namanya. Dilanjutkan
lumaksana, ombak banyu, srisig atau berjalan dengan cara jinjit
dilakukan dengan cepat menuju gawang atau posisi tengah atau
gawang beksan, dan penari duduk bersila kembali.
b. Beksan, yaitu bagian utama pada tari Wireng. Pada bagian
utama ini memperlihatkan gladi atau latihan perang-perangan,
dan juga perang sungguhan. Terdapat setidaknya dua macam
perang yaitu perang simbolik dengan beradu posisi lengan
dalam pola gerak sekaran. Yang kedua perang sungguhan yang
terdiri dari perang tangkepan dan perang ruket. Perbedaan
perang ini ditandai juga perubahan suasana yang dipacu oleh
perubahan pada musik tari. Pada peristiwa perang ini terdapat
dua pola yaitu tidak ada yang kalah dan salah satu ada yang
kalah. Pada bagian beksan diakhiri dengan posisi kembali pada
sikap yang sama pada kedua penari untuk menuju akhir tarian.
c. Mundur Beksan, yaitu bagian akhir pada tari Wireng . Kedua
penari melakukan gerakan sembah dilanjutkan sabetan, srisig
menuju gawang tengah belakang yang disebut gawang supana
dan berakhir sembah juga pada gawang ini.

Struktur musik tari Wireng lazim menggunakan urutan gending


sebagai berikut:
a. Lancaran, untuk maju beksan
b. Landrang, untuk beksan,
c. Lancaran, ulangan dari lancaran pertama, untuk gladi perang
atau perang
d. Ladrang sebagai ulangan untuk ladrang sebelumnya, untuk
beksan kedua dengan durasi yang lebih pendek, kemudian
diakhiri dengan lancaran yang sama, seperti lancaran pertama
dan kedua untuk mundur beksan.
Kadangkala, sebelum lancaran yang pertama, disajikan dulu ada-
ada untuk menyertai masuknya penari (Supanggah, 2007: 130)

6. Genre Pethilan
Pethilan merupakan bentuk koreografi dengan menggunakan
tema, dan/atau karakter tertentu yang diambil atau mendapatkan

20
inspirasin dari cerita tertentu. Tema dan struktur tari dengan genre
Pethilan ini bisa sama dengan Wireng. Oleh karena itu disebut juga
Wireng Pethilan. Dan dapat diketahui Wireng Pethilan yang strukturnya
sama dengan Wireng adalah bertema peperangan. Beberapa contoh
sudah disebutkan pada genre Wireng Pethilan.
Tari Pethilan yang temanya di luar perang-perangan adalah
gandrungan dan pengelanaan. Dapat kita jumpai seperti Gatutkaca
gandrung, Klana Sewandana Gandrung, dan juga Gambiranom adalah
genre Pethilan bertema gandrung. Gunungsari, dan Panji Sepuh
menggambarkan perjalanan atau berkelana untuk menemukan
kesejatian diri. Terdapat perbedaan struktur Pethilan dengan Wireng
utamanya pada bagian beksan.
Pada tari Pethilan yang bertema gandrung, bagian beksan diisi
gerakan atau sekaran gandrungan, kiprah dan Gambyongan. Demikian
pula pada Pethilan yang bertema perjalanan pengelanaan, pada bagian
beksan diisi gerakan atau sekaran kiprahan, pengenalan diri, dan gerakan
kembangan yang mengadopsi nama-nama (tumbuhan dan juga hewan)
yang ditemui disekelilingnya. Pada bagian mundur beksan, penari tidak
kembali pada gawang supana 27 , tetapi srisig keluar panggung acapkali
melewati sudut kanan belakang atau sudut kiri belakang. Kita bisa
ketahui misalnya tari Gunungsari. Tarian ini menggambarkan
pengelanaan.

7. Genre Golek
Tari Golek menggambarkan keadaan kejiwaan anak-anak
menuju remaja putri. Manja, ingin tahu, dan meniru adalah sifat-sifat
yang lekat pada anak-anak. Kebiasaan anak-anak putri jawa, boneka
merupakan mainan utama sebagai teman bermain. Yang dituju adalah
pengembangan karakter keputrian yang feministis. Keadaan kejiwaan
seperti ini ditanggapi pula oleh seniman tari Jawa Surakarta, maka
diciptakanlah tarian khusus untuk kebutuhan perkembangan jiwa
anak-anak putri yaitu tari Golek.
Berkaitan dengan tari Golek kita dapat mengetahui beberapa
jenis tari Golek seperti misalnya: Tari Golek Ayun-Ayun, Tari Golek

27 Gawang Supana tidak di tengah belakang tetapi kembali pada gawang supana di

belakang panggung tempat persiapan rias dan busanan yang disebut gedhongan.

21
Surung Dayung, tari Golek Sri Rejeki, tari Golek Montro, Golek Sukarena,
Golek Manis, tari Golek Bondan Sayuk, dan juga Tari Golek Bondan Kendi.
Seperti sifat anak-anak perempuan, tari Golek menggunakan gerak
yang relatif mudah dilakukan utamanya oleh anak-anak putri,
karakteristiknya juga menggambarkan feminitas anak perempuan
yang lemah lembut, sedikit gemulai, manja, sedikit genit, juga ada
unsur lincahnya.
Meskipun genre tari Golek kurang dirasakan perkembangan-
nya, baik perkembangan kuantitas yang ditandai munculnya karya-
karya baru, juga persebarannya juga tidak menunjukkan eksistensinya
yang bergairah. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kondisi
sosial yang dominan dikuasai perubahan sistim kemasyarakatan yang
mengarah pada peningkatan mobilitas sosial sehingga berpengaruh
pada kurang keberpihakannya mengajarkan tari Golek pada anak-anak
putri. Justeru yang bersemangat dilatihkan adalah yang bertema
semangat seperti tari kreasi baru: Soyong, Wira Pertiwi, tari Kidang, dan
tari yang bersemangat lainnya.
Tari Golek diciptakan dimaksud mengharap perkembangan
jiwa keputrian anak-anak tumbuh sewajarnya. Untuk memberikan
pesan bahwa kelembutan, keanggunan, dan luwes dalam bersikap
memberikan keseimbangan yang bermakna bagi kehidupannya kelak
di masa remaja dan dewasa. Atas pemikiran ini Jurusan tari STK
Wilwatikta Surabaya tidak melihat popularitas jenis tari yang harus
diajarkan kepada mahasiswa, tetapi pembekalan yang sewajarnya
untuk memberi pembelajaran bahwa tari dari berbagai strata telah
diciptakan berdasarkan tingkat usia dan karakteristiknya. Maka tari
Golek juga menjadi perhatian untuk diajarkan dalam rangka
mengingatkan bahwa tari dapat mendidik kejiwaan, tingkah laku,
moralitas, dan kelembutan perasaan berdasarkan tingkat dan
golongannya.

8. Genre Wayang Wong


Wayang Wong atau juga disebut Wayang Orang menurut
Soedarsono merupakan personifikasi dari Wayang Kulit (Soedarsono,

22
1997:1). Jennifer Lindsay menyebut Wayang Orang sebagai Wayang
28
Kulit yang ditarikan . Supanggah menyebut:
Wayang Wong adalah satu bentuk teater drama yang
mengadopsi pertunjukan Wayang Kulit dibawa ke atas
panggung dan dimainkan aktor manusia. Aktor yang terdiri
dari pria dan wanita ini selain berakting, mereka juga menari,
melakukan ontowecono, dan kadang-kadang juga nembang.
Wayang Wong juga melibatkan dalang yang bertugas
memimpin jalannya pertunjukan wayang, mengatur gending,
membawakan sulukan, memainkan keprak untuk memberi
tuntunan kepada aktor-aktor dalam menari. Seperti pada
Wayang Kulit, Wayang Orang atau Wayang Wong menggunakan
cerita yang bersumber dari Mahabarata, Ramayana, dan Serat
Lokapala. (Supanggah, 2007: 273)

Lebih jauh Supanggah menjelaskan bahwa struktur Wayang


Wong mengikuti struktur pertunjukan Wayang Kulit. Gending yang
digunakan juga umumnya gending–gending pewayangan namun
digarap layaknya gending beksan. Adegan percintaan dan tantang-
tantangaan ( sumbar) memprovokasi tokoh lainnya juga menggunakan
gending-gending sekar.
Wayang Orang menjadi bagian penting bagi keberadaan tari
Surakarta. Meskipun sebenarnya yang dapat dilihat tariannya lebih
kental dengan pola-pola gerak gaya Mangkunegaran. Pada Wayang
Wong berbagai karakteristik kemanusiaan tercermin dalam tokoh-
tokoh yang ada. Karena acuan utama Wayang Orang yang umum
dilakonkan adalah kisah Mahabarata dan kemudian Ramayana. Pada
cerita Mahabarata terdapat cukup banyak tokoh dengan berbagai
peran dan karakteristiknya. Penggambaran karakter tidak hanya
diwujudkan melalui gerakan, tetapi juga ditunjukkan dengan cara
bicara, tata rias dan busananya. Dari pengambaran itu muncul
berbagai karakter seperti pada karakter manusia senyatanya.
Keberadaan Wayang Orang di dalam keraton merupakan
bagian dari upacara kebesaran raja. Berfungsi untuk legitimasi raja
bahwa raja masih merupakan keturunan dewa yang dipuja. Pada
perkembangannya, Wayang Orang keluar dari keraton dan bertempat
di kompleks Taman Sriwedari Surakarta. Dari Sriwedari inilah Wayang

28 Lindsay menyebut Wayang Orang sebagai Wayang Kulit yang ditarikan karena ada

hubungan Wayang Orang dengan Wayang Kulit sebagai penentu utama yang membuatnya
berbeda dari jenis Dramatari lainnya.

23
Orang kemudian dikenal luas oleh masyarakat. Lahir tokoh-tokoh
Wayang Orang dengan perannya sendiri-sendiri. Masih di Sriwedari,
pada era perkembangannya yang mencapai puncak keemasan, muncul
tokoh legendaris Gatutkaca dan Pregiwa yakni Rusman sebagai
Gatutkaca dan Darsi sebagai Pregiwa. Kedua tokoh legenda ini
merupakan sepasang suami istri yang berprofesi sebagai pemeran
Wayang Orang di Sriwedari. Ke dua tokoh legenda ini didukung oleh
tokoh-tokoh sejamannya seperti Surono yang dikenal sebagai pemeran
petruk legendaris.
Yang diceritakan baru saja merupakan sebagian kisah dari
banyak kisah yang terdapat pada Wayang Orang di Sriwedari. Jauh
dari zaman Rusman juga telah muncul tokoh tokoh terkenal dan
dikenal masyarakat luas. Dari Sriwedari, Wayang Orang berkembang
meluas. Di Semarang, Jogyakarta, Jakarta, bahkan di Malang, Blitar
dan di Surabaya. Di Surabaya, pada tahun 1960-an sampai tahun 1980-
an berkembang perkumpulan Wayang Orang lebih dari jumlah
duapuluh (20). Hingga sekarang yang masih hidup menetap sebagian
perkumpulan Wayang Orang bertempat di kompleks Taman Hiburan
Rakyat (THR) Surabaya. Disamping itu terdapat pula komunitas-
komunitas anak muda yang berminat ikut melestarikan Wayang Orang.
Terdapat komunitas Tri Bhuana dan Mustika Yuastina. Dua komunitas
ini meskipun tidak banyak menghasilkan nomor-nomor tampilan,
namun berupaya serius ketika ambil bagian dalam pementasan
Wayang Orang.
Yang dapat disimak dalam Wayang Orang adalah: peran aktor
wayang meniru senyatanya pada Wayang Kulit, baik gerak, suara
(ontowecono) dan rias busananya. Pada aspek gerak terdapat gerak
putra gagah, putra alus, dan gerak putri dengan pembagian
karakternya masing-masing 29 . Porsi gerak pada Wayang Orang lebih
sedikit karena yang diutamakan dalam teater Wayang Orang ini adalah
dialog. Oleh karena itu aktor Wayang Wong dituntut mampu secara
baik meramu kata-kata untuk dijadikan kalimat dialogis. Meskipun
gerak pada porsi sedikit namun yang sedikit tetap menunjukkan
kualitas karakternya. Tembang juga menjadi bagian dari eksistensi

29 Karakter Gagah misalnya terdapat gagah bithen, gagah punggawa, gagah satriya,
gagah wanara, gagah yakso dan masih dirinci lebih detail lagi. Demikian pula pada karakter alus
dan putri juga dapat dibagi lagi menjadi berbagai karakter yang lebih spesifik menggambarkan
perilaku yang khusus pula.

24
aktor Wayang Wong. Dengan tembang, dramatikalnya menjadi semakin
variatif dan menarik. Rias dan busana Wayang Orang dilakukan
sendiri-sendiri oleh sang aktor (profesional) dan tidak memerlukan
bantuan pihak lain. Keberadaan aktor Wayang Wong yang sedemikian
ini lahirlah aktor-aktor Wayang Orang yang mumpuni karena multi
talenta-nya terasah dengan baik dan keras.

9. Genre Dramatari atau Sendratari


Dramatari adalah tarian yang terikat oleh adegan-adegan dalam
cerita sehingga bisa saja tarian ini bukan merupakan tarian yang
selesai karena terikat oleh adegan secara keseluruhan. Berpijak pada
alur cerita atau plot. Bisa dilakukan dengan menggunakan dialog atau
tidak menggunakan dialog (Admadibrata, 1986:185-186). Seperti pada
Wayang Wong, Dramatari atau Sendratari terikat oleh adegan-adegan,
alur cerita atau plot. Namun yang berkaitan dengan alur cerita tidak
sepenuhnya benar. Pada prinsipnya memang menggunakan adegan
dan berlandaskan cerita, tetapi untuk menata alur garap tidak selalu
berbanding lurus dengan cerita yang sudah ada. Seringkali penggarap
Dramatari membolak-balik alur cerita yang telah ada menjadi beberapa
adegan karena prinsif efektif. Namun juga adegan tidak berdasar
urutan cerita tetapi menggunakan peristiwa batin tokoh untuk disusun
dalam bentuk adegan dan/atau plot.
Kita dapat menyaksikan Dramatari atau Sendratari spektakuler
awal muncul yakni Sendratari Ramayana di panggung amphiteater di
kompleks Candi Rorojonggrang Perambanan Jawa Tengah.
Selanjutnya di Pandaan Pasuruan Jawa Timur juga dibangun
panggung besar dalam kapasitas penonton yang besar pula seperti di
Perambanan. Pada tahun 1970-an terjadi peristiwa besar yaitu festival
Sendratari Ramayana Internasional di panggung amphiteater Pandaan
Pasuruan. Dari pengalaman itu diteruskan dengan ciptaan-ciptaan
baru Sendratari atau Dramatari dalam volume yang lebih kecil dengan
mengambil cerita tidak saja Ramayana, tetapi cerita seputar Panji dan
sejarah Majapahit. SMKI atau Sekolah Menengah Kesenian Indonesia
Surakarta, Yogyakarta dan juga Surabaya, dalam menyelesaikan tugas
akhir kelulusan siswanya selalu menggelarkan Sendratari yang
bercerita tentang Majapahit.

25
Di ASKI, STSI, dan Sekarang ISI Surakarta, karya Dramatari
merupakan karya monumental yang selalu dipergelarkan pada
momen-momen penting, selanjutnya menjadi materi uji pada Tugas
Akhir Mahasiswa dalam menyelesaikan kesarjanaannya. Dapat
dihitung karya-karya Dramatari monumentalnya seperti: Bangun
Majapahit, Ronggolawe Bakti (gugur), Duryudana Gugur, dan Gatutkaca
Gugur. Diteruskan oleh para mahasiswa yang tugas akhir studinya
menggarap Dramatari, maka Dramatari seperti dikatakan Admadibrata
bahwa Dramatari bisa dilakukan dengan tanpa dialog atau dengan
menggunakan dialog (Dramatari berdialog). Selanjutnya juga
berkembang lagi ditambah dengan tembang bagi aktor penarinya.
Perkembangan tak bisa ditolak. Dramatari awal lahir tanpa
dialog, selanjutnya berkembang menggunakan dialog seperlunya
dengan alasan bahwa ungkapan yang tidak mampu disampaikan
dengan gerak, diperpanjang dengan dialog seperlunya, singkat, dan
padat, orang Jawa bilang “wos”. Selanjutnya ditambah dengan tembang
secukupnya (satu pupuh untuk dua tokoh yang saling berhadapan,
atau mungkin satu pupuh tembang dibagi tiga tokoh yang saling
terkait, dan seterusnya untuk keperluan garap). Kesemua bentuk
Dramatari menciptakan ciri khas dan spesifikasi yang menampilkan
citranya sendiri-sendiri. Gerak merupakan unsur utama dalam
Dramatari, selebihnya (dialog dan tembang) merupakan unsur yang
menunjang keberhasilan garap koreografi Dramatari.

10. Genre Kelompok Bertema


Sebagai genre yang lahir pada era terakhir saat sekarang ini,
genre Kelompok Bertema mendapatkan tempatnya sendiri. Tidak
menghadirkan figur tokoh spesifik, tari Kelompok Bertema menyajikan
keadaan atau peristiwa batiniah tokoh atau figur tertentu tanpa harus
hadir sebagai tokoh dengan ciri-ciri atributnya. Secara berkelompok,
peristiwa batiniah diolah dalam susunan plot atau adegan untuk
mendapatkan kepastian suasana dan rasa yang dikehendaki. Dan
permainan komposisi dalam koreografi yang memanfaatkan jumlah
penari, level penari, pembagian ruang penari, permainan ritme dan
tempo gerak kaitannya dengan musik tari, dan juga mungkin vokal
(monolog dan tembang) secukupnya.

26
Genre ini muncul dari pendidikan tinggi seni di Surakarta
(yang untuk materi gaya Surakarta). Acuan cerita diambil atau
terinspirasi dari berbagai sumber. Dalam kenyataannya dapat dilihat
bersumber dari cerita Mahabarata seperti: karya Kelompok Bratasena,
karya Kelompok Anoman, Karya Kelompok Srikandi, dan lainnya. Dari
cerita rakyat yang diambil dari Reyog misalnya: tari Kelompok
Wewarokkan, tari Kelompok Jejathilan, dan tari Kelompok Ganongan. Dari
cerita Ramayana berjudul: Ramayana, dengan mengambil sebagian
dari kisah Ramayana yaitu Sinta ilang. Sudah barang tentu masih ada
lagi jenis tari Kelompok Bertema ini yang tidak disebut dalam tulisan ini.
Jenis genre ini untuk saat ini mewarnai ramainya jagat tari. Tidak
hanya di dalam pendidikan seni, tetapi juga meluas menjadi bagian
dari visi festival yang menggunakan genre Kelompok Bertema ini
sebagai materi pertunjukannya.
Sementara waktu pernah muncul genre baru lagi yakni genre
kelompok dengan konsep rampak, temanya rampak, sehingga
penataan koreografinya dibatasi pada aspek kerampakan.
Kerampakan diupayakan pada aspek fisiologi penari (racak bentuk
tubuh, tinggi, pendek, kualitas dan kemampuan bergeraknya).
Kerampakan pada tata rias dan busana yang serba rampak (seragam).
Dan yang pasti rampak pada teknik pelaksanaan geraknya. Namun
genre ini tidak berkembang karena rampak dan kerampakan sebagai
sebuah nilai kurang bisa memberi andil pendidikan moral pada aspek
kemanusiaan.

b. Jenis Kualitas Tari Gaya Surakarya


Disebutkan dalam buka Pengetahuan Tari ditulis
Wahyudiyanto (2008: 120-130), bahwa ciri umum pada tari tradisi gaya
Surakarta ditandai oleh sikap dada yang tegap, gerak leher yang
terolah dalam berbagai variasi, langkah-langkah yang tenang dan
terukur, gerak lengan dengan variasi arah yang halus dan tetap pada
posisi stabil pada siku, gerak cenderung tertahan dan berkelanjutan,
Tenang pada wajah, sampur digunakan untuk memperluas
kemungkinan bentuk. Ciri-ciri tersebut didukung oleh iringan musik
yang tenang dengan ritme yang cenderung rata.
Gerak dalam tari gaya Surakarta memiliki kualitas yang dapat
dibedakan dalam tiga golongan:

27
a. Kualitas gerak putri
b. Kualitas gerak putra alus
c. Kualitas gerak putra gagah

Ketiga jenis kualitas gerak tersebut dianggap jenis kualitas


gerak yang paling pokok, artinya di samping ketiga jenis kualitas
tersebut masih dapat dirinci lebih kecil lagi menurut tingkatannya.
Pada Kualitas gerak tari putri dibagi menjadi dua yaitu:
1) Jenis Kualitas tari putri oyi (luruh)
2) Jenis Kualitas tari putri emoral atau endhel (lanyap)
Pada Kualitas tari putra alus dibagi menjadi dua yaitu:
1) Jenis Kualitas tari putra alus luruh
2) Jenis Kualitas tari putra alus lanyap.
Pada Kualitas gagah dibagi menjadi empat yaitu:
1) Gagah Telengan
2) Gagah Agalan
3) Gagah dugangan
4) Gagah gecul (Santoso Prabawa, wawancara, 1991: 3)
Di samping pembagian Kualitas jenis gerak tersebut, terdapat
pembagian jenis Kualitas yang lain dan sedikit berbeda dalam
pengelompokannya tetapi sama dalam penjabarannya. Menurut Pardi
(wawancara, 1990: Mei 26, dalam Wahyudiyanto, 2008: 120).

Kualitas Tari Gaya Surakarta

Alus Gagah

Putri Priya Dugang Agal

oyi Lanyap Luruh Lanyap Bapang Bapang Bapang Bapang


Raja Kasatriyan Punggawa Jeglong

Gecul Agal Gecul


Dugang Agal
Kalang Kinantang Kalang kinantang
Kasatriyan Punggawan kambeng
Bapang Punggawan
Raksasa Besar

Bagan: 3. Diagram Struktur Kualitas Tari Gaya Surakarta

28
Pembagian kualitas gerak tari gaya Surakarta ini mempunyai
semacam ketentuan-ketentuan yang mendasarinya. Ketentuan-
ketentuan itu tampak pada/dalam sikap-sikap tertentu, misalnya:
1. Sikap tanjak
2. Sikap adeg (posisi tubuh)
3. Sikap polatan (arah pandangan)
4. Sikap Junjungan (angkat/angkatan tungkai)
5. Sikap Jangkahan (langkah kaki)
6. Sikap seleh irama (penggunaan irama)

1. Sikap Tanjak
Bentuk tanjak dalam tari gaya Surakarta memperhatikan
beberapa faktor. Diambil contoh sikap tanjak kanan:
a. Untuk jenis Kualitas Putri
Kedua tangkai membuka ke samping, kaki kanan berada
tepat di depan kaki kiri, jari-jari kaki kanan di angkat ke atas
(nylekenthing), posisi membuka ke samping, lutut ditekuk
(mendak) (Periksa gambar 1 dan 2).

Gambar 1
Bentuk Tanjak Kanan Putri Dilihat Dari Depan

29
Gambar 2
Posisi Bentuk Kaki Tanjak Kanan

b. Untuk Jenis Kualitas Putra Alus


Bentuk kedua tungkai dibuka ke samping, tungkai kiri
ditekuk sampai lutut kiti mayungi ibu jari kaki kiri, tungkai di
bawah kaki kanan tegak lurus. Sedangkan untuk posisi kaki
membuka ke samping membentuk garis lurus dari ibu jari
kaki kiri dengan tumit kaki kanan, jari-jari kaki kanan
diangkat. Lihat gambar 3 dan 4.

Gambar 3
Bentuk Tanjak Kanan Alus Dilihat Dari Depan
30
Gambar 4
Posisi Bentuk Kaki Tanjak Kanan

c. Untuk Jenis Kualitas Putra Agal (gagah)


Bentuk kedua tungkai dibuka ke samping, tungkai kiri
ditekuk sampai ujung jari kiri sejajar (lurus) dengan lutut kiri,
tungkai kanan ditekuk, tungkai bawah kanan sedikit ke luar
dari garis tegak lurus. Sedangkan untuk posisi kaki dibuka ke
samping membentuk garis lurus ibu jari kaki kiri dengan
tumit kaki kanan, jari-jari kaki kanan diangkat. Lihat gambar
5 dan 6.

Gambar 5
Bentuk Tanjak Kanan Gagah Dilihat Dari Depan

31
Gambar 6
Posisi Bentuk Kaki Tanjak Kanan

2. Bentuk Adeg
Adeg adalah sikap badan pada posisi tanjak. Dalam tari tradisi
Surakarta sikap badan adeg terdapat beberapa macam bentuk.
Setiap bentuk memiliki karakteristik yang berbeda. Bentuk adeg
yang dimaksud adalah:
a. Adeg (Ng)groda
b. Adeg angrau akung
c. Adeg (n)duran tinangi
Dalam penerapannya, bentuk-bentuk adeg ini disesuaikan
dengan tari yang dibawakan. Misalnya :
a). Bentuk adeg (Ng)groda.
Untuk tari putra alus dipakai dalam tari alus cakrak/lanyap
seperti tari Bramastro. Untuk tari agal (gagahan) alus lanyap seperti
perang Baladewa, untuk gagah agal seperti perang Kangsa dan
Rahwana. Adeg bentuk (Ng)groda seperti pada gambar 7.

