Anda di halaman 1dari 12

KETIKA NGREMO MELOMPAT PAGAR

(Sebuah Otokritik Perkembangan Tari Ngremo)

Dr. Wahyudiyanto, M.Sn.

Pengajar pada Program Studi Seni Tari


STK Wilwatikta Surabaya

Ilustrasi

Seperti seorang satria sedang menghadapi musuh, Penari Ngremo memper-


sonifikasikan diri bagaikan tokoh pejuang yang sedang maju perang. Berjalan di tepian
pentas, pelan tapi tegas. Sorot matanya tajam dan nanar terus menyapukan
pandangannya ke penjuru penonton di sekeliling arena panggung sampai pada batas
jangkauan penglihatannya. Sesekali berinteraksi dengan senyumnya terkesan angker
dan dingin. Sementara gending Surabayan dan atau Jula-juli yang mendahuluinya terus
menerus menciptakan suasana karakteristik berwibawa, gagah, lugas dan dinamis.
Nada gending berlaras Slendro songo ini menjadi andalan kesenian Ludruk dengan
tampilan Ngremo-nya yang tradisional modern. Tari Ngremo hadir memciptakan aura
dan citra nilai kepahlawanan khas Jawa Timur.

Situasi Ngremo dalam Pertunjukan Ludruk

Berbeda dengan teater tradisional lainnya seperti: Kethoprak, Wayang Orang,


Lenong, Ludruk memang memiliki ciri unik yaitu pertunjukannya selalu dibuka oleh Tari
Ngremo (Brandon 1989: 618). Seperti juga digambarkan oleh Geertz, pertunjukan
Ludruk selalu diawali dengan tarian tunggal Madura, di mana penari menyanyikan lagu
selamat datang dalam bahasa Jawa tinggi ( Geertz 1983 : 392). Tari tunggal Madura ini
dikenal dengan Ngremo dan lagu dalam bahasa Jawa adalah kidungan atau tembang khas
Jawa Timur. Selain Tari Ngremo sebetulnya masih ada tarian di dalam Ludruk yakni Tari
Brajak, Somo Gambar, Ceklean. Namun kualitas tarian itu tidak seunggul Tari Ngremo, oleh
karenanya dalam perjalanan waktu terseleksi secara alami. Karena untuk mengawali
pertunjukan maka peranan tari Ngremo dalam struktur Ludruk menjadi sangat penting.
Sebagai tampilan pertama dituntut kemampuannya untuk mempesonakan
penonton. Selanjutnya diharapkan dapat menanamkan image kepada masyarakat tentang
kebermaknaan pertunjukan sebagai proyeksi nilai-nilai dalam kerangka estetik. Penari
Ngremo dengan kesadaran kesenimanan mampu membangun ruang estetik sebagai
implementasi dari penghayatan kehidupan membudayanya. Yaitu kehidupan Sosial politik,
ekonomi, kepercayaan, sistem kekerabatan, harapan-harapan sebagai masyarakat kecil
yang ingin merdeka dari diskriminasi keadilan. Faktor-faktor kebudayaan yang berjalan
bersama-sama itu sebenarnya merupakan collectif consiusness, selanjutnya terakumulasi
secara kongkret dalam ruang estetik. Oleh karenanya ekspresi kinestetik tari Ngremo
bermuatan ideologi yang berlipat-lipat. Penumpukan berbagai nilai yang telah
mengkristal tersebut diurai secara kinestetik melalui saluran pertunjukan. Collectif
consiusness kemudian tercermin dalam kesadaran kepenariannya.
Benar kalau James L. Peacock dalam bukunya: Rites of Modernization Simbolic
And Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama mengatakan :

Kritik seni 1
Marhaen and Tresno Enggal are two troupes most famed for their factional or party
loyalties-Marhaen to PKI, Tresno Enggal to the army (Peacock, 1968: 41).