90 ◦

Gambar 7
Bentuk Adeg (Ng)groda
32
Sikap badan pada posisi ini kepala dan badan sejajar. Bila ditarik
dengan garis lantai membentuk sudut 90 derajat.

b. Bentuk Adeg Angrau Akung


Bentuk angrau akung dipakai secara rata-rata dalam tari putri,
terutama pada peran-peran yang bertemperamen lanyap, misalnya:
Srikandi, Mustakaweni, Trijatha, dan peran putri lanyap lainnya.
Untuk kualitas tari putra alus, adeg angrau akung dipakai untuk
peran-peran lanyap seperti tari Karno Tanding, Gambir Anom, Panji.
Untuk tari putra gagah bentuk adeg angrau akung dipergunakan
untuk karakter gagah agalan, misalnya: Gatutkaca, Antasena, Klana,
dan karakter tokoh sejenis. (Perhatikan gambar 8).

60 ◦

Gambar 8
Bentuk Adeg Angrau Akung

Sikap badan pada posisi angrau akung kepala dan badan sejajar.
Bila ditarik dengan garis lantai membentuk sudut 60 derajat.

d. Bentuk Adeg (n)Duran Tinangi


Bentuk ini diapakai untuk peran tokoh yang sudah lanjut usia.
Untuk tari putra gagah tidak menggunakan bentuk adeg ini karena
kualitas gerak yang digunakan tidak/kurang memungkinkan untuk
menggunakan bentuk adeg angrau akung. Kualitas tari alus lebih
memungkinkan untuk menggunakannya terutama pada tari putra

33
alus luruh seperti peran sengkuni dan pendeta-pendeta tua.
(Perhatikan gambar 9).

45 ◦

Gambar 9
Bentuk Adeg (n)Duran Tinangi

Sikap badan (n)duran 30 tinangi 31 ini kepada dan badan sejajar.


Bila ditarik dengan garis lantai membentuk sudut lebih kurang 45
derajat.

3. Polatan (arah pandangan)


Setiap kualitas tari (putri, putra gagah, putra alus)
mempunyai semacam pedoman dasar dalam polatan. Tari putri arah
pandangan cenderung ke bawah lebih kurang dua sampai dengan
tiga langkah ke depan bawah dari posisi berdirinya penari. Untuk
tari alus, sebagai pedoman dasar lebih kurang tiga sampai lima
langkah ke depan bawah dari posisi berdirinya penari. Kecuali
dalam situasi gerakan perang, polatan diarahkan kepada lawan
sehingga arah polatan menjadi horisontal. Sedangkan untuk tari
gagah pedoman dasar polatan adalah lebih kurang lima langkah ke
depan dari posisi penari berdiri sampai horisontal dan atau lebih.

4. Angkatan (junjungan) tungkai


Untuk tari putri tidak ada angkatan (junjungan) kaki. Dalam
tari alus, junjungan tungkai setinggi betis bawah dengan mata kaki

30 (N)duran dari kata duran yaitu kayu pegangan cankul.


31 Tinangi berarti tangi (Jawa) atau bangun berdiri. Tinangi sedang berdiri.

34
di samping dalam. Jarak antara betis kiri dengan tumit kaki kanan
yang diangkat adalah satu genggam. Bila dilihat dari samping
terlihat satu bidang frontal. (Perhatikan gambar 10).

Gambar 10
Dalam Gerakan Mengangkat Tungkai

Untuk tari gagah terdapat dua bentuk angkat kaki. Angkat


tungkai lurus (jojor) dan angkat tungkai tekuk, tetapi ada angkat
tungkai yang secara berkelanjutan menghasilkan dua bentuk yaitu
angkat tungkai lurus dilanjutkan tungkai bawah tekuk. Untuk
angkatan tungkai lurus, tungkai yang diangkat sejajar horisontal,
sedangkan tumpuan lurus vertikal. (Perhatikan gambar 11).
Angkatan tungkai ditekuk, tungkai yang diangkat nekuk, tumpuan
lurus vertikal. (Perhatikan gambar 12).

Gambar 11
Angkat Tungkai Lurus

35
Gambar 12
Angkat Tungkai Tekuk

5. Langkah Kaki (jangkahan)


Langkah kaki (jangkahan) atau lumaksana dalam tari gaya
Surakarta pada prinsipnya sama dari berbagai jenis kualitas gerak
tari. Tetapi masing-masing kualitas dibatasi ketentuan tentang
keluasan volume geraknya. Ada dua bentuk langkah, langkah
(lumaksana) impur dan mager timun. Untuk Kualitas tari putri
menggunakan langkah mager timun tetapi langkahnya
dipersempit. Untuk kualitas putra alus menggunakan kedua bentuk
tersebut. Sedangkan untuk kualitas tari gagah menggunakan
langkah impur dengan letak kaki diperluas (keluar) dan memakai
langkah mager timun untuk lumaksana glebagan. Lihat gambar 13
dan 14.

Gambar 13
Lumaksana Impur

36
Gambar 14
Lumaksana Mager Timun

6. Keluasan Gerak (volume)


Sesuai dengan kualitasnya, setiap jenis gerak mempunyai
ukuran dasar keluasan geraknya. Misalnya pada gerak penthangan
tangan, langkah kaki, bentuk tanjak dan lain-lain. Tiap-tiap kualitas
memiliki kesesuaian (mungguh/trep) yang seimbang. (Periksa
kembali gambar 1 – 9 dan 10 – 14).

7. Penggunaan Irama
Tari gaya Surakarta mengenal berbagai macam jenis ”seleh”
irama (penggunaan irama), diantaranya adalah;
a. Mendahului seleh irama atau disebut “nujah”, adalah akhir
gerak dari setiap pelaksanaan ragam gerak yang mendahului
seleh irama (musik) kempul, kenong atau gong.
b. Gerak yang tepat/pas dengan irama musik atau disebut
“prenjak tinaji” adalah irama gerak selaras dengan irama musik.
c. “Ngereni” yaitu seleh gerak dilakukan setelah seleh irama
musik (gong, kethuk, kenong). Penggunaan irama yang demikian
itu dinamakan “Ngganggeng kanyut” (nggandul).

Atas dasar uraian tersebut dapat dipahami bahwa tari gaya


Surakarta memiliki kualitas yang lengkap berdasarkan konstruksi
kemanusiaan. Manusia yang terdiri dari dua jenis kelamin yang
keduanya mempunyai perbedaan signifikan berdasar anatomi dan

37
sifat-sifatnya. Anatomi dan sifat manusia yang beragam dari kedua
jenis kelamin tersebut mendapatkan apresiasi mendalam dalam tari
gaya Surakarta dengan diciptakannya tarian sebagaimana
kebutuhan kemanusiaan tersbut. Oleh karena itu pilihan kualitas
sangat ditentukan oleh jenis dan sifat kemanusiaan utamanya
manusia Jawa dalam perspektif manusia Jawa yang menganut
kebudayaan Jawa (keraton Kasunanan).

3 Kaidah-Kaidah Tari Gaya Surakarta


Tari tradisi yang merupakan bentuk pewarisan generasi sebelumnya
dihayati sebagai perwujudan simbolis nilai-nilai masyarakatnya. Sebagai
perwujudan nilai yang terekam dalam keseluruhan bentuk tari, nilai simbolik
tersebut secara berkelanjutan dipahami untuk diteruskan kepada generasi
berikutnya. Penerusan ini didasarkan pada keyakinan bahwa tari gaya
Surakarta yang merupakan produk kebudayaan besar pada masa lalunya
masih memiliki bobot atau kualitas kontekstual dengan masa kini dan ke
dapan. Keyakinan ini yang melahirkan bakuan-bakuan pada aspek fisik dan
non fisik tari. Fisik tari mencakup keseluruhan yang teramati oleh
penginderaan termasuk di dalamnya adalah teknik pelaksanaan gerak. Non
fisik tari adalah yang terbayangkan melalui penghayatan.
Tari gaya Surakarta, oleh para penyangganya akan terus dikonteks-
tualisasikan untuk penyesuaian jaman. Fakta yang menyebut kontekstualisasi
tari gaya Surakarta ini tercermin dalam ungkapan budayawan Surakarta yang
memiliki andil besar terhadap kehidupan tari gaya Surakarta:
“Pandangan bahwa tari tradisi itu warisan nenek moyang yang harus
dipepetri dan diuri-uri juga diikuti oleh sebagian besar seniman tari
tradisi. Dari itu tumbuhlah kecenderungan untuk memberi sifat
langgeng terhadap seni tradisi, yaitu sifat tanpa batas waktu dalam
memberi nilai kepada seni tradisi. Kecenderungan semacam itu
mendorong mereka untuk menerapkan ciri-ciri seni tradisi sebagai
sesuatu yang sifatnya mutlak. Sikap seperti ini rupanya yang
melatarbelakangi tumbuhnya paham waton yaitu semacam aturan
atau pedoman teknik penggarapan seni tradisi” (Humardani, 1980:
14-15).
Ungkapan Humardani ini didasari oleh keadaan yang memang terjadi
di dalam kehidupan seni tradisi. Pada tari gaya Surakarta, para seniman
pendahulu telah merumuskan semacam aturan yang akrab disebut sebagai
wewaton. Bahwa menari bagi penari harus memahami dan menghayati benar
tariannya hingga benar-benar dikatakan sebagai (m)beksa. Prinsip dasar

38
(m)bekso adalah: wiraga, wirama, dan wirasa, artinya seorang penari untuk
dikatakan telah (m)beksa atau menari, harus sudah selesai memahami ketiga
prinsip dasar tersebut dan sudah harus pada tingkat penghayatan dalam
pelaksanaannya.
Lebih dari tataran beksa yang bersiwat ragawi dan rasa, tari gaya
Surakarta mengenal konsep kepantasan budaya sebagai bentuk penghayatan
tariannya. Untuk memasuki wilayah tersebut, penari dituntut memahami dan
menghayati dalam beksa-nya apa yang dikatakaan sebagai: sengguh, mungguh,
dan lungguh. Sengguh, mungguh, dan lungguh adalah konsep kepantasan yang
menjiwai tari. Ketiga konsep tersebut dijelaskan sebaagai berikut:
Sengguh : Pemahaman dan kemampuan penari/koreografer dalam
menjiwai/mengungkapkan tari yang dipentaskan/
digarap.
Mungguh : Pemahaman dan kemampuan penari/koreografer dalam
menyesuaikan tari yang dijasikan/digarap dengan
elemen-elemen lainnya seperti: tema, gending, gandar,
rias busana dan lainya sebagai kesatuan rasa tari.
Lungguh : pemahaman dan kemampuan penari/koreografer dalam
menentukan posisi (kedudukan) ketika menyajikan/
menggarap tari seperti misalnya: lungguhing tari Bedhaya
akan berbeda dengan lungguhing tari Gambyong.
Lungguhing satriya akan berbeda dengan lungguhing
pendhita, dan lain sebagainya. (Santoso Prabawa, 2000:7)

Wiraga, wirama, dan wirasa sebagai konsep beksa pada tingkat rasa atau
pengawakan 32 , dan sengguh, mungguh, lungguh adalah prinsip-prinsip
kepantasan budaya merupakan wewaton yang musti diterapkan oleh penari
tari Jawa gaya Surakarta.
Lebih teknis terdapat pula kaidah-kaidah yang memberi ikatan teknis
pelaksanaan gerak kaitannya dengan ruang, waktu, dan juga irama (gendhing),
dan juga tercermin nilai kepantasan budaya yang menyebabkan tarian
tersebut dikatakan “sampurna”apabila pelaksanaan kaidah tersebut secara
benar dan baik. Konsep panindhaking beksa “sampurna” tersebut dikenal

32
Pengawakan adalah istilah yang dimaksudkan untuk memberi bobot bahwa seorang
penari Jawa Surakarta telah menerapkan secara baik prinsip-prinsip menari setelah pada
tingkat ragawi berlanjut pada tingkat rasa yaitu menari dengan keselarasan gerak dengan irama
yang menghasilkan paduan yang dapat dirasakan serasi.

39
sebagai Hasta Sawanda 33 yakni: 1) pacak, 2) pancat), 3) ulat, 4) lulut, 5) luwes, 6)
wilet, 7) irama, dan 8) gendhing. Konsep Hasta Sawanda tersebut merupakan
gagasan seorang empu tari gaya Surakarta bernama R.T Atmakesawa.
Disamping sebagai konsep beksa sampurna juga sebagai dasar seseorang untuk
mencapai tataran kualitas kepenarian menuju lebih baik (Nanik dkk, 2007: 45-
46). Dengan sederhana, kaitan konsep wiraga, wirama, dan wirasa dengan Hasta
Sawanda dapat digambarkan sebagai berikut:

Tari Gaya Surakarta

Wiraga Wirama Wirasa

Pacak Pancat luwes Irama gendhing ulat lulut wilet

Bagan: 4. Diagram kaidah teknik gerak tari gaya Surakarta

Terdapat pula kaidah-kaidah yang juga dijadikan pijakan dalam


menjalankan teknik bergerak yang menuju pencapaian karakter tertentu. Tiga
jenis kualitas yakni: kualitas putri, alus, dan gagah itulah yang kemudian
melahirkan berbagai jenis motif dan teknik gerak. Kesemuanya dimaksudkan
untuk dapat mewujudkan karakter tertentu tersebut. Kualitas tari alus
misalnya di dalamnya terdapat dua karakter yaitu luruh dan lanyap.
Perbedaan luruh dan lanyap diketahui melalui perbedaan volume atau lebar
sempitnya ruang gerak anggota badan atau tubuh penari, antara lain gerak
penthangan tangan ke samping kiri atau ke kanan, tinggi rendahnya arah
pandang mata atau polatan. Jarak langkah atau tumpuan kedua kaki dan besar
kecilnya gerak kepala. Karakter lanyap menggunakan volume gerakan yang
lebih lebar dibandingkan karakter luruh. Dalam karakter luruh terdapat pula
kualitas gerak yang disebut “mbanyumili’ 34 dan irama gerak yang ‘ngganggeng
kanyut 35 . Karakter luruh dapat diketahui dari peranan Arjuna, Abimanyu,
Rama Wijaya, Lesmana, Inu Kertapati. Sedangakan karakter lanyap dapat

33 Disebutkan bahwa menurut para empu dan guru tari gaya Surakarta, Hasta Sawanda

mulai diperkenalkan dan berkembang sekitar tahun 1950-an sejak berdirinya Himpunan
Budaya Surakarta (HBS)
34 Mbanyumili mengumpamakan gerak bagaikan air yang mengalir tiada putus.

35 Ngganggeng Kanyut mengandaikan gerakan yang selalu tertinggal oleh irama


gendhing

40
diidentifikasi melalui pemeranan Karna, Dewa Srani, Bambir Anom, Gunung
Sari, Gunawan Wibisana, dan sejenisnya.
Tari putri juga memiliki dua karakter yaitu luruh (oyi), dan lanyap
(endhel). Seperti pada karakter tari alus, pada tari putri juga tidak ada beda
untuk mengetahui perbedaan karakteristiknya. Hanya saja bentuk dan
jangkauaan gerakan tari putri lebih sempit dan gerakannya lebih dekat
dengan badan, utamanya pada bentuk adeg (perhatikan gambar: 1 dan 2).
Bentuk dan letak kaki serta tungkai lebih sempit dari tari alus. Karakter luruh
(oyi) dapat dilihat pada tokoh Sembadra, Kunthi, Sinta, dan Sekartaji.
Sedangkan karakter lanyap (endhel) seperti tampak pada peranan Srikandhi,
Banowati, Mustakaweni, Pergiwa dan Pergiwati. Tarian dalam genre
Gambyong dan Golek juga termasuk dalam karakter endhel. Pada tari Bedhaya
dan Srimpi termasuk jenis karakter oyi yang “mbanyumili’ dan irama geraknya
“ngganggeng kanyut”(Nanik dkk, 2007: 45-57).
Demikian rinci karakteristik perwatakan peranan pada tarian gaya
Surakarta yang dicapai melalui kaidah-kaidah yang sangat rinci dan detail.
Yang demikian merupakan bentuk apresiasi mendalam para penyangga seni
tari gaya Surakarta untuk dapat menjaga kelestarian produk budayanya.
Namun demikian dari waktu ke waktu kaidah tersebut mengalami
penyesuaian sebagaiman disebut oleh Humardani sebagai memberi nilai pada
seni tradisi oleh masyarakatnya. Hal senada juga disampaikan oleh Van
Peursen sebagai berikut:
Tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan
norma-norma, atau adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tatapi
tradisi bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah: tradisi justru
dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia yang diangkat
dalam keseluruhannya. Manusialah yang membuat sesuatu dengan
Sintisi itu; ia menerima, menolak, atau mengubahnya. “Itulah sebabnya
mengapa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan riwayat
manusia yang selalu memberiu wujud baru kepada pola-pola
kebudayaan yang sudah ada (Peursen, 1976:11)
Kaidah-kaidah tari gaya Surakarta selain yang berkaitan dengan
gerak, aspek lain yang juga berperan memberi kekuatan rasa tari adalah tata
rias dan tata busana. Prinsip yang berkenaan dengan tata rias dan tatan
busana adalah mendukung, menguatkan, dan juga menghadirkan
karakteristik tari. Humardani dalam tulisannya menyebutkan:
‘Kemungguhan dapat diartikan sebagai ketepatan wujud tari, wujud
kesatuan tari, wujud yang dijelmakan oleh penari dalam sajian tarinya.
Wujud tari itu bukan hanya mengenai bentuk (tangguh dan bleger) tubuh

41
belaka. Demikian juga kemungguhan bukan semata-mata ketepatan wujud
kesatuan tari yang timbul dari bentuk (bleger) tubuh yang ditarikan
penari belaka, melainkan yang timbul dari kesatuan unsur-unsur gerak
dan bentuk tubuh dan unsur-unsur penunjangnya, seperti: tata rias, tata
busana, tata iringan, tata panggung (setting, dekorasi, dan lain-lain), dan
tata cahaya’ (Humardani, 1991: 31)
Tata rias dan tata busana pada tari gaya Surakarta karena berkaitan
langsung dengan kehidupan manusia dan mendapat acuan langsung dari
sumber-sumber cerita yang dikenal luas secara umum utamanya penganut
budaya Jawa seperti cerita Mahabarata, Ramayana, Panji, dan sejarah-
sejarah lokal maupun sejarah wilayah atau negara yang memiliki
hubungan dengan Jawa mendapat apresiasi mendalam dalam tari gaya
Surakarta. Secara detail penampilan fisik terperhatikan dengan seksama.
Ini merupakan kaidah yang dilakukan dengan ketat di dalam tari gaya
Surakarta.

4. Garap Koreografi Tari Gaya Surakarta


Bermula dari tari Bedhaya dan Srimpi yang lebih dahulu, tari gaya
Surakarta kemudian tercipta dalam berbagai genre seperti disampaikan
pada bab. sebelumnya yaitu Gambyong, Golek, Wireng, Pethilan, Wireng
Pethilan, Wayang Wong atau Wayang Orang, Dramatari atau Sendratari, dan
tarri Kelompok Bertema yang lahir pada era terakhir saat ini. Bedhaya sebagai
genre pemula dalam tari keraton kemudian menginspirasi pada genre-
genre berikutnya yang lahir setelahnya. Menginspirasi yang dimaksud
adalah dalam hal penggunaan garap struktur tariannya.
Menilik garap tari Bedhaya dapat dilihat secara struktural yakni: 1)
maju beksan, 2) beksan, 3) beksan perang, dan 4) mundur beksan. Maju beksan
tari Bedhaya dimulai dari gedhongan 36 atau gawang supana 37 dengan posisi
penari dan penataan gerak berjalan menuju panggung utama. Bagian
beksan adalah bagian utama dengan penataan gerak dari beberapa
sekaran/vokabuler gerak. Bagian beksan perang merupakan kelanjutan dari
beksan yang berisi perang. Dalam Bedhaya yang abstrak ini, perang sangat
sulit dideteksi oleh orang yang belum terbiasa menyaksikan tari Bedhaya

36 Gedhongan adalah tempat persiapan penari di tempat merias diri dan mengenakan

kostum menari. Kalau di pendapa, maka gedongan adalah di gedung penunjang pendapa yang
berada di belakang pendapa.
37 Gawang Supana dalam pemahaman tradisi adalah tempat atau posisi penari ketika

melakukan permulaan menari yaitu gerakan sembah awal dan sembah akhir menari. letaknya
adalah di tengah belakang

42
sehingga tampak seperti bukan perang, karena perang didesain dengan
penataan gerak yang mengunakan arah hadap, adu bahu kiri atau kanan
dan permainan sampur. Bagian terakhir adalah mundur beksan. Mundur
beksan kebalikan dari maju beksan. Mundur beksan ditata untuk menuju
gawang Supana yang dalam hal ini (tari Bedhaya) adalah gedhongan. Yaitu
gerakan yang didesain berjalan menuju gawang Supana atau gedhongan.
Garap struktur tari Bedhaya ini kemudian dipakai sebagai pedoman
atau menginspirasi genre tari Wireng, Wireng Pethilan, Pethilan, Srimpi,
Gambyong, dan Golek. Sedangkan Wayang Wong, Dramatari, dan Kelompok
Bertemai sebagai genre yang belakangan lebih leluasa dipengaruhi plot, dan
adegan dari cerita yang melatarbelakangi. Tambahan yang menarik pada
genre Wireng, Pethilan, dan Wireng Pethilan adalah pada bagian beksan
perang. Pada genre ini, perang cukup bervariasi. Terdapat perang madras
(perang gendhing), perang tangkepan, dan perang ruket. Senjata yang
dipergunakan juga bervariasi seperti perang gada, perang keris, perang
dhadhap, perang jemparing, perang lawung, dan perang dengan senjata
lainnya.
Garap struktur tari gaya Surakarta tersebut merupakan produk dari
dalam keraton. Ketika keluar keraton lahir ciptaan-ciptaan baru yang
masih berpedoman pada garap yang seperti ada pada keluaran keraton.
PKJT dan ASKI (sekarang ISI) Surakarta adalah contoh nyata lembaga
kesenian di luar keraton melalui jalan rekonstruksi dan revitalisasi
(pemadatan dan penciptaan baru) cenderung ketat berpijak pada
penggarapan yang sama dengan yang dari keraton. Hal ini dapat dilihat
pada hasil-hasil pemadatan dan penciptaan baru karya tari dari ISI
Surakarta tidak ada perubahan struktur garap. Variasi sangat mungkin
dilakukan untuk memberi nilai baru sebagai bentuk penyesuaian terutama
pada genre Bedhaya, Wireng, Pethilan, dan Wireng Pethilan.

5. Tema Sebagai Pembentuk Karakter tari gaya Surakarta


Tema dalam tari adalah pokok persoalan yang diangkat sebagai
fokus isi tari. Apa saja bisa dijadikan tema tari dengan pertimbangan, tema
dapat ditarikan. Berbagai sumber untuk mendapatkan tema meliputi,
Cerita, dongen, legenda, epos, vabel, dolanan anak, sejarah, aktivitas
manusia, alam lingkungan, rita pribadi, dan bahkan mimpi-mimpi.
Sedangkan karakter, dalam bab. satu (1) Tasman menjelaskan secara umum
karakter sebagai perbuatan seseorang yang meninggalkan bekas hingga

43
mencerminkan pribadinya. tiga hal yang mempengaruhi adalah : 1)
tipologi tubuh, 2). Temperamen, dan 3). Watak 38 .
Lebih jauh Tasman memberi definisi karakter dalam kesenian sebagai
suatu permainan yang bermula dari imajinasi dan persepsi seseorang pada
teknik bahan sebagai medium untuk mewujudkan bentuk objek fisik.
Dengan demikian maka hubungan tema dengan karakter adalah kesatuan
wujud antara imajiasi dan persepsi seseorang terhadap nilai diambil
dan/atau diinspirasi oleh sumber-sumber tema yang terpilih kemudian
dimainkan melalui garap medium. Tema-tema terpilih dalam konteks tari
gaya Surakarta lebih pada cerita yang terdapat pada epos Mahabarata,
Ramayana, siklus Panji, sejarah lokal, dan aspek kemanusiaan lainnya.
Beragam tingkah laku manusian yang terdapat dalam cerita-cerita
tersebut berakibat pada: kegembiraan, kebahagiaan, keadilan, kesedihan,
kemarahan, manembah, cinta kasih, kekecewa, kecerobohan, keculasan,
kelicikan, dan aspek emotif manusia merupakan nilai-nilai sebagai cermin
hidup yang dialami dahulu, saat ini, dan saat yang akan datang. Dalam
kenyataannya nilai-nilai tersebut terus hidup, tumbuh dan berkembang
dalam kehidupan menbudayanya. Interaksi individu, sosial, yang imanen,
dan transenden dan banyak lagi adalah sumber inspirasi yang selanjutnya
dijadikan tema-tema karya tari. Dengan ungkapan singkat bahwa tari gaya
Surakarta adalah menggarap manusia dengan segala permasalahan batin
dan sosialnya.
Tema-tema kemanusiaan tersebut ditampilkan melalui Wujud fisik
dalam bentuk figur manusia yang diidealkan sifat-sifatnya. Yang baik
dan/atau yang buruk, yang alus dan/atau yang kasar, yang serius
dan/atau yang humuris, yang tampan rupa dan/atau yang buruk rupa,
yang perkasa dan/atau yang lemah, dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya
dengan meminjam figur-figur yang terdapat dalam cerita yang dikenal
masyarakat luas. Seperti misalnya cerita dalam kisah Mahabarata,
Ramayana, Panji, Serat Lokapala, cerita rakyat, mitos. Legenda, dan
sumber-sumber cerita kemanusiaan lainnya. Karena bersifat kemanusiaan,
berbagai jenis dan sifat fisik dijadikan acuan untuk menghadirkan sosok,
figur pemeranan tokoh tertentu. Bentuk tubuh seseorang yang dinamakan
“gandar” (postur tubuh) kemudian mendapat perhatian khusus dalam
penentuan tokoh dan atau sarana ungkap peranan. Ketelitian dalam
menentukan bentuk tubuh yang membawa imaginasi tentang sifat dan

38 Perikasa Tasman dalam Analisa Gerak dan Karakter. 2006, Surakarta, ISI Press.

44
karakternya merupakan upaya pencapaian keberhasilan untuk
menghadirkan tema-tema tarinya.
Dapat dicontohkan: Tokoh Arjuna/Janaka itu cocok apabila orang yang
tubuh fisiknya langsing dan mempunyai karakter tenang dan lembut
tingkah lakunya. Tokoh Bratasena adalah gambaran figur manusia yang
kekar perkasa, maka dibutuhkan bentuk tubuh penari yang tinggi besar,
suara dengan nada rendah dan berat, dan lain-lain meskipun kadang kala
penyesuaian figur tokoh yang diidealkan dengan bentuk tubuh penari
yang sesuai menurut ukuran fisiologi bisa dipatahkan dengan pilihan
bentuk dan sifat tubuh penari yang paradok dengan idealisasi tersebut
tetapi memiliki kemampuan melakukan kualitas gerak dengan teknik yang
baik dan benar. Tetapi secara umum wewaton normatif tetap dijadikan
pijakan pertama dan utama. Berikutnya ini digambarkan bagaimana tema-
tema tari gaya Surakarta diwujudkan dalam bentuk sehingga
mendapatkaan gambaran nyata perwujudan fisik dan karakteristik seperti
yang diidelakan.

Perwujudan Tema dalam karakter Tari Gaya Surakarta


Genre Wayang Wong.
Tubuh, bentuk, anatomi dan penampilan fisik dalam budaya tari Jawa
yang disebut gandar, adalah bahan prasyarat untuk memunculkan secara fisik
karakter tarian. Meskipun bersifat normatif, prasyarat ini lazim dilaksanakan
dan hampir dipatuhi secara ketet oleh masyarakat tari yang menggunakan
figur wayang dan atau manusia ideal sebagai acuan menghadirkan karakter.
Telah ada semacam kepastian tentang kesesuaian yang harus disediakan
antara bentuk dan anatomi tubuh dengan citra yang ditampilkan untuk
menghadirkan karakter dalam tarian. Dalam kajian ini, karakter tarian dalam
genre Wayang Wong ditentukan menjadi tiga kelompok yaitu: kualitas gagah,
kualitas alus, dan kualitas putri. Setiap kelompok mencerminkan karakteristik
yang secara fisik diwarnai oleh gandar.
Menentukan jenis dan ukuran tubuh (gandar) untuk disesuailkan
dengan figur imajiner suatu peranan, memang tidak menggunakan patokan
tertentu, dengan alat ukur tertentu misalnya alat ukur untuk menentukan
berat dan tinggi badan calon pemeran dan seterusnya. Memilih cukup dengan
intuisi disesuaikan dengan keadaan yang ada di lingkungannya. Untuk
memilih peran Bratasena penyesuaiannya dengan bentuk ideal figur
Bratasena cukup dengan memilih orang (penari atau pemeran Wayang Orang)

45
yang relatif paling besar diantara ukuran orang terbesar yang ada di
lingkungannya. Keadaan sedemikian dapat dicontohkan fenomena yang ada
di masyarakat tari dan Wayang Orang sebagai berikut:

Bentuk Tubuh Tarian Gagah (kualitas Wrekudara)

Gambar : 15a Gambar: 15b Gambar 15c


Figur wayang Wrekudara yang Sosok tubuh manusia yang dipilih Sosok tubuh manusia yang dipilih
tinggi besar diperkirakan mendekati emajinasi yang telah dikenai garap gerak tata
sosok Wrekudara rias dan busana untuk peran figur
Wrekudara

Wrekudara digambarkan sebagai laki-laki perkasa, tinggi, besar,


berotot. Memiliki nada suara yang sangat rendah dan mampu berbicara berat
tetapi menggelegar. Berpenampilan tenang, tatapan mata yang tajam
(Gambar: 15).

Bentuk Tubuh Tari Gagah (kualitas Gatutkaca)

Gambar: 16 a Gambar: 16 b Gambar : 16 c


Figur Wayang Gatutkaca Sosok tubuh manusia yang Sosok tubuh manusia yang
gagah dan cakap dipilih diperkirakan dipilih yang telah dikenai
mendekati emajinasi figur garap gerak tata rias dan
gatutkaca busana untuk peran figur
Gatutkaca
46
Peran Gatutkaca dan karakter sejenis digambarkan sebagai laki-laki
dengan bentuk tubuh atletis, tidak gemuk. Postur dan anatomi tubuh
sempurna. Memiliki nada suara cenderung rendah dan bicara yang berat.
Seperti gambar : 16.
Bentuk Tubuh Tari Alus (kualitas Arjuna)

Gambar : 17 a Gambar : 17 b Gambar : 17 c


Wayang Arjuna figur laki- Sosok tubuh manusia yang Sosok tubuh manusia yang dipilih
laki yang langsing dipilih diperkirakan yang telah dikenai garap gerak tata
mendekati emajinasi figur rias dan busana untuk peran figur
Arjuna Arjuna

Peran Arjuna dan karakter sejenis diidealkan sebagai laki-laki yang


tidak terlalu kurus, tidak terlalu gemuk, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu
pendek, tidak feminin juga tidak terlalu maskulin. Gandar sedemikian
diperhatikan dengan seksama termasuk ukuran gerak, cara dan nada
bicaranya. Dalam kebiasaan pemeranan figur Arjuna dan peran sejenis
digambarkan kurang lebih sebagaimana pada gambar: 17.
Bentuk Tubuh Tari Putri (kualitas Sinta)

Gambar : 18 a Gambar : 18 b Gambar : 18 c


Figur Dewi Sinta dalam Sosok tubuh manusia yang Sosok yang dipilih yang telah
wayang kulit digambarkan dipilih diperkirakan dikenai garap gerak tata rias
sebagai wanita yang lembut mendekati emajinasi sosok dan busana untuk peran figur
Dewi sinta Dewi Sinta
47
karakter putri (kualitas Sinta) digambarkan sebagai perempuan
feminin, cantik, tubuh semampai, tidak kurus juga tidak gemuk, rambut
panjang terurai, suara merdu merayu, tenang dalam penampilan, diwujudkan
seperti gambar : 18.

48
49
BAB III
KONSEP KEINDAHAN
DAN TEKNIK GERAK TARI GAYA SURAKARTA

1. Konsep Keindahan Tari Gaya Surakarta


Masyarakat Jawa memandang keindahan atau yang indah bukan
sebatas hasil dari kemampuan penangkapan objek oleh inderawi. Keindahan
atau yang indah adalah yang adi luhung. Adi luhung dipahami sebagai yang
baik atau bahkan yang lebih baik dan luhur. Dalam kebahasaan Jawa, adi
luhung mengandung pengertian yang lebih (adi) dan luhur (luhung). Indah
(jawa=endah) berarti juga elok 33 . Adi luhung berarti keindahan melebihi apa
yang sekedar dilihat dan didengar, karena disamping menyangkut ketajaman
inderawi yang menghasilkan rasa indah juga memasuki wilayah etika. Etika
berarti norma-norma, budi pekerti, tindak kesopanan (sopan santun) dalam
kemasyarakatan yang harus terlibat di dalam wujud-wujud yang indah. Yang
indah berarti yang etis. Makna Adi luhung berarti indah yang juga etis, baik
dan luhur (tinggi) pada budi pekerti.
Dalam konsep keselarasan masyarakat Jawa, yang adi Luhung berarti
yang benar. Benar dalam perspektif logika, rasa, budaya, dan religius. Untuk
memahami yang benar sedemikian kompleks dalam wujud yang indah ini
sudah barang tentu memerlukan kajian yang jauh lebih mendalam. Pada
pembahasan ini peneliti menelusuri yang benar dalam konteks keindahan
perspektif masyarakat Jawa yang di ungkapkan dalam kebenaran rasa. Oleh
beberapa penelitian, telah diungkap perihal rasa, cakupan dan maknanya.
Penelitian yang menarik tentang rasa adalah yang dilakukan oleh Marc
Benamou dalam tulisannya berjudu Rasa in Javanese Musical Aesthetics 34 .
Benamou membedakan rasa atas: 1) rasa sebagai kualitas, 2) rasa sebagai
bakat, dan 3) rasa sebagai kemampuan persepsi.

33
Elok dipahami sebagai yang menyenangkan, kenikmatan, khusuk, yang kemudian
berkembang lagi yang menggairahkan, lucu, menegangkan, menakutkan, mengerikan, dan
keadaan-keadaan lain yang ditimbulkan oleh pacu, memberi rangsangan penginderaan yang
dapat menambah nilai bagi kemanusiaan.
34 Simak Marc Benamou, Rasa in Javanese Musical Aestetics. USA: UMI, 1998.

49
Sebagai kualitas, rasa dalam karawitan Jawa dianalogikan dengan
persepsi rasa pada lidah, seperti: cemplang, langu, enak, empuk, renyah, manis,
getir, pedas. Analogi ini menunjuk pada rasa sebagai citra yang mengemuka
dalam penyajian gending yang berkualitas sehingga menetaskan rasa gending
yang: regu, sereng, sedih, prenes, berag, dan gecul. Enam kelompok rasa yang
dikategorikan Benamou ini menjadi kunci bagi penyajian gending karawitan
Jawa yang berhasil sesuai dengan kelompok gending dengan citra rasa yang
dimaksud Benamou tersebut. Sebagai bakat, rasa adalah citra gending yang
berhasil mengemuka karena kemampuan para pengrawit dalam mengungkap
rasa gending yang dimaksud. Kemampuan bukan saja tergantung pada
ricikan garap pada keseluruhan permainan instrumen, tetapi kemampuan
interpretasi teks pada konteknya. Rasa sebagai kemampuan persepsi
menunjuk pada kepekaan dalam mendengar, merasakan, dan memahami
melalui intuisi (Sunardi, 2013: 126-127).
Dari pembedaan rasa sebagai kualitas, bakat, dan persepsi serta
pengelompokan rasa menjadi enam kategori yang: regu, sereng, sedih, prenes,
berag, dan gecul menghadirkan pemahaman bahwa rasa merupakan landasan
berekspresi untuk menghasilkan karya seni karawitan yang indah. Sebagai
ekspresi, rasa sangat terkait dengan teks dan konteks penyajiannya. Terkait
dengan teks, rasa bertalian dengan karakteristik gending, pitch, waktu,
dinamika, timbre, dan syair vokal. Secara konteks, rasa berkorelasi dengan
pengrawit, penghayat, dan konteks sosialnya.
Memahami penjelasan Benamou ini dapat ditarik pengertian yang
sama dengan rasa yang ada dalam tari Jawa Gaya Surakarta. Rasa dalam
karawita Jawa gaya Surakarta berbanding lurus dengan rasa dalam tari Jawa
gaya Surakarta. Atau pada prinsipnya, rasa sebagai kebenaran dalam wujud-
wujud indah yang tercermin dalam pertunjukan tari gaya Surakarta
mengandung ungkapan-ungkapan yang sama dalam rasa-rasa seperti
dikategorikan Benamou. Regu, sereng, sedih, prenes, berag, dan gecul adalah
istilah rasa yang muncul sebagai tanggapan atas tari dalam keadaan proses
pertunjukan. Menindaklanjuti pemahaman rasa dari Benamou, tulisan tentang
tari gaya Surakarta ini menggunakan landasan prinsip-prinsip keindahan
menurut Djelantik, bahwa yang indah itu memiliki tiga aspek mendasar yaitu:
1) wujud atau rupa, 2) bobot atau isi, dan 3) penampilan (Djelantik, 1999: 16-
17).

50
Kesenian adalah wujud nyata yang dapat dicerap secara inderawi.
Dalam kaitannya dengan tari, wujud yang tampak sangat berbeda dengan
seni yang lain seperti seni rupa (visual art) atau seni suara yang (audio art). Tari
bersifat kinetik kinestetik, maka kajiannya menggunakan ilmu gerak.
Sedangkan bobot atau isi sangat terkait dengan gagasan dan pesan. Keduanya
melekat disajikan dalam bentuk penampilan. Ketiga aspek mendasar yang
disampaikan Djelantik ini mendapat penguatan dari pikiran De witt H. Parker
dalam bukunya The Principles of Aestethiccs yang diterjemahkan SD.
Humardani di dalam bukunya Dasar-Dasar Estetik, membatasi enam pokok
prinsip keindahan, yang meliputi: the principle of organic unity ( asas kesatuan
utuh), Principle of theme (asas tema), the principle of thematic variation (asas
variasi menurut tema), the principle of balance (asas keseimbangan), the principle
of evolution (asas perkembangan), dan the principle of hierarchi (asas tata
jenjang).
Memahami pendapat Djelantik dan Humardani dapat diketengahkan
bahwa tari gaya Surakarta dalam melihat bentuk atau wujud dan isi adalah
dua yang melebur sebagai satu kesatuan disebut sebagai rasa. Rasa sebagai
kesesuaian antara makna dan ungkapan yang dituangkan ke dalam garap
medium gerak. Artinya bahwa keindahan tari gaya Surakarta terletak pada
rasa. Sedangkan bentuk tari merupakan wujud fisik merupakan kekuatan
untuk sarana melihat kedalaman isinya. Lebih jauh Humardani melihat
kesatuan wujud yang dibangun atas enam prinsip keindahan dan kesatuan
bentuk dan isi sebagai suatu “kemungguhan”. Humardani dalam: Pemikiran dan
Kritiknya menganggap mungguh memiliki arti dasar ketepatan wujud yang
diamati melalui bentuk dan isi secara menyeluruh (1991:26).
Berkait erat dengan pendapat Djelantik dan Humardani, dalam tari
gaya Surakarta terikat oleh kausalitas kebudayaan Jawa. Bahwa dalam
kebudayaan Jawa terdapat pandangan tentang karakter alus dan kasar.
Karakter alus dan kasar sebagai perilaku manusia dalam budaya Jawa
dipahami sebagai dualitas binair yang terus menerus berinteraksi dialogis
membentuk peradaban Jawa. Dua karakter ini kemudian dipahami sebagai
sebuah nilai yang diwujudkan ke dalam bentuk-bentuk yang diantaranya
berupa seni tari. Seni tari gaya Surakarta yang sarat dengan perwujudan
karakter-karakter manusia yang diorientasi oleh Kebudayaan kuno Hindu
dari India. Berbagai cerita kedewaan, kemanusiaan sebagai titisan dewa, dan
kemanusiaan seutuhnya yang harus menjalani dharmanya dalam

51
kehidupannya. Kebudayaan Hindu tersebut kemudian dijawakan (menjadi
Jawa) sebagai kebudayaan sendiri yang khas kejawaannya.
Dengan demikian tari Jawa gaya Surakarta adalah medan untuk
mempertemukan kesenian Jawa dengan masyarakat Jawa dalam landasan
keindahannya. Alus dan kasar adalah rasa yang mempertemukan kesenian
dengan karakter manusia Jawa dalam kebudayaannya. Maka dalam
merasakan karakter yang alus dan yang kasar dalam tari gaya Surakarta sama
halnya memahami karakter manusia Jawa. Maka bagi orang Jawa kesenian
tari dirasakan penting kehadirannya di dalam kebudayaannya. Dari tari
masyarakat dapat langsung bercermin dan terus menjadi inspirasi perilaku
nyata dalam kehidupan masyarakatnya. Pertemuan nilai-nilai terjadi dalam
suatu sistem budaya dalam kebudayaan Jawa, sehinggan tari yang dihadirkan
oleh masyarakatnya dipahami sebagai bagian budaya.
Untuk mencapai karakter menjadi sebuah nilai keindahan dalam
wujud tari tidak lepas dari gerak sebagai media ungkap. Gerak dilakukan
oleh penari untuk dihayati sampai pada tingkat rasa. Rasa dibangun melalui
pencapaian karakteristik yang ditemakan oleh tari. Rasa juga dibentuk melalui
suasana dramatik, yang ditentukan oleh faktor teknik pelaksanaan gerak,
ritme, tempo, volume, bentuk gerak, dan rasa gendhing. Rasa juga diinspirasi
oleh interpretasi penari yang diambil dan/atau diinspirasi oleh sumber-
sumber otentik yang ditemakan oleh tari itu sendiri. Rasa tari didasari pula
oleh kepantasan-kepantasan budaya, maka kemungguhan tari merupakan
kesatuan wujud keindahan yang diidealkan oleh masyarakat tari dimana tari
itu hidup, tumbuh, dan berkembang. Tari gaya Surakarta merupakan
kompleksitas dari bangunan rasa-rasa kemanusiaan masyarakat penganut
kebudayaan Jawa Kasunanan Surakarta.
Kita ketahui bahwa tari gaya Surakarta terdiri dari tiga (3) kualitas
yaitu: Tari puti, tari alus, dan tari gagah dengan perincian detailnya sendiri-
sendiri. Tari gaya Surakarta juga terdapat lebih dari sepulu (10) jenis genre
tari, yakni: Bedhaya, Srimpi, Gambyong, Golek, Wireng, Pethilan, Wireng Pethilan,
Wayang Wong, Dramatari atau Sendratari, dan Kelompok Bertema. Saat sekarang
ini tentu berkembang genre atau sub. genre yang mungkin belum terdeteksi
dalam tulisan ini. Kesemua jenis kualitas dan jenis genre membicarakan,
memahami, menghayati, dan melakukan apa yang dikatakan sebagai
karakter, dramatikal, suasana, dan pencapaian kualitasnya masing-masing.
Kesemuanya menyusun dan mencapai keindahan yang dikerangkakan dalam

52
ungkapan kata-kata khas dan spesifik pula sebagai yang: regu, sereng, sedih,
prenes, berag, dan gecul. Enam kelompok karakteristik sebagaimana
dikategorikan Benamou tersebut ditampakkan melalui apa yang dinamakan
sebagai greget dalam penyajian tarinya. Kesemuanya merupakan wujud dari
keindahan sendiri-sendiri yang spesifik khas tari gaya Surakarta. Keindahan
yang dimaksud juga tercermin di dalamnya dualitas karekteristik yang alus
dan kasar.

2. Konsep Repertoar dan Teknik Gerak Tari Gaya Surakarta


Tari dipahami sebagai cara manusia untuk berkomunikasi dengan
lingkungannya melalui bahasa gerak. Namun tidak setiap gerak dapat
disetarakan dengan tari karena ada tuntutan tertentu yang
menggeneralisasikan gerak dalam budaya tari (Wahyudiyanto, 2008:10). Dadi
Jaya menyebut tari adalah gerakan-gerakan yang indah menuruti irama
musik (ritmis) yang mencerminkan kehidupan manusia dan bahkan mungkin
pengungkapan kehidupan hewan serta alam (Djaya, 1976:92). Sedangkan
Cattapadhaya memberi definisi tari sebagai desakan emosi manusia yang
mendorong kita mencari ungkap dalam bentuk gerakan-gerakan ritmis
(Cattapadhaya, 1965: 14)
Seorang budayawan Jawa mempunyai pendapat tentang tari sebagai
berikut:
Ingkang kawastanan Djoget inggih punika ebahing sedaya saradhoening
badhan kasarengan oengeling gansa (gamelan) katata pikantuk wiramaning
gendhing kalajan pikejenging djoged 39 .
Terjemahan:
Yang dinamakan tari yaitu bergeraknya seluruh anggota badan
berbarengan bunyi gamelan (musik tradisionl Jawa) tertata mendapat
iramanya gending dengan kemauan (tujuan) tari.

Louis Elfelt, Gerldine Demonstain, dan Lameri dalam tulisannya


menyebut gerak sebagai bahan baku tari dalam ruang dan waktu. Dance is
sometimes defined as any patterned ritme,movemnt in space in time 40 . Gerak yang
dimaksud adalah gerak tubuh (manusia) yang di dalamnya mencerminkan
adanya energi yang mengalir, sedangkan ruang dan waktu merupakan

39
Soerdjodiningrat, Babad lan Mekaring Djoged Jawi, (Jogjakarta,:Kol Buning, 1934)
40 Periksa Nanik dkk. Ilmu Tari Joget Tradisi Gaya Kasunanan Surakarta, 2007: 30

53
wahana, tempat, atau area pijak dan keluasan yang melingkupi dalam
bergerak. Penjelasan beberapa tokoh tari tersebut dapat dimengerti bahwa di
dalam tari terdapat tiga unsur utama yakni gerak, irama (ritmis) dan tujuan
ungkapan. Maka dalam tari sebenarnya merupakan ungkapan nilai
kemanusiaan atau yang lain melalui gerak yang ritmis. Sedangkan ruang dan
waktu merupakan aspek ekstrinsik yang dibutuhkan kehadirannya.
Tari Gaya Surakarta tercermin dalam pendapat beberapa tokoh tari
tersebut. Lantas gerak yang bagaimana yang diperlukan di dalam tari gaya
Surakarta. Humardani menyebutkan tiga jenis gerak yang meliputi wantah,
wadag, dan tan-wadag (Lihat Humardani, 1983: 13-14). Gerak wantah
merupakan gerak keseharian, gerak wadag atau yang dikatakan sebagai gerak
representatif adalah kelanjutan dari gerak wantah yang mendapatkaan
sentuhan yang bersifat stilasi dan/atau distorsi. Gerak tan-wadag diartikan
sebagai gerak abstrak atau presentatif.
Gerak dalam kategori wantah dan sebagian kecil gerak-gerak wadag
banyak termanfaatkan pada dunia tari anak yang masih membayangkan
kehidupan nyata di lingkungannya. seperti: kupu-kupu, ayam, katak, kijang
dan jenis hewan lainnya. Gerak tan-wadag tidak ada hubungan langsung
dengan gerak-gerak keseharian, ia merupakan gerak yang membebaskan
teknik, bentuk dan kesan terhadap gerak keseharian. Ia merupakan gerak
baru karena diciptakan untuk suatu ekspresi. Tidak nyata dalam kehidupan
keseharian tetapi nyata sebagai media ungkap 41 .
Dari jenis-jenis gerak dan unsur-unsurnya meliputi bahan, tenaga,
ruang, dan waktu, merupakan perangkat sistem yang penting sebagai wahana
keberadaan tari. Bahan yang disebut sebagai tubuh manusia merupakan
perangkat penting yang pertama. Tari gaya Surakarta lekat dengan tokoh
cerita dan sifat-sifatnya (karakter). Pada setiap tokoh cerita menuntut
kemunculan karakter tokoh. Dan setiap karakter tokoh terdapat bakuan di
dalam memilih bahan. Tokoh Bratasena, Arjuna, Gatutkaca, dan/atau tokoh
lain memiliki bentuk tubuh yang berperawakan berbeda-beda. Maka untuk
menentukan kualitas dan sifat gerak diperlukan pemilihan bahan yang tepat
sesuai budaya yang melingkupi 42 .

41 Periksa Wahyudiyanto. Pengetahuan tari, Surakarta, ISI Press Solo, 2008: 16-21)
42 Mengenai kaitan bahan (tubuh) dalam pemeranan telah dijelaskan pada bab. dua (2)

54
Unsur lain adalah tenaga atau energi, dipergunakan untuk memberi
tekanan-tekanan pada setiap ruas gerak yang telah diberi bentuk agar garis,
volume dan ritme-ritme yang membentuk tempo permainan gerak dalam
ruang dapat dirasakan sesuai dengan pilihan kualitas geraknya. Dalam tulisan
ini penulis menyajikan gerak dasar tari yang terkait dengan jenis kualitas tari
putri, putra alus, dan putra gagah. Yang perlu dipahami adalah bahwa
keindahan dalam tari gaya Surakarta merupakan rasa dari yang terindera oleh
sensa merupakan paduan estetik dan etik.

3.1 Sikap Gerak Dasar Tari Putri


Pada bab. dua (2) telah disebutkan bahwa pada tari putri gaya
Surakarta terdapat dua (2) kualitas gerak yang menunjukkan karakteristiknya
yaitu kualitas gerak luruh (oyi) dan kualitas gerka lanyap (endhel).
Perbedaannya terletak pada sempit dan luasnya ruang yang dipergunakan
untuk membentuk gerknya. Kualitas gerak luruh (oyi) menggunakan ruang
yang lebih sempit jika dibandingkan dengan ruang gerak untuk kualitas
lanyap (endhel). Sikap dasar adeg dan/atau tanjak serta posisi kaki dapat dilihat
pada bab. Dua (2) gambar 1 dan 2.
Berikutnya dapat diperhatikan bentuk
gerak dasar dan polatan (arah pandang)
untuk kualitas luruh (oyi).

Pada sikap dasar kualitas gerak


luruh (oyi) ini, posisi kedua kaki
berdekatan merapat. Posisi kaki kiri
menghadap serong ke kiri sehingga ujung
kaki kiri berada pada posisi depan sudut
kiri. Posisi kaki kanan bagian belakang
(Tungkak) didekatkan merapat pada kaki
kiri bagian tengah. Ujung kaki kanan
dihadapkan serong ke kanan depan.
Badan tegak agak condong (mayuk) ke
depan, tulang belakang (boyok) didorong
Gambar: 19 sedikit ke depan (ndegeg) dan kedua lutut
Sikap dasar kualitas gerak putri luruh sedikit ditekuk (mendak). Lengan kanan
(oyi)
Dok: Wahyudiyanto, 2016 menthang ke samping kanan agak ke

55
bawah hingga pergelangan tangan kanan segaris lurus dengan pinggang
kanan (cethik). Bentuk tangan ngrayung, yaitu jari jemari lurus, ibu jari ditekuk
ke dalam (fleksi) disembunyikan pada tengah telapak tangan, pergelangan
tangan ditekuk keluar (ekstensi). Arah pandangan mata segaris lurus dengan
arah wajah menuju titik lantai lebih kurang tiga (3) sampai empat (4) meter ke
samping kanan bawah agak serong depan dari posisi berdiri. Tangan kiri
posisi tekuk, siku ke arah samping kiri badan, bentuk tangan diri seperti
bentuk tangan kanan (ngrayung dan/atau bisa juga nyekithing). Posisi tangan
hampir melekat pada pinggang kiri (cethik) (perhatikan gambar 19).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa sikap dasar kualitas gerak putri
lanyap (endhel), ruang yang digunakan
untuk membentuk gerak sedikit lebih luas
dari kualitas gerak luruh (oyi) (perhatikan
gambar 20).
Pada kualitas gerak tari putri
terdapat lima (5) perbendaharaan gerak
berjalan (lumaksana) yaitu: 1) lumaksana
lembehan kanan dan kiri, 2) lumaksana
putren, 3) lumaksana nayung, 4) lumaksana
ridhong sampur, dan 5) lumaksana ukel
karna. Telah dijelaskan bahwa untuk
membedakan kualitas gerak luruh (oyi)
dan lanyap (endhel) pada lima jenis
Gambar: 20 lumaksana ini terdapat pada tingkat
Sikap dasar kualitas gerak putri keluasan volume dan ruang gerak yang
lanyap (endhel)
Dok: Wahyudiyanto, 2016 digunakan. Dapat diketahui tokoh
wayang yang memiliki karakter putri
luruh (oyi) seperti: Sembadra, Sinta, Kunthi, Dewi Drupadi, dan Dewi
Sekartaji. Sedangkan tokoh lanyap (endhel) seperti: Banowati, Srikandhi,
Mustakaweni, Pregiwa, dan Pregiwati.

3.2 Gerak Dasar Tari Putra Alus


Pada dasarnya gerak dasar pada tari gaya Surakarta putra alus
terdapat dua macam kualitas seperti halnya pada dasar gerak tari putri, yaitu
luruh dan lanyap. Hanya saja pada putra alus tidak ada istilah oyi dan endhel.

56
Kualitas gerak puta alus ini secara umum disajikan oleh penari putra, tetapi
tidak jarang pula disajikan pula oleh penari putri. Sebagai contok peran
Arjuna dalam Wayang Wong, pada era terdahulu dan bahkan sampai saat
sekarang ini, masih terdapat tokoh Arjuna diperankan oleh penari putri. Pada
prinsipnya bukan menjadi masalah terdapat silang jenis penari untuk
memerankan figur Arjuna asal saja garap peran tersebut (mungguh) mampu
memenuhi kebutuhan kualitas ungkapnya.
Untuk membedakan kualitas gerak luruh dan lanyap, tidak ada
bedanya dengan kualitas tari putri yaitu sempit dan luasnya penggunaan
volume gerak dan ruang yang digunakan untuk melakukan dan membentuk
gerak. Kualitas luruh lebih sempit penggunaan ruang, sedangkan kualitas
lanyap lebih luas dibandingkan dengan kualitas luruh. Bentuk sikap adeg dan
tanjak serta posisi kaki pada tari putra alus dapat diperhatikan pada bab. dua
(2) gambar 3 dan 4. Sedangkan pola dasar gerak dapat diperhatikan pada bab.
ini gambar: 21 dan 22.
Adapun cara atau teknik yang
digunakan untuk membentuk sikap adeg,
sikap tanjak, dan sikap bergerak juga
tidak ada bedanya dengan kualitas tari
putri, yaitu punggung ndegek sehingga
dada terlihat sedikit membusung
(mongal). Terdapat lima jenis sikap
berjalan (lumaksana) yang dikenal dalam
gerak dasar rantaya, yaitu: 1) lumaksana
Dhadhap Noraga, 2) Lumaksana Dhadhap
Impuran, 3) Lumaksana Nayung, 4)
Lumaksana Bang-bangan atau Bambangan,
dan 5) Lumaksana Oklek.
Dalam tari putra alus, selain
dikenal kualitas gerak untuk menuju
Gambar: 21
Sikap dasar kualitas gerak putra alus kualitas karakter juga terdapat kualitas
luruh irama gerak yaitu “mbanyumili” dan
Dok: Wahyudiyanto, 2016
“ngganggengkanyut” hal ini juga berlaku
pada irama gerak pada kualitas tari
putri. Adapun tokoh pewayangan yang digolongkan karakter alus luruh
seperti: Arjuna, Ramawijaya, Puntadewa, Lesmana, Abimanyu, dan Panji

57
Inukertapati. Sedangkan dalam kategori
karakter lanyap, seperti: Adipati Karna,
Dewasrani, Gambiranom, Gunawan
Wibisana, dan Gunungsari. Yang perlu
dicatat bahwa di dalam kualitas tari alus
gaya Surakarta, selain terdapat luruh
dan lanyap, terdapat pula karakter
diantara keduanya.

3.3 Gerak Dasar Tari Putra Gagah.


Pada bab. dua (2) telah dirinci
kualitas tari putra gagah, yakni:
Dungan(an), Agal(an), Gecul(an),
Dugang(an)-agal, dan Agal(an)-gecul.
Gambar: 22
Pada bagian ini akan diberikan contoh-
Sikap dasar kualitas gerak putra lanyap
Dok: Wahyudiyanto, 2016 contoh gerak dasar pada masing-
masing jenis kualitas gagah tersebut.

3.3.1 Dugang(an)
Sebagaimana dijelaskan pada kualitas tari gaya Surakarta
terdahulu yaitu kualitas tari putri dan putra alus. Bahwa sebagai acuan
pengkarakteran diambil dan/atau
diinspirasi oleh cerita yang
dilakonkan dalam kitab Maha-
barata, Ramayana, Panji dan yang
lainnya. Artinya, sifat kemanusia-
an dijadikan tema dan/atau isi
tari. Karakteristik yang tampak
pertama dan utama adalah peri-
laku gerak tubuh dan selanjutnya
adalah cara dan warna suaranya,
serta didukung aspek kerupaan
seperti tata rias dan busana.
Secara garis besar, bentuk dan
sikap badan (adeg) dan tanjak
Gambar: 23
Sikap dasar kualitas gerak putra gagah
Dugangan Kalang Kinantang Kasatriyan
Dok: Wahyudiyanto, 2016

58
pada kualitas putra gagah dapat
diperhatikan pada bab. dua (2)
gambar 5 dan 6. Adapun pada
kualitas gerak gagah Dugang(an)
secara tradisi dikelompokkan
menjadi dua atas dasar strata
tokoh dalam status sosialnya,
yakni Kalang Kinantang Kasatriyan
dan Kalang Kinantang Punggawan
(perhatikan gambar 23 dan 24).
Jenis Dugangan Kalang
Kinantang Kasatriyan mengacu
pada tokoh-tokoh satriya dalam
kelompok non raksasa seperti:
Gambar: 24 Gatutkaca, Handaga, dan San-
Sikap dasar kualitas gerak putra gagah caya. Sedangakan Dugangan
Dugangan Kalang Kinantang Punggawan
Dok: Wahyudiyanto, 2016 Kalang Kinantang Punggawan
mengacu pada para punggawa
non raksasa, seperti: Jayadrata, Kartamarma, Citraksa-Citraksi,
Pragota, Trikaya, Trisirah, dan Durmagati.

3.3.2 Agal(an)
Para seniman dan/atau empu tari Gaya Surakarta sebagai
pemula dalam menciptakan kualitas gerak putra gagah jenis Agal(an)
ada semacam kesepahaman dan sepakat untuk menggunakan tokoh
sabrangan sebagai acuan karakterkistiknya. Tokoh sabrangan menurut
Bambang Suwarno (dalam Nanik dkk, 2007 hal. 8) menyebutkan
sebagai tokoh di luar Astina, Amarta, Mandura, dan Dwarawati.
Terdapat tiga (3) sabrangan, yakni sabrangan gagah, alus dan sabrangan
raksasa. Lebih jauh Suwarno memberi contoh sabrangan gagah, seperti:
Boma Narakasura, dan Indrajid, sedangkan untuk sabrangan alus atau
sasra seperti: Dewasrani dan Jungkung Mardeya. Untuk sabrangan
raksasa adalah semua jenis raksasa digolongkan sabrangan raksasa.
Jenis yang terakhir ini dikelompokkan pada jenis karakter yang
berperilaku tidak baik dan/atau jahat. Pada jenis agalan ini
menggunakan bentuk gerak bapang. Pola pengelompokan geraknya

59
didasarkan pada derajat kepangkatan tokoh perannya. Maka dalam
bentuk gerak bapang dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Bapang Raja, untuk peran Rahwana, Jarasanda, Jayasentika, dan
Klana Sewandana.
2. Bapang Kasatriyan, untuk tokoh Kumbakarna, Brajadenta,
Brajamusti, dan Prahasta.
3. Bapang Punggawan, untuk tokoh Cakil, Kala Marica, Progalba,
Daeng Melawa, dan Daeng Markincing (untuk tarian Bugis)
4. Bapang Jeglong, digunakan untuk bala tentara raksasa (bala
rucah) siapapun namanya. Perhatikan gambar: 25 s/d 28).
Dalam tafsir di lapangan sering terdapat perbedaan pandangan
bahwa pada jenis agalan ini terdapat penggunaan kualitas Dugangan
Kalang Kinantang Punggawan tetapi dalam volume gerak yang lebih
besar. Sedangkan Sabrangan alus digunakan kualitas alus lanyapan atau
dalam perkembangan sekarang kadang menggunakan Kalang
Kinantang Punggawan tetapi dalam penggunaan volume yang lebih
sempit.

Gambar: 25 Gambar: 26
Sikap dasar kualitas gerak putra Sikap dasar kualitas gerak putra
gagah Agalan jenis Bapang Raja gagah Agalan jenis Bapang Kasatriyan
Dok; Wahyudiyanto, 2016 Dok; Wahyudiyanto, 2016

60
Gambar: 27 Gambar: 28
Sikap dasar kualitas gerak putra Sikap dasar kualitas gerak putra
gagah Agalan jenis Bapang Punggawan gagah Agalan jenis Bapang Jeglong
Dok; Wahyudiyanto, 2016 Dok: Wahyudiyanto, 2016

3.3.3 Gecul(an)
Kualitas gerak Geculan memiliki karakter gerak yang sifatnya
lucu dan/atau humor. Peran humor dalam wayang dibawakan oleh
tokoh punakawan, yakni, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sifat lucu
ini selanjutnya berdampak pada pemenuhan sifat badannya yang
cenderung disangat-sangatkan. Semisal perut lebih dibuncitkan, kaki
lebih dipanjangkan, dipendekkan, dan bahkan dibikin tidak normal.
Penyangatan atau melebih-lebihkan ini bertujuan untuk mendapatkan
kesan lucu secara fisiologi, selanjutnya ditekankan pada warna suara
dan cara dialeknya, serta tata rias dan busananya.
Tokoh jenaka lain semisal Bancak Doyok, Regol Patrajaya,
Sembung Langu, Penthul, dan Tembem. Tokoh-tokoh jenaka ini ada
dalam cerita Panji. Perhatikan contoh gecul pada gambar: 29 dan 30.

61
Gambar: 29 Gambar: 30
Gareng (tokoh wayang kulit) karakter Petruk (tokoh wayang kulit) karakter
gecul gecul
Dok: Wahyudiyanto, 2016 Dok: Wahyudiyanto, 2016

3.3.4 Dugangan Agal


Yang termasuk dalam kelompok kualitas gerak Dugangan Agal
adalah Raja Raksasa yang mempunyai bentuk tubuh tinggi besar. Ciri
gerakannya adalah menggunakan
lumaksana yang disentai gerakan
menendang-nendang. Jenis kua-
litas gerak yang dipakai adalah
Bapang Raja (perhatikan gambar
25). Pada bentuk gerak Bapang raja
ini pada penggunakan Dugangan
Agal tetapi volume lebih diper-
lebar, dengan langkah kaki yang
juga lebih lebar. Tokoh yang
digambarkan seperti Kumbakarna
dan Raja Niwatakawaca.

Gambar: 31
Pola bentuk serupa Bapang Punggawan
Dok: Wahyudiyanto, 2016

62
3.3.5 Agalan Gecul
Kualitas Agalan Gecul merupakan gabungan kualitas karakter
Agalan dan Geculan. Konsistensinya menggunakan bentuk gerak
Bapang, tapi dalam praktiknya
justru menggunakan bentuk
Kambeng atau Kambengan. Tokoh
karakter Agalan Gecul seperti
Burisrawa, Minakjingga, dan
Bugis. Pada tarian yang meng-
guakan karakter binatang sering-
kali menggunakan gerak Kambeng
dan Bapang. Prinsinya kualitas
gerak jenis Agalan Gecul adalah
memberi kesan lucu atau banyol.
Pola gerak Kambeng dibagi dalam
empat (4) macam berdasarkan
bentuk jari:
Gambar: 32
Pola bentuk Kambeng Cekithingan
Dok: Wahyudiyanto, 2016

1. Kambeng Bithen, untuk peran Bratasena, Bathara Bayu, Dewa Ruci,


dan Hanoman (perhatikan gambar 33).
2. Kambeng Gegeman diperuntukkan peran Sugriwa, Subali,
Duryudana, Styaki, Ranggalawe, dan Kartala. Namun perlu dicatat
bahwa peran Duryudana, Sugriwa, Subali, dan Setyaki seringkali
menggunakan pola bentuk gerak Kalang Kinantang Kasatriyan
(perhatikan gambar 34)
3. Kambeng Cekithingan, untuk tokoh peran Hanggada, Hanila
Jembawan, dan Hanala (perhatikan gambar 35).
4. Kambeng Kepelan diterapkan untuk semua peran prajurit bala kethek
rucah (perhatikan gambar 36).

63
Gambar: 33
Pola gerak Kambeng Bithen
Dok: Wahyudiyanto, 2016

Gambar: 34
Pola gerak Kambeng Gegeman
Dok: Wahyudiyanto, 2016

Gambar: 35
Pola gerak Kambeng Cekithingan
Dok: Wahyudiyanto, 2016

64
Gambar: 36
Pola gerak Kambeng Kepelan
Dok: Wahyudiyanto, 2016

3. Funsi Tari Gaya Surakarta.


Atas dasar penjelasan yang dimulai dari bab. satu (1) sampai dengan
bab. tiga (3) dapat diambil pemahaman perihal fungsi dan atau kegunaan tari
gaya Surakarta. Pemahaman ini diasumsikan tari gaya Surakarta ketika masih
dalam lingkungan keraton dan/atau sesudah keluar dari tembok keraton
sebagai berikut:
1. Masih terdapat tarian gaya Surakarta yang difungsikan sebagai sarana
ritual kerajaan. Tarian yang dimaksud adalah tari Bedhaya Ketawang.
Tari Bedhaya Ketawang merupakan sakti raja dipergunakan sebagai
bagian dari upacara ritual kebesaran kerajaan dan raja yang sedang
bertahta. Meskipun saat sekarang ini kekuasaan sebatas sebagai simbol
pelestari budaya kerajaan, tari Bedhaya Ketawang tetap dipergunakan
sebagai kelengkapan sakti raja diruntutkan bersama sakti-sakti (benda
dan/atau non benda) lain yang menyertai upacara kebesarannya.
2. Memberhatikan Humardani (1982) yang membagi fungsi seni menjadi
”fungsi primer”, “fungsi Skender”, dan “fungsi tersier”. Dijelaskan
lebih lanjut fungsi primer seni adalah sebagi hayatan, yakni sebagai
sarana untuk mendapatkan pengalaman estetik dan atau fungsi
ekspresi pengalaman seniman. Itulah yang kemudian dikatakan
sebagai fungsi instrinsik atau fungsi inhern seni. Fungsi skunder seni
adalah fungsi-fungsi di luar fungsi primer. Fungsi skunder misalnya
sebagai sarana pendidikan, sarana propaganda, sarana ekonomi dan
sebagainya. Sedangkan fungsi tersier seni adalah fungsi yang lebih

65
jauh dai fungsi primer dan skunder. Dapat dicontohkan seperti untuk
kelengkapan seremonial, dan fungsi sosial lainnya.
Merujuk pendapat Humardani dan fakta yang berkembang di
masyarakat, tari gaya Surakarta dari berbagai jenis genre yang ada
secara kualitas baik kualitas koreografi, bentuk, dan isi yang
dikandung dalam setiap tarian, memiliki tingkat bobot kajian yang
tinggi. Karaktersistik yang dimunculkan dari tema ke dalam bentuk
mampu memberikan pengalaman mendalam bagi penghayatnya
terutama masyarakat yang masih dalam penganut kebudayaan Jawa,
maka yang dikatakan Humardani mendapat legitimasi dari fakta yang
ada, bahwa bobot tari gaya Surakarta telah memenuhi fungsi tari
primernya yaitu tari sebagai fungsi hayatan. Dalam konteks seni
sebagai fungsi hayatan menegaskan bahwa tari sengaja
dipertunjukkan untuk dinikmati. (Wahyudiyanto dalam Pengetahuan
tari, 2008: 84-85) menjelaskan seni sebagai pertunjukan sebagai berikut:

Fungsi Tari Pertunjukan


Tari pertunjukan dapat dibedakan menjadi tari estetik dan tari
seremonial meskipun sebatas untuk kebutuhan pembahasan ilmu, tari
pada kenyataanya adalah tari itu sendiri yang dalam kehidupannya
tumpang tindih dalam eksistensinya. Satu kesempatan tari dibutuhkan
dalam kepentingan estetik dan pada kesempatan lain tari yang sama
dibutuhkan untuk keperluan non estetik. Maka dalam kajian ini pula
tari pertunjukan dibedakan menjadi tari estetik dan tari seremonial
ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang jelas perihal makna dan
fungsinya. Inipun dalam kategori normatif yang masih dapat dikaji
lebih dalam lagi.

a. Fungsi Tari pertunjukan estetis


Dapat dijumpai di arena festival-festival, ajang kreatif, pentas
seni, pentas prestasi, dan pentas-pentas sejenis maka tari dalam
perspektif ini memang dibutuhkan untuk mendapatkan apresiasi
maksimal tentang kedudukan esensi nilai seni dalam tari. Kaidah-
kaidah ilmu penciptaan tari, bentuk, teknik, estetiknya, dan seluruh
aspek pertunjukan tari dijadikan orientasi penilaian sehingga tari
dalam kebutuhan ini dihadirkan untuk kebutuhan estetik.

66
Penontonnya spesifik yang digolongkan sebagai para penghayat seni.
Karenanya kalau dilihat dari sisi fungsinya maka tari dalam
kebutuhan ini adalah fungsi estetik. Jadi fungsi utamanya “primer”
adalah untuk mendapatkan capaian estetik yang maksimal.

b. Fungsi Tari pertunjukan Seremonial


Sangat mungkin materi tari pertunjukan seremonial ini sama
dengan pertunjukan estetis tetapi karena momen atau event
kegiatannya bukan untuk hayatan estetik maka fungsinya juga
berbeda. Dalam kaitan ini tari seperti yang dipertunjukkan pada acara
upacara tujuh belasan (HUT Kemerdekaan Repubil Indonesia),
upacara pembukaan pekan olah raga, penutupan sebuah acara
konferensi-konferensi, hajatan manten dan sejenisnya. Maka fungsi
tarian ini digolongkan ke dalam fungsi sosial. Tetapi dalam konsep
fungsi menurut Humardani tari sermonial ini masuk dalam fungsi
skender bahkan fungsi tersier tari.
Sebagaimana generalisasi yang dilakukan oleh wahyudiyanto
tersebut tampak sejalan dengan yang dinyatakan oleh Humardani
sebelunya yaitu fungsi primer dan fungsi skunder tari. Fungsi primer
dijelaskan sebagai seni yang dipertunjukkan dalan event-event yang
presentatif untuk merlihat tari dari sisi bentuk dan isinya secara
bersamaan dalam kapasitasnyan untuk mendapatkan nilai wigati-nya.
Sedangkan fungsi skunder tari adalah untuk keperluas seremonial
sebagaimana dijelaskan Wahyudiyanto dengan beberapa contoh
tempat, wilayah dan tujuan dipentaskannya tari tersebut. Dengan
demikian tari gaya Surakarta dalam kedudukannya ketika
diperuntukkan sebagai penyambut tamu adalah fungsi skundernya.
Adapun fungsi lain di luar kegunaan skunder dikatakan Humardani
sebagai fungsi tersier.
Dalam perkembangan berikutnya, untuk berbicara fungsi tari
sudah barang tentu tidak cukup pada pembahasan pendek seperti ini.
Dibutuhkan kajian yang panjang dan dalam tentang kompleksitas
eksistensi tari. Dalam ruang kebudayaan ini tari telah memasuki
babak-babak baru yang kedudukan semulanya sangat mungkin terus
bergeser dan berubah. Pergeseran dan perubahan yang terjadi
merupakan konskwensi dialektika tari dalam ruang membudayanya,

67
karenanya untuk menentukan secara jelas dan pasti fungsi tari akan
terus mendapatkan format-formatnya yang baru dan baru lagi.
Setidaknya dalam kajian ini dapat diidentifikasi fungsi tari gaya
Surakarta berdasarkan kondisi lapangan dan berdasarkan pemilahan
jenis tari yang dapat dijumpai dilapangan yang sangat terbatas pula.

68
BAB IV
DESKRIPSI IDEASI DAN REPERTOAR TARI GAYA SURAKARTA

Pada bab. ini dijelaskan tentang deskripsi ideasi dan repertoar tari
gaya Surakarta yang disempitkan pada tiga repertoar tari gaya Surakarta
yakni Tari Klana Topeng, Tari Gunungsari, dan Tari Golek Manis. Deskripsi
ideasi yang dimaksud adalah menjelaskan ide dan/atau gagasan yang
dijadikan tema tari. Demikian pula tari sebagai cerita bergerak merupakan
perwujudan ide dan/atau gagasan dipandang sebagai teks kebudayaan
kesenian. Tari sebagai teks kebudayaan kesenian dieksplanasi berdasarkan
kaidah-kaidah kajian tari untuk mendapatkan kejelasan material. Kejelasan
material meliputi struktur tari, ragam gerak, pola ruang, tata rias dan tata
busana. Berikut diuraikan secara berurutan.

1. Deskripsi Ideasi Tari Klana Topeng


Cerita seputar siklus Panji dikenal banyak versi
43 ,
banyak wilayah bahkan banyak negara yang memiliki, maka banyak pula
bentuk penceritaannya. Pertunjukan merupakan salah satu wujud penceritaan
itu. Di Jawa terdapat wayang kulit yang menggunakan siklus Panji sebagai
modal bercerita, yang disebut Wayang Gedok. Terdapat juga Wayang Golek,
Wayang Beber, wayang Klithik, Wayang Topeng dan juga Topeng Dalang. Wayang
Topeng dan Topeng Dalang hampir tidak ada beda. Satu perbedaannya adalah
jika Wayang Topeng, dialog wayang dilakukan oleh anak wayang dengan cara
melepas sedikit topeng untuk melakukan dialog. Sedangkan dialog pada
Topeng Dalang dilakukan oleh seorang dalang, sementara anak wayang
bergerak mengikuti isi dialog yang dilakukan dalang.
Beberapa pertujukan Wayang Topeng dan Topeng Dalang yang cukup
dikenal, diantaranya: Madura, Malang, dan Klaten. Di Madura terdapat lebih
dari satu perkumpulan Wayang Topeng, di Malang ada beberapa wilayah yang
memiliki kelompok Topeng Dalang dengan ciri khasnya sendiri-sendiri. Di
Klaten diketahui terdapat satu perkumpulan yang cukup tua yang hingga kini
masih memiliki kegiatan pergelaran meskipun sudah semakin berkurang.

Fauzannafi, Muhammad, 2005. Reog Ponorogo, Menari di Antara Dominasi dan Keragaman
43

melihat legenda Panji setidaknya terbagi menjadi empat versi: 1) versi Kelana – Sanggalangit, 2)
versi Wijaya - Kilisuci, 3) Asmarabangun – Rahwanaraja, dan 4) versi Jathasura – Kilisuci –
Bujanggalelana dan versi Kelana – Candrakirana.

69
Lakon yang diceritakan seputar kisah Panji dan Mahabarata meskipun
masing-masing perkumpulan menggunakan versinya sendiri. Kendatipun
berbeda versi namun terdapat kesamaan mendasar yakni adanya tokoh
terkenal yaitu Klana Sewandana, putri Dewi Sekarjati atau Dewi
Candrakirana, dan Panji Inukertapati atau Panji Asmarabangun, dan
Gunungsari. Keempat tokoh penting inilah pertunjukan menjadi menarik.
Di Klaten Jawa Tengah, Wayang Topeng merupakan pertunjukan rakyat
yang berkembang di masyarakat. Bermula dari sebuah versi yang
menceritakan tentang penyamaran seorang utusan dari kerajaan Surakarta.
Adalah Mlayakusuma seorang dalang Wayang Kulit terkenal diperintahkan
raja untuk mencari putra dari Pakubuwana IX yang pergi meninggalkan
kraton Surakarta. Penyamaran Mlayakusuma untuk melaksanakan tugasnya
adalah dengan cara ngamen (mbarang) (Balai Soedjatmoko, 2014:84). Dimulai
dari sini Wayang Topeng berkembang di tingkat rakyat.
Berawal dari penyamaran ini pula, Mlayakusuma dikenal sebagai
tokoh Topeng Dalang di wilayah Klaten Jawa Tengah. Mbarang Wayang Topeng
kemudian dilanjutkan oleh keturunannya yakni cucu dan cucu buyutnya
Kuwiran dan Gondotukasno yang beliau juga dalang Wayang Kulit. Ki
Gondotukasno adalah generasi ketiga keturunan dari Mlayakusuma
merupakan penari tari Klana 44 terkenal pada jamannya. Ki Gondotukasno
juga merupakan penari spesial tari Klana Sewandana yang paling dikenal
dengan kembangan kiprah yang sangat banyak hingga mampu menari dua jam
tanpa berhenti (Balai Soedjatmoko, 2014:90). Kepenarian Klana Topeng
dilanjutkan generasi selanjutnya sampai pada Cremosumarto.
Meskipun awal kemunculan pertunjukan ini dari Keraton Kasunanan,
tetapi dalam perkembangannya, perkumpulan Topeng Dalang Klaten memiliki
kedekatan dengan kraton Mangkunegaran. Hal ini dikaitkan dengan tari
Klana Topeng terkenal dari Mangkunegaran yang dinamakan “kiai Geger”.
Topeng “kiai Geger” telah menginspirasi penari Klana Topeng dari
perkumpulan Klaten, selanjutnya topeng “kiai Geger” diduplikasi oleh Topeng
Dalang Klaten ini. Disebut ‘kiai Geger” karena daya pesona penari di Pura
Mangkunegaran yang mampu dengan baik menyajikan peran Klana
Sewandana dalam tariannya. Daya pesona tersebut membikin “geger”
khalayak hingga para penonton berbondong-bondong ingin segera
menyaksikan langsung pertunjukan tari Klana. Dari daya pesona ini

44 Tari Klana dalam Wayang Topeng selalu mengenakan topeng karakter Raja Klana
Sewandana, maka sering disebut tari Klana Topeng, Topeng Klana, dan atau tari Klana saja.
Pada penelitian ini sebutan itu bukan dijadikan permasalahan yang harus diperdebatkan.

70
kemudian topeng Klana diduplikasi untuk dijadikan panduan karakter tokoh
Klana.
Ki Gondotukasno menafsirkan Klana Sewandana seperti Boma
Narakasura dari tokoh pewayangan di Wayang Kulit 45 . Hal ini didasari oleh
para pemain dan/atau penari topeng adalah para dalang, sehingga tidak ada
kesulitan memberi tafsir karakter tokoh Klana Sewandana seperti atau
disetarakan dengan tokoh Boma Narakasura. Karakter Boma Narakasura
diumpamakan juga dengan karakter topeng Klana “kiai Geger” Pura
Mangkunegaran yang memiliki bentuk mata melotot keluar, tampak kejam
menyeramkan dan ukiran jamang berbentuk belitan ular.
Kaitan Wayang Topeng Klaten dengan Pura Mangkunegara dan
Keraton Kasunanan Surakarta merupakan kolaborasi Keraton dan rakyat.
Penggabungan dua budaya (besar dan kecil) menghasilkan kesemarakan
kebudayaan kesenian utamanya di luar tembok keraton. Karakteristik peran
Klana dan tokoh-tokoh lain dalam cerita panji mendapat sentuhan dari dua
pusaran kebudayaan ini hingga menghasilkan bentuk kesenian yang
feodalistik sekaligus igaliter. Kemampuan Ki Gondotukasno meramu gerakan
yang diperoleh dari para pendahulunya kemudian dimodifikasi dengan
kreasinya sendiri menghasilkan Klana model Gondotukasno yang fenomenal.
Klana Topeng Klaten inilah yang menginspirasi para penari Klana
Topeng berikutnya termasuk juga penari Klana Topeng terkenal Sunarno
Purwo Lelono (alm) dari ASKI sekarang ISI Surakarta. Tari Klana Topeng saat
sekarang ini yang dipergunakan untuk berbagai keperluan baik pendidikan
maupun untuk perhelatan lainnya adalah inspirasi dari Wayang Topeng
Klaten. Wayang Topeng Klaten merupakan kelanjutan dari cerita panji dalam
bentuk pertunjukan wayang kulit gedok dan pertunjukan tari (Wireng dan
Dramatari) yang bermula dari keraton (Kasunanan dan Mangkunegaran)
Surakarta. Masing-masing lokus budaya besar (keraton) mengembangkan
gayanya masing-masing. Sementara itu Tari Klana Topeng yang
dikembangkan oleh gaya tari Kasunanan Surakarta yang berkembang pula di
luar tembok keraton hingga Klaten.
Inspirasi atau cerita yang diambil adalah seputar kisah romantika
Panji Inukertapati dan Dewi Sekartaji. Diantara romantika tersebut terdapat
cerita tokoh Klana Sewandana yang terpikat kecantikan Dewi Sekartaji.

45 Simak Balai Soedjatmoko, 2014. Topeng Panji Mengajak Kepada yang Tersembunyi, Hal:
71.

71
Keterpesonaan Raja Kelana dari Negeri Sebrang diwujudkan dalam bentuk
tari Klana Topeng yang sedang jatuh cinta (kasmaran) kepada Dewi Sekartaji.
Seperti digambarkan oleh para pendahulu penari topeng terkenal, para
pembaharu tari Klana Topeng saat sekarang ini menciptakan ulang gerak dan
karakteristik tokoh Klana Sewandana, yaitu gagah berwibawa tetapi memiliki
sifat brangasan. Dalam dunia pewayangan sifat-sifat sejenis itu digambarkan
seperti Raden Boma Narakasura anak dari Prabu Krisna dari Dwarawati.
Dalam khasanah tari gaya
Surakarta. Raja Klana Sewandana yang
dari tanah sebrang digambarkan
dengan gerak pada kualitas gagah jenis
Agalan bentuk Bapang Raja. Hal ini
dikaitkan dengan perwujudan karakter
yang gagah brangasan. Menggunakan
rias teleng Prengesan dan busana Raja
Sebrang yaitu rapek atau wiron warna
dominan merah dan coklat mengenakan
mahkota tekes malang. Secara visual,
perwujudan tari Klana digambarkan
sebagai berikut:
Gambar. 37
Topeng Klana Sewandana tampak depan
Koleksi: Wahyudiyanto

Gambar. 38 Gambar. 39
Topeng Klana Sewandana tampak samping Topeng Klana Sewandana tampak samping
kanan kiri
Koleksi: Wahyudiyanto Koleksi: Wahyudiyanto

72
Tekes malang

Topeng

Sumping

Plim /rambut

Kalung kace dan simbar dada

Klat bahu

Slempang

Sabuk cinde

gelang
Epek timang
uncal
Boro samir
Kain motif modangdan parang

Sampur gendalagiri

Keris dan kolong keris

Binggel/gelang kaki

Gambar. 40
Sosok Tari Klana Topeng dengan rincian busananya

2. Deskripsi Repertoar Tari Klana Topeng


Sebagaimana lazimnya tari gaya Surakarta yang mengambil (methil)
dari babak besar cerita, maka tari tersebut kategori genre Pethilan. Tari Klana
Topeng gaya Surakarta merupakan genre Pethilan Jenis tari Tunggal. Tari
Tunggal adalah tarian yang didesain dan ditarikan oleh seorang penari.
Grakannya dapat mencapai tingkat kerumitan tertinggi dibanding tarian
lainnya yang bukan tari tunggal. Pada tarian jenis ini sering dijumpai
menghasilkan firtousitas kepenarian yang maksimal (Wahyudiyanto, 2008:78).
Pada perkumpulan Wayang Topeng atau Topeng Dalang, dan jenis kelompok
pertunjukan lainnya, tarian yang dilakukan oleh satu orang penari (tari
tunggal) diketahui terdapat penari unggul. Kita diingatkan nama-nama penari

73
Klana Topeng Gaya Surakarta seperti Ki Gondotukasno, Cremosumarto,
Lebih muda lagi Witoyo, Sunarno Purwalelana, Generasi berikutnya ada
Samsuri Sutarna.
Sebagai genre Phethilan, seperti juga genre wireng, maka tari Klana
Topeng disebut juga Wireng Pethilan, memiliki struktur penyajian sebagai
berikut: 1) maju beksan, 2) beksan, 3) beksan kiprahan dan gandrungan
dan/atau gambyongan, dan 4) mundur beksan. Secara rinci, tari Klana
Topeng gaya Surakarta dijabarkan sebagai berikut:

1. Maju Beksan
Pada umumnya tari Pethilan atau juga Wireng, penari memulai
menari dari gawang Supana yaitu posisi tengah panggung (stage)
bagian belakang. Gerak yang dilakukan adalah sembahan jengkeng,
berdiri mengenakan topeng, sabetan, seblak sampur kiri kirig
samping kanan dan kiri ulap-ulap tawing, gebesan kiri kanan. Besut,
seblak sampur kiri arah sudut kiri depan, kebyok kebyak sampur kiri
kanan. Seblak sampur kanan, kirig, ulap-ulap tawing, gebesan kiri.
Lumaksana jajagan ke arah sudut kanan depan, ombak banyu, srisig
menuju ke depan gawang supana, besut, tanjak tancep.
Musik tari: pathetan, ada-ada, lancaran Bendrong.

2. Beksan
Pada bagian beksan, gerakan yang dilakukan adalah: Ukel rawis,
ogek lambung, tolehan kiri kanan. Dolanan sampur kiri dua kali,
lumaksanan sampur, besut, tanjak tancep. Ogek lambung, tolehan kiri
kanan, besut, tanjak tancep. Dolanan sampur kiri, ngetung bala,
bopongan kiri arah depan, trecet ke belakang, memutar besut tanjak
tancep. Lumaksana sampur arah sudut kiri depan, disambung gerak
gandrungan. Trecet di tempat, memutar kanan gerakan besut, tanjak
tancep hadap sudut kanan depan. Gerakan ketawa, besut, tanjak
tancep, ngancap memutar, bopongan hadap sudut kanan depan.
Memutar kiri penuh, gerak gandrungan, seblak sampur. Lumaksanan
sampur, memutar arah belakang, ombak banyu hadap belakang,
besut memutar hadap depan, tanjak tancep.
Musik tari: gending ketawang Pucung Rubuh

74
3. Beksan Kiprahan:
Tolehan kiri kanan, gebesan, ogek lambung, nggambul lamba ngracik
kiri kanan, bopongan, entragan kanan kiri, ukel karna ogek lambung.
Kirig, ulap-ulap tranjal kanan, ulap-ulap tranjal kiri tawingan kiri,
ulap-ulapan kanan, kirig. Melangkah kiri kanan menyudut kiri, usap
plim dan bara kanan, entagan kanan kiri, ukel karna kanan ogek
lambung. Kirig, gerak capengan lengan kiri kanan, dilanjutkan
tumpang tali kiri kanan, tebak bumi, ulap-ulap kiri, besut memutar
kanan, tanjak tancep hadap belakang.
Musik tari: Lancaran Bendrong

Gandrungan dan/atau Gambyongan:


Besut memutar hadap depan, gerak batangan kiri kanan,
dilanjutkan sindet ukel karna, ogek lambung tawingan kiri kanan
hadap pojok kanan depan. Sindet ukel karna, mlaku telu, lembehan
nyamping kanan dan depan, membentuk garis ketupan, besut, srisig
menuju sudut kiri depan, gandrungan, entragan. Ulap-ulap tawing
kiri, gandrungan, memutar penuh, bopongan hadap sudut kanan
depan. Langkah mundur kipatan, ngleyang (linglung), entragan.
Ulap-ulap tawing kiri, besut memutar, tanjak tancep hadap belakang.
Musik tari: Ladrang Eling-eling

4. Mundur Beksan
Mundur beksan berisi gerakan: Capengan lengkap (lengan kiri
kanan, sabuk timangan, ukel rawis, sabetan, besut, srisig, kembali ke
gawang supana, jengkeng, sembahan, lepas topeng.
Musik tari: Sampak

Penjelasan rinci mengenai nama ragam gerak, uraian gerak, dan pola
lantai (gawang) yang ditengarai sebagai ragam pokok dalam tari Klana
Topeng gaya Surakarta dapat diperhatikan sebagai berikut:

75
Maju Beksan

Jengkeng

Level rendah: lutut kanan menyentuh lantai serong ke depan kiri, gajul kaki kiri
penapak lantai sebagi tumpuan badan, kaki kiri menapak lantai membuka ke samping
kiri, lutut kanan ditekuk membentuk sudut 95° jari kaki nylekenthing. Badan tegak,
pinggang ditekan ke depan (ndegeg). Tangan kiri ditekuk ke dalam (fleksi) ditempel di
lutut kiri, jari kelingking nempel di lutut kiri, jari jemari segaris lurus dengan tungkai
kiri bawah, lengan kiri dalam keadaan lurus. Telapan tangan kanan ditempel (nyathok)
paha tungkai kiri atas, siku dibuka ke samping kanan. Arah hadap muka ke samping
kiri lurus (horisontal)

Posisi jengkang dapat diketahui ketika tari akan dimulai dan tari diakhiri. Seperti
halnya tari Klana Topeng ini juga diawali dari posisi jengkang dan diakhiri dengan
posisi jengkeng pula.

Keterangan Panggung

Posisi
gawang supana

Depan

76
Tanjak Tancep

Level normal: Kedua tungkai dibuka melebar ke samping (kanan dan kiri). Dalam
keadaan mendak (merendahkan tubuh dengan cara menekuk lutut hingga pada level
pantas sebagai bentuk tanjak kualitas tari gagah), berat badan cenderung lebih
dititikberatkan pada tungkai kiri, Bentuk jari kaki kanan diangkat ke atas
(nylekenthing). Badan tegak lurus, pinggang (boyok) ditekan ke depan (ndegeg) hingga
dada terlihat membusung (mongal). Tangan kiri kacak pinggang melebar ke samping
kiri, tangan kanan menjuntai ke samping kanan, posisi sebanding lurus dengan arah
paha kanan atas. Arah hadap muka horisontal ke samping kanan.

Tanjak tancep adalah suatu posisi standar dimana setiap tari jenis kualitas gagah akan
memulai gerakan apapun dipersiapkan dulu posisi adeg tanjak tancep. Tanjak tancep
ini berada pada posisi manapun, artinya, tanjak tancep ada pada posisi maju beksan,
beksan maupun mundur beksan. Tanjak tancep merupakan sikap menari dimana penari
sedang dalam posisi proses menari tetapi tidak sedang melakukan gerakan berpola
kembangan, perang-perangan, gandrungan, atau pola-pola gerakan lain dalam posisi
menari. Sikap tanjak tancep ini mendasari setiap penari akan melakukan gerakan
apapun itu nama gerakannya.

Keterangan Panggung

Posisi
Depan gawang supana
Tepat di tengah
diantara gawang supana
dan sentral tengah

Depan
77
Ulap- Ulap Tawingan

Level normal: Posisi tanjak kanan. Lengan kanan kambeng kepelan. Arah hadap muka
horisontal ke samping kiri penuh, tangan kiri posisi tawing. Pada gerakan tawingan,
dimulai dari seblak sampur kiri, ulap-ulap trecet, gedrug kaki kiri, dilanjutkan ulap-ulap,
dan diteruskan tawingan. Diteruskan sablak sampur kanan, gebesan kepala
membentuk liukan seperti tumbuhan merambat yang berkelok-kelok (nggrageh lung),
atau seperti ular yang sedang berenang. Sementara posisi lengan kiri bentuk kambeng
kepelan, dan telapak tangan kanan menghadap dekat ke mulut topeng, siku dibuka
kesamping kanan horisontal.
Gerakan ulap-ulap tawingan acap kali dilakukan dua kali dengan gerakan yang sama
tetapi menggunakan anggota badan yang berlawanan dengan gerakan ulap-ulap
tawingan pertama. Dilakukan dengan anggota badan bagian kiri dulu atau kanan
dulu tergantung dari penari malakukannya.

Keterangan Panggung

Posisi
Depan gawang supana
Tepat di tengah
diantara gawang supana
dan sentral tengah

Depan

78
Lumaksana Miwir Sampur

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Tangan kiri miwir sampur, tangan kanan
diangkat sejajar dengan bahu kanan, diarahkan serong kanan depan, tungkai kanan
diangkat (junjungan) tinggi-tinggi, melangkah ke serong kanan depan. Diteruskan
dengan melangkah kiri, (bentuk tampak pada gambar), diteruskan melangkah kaki
kiri ke arah serong kiri depan, posisi tangan kiri tetap miwir sampur, tangan kanan
ditekuk di depan dada. Begitu seterusnya diulang sesuai dengan kebutuhan.

Selain lumaksana miwir sampur, terdapat lumaksana jajagan. Perbedaannya adalah, jika
lumaksana jajagan kedua tangan posisi kacak pinggang. Apapun langkah dan
jumlahnya disesuaikan kebutuhan dalam gending.

Keterangan Panggung

Posisi
Di belakang gawang
sentral tengah

Depan

79
Gebesan Kepala

Level normal: Posisi tanjak kanan. Dimulai seblak sampur kanan, ulap-ulap tawing
kanan. Seblak sampur kiri, telapak tangan kiri dihadapkan dekat ke arah mulut topeng,
dilanjutkan gerak gebesan nggrageh lung atau ula nglangi. Setelah gebesan dilanjutkan
lumaksana jajagan menuju sudut kanan depan, berikutnya melakukan gerakan ombak
banyu.

Gerakan ini pada sesi lain dilakukan kebalikan dari anggota tubuh yang lain. Jika
gambar ini memperlihatkan gebesan kepala menggunakan tangan kiri, sesi lain
menggunakan tangan kanan.

Keterangan Panggung

Diagonal/serong ke
kiri depan
Posisi di samping kiri
sentral tengah

Depan

80
Ombak Banyu

Level normal: Posisi tanjak kanan. Gerakan ombak banyu dimulai dari junjugan kaki kiri,
miwir sampur kiri, kedua lengan diarahkan ke samping kiri, tangan kanan ditekuk di
depan dada. Diteruskan junjungan kaki kanan, bentuk gerak kebalikan dari junjungan
kaki kiri. Dilanjutkan besut. Gambar di atas memperlihatkan bentuk gerak menjelang
gerakan besut.

Ombak banyu terdisi dari dua bentuk gerak. Ombak banyu yang kedua menggunakan
sabet ukel karna (akan diperlihatkan pada uraian sesi ombak banyu berikutnya.

Keterangan Panggung

Diagonal/serong ke
kanan depan
Posisi di samping
kanan sentral tengah

Depan

81
Beksan

Rawisan Ngetung Bala

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Seblak kedua sampur, tangan kiri miwir sampur,
tangan kanan diukel mlumah ke samping kanan lantas didekatkan ke tangan kiri dekat
sampur. Berikutnya tangan kanan usap rawis, kembali ke sampur lagi, ukel tangan
kanan gedrug kaki kanan, tanjak duwung. Seblak kedua sampur lagi, tangan kanan
diukel mlumat, lantas didekatkan ke tangan kiri dekat sampur, dilanjutkan ngetung bala.
Selesai gerak ngetung bala, diteruskan lumaksana miwir sampur menuju arah sudut kiri
depan, ketawa, dilanjutkan srimpetan bopong.

Keterangan Panggung

Posisi di belakang
tengah sentral

Depan

82
Gandrungan Kebyakan Sampur

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ngacap srimpetan bopong, menghadap sudut
kanan depan, putar kembali ke kiri, hadap serong kiri depan. Kebyok kebyak sampur
kiri, gandrungan, kebyok kebyak sampur kiri, bopongan, terus dilakukan tiga kali sambil
melangkah serong kiri, ngapyuk kedua sampur, diakhiri dengan seblak kedua sampur.

Selesai gerak gandrungan kebyakan sampur, diteruskan lumaksana miwir sampur menuju
arah depan gawang supana, ombak banyu hadap belakang.

Keterangan Panggung

posisi di belakang
sentral tengah

Depan

83
Ombak Banyu Sabet Ukel Karna

Level normal: Dari posisi tanjak kanan hadap belakang.Ombak banyu sabet ukel karna
dimulai dari junjungan kaki kiri, sabet ukel karna kanan, seblak sampur kiri. Junjungan
kaki kanan sabet ukel karna kiri seblak sampur kanan. Besut putar kanan hadap depan,
tanjak tancep

Selesai gerak besut dilanjutkan gerak kiprahan.

Keterangan Panggung

posisi di belakang
sentral tengah

Depan

84
Beksan Kiprahan

Ulap-ulap Tranjalan

Level normal: Dari posisi tanjak kanan.Tranjalan kanan (dua langkah cepat kaki kanan
ke samping kanan diikuti dua langkah cepat kaki kiri). Posisi tangan kanan bentuk
ulap-ulap, mtangan kiri miwir sampur (lihat gambar), diselesaikan bentuk pola dugangan
kasatriyan. Diteruskan seblak sampur kiri, ulap-ulap tawing kiri, diselesaikan bentuk pola
adeg dungangan kasatriyan.

Selesai gerak ulap-ulap tranjalan dilanjutkan gerak usap bara.

Keterangan Panggung

posisi di samping
sentral tengah

Depan

85
Usap Bara

Level normal: Dari posisi tanjak kanan.Usap bara dimulai dari gerakan mengusap bara
(atribut busana yang terletak di paha kanan). Diteruskan usap plim (rambut panjang
menjuntai di bahu kanan, tergerai ke dada kanan), dilakukan berulang. Ukel tangan
kanan disertai gedrug kaki kanan.

Selesai gerak usap bara dilanjutkan gerak entagan.

Keterangan Panggung

posisi di samping
kiri sentral tengah

Depan

86
Entragan

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Entragan dimulai dengan gerakan badan
nggenjot berulang-ulang, tangan kanan menjulur ke samping kanan sedikit ke atas,
lantas pergelangan tangan kanan diukel ke depan dada, diikuti seblak sampur kiri
(badan terus dalam keadangan nggenjot). Gerakan diulang dengan anggota badan
kebalikannya. Diselesaikan dengan sebla kukel karna, keter lambung.

Selesai gerak entragan dilanjutkan gerak ragam capengan

Keterangan Panggung

posisi di samping
kiri sentral tengah

Depan

87
Ragam Capengan

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam capengan dimulai dari gerakan
mendoyongkan badan ke samping kanan (nengleng kanan), diikuti gerak tangan kanan
menjulur ke depan lurus, kepalan tangan kiri didorongkan ke dekat otot trisep lengan
kanan atas (perhatikan gambar). Berikutnya gerakan diulang bergantian anggota
badan yang berlawanan. Diulang beberapa kali, disambung gerak tumpang tali.

Keterangan Panggung

posisi tepat di
sentral tengah

Depan

88
Ragam Tumpang Tal

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam tumpang tali dimulai dari ukel tangan
kanan didepan telapan tangan kiri, sementara posisi kedua tangan menyerong ke
tubuh sebelah tangan. Berikutnya tangan kanan gerak alisan, tangan kiri didorong ke
samping kiri horisontal. Gerak berikutnya tangan kiri diukel mlumah ke samping atas,
tangan kanan didorong ke samping kanan bawah, berikutnya tangan kiri diukel di
depan telapak tangan kanan (bentuk terlihat pada gambar). Gerakan diulang dua kali
secara bergantian, dilanjutkan alisan kanan, dorong tangan kiri lurus horisontak ke
samping kiri, berikutnya tangan kanan dorong ke samping kanan, tangan kiri dibuka
mlumah ke samping atas kiri, diakhiri gerak alisan tangan kanan berulang-ulang.

Selesai gerak tumpang tali dilanjutkan gerak tebak bumi atau bumi langit, ukel tangan
kiri, gedrug kaki kiri, seblak sampur kiri ulap-ulap tawing kiri hadap depan, diteruskan
pondongan, trecet ke belakang, besut, tanjak tancep hadap belakang. Pada posisi ini ada
kesempatan penari membuka topeng untuk jeda sejenak

Keterangan Panggung

posisi tepat di sentral


tengah

Depan

89
Gandrungan dan/atau Gambyongan

Batangan

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam Batangan dimulai dari sablak sampur
kiri, sabet ukel karna kanan. Kaki kanan srimpet ke belakang kaki kiri. Diteruskan tanjak
kanan, tangan kiri ngembat samping kiri, tangan kanan memberi keseimbangan
dengan gerakan seperti miwir sampur. Begitu selanjutnya gerakan semula diulang
tetapi menggunakan anggota badan yang berlawanan, diulang beberapa kali.

Seselai gerak batangan dilanjutkan sindet ukel karna diteruskan ogek lambung ulap-ulap
tawing

Keterangan Panggung

posisi tepat diantara


sentral tengah dan
gawang supana

Depan

90
Seblak Tawingan

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam Seblak tawingan dimuali dari gerak sindet
ukel karna diteruskan tanjak kiri, ulap-ulap kanan methok kanan, seblak sampur kiri, ogek
lambung. Tawingan ulap-ulap kanan, seblak kiri. Ulap-ulap kiri methok kiri, tawing kiri,
tawing kanan, seblak kiri tawing kanan methok kanan. Diulang dua setengah gerakan
seblak tawingan.

Seselai gerak seblak tawingan diteruskan sindet ukel karna, lantas gerak laku telu.

Keterangan Panggung

posisi di sudut kiri


depan

Depan

91
Laku Telu

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam gerak laku telu dimulai dari sindet ukel
karna, diteruskan tarik kaki kiri mendekati kaki kanan, posisi tangan kanan pegang
sampur ditarik ke cethik kanan, tangan kiri miwir sampur posisi ridong sampur.
Diteruskan melangkah kanan, srimpet kaki kiri, tarik kaki kanan ke belakang, tangan
kanan lembehan sampur.mlaku nyacah ke depan dan nyamping. begitu selanjutnya
gerkan tersebut diulang-ulang hingga membentuk posisi garis belah ketupat.

Seselai gerak laku telu diteruskan srisig ke pojok kiri depan, entragan diteruskan
gandrungan, pondongan. Diteruskan gerak linglung, kapyukan, seblak kedua sampur,
putar ke arah sudut kanan depan, entragan. Diakhiri seblak ulap-ulap tawing tangan kiri
hadap depan, trecet ke belakang, putar besut tanjak tancep hadap belakang. Glebak
kanan tanjak tancep hadap depan. Diteruskan capengan.

Keterangan Panggung

posisi di sudut kiri


depan menuju
diantara gawang supana
dan sentral tengah

Depan

92
Mundur beksan

Capengan

Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam gerak capengan dimulai dari melipat
lengan baju, diteruskan mengencangkan ikat pinggang, membetulkaan dan
mengontrol keris, menguatkan iket kepala dan atau melilit kumis.
Seselai gerak capengan diteruskan gerak sabetan, yaitu ukel tangan kanan seblak sampur
kiri bersamaan dengan junjungan kaki kanan. Dilanjutkan pentahang tangan kanan,
kambeng tangan kiri bersamaan dengan junjungan kaki kiri, diteruskan besut yaitu ukel
tangan kanan di depan dada, seblak sampur kiri bersamaan dengan junjungan kaki
kanan, dan diselesaikan dengan tanjak tancep, srisig menuju gawang supanan, jengkeng.

Keterangan Panggung

posisi tepat di
antara gawang
supana dan sentral
tengah

Depan

93
Sembahan Jengkeng

Level rendah: Dari posisi jengkeng. Ragam gerak sembah jengkeng dimulai dari
mendorong kedua tangan ke depan dada, kedua telapan tangan bertemu, ditarik ke
depan hidung (ujung ibu jari tangan menyentuh ujung hidung) bersamaan dengan
gerakan gedeg kepala. Turunkan tangan ke depan dada, putar telapak tangan
berlawanan (tangan kanan putar ke luar, tangan kiri putar ke dalam. Penthang kedua
kanan ke samping kiri kanan, posisi tangan kanan bentuk kepelan, tangan kiri
ngrayung. Taruh tangan kiri di lutut kiri, tangan kanan nyathok pada paha kanan atas.
Pandangan muka ke kiri, diakhiri gedeg kepala ke tengah (hadap depan).

Seselai gerak sembah jengkeng, penari melepas topeng dan meninggalkan panggung.
Untuk meninggalkan panggung menyesuaikan kondisi area panggung.

Keterangan panggung

posisi
gawang supanan

Depan

94
70
3. Deskripsi Ideasi Tari Gunungsari
Sosok Gunungsari dalam cerita Panji telah mengilhami banyak
pemeranan pada tokoh yang satu ini, bahkan melahirkan penari Tari
Gunungsari yang fenomenal. Kita mengenal penari Tari Gunungsari gaya
Surakarta di dalam perkumpulan Wayang Topeng di Klaten seperti Sartono.
Terlahir dari keturunan para dalang, Sartono mewarisi darah penari topeng
dari kakeknya alm Ki Cermopandoyo. Tidak hanya jiwa kepenarian yang
terwariskan kepada Sartono, tetapi juga topeng Gunungsari juga merupakan
warisan dari sang kakek. Kebiasaan dalam budaya seniman Wayang Topeng di
Klaten, jika anggota keluarga ada yang meninggal dunia, harta benda
diwariskan kepada anak-anaknya, tetapi tidak pada benda seni seperti
topeng, pewarisannya dijatuhkan kepada cucu-cucunya. Sartono adalah cucu
yang merasa beruntung kebagian warisan berupa topeng Gunungsari.
Belakangan diketahui bahwa di belakang topeng Gunungsari warisan
kakeknya terdapat cap/stempel dari keraton Mangkunegaran. Diduga bahwa
topeng Gunungsari merupakan paringan dalem (pemberian) KGPAA
Mangkunegara, entah Mangkunegara yang keberapa (Balai Sudjatmoko,
2014:95).
Di Malang terdapat penari Tari Gunungsari yang legendaris yakni
Gimun yang akrab dipanggil Mbah Gimun. Seperti penari yang sangat paham
dan menghayati benar peran yang dibawakan, Mbah Gimun pernah berkata
bahwa ibarat manunggaling kawula gusti, menari Gunungsari itu juga
manunggaling jiwa raga. Manunggaling jiwa raga merupakan pantulan dari
manunggaling kawula gusti. Jiwa dianalogikan dengan imajinasi sosok
Gunungsari dan raga adalah badan wadag yang dari padanya teknik-teknik
gerak diresapi oleh jiwa imajinasinya. Bahwa menghayati peran mutlak harus
dilaksanakan. Untuk menjadi alus seperti Gunungsari, kita harus mampu
berperilaku alus se-alus perempuan, dan itu harus dilakukan agar tarian bisa
dimengerti dan dihayati oleh khalayak. Karena terdapat gerak-gerak tari
dalam tari Gunungsari yang sangat alus seperti jalak kesrimpet dan biyada
mususi adalah gerak-gerak yang melambangkan sifat keputrian yang alus, dan
Gimun harus bisa melakukannya dengan sempurna, meskipun katanya tidak
pernah sempurna, dan sering diulang-ulang dalam latiannya.
Berlatih keras dan berlatih kerasa adalah semboyan Mbah Gimun
ketika muda, dan penghayatan yang baik Mbah Gimun terhadap perannya
inilah, orang kemudian tidak menyangka bahwa Gunungsari yang disajikan
adalah dari seorang Gimun. Gimun yang seorang pembuat gasing, layang-
layang, dan bakul dawet, tetapi Gimun pula adalah orang yang serba bisa

95
dalam menggerakkan topeng, utamanya topeng Gunungsari. Ketika Hadir
Gunungsari terlupakan siapa Gimun yang miskin. Gimun adalah Gunungsari
yang sangat imajiner dalam wujud dan tindakannya dalam menari. “Saya tak
pernah bosan, meski harus memperbaiki kesalahan berulang-ulang”, itu kata Mbah
Gimun mengenang masa lalunya yang menurutnya sangat menyenangkan,
karena mbah Gimun sangat mencintai seni topeng 46 .
Gunungsari adalah salah satu tokoh dalam cerita panji, dan dalam
hampir setiap cerita yang dilakonkan, tokoh Gunungsari selalu hadir. Seperti
perang kembang dalam pewayangan, peran Gunungsari merupakan tokoh
penyeimbang dalam seluruh kehadiran adegan dalam lakon cerita. Meskipun
Gunungsari tidak banyak diceritakan dan atau dilakonkan, tetapi ia selalu
hadir. Kehadiran Gunungsari dalam hampir setiap cerita yang dilakonkan
inilah kemudian Gunungsari menjadi inspirasi para penari untuk
mempertunjukkan dengan kesungguhan hati, dan memang benar, tokoh ini
selanjutnya menjadi fenomena yang selalu ditunggu khalayak karena
disajikan oleh penari-penari yang memiliki talenta tinggi dan firtousitas
mumpuni seperti Mbah Gimun dan Sartono pada generasi satu masa sebelum
sekarang ini.
Berkelana atau pengelanaan merupakan ide utama dalam jiwa
Gunungsari. Seperti Juga tokoh alusan dalam pewayangan adalah ingin
menunjukkan bagaimana tokoh alusan digambarkan sedang berkelana entah
ingin menemukan apa dan siapa. Yang jelas bahwa dalam pengelanaan,
tempaan raga dan jiwa adalah bagian dari perjalanannya, Maka Gunungsari
selalu digambarkan sebagai tokoh pengelana mencari kesejatian diri jiwa dan
raga. Fakta ini tergambar dalam setiap materi gerak digambarkan sebagai
temuan peristiwa atau fenomena, yang kemudian diwujudkan dalam nama
ragam gerak.
Atas dasar gambaran singkat tersebut, para penari Gunungsari pada
setiap perkumpulan Wayang Topeng dan/atau Topeng Dalang menginterpretasi
ide pengelanaan sebagai isi tari Gunungsari. Di Malang, di Klaten, di Cirebon,
Wayang Topeng dan/atau Topeng Dalang yang merupakan kelanjutan dari
pertunjukan kraton, menggambarkan Gunungsari sebagai sang pengelana.
Halus budi tetapi ulet, keras hati tetapi tabah dan sabar. Dalam menghadapi

46
Simak Sindhunata dalam Topeng Panji Mengajak Kepada Yang Tersembunyi, Balai
Soedjatmoko, 2014:4-19

96
segala pekerjaan yang penuh rintangan, ikhlas menjalaninya. Itulah kemudian
Gunungsari disosokkan sebagai yang alus tetapi dinamis penuh semangat
hidup.
Tari Gunungsari gaya Surakarta, diwujudkan dengan wajah yang
selalu tersenyum, gerakan yang halus dinamis (alus lanyap), dengan alunan
musik riang tapi lembut. S. Ngaliman adalah seniman Keraton Kasunanan
Surakarta menggubah karakter Gunungsari sedemikian itu ke dalam tari
Gunungsari Topeng. Tari Gunungsari
berkembang di luar tembok keraton
kemudian menginspirasi seniman
muda tari untuk dikembangkan lagi
dalam wujud yang lebih rumit dan
serius. Pada Kali ini, peneliti
menyajikan tari Gunungsari garapan S.
Ngaliman sebagai seniman yang
dikenal luas di dalam dan di luar
tembok Keraton Kasunanan Surakarta.
Sebagaimana diceritakan, Gunungsari
menggunakan mahkota bernama tekes,
yakni tekes malang. Secara visuial tari
Gunungsari digambarkan sebagai
Gambar. 41
Topeng Gunungsari tampak depan berikut:
Koleksi: Wahyudiyanto

Gambar. 42 Gambar. 43
Topeng Gunungsari Topeng Gunungsari
tampak samping kanan tampak samping kiri
Koleksi: Wahyudiyanto Koleksi: Wahyudiyanto

97
Tekes malang

Topeng

Sumping

Slempang

Klat bahu

Kalung ulur

Sabuk cinde

Sampur gendalagiri

Epek timang

Uncal

Kain wiron

Keris ladrangan

Celana panji

Binggel/ gelang kaki

Gambar. 44
Sosok Tari Gunungsari dengan rincian busananya

4. Deskripsi Repertoar Tari Gunungsari


Seperti juga tari Kelana, Tari Gunungsari dikategorikan sebagai jenis
tari dengan genre Pethilan. Namun Tari Gunugsari ciptaan S. Ngaliman ini
berbeda dengan gubahan seniman lain yang juga Tari Gunungsari gaya
Surakarta. Tari Gunungsari karya S. Ngaliman ini memiliki kekhususan yang
spesial dipandang dari kecermatan dalam penuangan ide utamanya.
Gunungsari sebagai jiwa pengelana diasumsikan oleh seniman penciptanya
sebagai pribadi yang sedang jauh dari norma dan tatanan sosial
kemasyarakatan. Kalau diumpamakan dengan kondisi saat sekarang ini,

98
Gunungsari adalah pejabat blusukan ke wilayah-wilayah terpencil hunian
rakyat. Ia ingin mendapatkan inspirasi dan aspirasi dari setiap tempat yang
dikunjungi sebagai bekal untuk menata hidup diri dan masyarakatnya kelak
di kemudian hari.
Begitulah kemungkinan besar pandangan Seorang seniman S.
Ngaliman yang jauh di masa lalu telah memiliki ketajaman naluri
imajinasinya. Sehingga dalam penataan tari Gunungsari ini berbeda dengan
tari Pethilan yang juga memiliki strutur sama dengan Wireng. Tari Gunungsari
diandaikan tidak sedang dalam pendapa keraton tetapi dalam suatu
perjalanan entah dimana yang tentunya jauh dari lingkungan yang serba
protokoler. Tari Gunungsari tidak dimulai dengan sembah secara fisik yang
harus dilakukan pada tempat pasti seperti tari-tari Wireng lainnya.
Tari Gunungsari dimulai dari sebuah perjalanan. Dalam keriangan,
dalam penat, dalam letih, dan dalam keharu-biruan batin Sang Gunungsari
terartikulasi secara cermat dalam tataan tarinya. S. Ngaliman yang jauh di
masa lalu, telah memiliki kesadaran bahwa kepribadian calon pemimpin akan
berbeda jika pembentukannya dilakukan dalam timangan kemanjaan dan
kelimpahan material, dengan calon pemimpin yang telah sejak muda didera
dalam keluasan dan kerasnya tempaan semesta. Keluasan semesta dengan
berbagai bentuk kehidupan, berbagai tatanan, berbagai cara hidup, bahkan
berbagai ideologi dan pandangan dunianya. Maka Tari Gunungsari
memperlihatkan kekuatan mental seorang pangeran yang bukan lagi
feodalistik tetapi memiliki jiwa igaliter yang tinggi. Keluasan pikiran hasil
tempaan alam, ilmu, dan spiritual telah membentuk jiwanya menjadi
Pangeran Gunungsari yang merakyat. Maka Tari Gunungsari diawali dengan
kehadirian gending yang bernuansa riang penuh semangat, dan hadirlah
Gunungsari dengan lari-lari kecil (srisig) memasuki panggung. Tidak
langsung ke tengah area tetapi menyisir sudut-sudut ruang dengan harapan
dapat menyapa siapa saja yang ada di sekitarnya. Kesan pertama adalah sifat
kerakyatan yang tercermin dalam Tari Gunungsari. Struktur Tari Gunungsari
sama seperti tari Pethilan pada umumnya, yaitu: 1) Maju beksan, 2). Beksan, 3)
Beksan Kiprah Gambyongan, dan 4). Mundur Beksan. Dalam uraian rinci
digambarkan sebagai berikut:
1. Maju Beksan
Penari memasuki panggung dari sudut kanan belakang dengan
cara kengser, menuju gawang supana sekedar untuk mengenakan
topeng dan langsung besut diteruskan srisig. Srisig menuju gawang

99
sudut kiri depan, seblak sampur kiri menghadap sudut kiri depan
badan posisi serong/diagonal, bahu kiri berada di depan. Ulap-ulap
kiri, tawing, langkah sripet kaki kiri. Kipat srisig kanan menuju
gawang sudut kanan depan, seblak sampur kiri, badan posisi
serong/diagonal. Bahu kiri berada di depan. Ulap-ulap kiri, tawing,
langkah srimpet kaki kiri. Kipat srisig kanan menuju gawang supana,
kipat srisig kiri, memutar kembali ke gawang supana. Besut, tanjak
kanan, lumaksanan bang-bangan (bambangan), embat tangan kanan
kengser menuju gerak beksan.
Musik Tari : Lancaran

2. Beksan
Gerak sekaran laras sampir sampur, dihubungkan dengan sabetan
bandul, diteruskan sekaran gajah-gajahan. Dilanjutkan sekaran
engkrang giul separuh, disambung srimpet ngancap ridong sampur,
memutar ke kanan seratus delapan puluh (180) derajat, berikutnya
nagawangsul, sangga nampa. Srimpet ngancap ridong sampur lagi,
disambung srisig Sunda, srisig memutar menuju gawang beksan,
diakhiri gerakan besut.
Musik Tari: Ketawang

3. Beksan kiprah Gambyongan


Dimulai dari gerak lumaksana laras, diteruskan gerak enjer rimong
kanan lembehan kanan, rimong sampur kiri dengan langkah
memutar penuh hingga kembali ke gawang beksan. Gerakan
selanjutnya adalah laras kawilan ogek lambung sampir sampur kiri.
Disambungkan dengan gerak srisig sunda, srisig penuh satu
putaran ke kiri diteruskan gerak laras pilesan ingset kanan satu
putaran penuh. Disambung sindet ukel karna, diteruskan gerak
mlaku telu dismbung enjer rimong miring dan madep satu putaran
penuh. Dilanjutkan laras embat kiri kanan ogek lambung, srisig sunda
satu putaran diteruskan laras kebar ulap-ulap kiri, laras udar rekma
kiri lamba nyacah, laras mande sampur satu putaran.
Musik Tari : Ladrang

100
4. Mundur Beksan
Embat tangan kanan, kenseran mundur menuju gawang supana,
besut tanjak kanan, melepas topeng, bergerak mundur,
meninggalkan panggung.
Musik Tari: Lancaran

Untuk mengetahui lebih rinci perihal ragam gerak, uraian gerak, dan
gawang (pola lantai) tari Gunungsari, berikutnya dijelaskan beberapa ragam
gerak beserta uraiannya yang dipandang penting untuk digambarkan.

Maju Beksan

Kenser

Level normal: Kedua telapak kaki menyentuh lekat dilantai bergerak ke kanan
dengan cara menggeser berlawanan kedua kaki hingga ujung ibu jari terlihat
membuka dan secara bersamaan kedua tungkak bertemu. Ketika ujung ibu jarimkaki
bertemu bersamaan pula tungkak membuka, dan begitu seterunya hingga ada
gerakan bergeser ke samping.

Keterangan panggung

Posisi
Samping kanan
belakang menuju
gawang supana

Depan
101
Srisigan ulap-ulap tawing

Level normal: Setelah kenser sampai pada gawang supana topeng dikenakan, besut
lantas srisig menuju gawang pojok kiri depang. Seblak kiri ulap-ulap tawing kiri, srimpet
kaki kiri mlangkah kanan, kipat srisig kanan memutarkanan menuju sudut kanan
depan, seblak sampur kiri ulap-ulap tawing kiri (gambar menunjukkan tawing kiri di
sudut kanan depan berakhir). Diteruskan besut kipat srisig kanan menuju gawang
supana, dilanjutkan kipat srisig kiri satu putaran penuh kembali menujun gawang
supana. Besut tanjak kanan, lumaksanan bang-bangan (bambangan), menthang kanan,
kenser kiri, hadap depan.

Selesai maju beksan diteruskan beksan yang diawali ragam gerak laras sidangan kebyok
sampur.

Keterangan Panggung

Posisi
gawang supana
bergerak ke depan
menuju gawang
beksan

,
Depan

102
Beksan

Laras Samir Sampur

Level normal: pada posisi tanjan kiri, miwir sampur kanan, sampir sampur di pundak
kanan. Ukel tangan kanan, seret kaki kiri ke polok kaki kanan. Kebyok sampur kanan
didepan dada, leyek kiri kebyak sampur kiri, leyek kanan, ogek lambung, lepas sampur
kanan, kebyak sampur kiri. Ukel mlumah tangan kanan, diteruskan ukel karna kanan,
seblak kiri mbandul kaki kiri. Besut.

Selesai besut diteruskan laras sidangan gajah-gajahan.

Keterangan Panggung

Posisi
Di tengah gawang
sentral

Depan

103
Laras Sidangan Gajah-gajahan

Level normal: pada posisi tanjan kanan, trap puser kanan, tangan kiri nglawe ke samping
kiri. Ukel mlumah tangan kiri, ukel trap sumping kiri, leyek kiri, bersamaan dengan ukel
trap sumping, kaki kiri seretan ke polok kaki kanan dan kembali tanjak kiri. Ogek lambung
dua kali, leyek kanan disertai gebesan kepala menuju trap pusar lagi seperti posisi
semula. Gerakan laras sidangan gajah-gajahan dilakukan dua kali.

Selesai gerakan laras sidangan Gajah-gajahan diteruskan engkrang.

Keterangan panggung

Posisi
Di tengah gawang
sentral

Depan

104
Laras Sidangan Engkrang giul naga wangsul

Level normal: pada posisi tanjan kiri. Gerakan dimulai dari trap pusar kanan dan
menthang tangan kiri. Kaki kiri diangkat (perhatikan gambar). Selanjutnya kedua
tangan diukel mlumah, diukel lagi tengkurap disertai seret kaki kanan ke polok kaki kiri.
Gerakan engkrang giul naga wangsul dilakukan hanya separuh gerak. Kebiasaan
engkrang dilakukan penuh hingga terhjadi pengulangan gerakan yang sama sampai
dua setengah kali gerakan, selanjutnya dilanjutkan trecetan. Pada kali ini hanya
dilakukan sekali gerakan engkrang.

Selesai gerakan laras sidangan engkrang dilanjutkan laras ngancap sangganampa

Keterangan Panggung

Posisi
Di tengah gawang
sentral

Depan

105
Laras Ngancap Sangganampa

Level normal: pada posisi seretan polok kanan ke kaki kiri, diteruskan srimpet kaki
kanan ke depan kaki kiri (berputar menghadap ke belakang). Posisi tangan kanan
menthang kanan miwir sampur, tangan kiri ridong sampur, kaki kanan gejug di belakang
kaki kiri. Dlianjutkan songgonompo yaitu: kedua tangan masih memegang sampur,
tangan kanan diukel mlumah di atas pergelangan tangan kiri. Badan posisi madep hadap
kanan, kaki kiri diangkat di belakang kaki kiri. Diteruskan ngancap lagi hingga badan
menghadap ke depan, tangan kanan menthang kanan miwir sampur, tangan kiri ridong
sampur, kaki kanan gejug di belakang kaki kiri (perhatikan gambar). Diselesainan
tanjak kanan, disambung kipat srisig kiri.

Selesai gerakan laras ngancap songgonompo dilanjutkan gambyongan yang dimulai


dengan gerak batangan

Keterangan panggung

Posisi
Di tengah gawang
sentral

Depan

106
Beksan Kiprah Gambyongan

Laras Lumaksana Laras

Level normal: pada posisi tanjak kanan. Trap puser kanan, menthang tangan kiri.
Secara bersamaan leyek kanan, ukel mlumah tangan kanan, putar tengkurap tangan
kiri, leyek kiri embat tangan kiri putar tengkuran tangan kanan njujut kaki kanan
lantas mendak kembali. Ukel mlumah tangan kiri bersamaan dengan seret polok kaki
kanan ke kaki kiri dilanjutkan mlangkah depan kaki kanan, seblak sampur kanan trap
puser tangan kiri tanjak kiri. Laras batangan dilakukan berulang dengan berganti
anggota badan secara berlawanan (selesai kiri ganti kanan dan berganti lagi)
dilakukan tiga kali.

Selesai gerakan lumaksana laras diteruskan enjer rimong mlaku miring lombo

Keterangan Panggung

Posisi
Di tengah gawang
sentral

Depan

107
Laras Kawilan Ogek Lambung

Level normal: pada posisi tanjak kanan. Jari tangan kiri miwir sampur, lengan kiri sampir
sampur (periksa gambar), tangan kanan trap cethik, hadap wajah ke arah ujung tangan
kiri. Gerakan yang dilakukan adalah ogek lambung berulang ulang dan kepala lenggut-
lenggut.

Selesai gerakan laras kawilan ogek lambung diteruskan laras pilesan ingset.

Keterangan Panggung

Posisi
Di tengah gawang
sentral

Depan

108
Laras Pilesan Ingset

Level normal: pada posisi tanjak kanan. Kipat sampur kiri hingga sampur menyampir di
lengan tangan kiri atas, ukel karna kiri bersamaan dengan seblak sampur kanan, ingset
kedua kaki ke arah memutar kanan (perkatikan gambar). Begitu seterusnya dilakukan
berulang-ulang hingga posisi hadap depan kembali.

Selesai gerakan laras pilesan diteruskan sindet ukel karna, diteruskan mlaku telu rimong
kiri.

Keterangan Panggung

Posisi
Di tengah gawang
sentral

Depan

109
Laras Mlaku Telu Rimong Sampur

Level normal: pada posisi tanjak kiri. Gerak pertama yang dilakukan adalah sindet ukel
karna, diteruskan mundur kaki kanan disambung seret polok kaki kiri bersamaan
dengan gerak ambil sampur kiri, lembehan sampur kanan. Melangkah maju kaki kiri
disusul melangkah depan kaki kanan, lembehan sampur kanan, rimong sampur kiri.
Gerakan mlaku telu dilakukan berulang-ulang disambung dengan gerak berikutnya
yaitu mlaku rimong miring dan madep nyacah. Pola lantai yang dibentuk adalah segi
empat belah ketupat

Selesai gerakan laras mlaku telu rimong sampur dan mlaku rimong miring madep
diteruskan lumaksana kencot lenggut-lenggut

Keterangan Panggung

Posisi
Di tengah gawang
sentral

Depan

110
Laras Lumaksana Kencot Lenggut-Lenggut

Level normal: pada posisi tanjak kanan menthang tangan kiri. Gerak yang dilakukan
adalah Mlengkah ke depan kaki kanan dan kiri secara berurutan dan cepat hingga
membentuk tanjak kiri, bersamaan dengan gerakan kaki adalah gerakan tangan kanan
menthang kanan, tangan kiri cethik kiri, kemudian gerak encot kiri kanan disertai
nengleng kepala kiri kanan sehingga terlihat lenggut-lenggut. Begitu seterusnya gerak
dilakukan dengan berlawanan anggota badan.

Selesai gerakan laras lumaksanan kencot lenggut-lenggut diteruskan srisig Sunda satu
putaran penuh hingga kembali ke gawang sentral tengah, diakhiri dengan kebyak
sampur kiri.

Keterangan Panggung

Posisi
Di tengah gawang
sentral

Depan

111
Laras Kebar Ulap-ulap Kiwa

Level normal: pada posisi tanjak kanan, besut menghadap ke samping kiri. Ulap-ulap
kiri, yaitu tangan kiri didekatkan ke pelipis mata kiri siku ditekuk serong, tangan
kanan cethik kanan. Leyek kanan, yakni posisi badan berat di kaki kanan. Selanjutnya
leyek kiri, kepala dipatahkan ke kiri kanan dengan cepat, berikutnya leyek ke kanan
kepala dipatahkan kiri kanan lagi, ke kiri dan diulangi lagi dengan diawali gerakan
lombo selanjutnya gerak ngracik.

Selesai gerakan laras kebar ulap-ulap kiwa diteruskan besut hadap ke depan

Keterangan Panggung

Posisi
Di depan tengah
gawang sentral

Depan

112
Laras Kebar Usap Rekma

Level normal: pada posisi tanjak kanan, kedua tantan didekatkan di depan dada
samping kiri (perhatikan gambar). Gerak berikutnya Gerakkan tangan secara
berlawanan naik dan turun memutar satu putara disertai tolehan wajah ke arah tangan.
Selanjutnya ingset kanan, lakukan gerakan yang sama seperti semula tetapi arah majah
dibuang ke samping kanan penuh. Gerakan ini dilakukan berulang dua kali lombo
(lambat) dan dua kali racik (cepat).

Selesai gerakan laras kebar usap rekma diteruskan gerak mande sampur nyacah nyamping
kanan memutar.

Keterangan panggung

Posisi
Di depan tengah
gawang sentral

Depan

113
Mundur Beksan

Laras Kebar Mande Sampur

Level normal: pada posisi tanjak kanan, Kaki kiri srimpet ke belakang kaki kanan,
tangan kanan ambil sampur kanan dilenpar dan ditangkap tangan kiri menjadi tanjak
kanan kembali (perhatikan gambar). Berikutnya melangkah miring kanan bergerak
memutar, pada langkah hitungan delapan tangan kiri menthang kiri dan terus
bergerak memutar hingga satu putaran penuh.

Selesai gerakan laras kebar mande sampur diteruskan gerak menthang tangan kanan,
kenser kiri menuju gawang supana.

Keterangan Panggung

Posisi
di depan tengah
gawang sentral

Depan

114
Melepas Topeng Mundur Gawang

Level normal: pada posisi tanjak kanan, besut memutar hingga hadap kembali ke
depan, melepas topeng, bergerak mundur meninggalkan gawang supanan kembali ke
tempat persiapan menari.

Keterangan panggung

Posisi
Ke gawang supana

Depan

115
5. Deskripsi Ideasi Tari Golek Manis
Golek atau boneka merupakan miniatur manusia adalah suatu mainan
berbentuk manusia yang pada awalnya dikhususkan untuk mainan anak-
anak perempuan dan atau remaja puteri. Raut wajah golek bisa bermacam-
macam, menggambarkan balita 46 dan atau remaja puteri 47 . Berkembang
berikutnya Golek berjenis laki-laki, berparas anak-anak atau remaja, bahkan
dewasa. Berkembang lagi berbagai macam Golek yang diketahui di toko-toko
mainan adalah Golek yang menggambarkan tokoh-tokoh imajiner, seperti:
Superman, Badman, Spiderman, dan berbagai macam tokoh karakteristik
lainnya yang melimpah.
Dalam kaitan penelitian ini, Golek atau boneka yang digunakan sebagai
nama tari gaya Surakarta adalah interpretasi seorang seniman terhadap Golek.
Golek sebagai mainan yang lazim digunakan oleh masyarakat jawa lampau
adalah Golek dalam kategori miniatur manusia balita, berwajah mungil, jenis
perempuan. Interpretasi seniman terhadap Golek mungil perempuan ini
memberi muatan kepada yang lembut, feminin, lucu, lugu, jelita, bisa juga
ceria dalam kewajarannya. Golek yang dalam budaya Jawa dibayangkan
sebagai yang alus, lembut, dan feminin ini selanjutnya diberikan kepada anak-
anak sampai dengan remaja puteri dimaksudkan untuk dapat membantu
membentuk karakter kepribadiannya. Dengan harapan setiap anak
perempuan dalam perkembangan menuju kedewasaannya memiliki sifat-sifat
keputerian sebagaimana diidamkan oleh budaya masyarakatnya sebagai
remaja puteri yang cantik, lembut, feminin yang anggun, yang memiliki sifat
sopan dan santun.
Interpretasi seniman tari terhadap karakteristik Golek yang demikian
itu diwujudkan ke dalam tari dinamakan Tari Golek. Karakteristik Tari Golek
nyata dalam wujud rangkaian gerak dan musik tari. Ekspresi dapat dilihat
dan dirasakan sebagai yang lembut, cantik, feminin, anggun, lincah, tetapi
jugu lugu yang lucu, dengan raut wajah yang berbinar ceria. Tari Golek gaya
Surakarta dikenal ada beberapa nama pernah disebut pada bab. sebelumnya
seperti: Tari Golek Sri Rejeki, Tari Golek Montro, Tari Golek Manis, Tari Golek
Sulung Dayung, dan Tari Golek yang lain yang tidak disebut dalam laporan
penelitian ini. Pada kesempatan ini yang dibahas adalah Tari Golek Manis.
Sebagaimana nama tarian yaitu Golek Manis mencitrakan imajinasi tentang

46 Balita atau bayi dibawahn usia lima (5) tahun yang menunjukkan karakter tubuh

dan raut wajah yang masih bayi. Golek atau boneka balita berarti menggambarkan postur tubuh
dan wajah yang masih balita.
47 Boneka barby adalah contoh dari boneka atau golek yang berparas remaja puteri.

116
gambaran seorang remaja puteri yang lembut, feminin, anggun, ceria yang
manis. Manis sebagai kata ganti yang cantik merupakan citra kecantikan
remaja puteri Jawa utamanya Jawa Surakarta. Manis diinterpretasikan dari
kulit tubuh perempuan Jawa Tengah Surakarta (puteri Solo) yang tidak kuning
dan juga tidak coklat. Diantara kuning dan coklat disebut sebagai sawo
mateng 48 atau kuning langsep. Idealitas tentang citra keputerian perempuan
muda Jawa Surakarta yang sedang menanjak usia menuju kedewasaan
digambarkan dalam Tari Golek Manis.
Tari Golek Manis dalam suatu kesempatan digambarkan sebagai
berikut:

Bulu asesori rambut

Rambut bentuk gelung kecil

Jamang kuning polos

Sumping kuling polos

Gelang kuning polos

Klat bahu motif burung

Baju rompi

Epek timang

Sampur

Kain jarit motif parang rusak


bentuk sabuk wala

Gambar: 45
Sosok Tari Golek Manis dengan Rincian Busananya

48 Sawo mateng adalah buah sawo yang telah masak. Warna buah sawo yang telah

masak adalah tidak terlalu kuning juga tidak terlalu coklat disebut juga kuning langsat.

117
6. Deskripsi Repertoar Tari Golek Manis
Tari Golek Manis menggambarkan perempuan usia anak-anak beranjak
menuju remaja dan dewasa. Sifat manja, lugu, dan ceria menghias di wajah
mencerminkan karakter khas keputerian (putri Solo) Surakarta. Karena tidak
menggambarkan figur tokoh tertentu maka tidak didapati karakter spesifik.
Kepenarianpun tidak diperlukan spesialisasi betuk dan ukuran fisik.
Sebagaimana lazim didapati bahwa bentuk fisik tubuh anak perempuan Jawa
Surakarta secara umum terlihat pada gambar empat puluh lima (45). Tidak
gemuk juga tidak kurus. bentuk fisik seperti ini merupakan gambaran ideal
yang mencapai kepantasan untuk dapat mewakili rata-rata remaja puteri
Jawa. Namun demikian, dalam Tari Golek Manis tidak menampik ukuran
tubuh yang kurang atau tidak sepadan dengan yang digambarkan tersebut.
Prinsip Tari Golek Manis adalah wujud perkembangan kejiwaan anak
perempuan yang relatif polos lugu dalam fisik dan emosinya, keceriaan yang
wajar, dan raut wajah yang alami yang selanjutnya mendapat penegasan dari
unsur tata rias dan busana. Karakteristik Tari Golek digolongkan ke dalam
kualitas puteri lanyap (endhel).
Ditarikan dalam format tunggal, namun demikian dapat pula disajikan
dalam bentuk kelompok yang mendapat perluasan aspek keruangan. Seperti
juga jenis tari gaya Surakarta, bahwa genre Tari Golek Manis merupakan
pengembangan dari genre bedhaya yang lebih awal dari sisi struktur
penyajian, seperti juga wireng, pethilan dan genre-genre lainnya. Maka dapat
diketengahkan disini struktur tari Golek Manis: 1). Maju Beksan, 2). Beksan, 3).
Beksan Gambyongan, dan 4). Mundur Beksan. Secara rinci digambarkan sebagai
berikut:
1. Maju Beksan
Lumaksana putren, kipat srisik diteruskan srisig kanan memutar penuh
satu lingkaran menuju gawang supana. Sindet kanan diteruskan
lumaksana miwir sampur, duduk jengkeng, diteruskan sembahan laras
jengkeng puteri.
Musik tari : Lancaran

2. Beksan
Sekaran Laras kapang-kapang
Musik tari: Ketawang

118
3. Beksan Gambyongan
Sekaran ulap-ulap kanan, sekaran ulap-ulap kiri. Sekaran alisan ukel karna
kiri, sekaran alisan ukel karna kanan. Mlaku srimpet miring kanan satu
putaran penuh, srisig kanan satu putaran penuh. Dilanjutkan sekaran
ulap-ulap ukel karna kanan dan ukel karna kiri. Ngilo asta kanan dan ngilo
asta kiri. Mlaku nyacah miring kanan, diteruskan sendi kebyok kebyak
sampur (Yogyanan), diteruskan kipat srisig dan srisig kanan. Sekaran
seblak sampur ukel karna, diteruskan panggel, mentang tangan kanan,
debeg gejuk kaki kiri, kenser kiri, dilanjutkan sekaran ukel mlumah
mengkurep asta kanan dan kiri. Sekaran usap rikma kanan, usap rikma kiri.
Sekaran mande sampur mlaku miring, mlaku mengarep. Sekaran lumaksana
lembehan miwir sampur kanan kiri. Enjer ridong sampur, kipat srisig
diteruskan srisig kanan satu putaran. Ditutup dengan sekaran laras
kapang-kapang.
Musik tari: Ladrang dan ketawang

4. Mundur Beksan
Duduk jengkeng, sembahan laras jengkeng, berdiri kipat srisig,
diselesaikan dengan srisig mundur gawang.
Musik tari: Lancaran

Untuk mengetahui lebih rinci perihal ragam gerak, uraian gerak, dan
gawang (pola lantai) tari Golek Manis, berikut dijelaskan ragam gerak beserta
uraiannya.

119
Maju Beksan

Lumaksana Putren

Level normal: Dari Sudut kiri belakang, penari bergerak maju menuju gawang supana
menggunakan ragam gerak lumaksana putren. Lumaksanan putren dimulai dari sikap
adeg normal sebagaimana adeg tari puteri. Melangkan kaki kanan ke depan, kedua
lengan bawah ditekuk beradu di depan dada (ulu hati). Posisi pergelangan tangan
kanan di atas, tangan ditekuk ke atas, posisi jari tangan nyekithing. Posisi pergelangan
tangan kiri bertemu dengan pergelangan tangan kanan, tangan ditekuk diarahkan ke
bawah, jari-jari tangan nyekithing, polatan ke arah serong kanan depan. Langkah
berikutnya adalah kaki kiri ke depan, kedua tangan diayun dipenthangkan ke arah kiri
kanan sesuai dengan kedudukan tangan sebagai anggtota tubuh, polatan diarahkan ke
serong kiri depan. Begitu seterusnya gerakan diulang-ulang sesuai dengan jumlah
langkah yang ditetapkan.

Selesai gerak lumaksanan putren disambung dengan kipat srisig, diteruskan srisig kanan
melingkar satu putaran penuh menuju gawang supana.

Keterangan Panggung

Posisi
Di Samping kiri
belakang menuju
gawang supana

Depan

120
Sembahan Laras Jengkeng

Level rendah: dimulai dari sindet kanan diteruskan lumaksanan miwir sampur diakhiri
duduk jengkeng, yakni pantat menduduki kaki lutut kiri mendongak ke atas.
Dilanjutkan gerak sembahan laras, yaitu dilulai dari: tangan kiri ngrayung di atas lutut
kiri, tangan kanan nyekithik cethik kanan, gedeg kepala. Dilanjutkan tangan kiri diayun
pelan ke belakang diikuti tolehan kiri mengikuti arah ayunan tangan, selanjutnya
tangan kiri kembali ke lutut kiri, arah pandangan kembali ke tengah. Kapyuk sampur
kanan ke tangan kiri disertai lenggut dagu, seblak sampur kanan ke belakang diikuti
tolehan kepala.Diteruskan penthang tangan kanan miwir sampur, toleh kiri, tekuk siku
kanan, tolehan ke kiri, dorong tangan kanan lurus diikuti tolehan kanan. Lepas
sampur, embat tangan kanan diikuti toleh kiri, dorong lagi tangan kanan diikuti
tolehan kanan. Embat tangan kanan, ambil sampur kapyuk sampur kanan disertai
lenggutan dagu. Seblak sampur kanan ke belakang, tangan kanan menyentuh lantai
dan menyangga tubuh, badan mendongak ke belakang, tangan kiri lurus di atas lutut
kiri. Gedeg kepala, diteruskan sampur kanan ditarik ke depan lurus, lepas. Kedua
tangan ukel mlumah dan mengkurep diteruskan sembah (kedua telapak tangan
nelangkup di tarik ke depan hidung). Diteruskan trap jengkeng seperti jengkeng
semula.

Keterangan Panggung

Posisi
gawang supana
di tengah bagian
belakang

Depan
121
Beksan

Laras Kapang-Kapang

Level normal: Laras kapang-kapang dilakukan separuh dari keseluruhan ragam gerak
kapang-kapang. Dimulai berdiri dari sembahan laras. Sidet, seblak kanan tolehan kanan.
Ambil (miwir) sampur kanan, gejug kaki kiri, tekuk siku kanan , tanjak kiri mendak
badan, tolehan kiri (perhatikan gambar). Diteruskan dorong lurus tangan kanan ke
samping kanan, tolehan ke kanan,, kaki kiri melangkah ke serong kanan. Lepas
sampur, tekuk siku kanan, kembali tanjak kiri mendak, tolehan kiri, tangan kiri trap
cethik. Dorong lagi tangan kanan, kaki kiri mlangkah serong kanan, tolehan ke kanan,
leyek kiri, toleh kiri, menthang tangan kanan, polatan kiri.

Setelah gerak laras kapang-kapang diteruskan ragam gerak panggel.

Keterangan Panggung

Posisi
gawang supana
di tengah bagian
belakang

Depan

122
Beksan Gambyongan

Sekaran Ulap-Ulap (kiri dan kanan)

Level normal: Dimulai dari ragam panggel, yaitu: debeg gejug kaki kanan, mundur kaki
kanan, kedua tangan trap puser, tangan kiri menumpang di atas tangan kanan, ukel
mlumah kedua tangan, ukel mengkurep kedua tangan, diakhiri seblak kedua sampur.
Selanjutnya sekaran ulap-ulap kanan. Ulap-ulap kanan dimulai gerak tangan kanan trap
alis kanan, tangan kiri trap cethik kiri. Hoyog kanan tolehan kanan, hoyog kiri tolehan
kiri, hoyog kanan toleh kanan lagi dan hoyog kiri toleh kiri, diakhiri badan tegak.
Demikian juga sekaran ulap-ulap kiri, dilakukan seperti sekaran ulap-ulap kanan tetapi
dimulai dari trap alis kiri dan trap cethik kanan. Hoyog ke kiri kemudian kanan, kiri lagi
dan kanan lagi sampai kembali pada posisi badan tegak.

Setelah gerak sekaran ulap-ulap kanan kiri disambung ukel tangan mlumah mengkurep,
seblak kedua sampur.

Keterangan Panggung

Posisi
gawang supana
menuju gawang
sentral tengah

Depan
123
Sekaran Alisan Ukel Karna (kiri dan kanan)

Level normal: Sekaran alisan ukel karna kanan dimulai dari hoyog tubuh ke kanan,
tangan kiri songgo nompo di depan dagu, tangan kanan menumpang di atas tangan
kiri. Gerak berikutnya tangan kanan ditarik di alis kanan diikuti leyek kanan, tangan
kiri didorong ke serong kiri. Kedua tangan kembali pada posisi semula, digerakkan
lagi trap alis, dan diakhiri ukel karna tangan kanan. Sekaran alisan ukel karna kiri
dimulai dari hoyok tubuh ke kiri, tangan kanan songgo nompo di depan dagu, tangan
kiri menumpang di atas tangan kanan. Gerak berikutnya tangan kiri ditarik ke alis
kiri, leyek kiri, tangan kanan didorong ke serong kanan depan. Berikutnya kedua
tangan kembali pada posisi semula. Digerakkan lagi tangan kiri ke alis kiri leyek kiri,
tangan kanan didorong ke serong kanan depan, diakhiri ukel karna tangan kiri.

Setelah gerak sekaran alisan ukel karna disambung ukel tangan mlumah mengkurep seblak
kedua sampur.

Keterangan panggung

Posisi
gawang supana
menuju gawang
sentral tengah

Depan

124
Mlaku Srimpet Miring

Level normal: Dimulai dari kedua tangan mentang, hoyog kanan, hoyog kiri. Kedua
tangan ukel mlumah di depan dada, srimpet kaki kiri, ukel karna tangan kiri polatan ke
kiri, seblak sampur kanan, napak kanan kaki kanan, polatan ke kanan. Gerak mlaku
srimpet miring ini dilakukan lima (5) kali dengan arah gerak memutar ke kanan hingga
satu putaran penuh.

Setelah gerak mlaku srimpet miring dilanjutkan kipat srisig, srisig kanan satu putaran
penuh searah jarum jam.

Keterangan Panggung

Posisi
gawang supana
menuju gawang
sentral tengah

Depan

125
Sekarang Ulap-Ulap Ukel Karna

Level normal: Sekaran ulap-ulap ukel karna kanan dimulai dari tangan kanan ukel karna
kanan, tangan kiri posisi ulap-ulap kiri, arah hadap (polatan) kanan. Gerak berikutnya
hoyog kiri, polatan kiri, hoyog kanan, polatan kanan, usap sumping kanan. Hoyog kiri,
polatan kiri, usap sumping kanan. Hoyog kanan, ukel karna kanan polatan kanan, badan
ndudut, gedeg ke tengah, badan kembali normal (mendak). Gerak berikutnya: ukel
mlumah kedua tangan, diakhiri seblak kedua sampur. Berikutnya gerak sekaran ulap-
ulap ukel karna kiri yaitu dilakukan sama seperti sekaran ulap-ulap ukel karna kanan
tetapi menggunakan anggota badan yang berlawanan dengan ulap-ulap kanan.

Setelah gerak sekaran ulap-ulap ukel karna dilanjutkan gerak penghubung sindet seblak
sampur.

Keterangan Panggung

Posisi
gawang supana
menuju gawang
sentral tengah

Depan

126
Sekarang Ngilo Asta
Level normal: Dimulai sindet seblak sampur yaitu ukel mlumah kedua tangan di depan
puser, diteruskan seblak kedua sampur. Dilanjutkan gerak sekaran ngilo asta kanan
yaitu: kedua tangan dirapatkan menyilang di depan dada, posisi tangan kiri di luar
(perhatikan gambar), posisi badan hoyog kanan polatan kanan. Diteruskan hoyog kiri
polatan kiri. Bergerak hoyog kanan polatan kanan, hoyog kiri polatan kiri dan diakhiri
posisi badan kembali ke tengah, polatan ke tengan depan. Dilanjutkan kedua tangan
ukel mlumah di depan puser, diakhiri seblak kedua sampur. Diteruskan ngilo asta kiri,
yaitu kedua tangan dirapatkan menyilang di depan dada, posisi badan hoyog kiri,m
polatan diri. Dilanjutkan hoyog kanan, kedua tangan menthang, polatan kanan,
dilanjutkan yoyog kiri, kedua tangan kembali menyilang di depan dada, polatan ke
kiri, kembali hoyog kanan, kedua tangan menthang, polatan kanan, diakhiri gerak badan
menuju posisi normal tengah.
Setelah gerak sekaran ngilo asta dilanjutkan embat kedua tangan, kenser kiri polatan
kanan, diakhiri trap cethik masing-masing kedua tangan.

Keterangan Panggung

Posisi
gawang supana
menuju gawang
sentral tengah

Depan

127
Mlaku Nyacah Miring

Level normal: trap cethik kedua tangan, diteruskan mlangkah kaki kanan ke samping
kanan, tangan kanan menthang kanan, polatan ke kanan. Gerak berikutnya tangan kiri
menthang kiri, kaki kiri melangkah di belakang kaki kanan, polatan ke kiri. Melangkah
kaki kanan, tangan kanan trap cethik, polatan ke kanan, dilanjutkan mlangkah kaki kiri
di belakang kaki kiri, polatan ke kanan. Dilanjutkan lagi melangkah kaki kanan ke
samping kanan, tangan kanan menthang kanan, polatan ke kanan, dan begitu
seterusnya diulang-ulang gerakannya

Keterangan Panggung

Posisi
Di belakang
gawang sentral
agak menyudut
kanan belakang

Depan

128
Sekaran Sendhi Sampur

Level normal: Sekaran sendhi sampur dimulai dari posisi kebyok kedua sampur hadap
pojok kiri depang. Gerak dilanjutkan kebyak sampur kanan, toleh kanan, kaki kanan
melangkah ke depan (perhatikan gambar). Diteruskan kebyak sampur kiri, toleh kiri,
kaki kiri melangkah ke depan. Kebyok kedua sampur, mjelangkah kaki kanan ke
depan. Toleh kanan, toleh kiri, kedua tangan digerakkan berlawanan ke atas ke
bawah dua kali. Diteruskan sekaran sendhi berikutnya dengan gerakan yang sama
sebanyak tiga kali.

Setelah gerakan sekaran sendhi diteruskan gerak penghubung kipat srisig dilanjutkan
srisig kanan satu putaran

Keterangan Panggung

Posisi
Di belakang
gawang sentral
agak menyudut
kanan belakang

Depan

129
Laras Embat Ukel Karna

Level normal: Besut, seblak sampur kanan, diteruskan embat tangan kanan, tolehan
kanan, tangan kiri trap cethik kiri. Ukel mlumah tangan kanan diteruskan ukel karna
kanan, tolehan kiri kanan penuh dilakukan tiga kali tolehan kiri kanan. Menthang
tangan kanan, embat diteruskan leyek badan ke kiri, tolehan kiri. Debeg gejug kaki kanan
diselesaikan dengan panggel. Dilanjutkan debeg gejuk kaki kiri, penthang tangan
kanan, badan hadap serong kiri belakang. Debeg gejug kaki kiri, embat tangan kanan,
diteruskan kenser kiri. Diteruskan putar leyek ke kiri hingga hadap depan.

Setelah gerakan kenser diteruskan gerak penghubung ukel mlumah kedua tangan,
diakhiri seblak kedua sampur.

Keterangan Panggung

Posisi
Di belakang
gawang sentral
agak menyudut
kanan belakang

Depan

130
Sekaran ayunan tangan (kanan dan kiri)

Level normal: Sekaran ayunan tangan kanan dimulai dari posisi tanjak kanan, lengan
kanan menthang ke depan, jari tangan bentuk nyekithing, menghadap mlumah (ke atas)
tolehan ke arah samping kanan, tangan kiri menyentuh siku (sikut) tangan kanan,
badan leyek ke kanan. Berikutnya tangan kanan diputar mengkurep (tengkurap),
pandangan ke kiri, badan leyek ke samping kiri (perhatikan gambar). Selanjutnya.
Badan digerakkan (leyek) ke kanan, tolehan ke kanan, pusisi tangan mlumah,
diselesaikan dengan gerakan badan njujut, ukel tangan kanan ke dalam penuh, badan
kembali normal tanjan kanan. Berikutnya Sekaran ayunan tangan kiri adalah sama
dengan gerakan sekaran ayunan tangan kanan, hanya saja dilakukan dengan anggota
badan yang berlawanan dengan sekaran ayunan tangan kanan.

Setelah gerakan sekaran ayunan tangan kanan dan kiri diteruskan gerak sekaran usap
rikma.

Keterangan Panggung

Posisi
Di belakang
gawang sentral
agak menyudut
kanan belakang

Depan

131
Sekaran Usap Rikma (kanan dan kiri)

Level normal: Dimulai dari gerak penghubung: Ukel mlumah kedua tangan di trap
puser, seblak kedua sampur, dilanjutkan sekaran usap rikma kanan. Sekaran usap rikma
dilakukan pada posisi tanjak kanan. Tangan kanan mengusap rambut (rikma) bagian
atas, tangan kiri mengusap rikma bagian bawah, polatan ke arah samping kanan,
badan leyek kanan (perhatikan gambar). Berikutnya tangan diputar bergantian
mengusap. Tangan kiri mengusap rambut bagian atas, tangan kanan mengusap
rambut bagian bawah, polatan diarahkan ke samping kiri. Selanjutnya diulang seperti
gerakan yang pertama hingga masing-masing tangan mengusap tiga kali, diakhiri
tanjak kanan normal. Diteruskan usap rikma kiri, dimulai gerak penghubung seperti
semula dan dilanjutkaan sekaran usap rikma kiri. Sekaran usap rikma kiri dilakukan
sama dengan sekaran usap rikma kanan hanya dilakukan dengan anggota badan
yang berlawanan dengan sekaran usap rikma kanan.

Setelah gerakan sekaran usap rikma kanan dan kiri diteruskan gerak sekaran mande
sampur.

Keterangan Panggung

Posisi
Di belakang
gawang sentral
agak menyudut
kanan belakang

Depan

132
Sekaran Mnde Sampur

Level normal: Dimulai dari gerak penghubung: menthang kedua tangan hadap sudut
kiri depan. Dilanjutkan gerak sekaran mande sampur, yaitu: tangan kiri mengambil
sampur, tangan kanan pegang sampur di trap cethik kanan. Diteruskan berjalan
dengan langkah kaki kanan, kiri, kanan lagi dan bergantian sebagaimana berjalan
pada umumnya mengarah ke depan. Diteruskan dengan tangan kiri menthang sampur
kiri, tangan kanan tetap pada posisi semula trap cethik pegang sampur. Arah berjalan
miring kanan dan dilakukan beberapa langkah miring, dilanjutkan langkah ke depan
posisi tangan kembali mande sampur.

Setelah gerakan sekaran mande sampur diteruskan gerak lumaksana lembehan sampur
lelebotan.

Keterangan Panggung

Posisi
Di belakang
gawang sentral
agak menyudut
kanan belakang

Depan

133
Sekaran Lumaksana Lembehan sampur Lelebotan

Level normal: Dimulai dari seblak kedua sampur diteruskan lumaksanan lembehan
sampur lelebotan. Lumaksana lembehan sampur lelebotan diawali gerakan kaki kanan
melangkah ke depan, tangan kiri nyekithing miwir sampur ke arah depan dada, tangan
kanan seblak sampur, polataan ke serong kiri, badan dileyekkan ke kanan. Diteruskan
langkah kaki kiri, tangan kanan nyekithing miwir sampur di depan dada, seblak sampur
kiri, leyek badan ke kiri, polatan ke serong kanan. Begitu lengkah berikutnya dilakukan
dengan gerakan yang sama hingga enam kali langkah. Gerak berikutnya adalah mlaku
miring nyacah kanan kebyok sampur kiri, diikuti tolehan kanan dan kiri mengikuti
langkah kaki. Mlaku miring dilakukan melingkar satu putaran penuh.

Setelah gerakan lumaksanan lembehan sampur lelebotan diteruskan kipat srisig kanan,
dkiteruskan srisig arah kanan melingkar satu putaran penuh.

Keterangan Panggung

Posisi
Di belakang
gawang sentral
agak menyudut
kiri belakang

Depan

134
Sekaran Laras Kapang-Kapang

Level normal: Laras kapang-kapang dilakukan penuh dari keseluruhan ragam gerak
kapang-kapang. Dimulai ambil (miwir) sampur kanan, gejug kaki kiri, tekuk siku
kanan, tanjak kiri mendak badan, tolehan kiri (perhatikan gambar). Diteruskan dorong
lurus tangan kanan ke samping kanan, tolehan ke kanan, kaki kiri melangkah ke
serong kanan. Lepas sampur, tekuk siku kanan, kembali tanjak kiri mendak, tolehan kiri,
tangan kiri trap cethik. Dorong lagi tangan kanan, kaki kiri mlangkah serong kanan,
tolehan ke kanan, leyek kiri, toleh kiri, menthang tangan kanan, polatan kiri. Gerakan
ini dilakukan sebanyak dua setengah kali, diteruskan kebyak sampur kiri, engkyek, ogek
lambung.

Setelah gerakan sekaran laras kapang-kapang diteruskan kipat srisig kanan, diteruskan
seblak sampur kanana debeg gejug kaki kiri, ambil sampur, duduk jengkeng.

Keterangan Panggung

Posisi
Gawang supanan
sedikit ke depan

Depan

135
Mundur Beksan

Sembahan

Level normal: Gerakan sembahan jengkeng berbeda dengan sembahan laras jengkeng.
Sembahan jengkeng dilakukan dengan posisi jengkeng (lihat gambar) dilanjutkan
lenggut dagu diteruskan sembah, yaitu kedua telapak tanga bertemu (nelangkup), ujung
ibu jari didekatkan ke ujung hidung. Diteruskan posisi jengkeng semula.

Setelah gerakan sembahan diteruskan kipat srisig kanan, mundur beksan, kembali ke
gedhongan.

Keterangan Panggung

Posisi
Gawang supana

Depan

136
Srisig

Level normal: Srisig mundur beksan dari gawang supana kembali ke gedhongan.

Keterangan Panggung

Posisi
Kembali ke
gedhongan

Depan

137
BAB V
PENUTUP

1. Intisari Pembahasan
Tari gaya Surakarta merupakan produk kebudayaan besar Keraton
Kasunanan Surakarta masa lampau di Jawa Tengah. Sebagai produk dari
pusat kebudayaan besar diketahui memiliki perjalanan kehidupan panjang
hingga menetaskan kaidah-kaidah, jenis genre dan jenis kualitas, garap
koreografi, dan tema-tema yang mendasari karakteristik penyajiannya. Lebih
spesifik lagi, tari gaya Surakarta mempunyai konsep keindahan, repertoar
dan teknik-teknik gerak, serta fungsi dalam kehidupan masyarakatnya.
Setelah ditelusuri berdasarkan pemetaan topik bahasan, didapati berbagai
pengetahuan sebagai berikut:
a. Tari Gaya Surakarta merupakan bagian kebudayaan kesenian dari
kerajaan Mataram baru masa lampau di Jawa Tengah. Perjanjian gianti
yang membagi Mataram menjadi Kasunanan di Surakarta dan
Kasultanan di Yogyakarta berimplikasi pada kewenangan pengemba-
ngan kekayaan kebudayaan seni. Seni tari yang tumbuh di keraton
Kasunanan di Surakarta membentuk gaya tersendiri meskipun genre
terbilang sama dengan genre-genre yang juga tumbuh berkembang di
Kasultanan di Yogyakarta. Gaya Kasunanan di Surakarta ini lebih
dikenal sebagai tari gaya Surakarta.
b. Berdirinya negara kesatuan dalam bentuk republik berimbas pada
fungsi keraton yang tidak lagi memilki kekuasaan politik tetapi
sekedar sebagai pelestari kebudayaan termasuk juga kesenian. Para
pelaku budaya seni di dalam keraton leluasa mengembangkan
kesenian di luar tembok keraton sebagai bentuk eksistensi dan profesi.
Kehadiran para pelaku budaya seni keraton di dalam masyarakat
mendapat apresiasi bergairah ditandai lahirnya berbagai penggiat seni
dalam bentuk lembaga formal, informal, ataupun non formal.
Kehadiran lembaga-lembaga ini kesenian kraton mendapat kesempa-
tan tumbuh berkembang selain persebaran, juga kuantitas dan
kualitasnya. Pada lembaga pendidikan tingkat tinggi dan lembaga
pengembang seni yang memiliki kewenangan pengembangan seni
mendapat kesempatan seluas-luasnya melihat seni keraton dari

138
berbagai dimensi, selanjutnya melahirkan kajian mendalam sisi ilmu,
sain, dan teknis seni. Ilmu dan sain merupakan cerminan berbagai
nilai yang mendasari keberadaan seni terungkap dalam kajian
menyeluruh kebudayaan besar dari sebuah lokus/wilayah. Sisi teknis
diketahui telah berkembang berbagai jenis genre dan kualitas, konsep
keindahan, repertoar, bahkan gaya terdeteksi melalui teknik-teknik
pelaksanaan gerak.
c. Kebudayaan besar keraton Kasunanan yang multi lapis dalam sistim,
tatanan, kepercayaan, dan ideologi dalam memandang politik dan
kemasyarakatan tercermin dalam genre-genre karya tari. Bedhaya dan
Srimpi yang sakral religius, Wireng, Pethilan dan/atau Wireng Pethilan
yang heroik sekaligus romantis, Gambyong dan Golek yang menghibur,
Wayang Orang, Dramatari, Kelompok Bertema, yang lebih menggambar-
kan keragaman karakteristik dalam interaksional, sistematis dalam
penanaman dan penggambaran nilai-nilai kemanusiaan, juga krono-
logis yang menunjukkan kualitas akademisnya.
d. Pembagian karakteristik dalam jenis-jenis kualitas tari gaya Surakarta
memberitahukan kepada kita bahwa setiap manusia memiliki jenis
dan nilai fisiologisnya sendiri yang membawa sifat-sifatnya khas
pribadi, sehingga dalam pandangan alus dan kasar dalam budaya
Jawa merupakan dualitas interaksional yang berkelanjutan dalam
dialektis membentuk kebudayaannya.
e. Kesatuan budaya alus dan kasar berlanjut pada nilai keindahan seni,
bahwa yang indah bukan sebatas hasil cerapan inderawi dari objek
seni yang stilistik semata tetapi bahwa di dalam objek seni stilistik
terkandung nilai moral yang dihayati dari etika alus dan kasar. Antara
alus dan kasar tercermin beragam karakter humanistik yang
diberlakukan sebagai rambu pembatas normatif berbagai nilai moral
dan kepantasan. Maka di dalam nilai keindahan tercermin nilai-nilai
yang menyenangkan, menggairahkan, mendidik, kesopanan, kepatu-
tan, keluhuran budi, dan sebagainya yang terakumulasi dalam bahasa
filosofi “adi luhung”.
f. Bentuk seni yang oleh masyarakatnya dikatakan “adi luhung”, dalam
praktiknya diikat oleh semacam kaidah-kaidah yang mengatur
perilaku teknis, penghayatan maupun yang berdimensi filosofis.
Beberapa aturan teknik hingga yang bersifat filosofis dapat dikenali

139
g. Tari gaya Surakarta sebagai kelanjutan kebudayaan masa lampau tetap
berkembang hingga kini, baik persebaran, kuantitas dan kualitasnya
karena unsur nilai kemanusiaan melekat di dalamnya. Nilai humanitas
yang diambil dan/atau diinspirasi dari berbagai sumber yang dikenal
umum masyarakat Jawa dijadikan “roh” merupakan tema penggerak
eksistensi setiap repertoar tari. Maka kesatuan wujud yang fisiologis,
yang tematis, membentuk karakteristik yang unikum. Yang unikum
menjadi otentik sebagai cerminan nilai budaya dan terus hidup
berkembang mengikuti arus budaya penyangganya. Dalam kehidu-
pannya, tari gaya Surakarta terus bersinergi sebagai produk sekaligus
inspirasi bagi kehidupan masyarakatnya kini dan ke depan.
Menggambarkan keberlanjutan yang lampau tetapi otentik pada masa
kini, dan memberi rangsangan kreatif untuk masa ke depan.
h. Keberadaan tari gaya Surakarta yang terkategorisasi dalam genre dan
jenis kualitas membawa perangkatnya sendiri berupa: karakteristik
melalui tema-tema, berupa jenis gerak beserta sifat, motif, dan
tekniknya, struktur tari dengan pembagian ruas-ruas fraza yang
membentuk alur penyajian. Perangkat tari sedemikian ini menciptakan
tari gaya Surakarta dalam pilahan yang gagah, alus, dan lembut
keputrian dengan berbagai karakter dan sifatnya yang lebih spesifik.
Pada dimensi kemasyarakatan, tari gaya Surakarta difungsikan
menurut genre, jenis kualitas, dan karakter perilakunya, maka terdapat
tari gaya Surakarta yang difungsikan sebagai persembahan karena
karakter sakralnya. Terdapat perilaku tari gaya Surakarta yang titik
fokus pada aspek nilai wigati, maka menempati posisi yang estetik
dalam nilai pertunjukannya. Terdapat pula jenis tari yang dapat
memberi kesenangan umum maka fungsi hiburan melekat pad jenis
tarian tersebut. Namun demikian bahwa kebutuhan kehadiran tari
dalam berbagai perhelatan instansional dan organisasi kemasya-
rakatan, seringkali mengaburkan idealitas fungsi-fungsi tersebut
terkait dengan jenis repertoar yang disajikan.
i. Repertoar tari yang terdefinisi dalam tulisan ini menggambarkan
sebagian dari sekian besar kebudayaan seni tari gaya Surakarta adalah
contoh nyata perilaku dalam budaya alus dan kasar. Tari Klana
sebagai cerminan yang kasar, Tari gunung sari sebagai cerminan yang
alus, dan tari Golek Manis menyajikan yang alus tetapi memiliki sifat

140
dinamis, maka dikarakterisasai sebagai yang lanyap/endhel adalah
cerminan kausalitas kehidupan manusia sebagian dan menyeluruh-
nya. Rapertoar tari tersebut terwujud melalui proses ideasi
berkelanjutan lintas generasi hingga mengkristal dalam ketokohan
penari yang melegenda.
j. Pendeskripsian ketiga repertoar tari gaya Surakarta tersebut
mendapatkan kejelasan mengenai latar belakang terwujudnya tari,
tema tari, jenis genre dan kualitas, struktur dan teknik gerak serta
pemanggungannya. Ketiga contoh repertoar tari gaya Surakarta ini
sebagai acuan dan berikutnya merupakan panduan dalam sistem
pelestarian kreatif melalui penanaman berkualitas dalam transformasi
teknik kepada pihak lain sekaigus persebarannya.
k. Informasi ini merupakan proses memberlanjutkan kelestarian yang
kreatif dalam mewujudkan generasi yang bukan sekedar pewaris
tetapi pemilik budaya tradis yang aktif kreatif eksistensial.

2. Epilog
a. Buku referensi ini disunting dari laporan penelitian yang penulis
kerjakan berjudul: Tari Gaya Surakarta Studi Teknik Gerak Tari Klana,
Tari Gunungsari, dan Tari Golek Manis.
b. Sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan dasar Tari
Gaya Surakarta perspektif Teknik Gerak Tari Klana, Tari Gunungsari,
dan Tari Golek Manis, untuk memenuhi materi ajar matakuliah Silang
Gaya Tari Surakarta di STK Wilwatikta Surabaya.
c. Karena merupakan hasil kajian awal diharapkan dapat diteruskan pada
kesempatan lain untuk pencapaian maksimal pada tema-tema pokok
yang lebih fokus dan mendalam.
d. Gairah kegiatan pengkajian sebagai sarana pengembangan materi ajar
perlu dirangsang melalui berbagai tindakan nyata oleh lembaga yang
berkait.

141
DAFTAR PUSTAKA

Balai Soedjatmoko, 2014. Topeng Panji, Mengajak Kepada Yang Tersembunyi,


Solo, Balai Soedjatmoko.
Benamou, Marc, 1998. Rasa in Javanese Musical Aestetics. USA: UMI.
Bungin Burhan. 2001. Metodolog Penelitian Kualitatif Aktialisasi Metodologis Ke
arah Ragam Varian Kontemporer, Divisi Buku Perguruan
Tinggi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Chaya, I Nyoman. 2003, Penari Bukan Robot, dalam SENI dalam Berbagai
Wacana (Mengenang 20 tahun kepergian Gendon Humardani).
Program Pendidikan Pascasarjana. Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta
Humardani, SD. 1979/1980. ”Kumpulan kertas Tentang Tari” Surakarta: Sub.
Proyek ASKI.
Humardani, SD 1979/1980 “Kreatifitas dalam Kesenian”, Surakarta:
Sub. Proyek ASKI.
Humardani, SD 1982/1983. “Kumpulan Kertas Tentang Kesenian”, Surakarta:
Sub. Proyek ASKI.
Humardani, SD 1991. “Sekedar Tentang Tari” dalam Gendhon Humardani:
Pemikiran dan Kritiknya, Rustopo (ed.).Surakarta: STSI Press
Surakarta.
Humardani, SD 1989. “Silang Jenis Dalam Tari (I)” dalam Gendhon Humardani:
Pemikiran dan Kritiknya: Rostopo (ed.). Surakarta: STSI Press
Surakarta.
Humardani 1991. “Silang Jenis Dalam Tari (II)” dalam Gendhon Humardani:
Pmikiran dan Kritiknya, Rustopo (ed.). Surakarta: STSI Press
Surakarta.
Humardani 1991. “Rasa Gerak Tari” dalam Gendhon Humardani: Pemikiranan
Kritiknya, Rustopo (ed.). Surakarta: STSI Pres Surakarta.
Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan.
Seri Seni No.4.
Sutopo HB, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jurusan Seni Rupa Fakultas Sastera
Universitas Sebelas Maret UNS, 1996: 63

142
Koentjaraningrat. 1985. Metode Wawancara dalam Metode-metode Penelitian
Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Kussudiardjo, Bagong. Tentang Tari, Yogyakarta: Nur Cahya.
Kussudiardjo, Bagong 1992. Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta:
Padepokan Press.
Kussudiardjo, Bagong 1993. Olah Seni Sebuah Pengalaman, Yogyakarta:
Padepokan Press.
Murgianto, Sal. 1981, Koreografi, Jakarta: Pusat Pengembangan Kesenian
(PPK) DKI Jakarta.
Murgianto, Sal. Dkk, 1986. Komposisi Tari, dalam Pengetahuan Elemen dan
Beberapa Masalah Tari, Jakarta: Direktorat Kesnian.
Murgianto, Sal. 2004Tradisi dan Inovasi, Beberapa Masalah Tari di indonesia,
Jakarta. Wedatama Widya Sastra
Peursen, CA. 1975. Strategi Kebuayaan. Kanisius, Yogyakarta.
Prabawa, Wahyu Santoso, 1990. “Bedhaya Anglirmendhung Monumen
Perjuangan Mangkunegara I 1757 – 1988. Tesis S-2 Probgram
Pascasarjana, Universitas Gajag Mada Yogyakarta.
Prabawa, Wahyu Santoso, 2007. Tari Wireng Gaya SurakartaReflesi Kearifan
Budaya”. (Pidato Dies Natalis XLIII ISI Surakarta, 14 Juli
2007), 30-31.
Poerbatjaraka, ...... Tjerita Pandji dalam Perbandingan
Pritatini, Nanik Sri dkk, 2007. Ilmu Tari Joget Tradisi Gaya Kasunanan Surakarta,
Surakarta, ISI Press Solo.
Rochana W. Sri, 1997, Pendidikan Tari di Lembaga Formal (Tinjauan
Mengenia Pembentukan Penari) Dalam Jurnal Seni Wilet.
Surakarta. Sekolat Tinggi Seni Indonesia Surakarta
Rochana W. Sri, 2004. Sejarah Tari Bambyong, Seni Rakyat Menuju Istana.
Surakarta, Citra Etnika Surakarta.
Rochana W. Sri, 2012. Revitalisasi Tari Gaya Surakarta, Surakarta ISI Press.
Rochana W. Sri, 2014, Pengantar Koreografi, Swurakarta,m ISI Press Solo
Rusini, 1999. “Tari Bedhaya Suryosumirat, kreasi Pura Mangkunegaran di
akhir abad XX”. Laporan Penelitian STSI Surakarta.

143
Saryono, Djoko, 2011, Sosok Nilai Budaya Jawa, Rekonstruksi Normatif Idealistis,
Malang, Aditya Media Publising.
Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan.
Seri Esni No. 4.
Sedyawati, Edy 1981. Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Kasih.
Sedyawati, Edy 1984. Tari, Tinjauan Dari Beberapa Segi, Jakarta: Pustaka Jaya.
Sedyawati, Edy 1986.“Tari Sebagai Salah Satu Pernyataan Budaya”, dalam
Pengetahuan Elementer Tari Dan Beberapa Masalah Tari, Jakarta:
Direktorat Kesenian.
Sunardi, 2013. Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertunjukan
Wayang. Surakarta, ISI Press.
Sukidjo, 1986, “Tari Klasik Gaya Yogyakarta”, dalam Pengetahuan Elementer
Tari Dan Beberapa Masalah Tari, Jakarta: Direktorat Kesenian.
Setyoasih, Sri, 2000. “Bedhaya Sukoharjo Kasunanan Surakarta, Tinjauan
Struktur Koreografi”. Laporan Penelitian STSI Surakarta.
Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Dramatari di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarsono 1978. Diktat Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta:
ASTI Yogyakarta.
Sumargono, R.T Koessumakesawa (1909-1972) Maestro Seni Tari Tradisi
Keraton Gaya Surakarta”. Tesis Untuk Mencapai Derajat
Sarjana S-2 Pada Program Pascasarjana Pengkajian Seni
Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gajah Mada
Yogyakarta, 2001.
Tasman, Agus. 1996. Analisa Gerak Dan Karakter, ISI Press, Surakarta: STSI.
Prabowo, Wahyu Santoso, 2003, Kreativitas Tari Dalam dan Antar Budaya:
Dataran Untuk Penghayatan Nasionalitas. Makalah Serial
Seminar Nasional Seni Pertunjukan Indonesia Seri IV 2002 –
2004. Surakarta. STSI Surakarta.
Yayasan Javanologi, 2007, Menggali Filsafat dan Budaya Jawa, Jakarta, Prestasi
Pustaka.
Zamzam Fauzannafi, Muhammad, 2005. Reog Ponorogo, Menari di Antara
Dominasi dan Keragaman, Yogyakarta, Kepel Press.

144
LAMPIRAN:

Peraga sebagai model :

1. Nama : Ali Marsudi, S.Sn


Pekerjaan : PNS Pada Radio Republik Indonesia
Surakarta ( bidang Pertunjukan Wayang
Orang)

2. Nama : Ririn Oriska


Pekerjaan : Mahasiswa Jurusan Tari Sekolah Tinggi
Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya

3. Nama : Indo Mahardika


Pekerjaan : Mahasiswa Jurusan Tari Sekolah Tinggi
Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya

4. Nama : Nadia Kinasih


Pekerjaan : Mahasiswa Jurusan Tari Sekolah Tinggi
Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya

5. Nama : Wahyudiyanto, M.Sn


Pekerjaan : Dosen pada Jurusan Tari Sekolah Tinggi
Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya

Video Pandang Dengar:

1. Klana Topeng : Karya: Sunarno Purwo Lelono


Penari: Wahyudiyanto
Rekaman Forum Dosen STK Wilwatikta
Surabaya di Pendopo Agung STKW
Surabaya 31 Desember 2010

2. Tari Gunungsari : Karya S. Ngaliman


Penari: Hartanto
Rekaman di Pendopo Projolukitan Surakarta

3. Tari Golek Manis : Karya S. Ngaliman


Penari : Dika
Rekaman Sanggar tari Langen Kridha Kusuma Kendal

Anda mungkin juga menyukai