Rakyat kecil di pedesaan sekalipun, memiliki pandangan-pandangan juga tentang


duniannya. Ludruk sebagai institusi sosial ditingkat rakyat merupakan sarana langsung
untuk mengemukakan pandangan-pandangan. Namun demikian saluran itu dirasakan
belum mampu menggemakan idealismenya. Melalui institusi yang lebih formal Ludruk
menyalurkan fikiran-fikirannya. Ludruk Marhaen misalnya memilih PKI sebagai langkah
eksistensinya sedang Ludruk Tresno Enggal melalui URIL (TNI-AD Dam VIII Brawijaya)
yang dianggap lebih nasionalis. Perbedaan orientasi perkumpulan Ludruk tersebut
merupakan pilihan-pilihan dalam kerangka perjuangannya.
Tari Ngremo yang lekat dalam kehidupan Ludruk secara nyata mengako-
modasikan fikiran fikiran itu untuk selalu diperjuangkan. Di antara fikiran fikiran pada
masa pergolakan itulah yang cepat memacu terbentuknya estetika tari Ngremo. Kesadaran
kolektif terus ditumbuhkan dalam jiwa kepenariannya dengan tujuan untuk
menggelorakan kembali semangat perjuangan yang telah dan akan terus dicapai.
Penggalangan solidaritas kolektif selalu dibangun kembali untuk membekali sifat dan sikap
nasionalisme kepada publiknya. Kepahlawanan kemudian sebagai orientasi dinamis
merupakan estetika difinitif dalam Tari Ngremo.
Situasi tari yang diciptakan Penari Ngremo dalam mengawali pertunjukan Ludruk
merupakan kondisi penting untuk menjadi bahan kajian. Yaitu situasi awal yang dibangun
melalui pengamatan tersembunyi oleh penari Ngremo ketika berjalan mengelilingi arena
panggung pada awal penampakaannya di atas pentas --yaitu sapuan pandangannya ke
semua sudut penonton-- . Alunan Gending Surabayan dan atau gending Jula-juli yang
diperdengarkan lebih dulu merupakan ciri awal untuk membantu membangun situasi ini.
Gending tersebut biasanya disuguhkan secara berulang-ulang (tidak dilakukan dalam satu
putaran gending) dengan permainan orkestrasi yang memikat. Konsep musik tari tentang
pola dan irama kendang dalam konteks karawitan Jawa Timuran yang selalu membimbing
dan atau memangku gerakan-gerakan tari semacam itu menegaskan aksentuasi gerak tari
Ngremo nampak lugas dan dinamis. Prilaku khas dalam membangun emosi tersebut
merupakan daya dorong, dan motivasi seperti itu terbentuk secara umum dalam setiap
mengawali tari Ngremo. Situasi yang dibangun itu kemudian menciptakan kondisi tertentu
untuk mengajak masyarakat aktif berpartisipasi, yaitu dengan larut terbawa situasi yang
intuitif tetapi nyata. Pengaruhnya membawa Perubahan emosi penonton secara berangsur-
angsur itu seakan mendapat pencerahan yang ditimbulkan oleh suasana tari meskipun
penari belum memulai olah kinetiknya. Selanjutnya kekuatan gerak dari tubuh penari
Ngremo memenuhi arena panggung membawa persepsi penonton ke dalam dunia
imajinasi.
Ada banyak pola gerak dalam struktur koreografi Tari Ngremo. Pola-pola gerak itu
dinamai : tindak lombo, gedrug lombo, gedruk rangkep, iket, tebaan, keter, sabetan,
ngombak, gendewo lombo dan rangkep, cekle’an, lawung, tumpang tali, sekar sinuwun. Ada
pula jenis ukel seperti : ukel karno, ukel asto, ukel pakis, tatasan. Selanjutnya nama ragam
gerak dengan sebutan binatang yaitu : ayam alas, nglandak. Begitu juga terdapat jenis
gerak yang berjalan seperti: tresek, tindak, lenggang, dan istilah-istilah gerak sebagai fariasi
misalnya: keter, hoyog, seblak, penthangan. Sebagai akhir dari struktur gerak tari Ngremo,
selalu ditutup dengan gerak bumi langit. Kidung sebagai ucapan selamat datang yang

Kritik seni 2
merupakan ciri utama pertunjukan Ngremo ini tidak pernah dilupakan oleh penari Ngremo
ketika menari di atas pentas.
Sekian banyak nama gerak Tari Ngremo tersebut terangkai dalam komposisi
membayangkan struktur garap tari dengan kwalifikasi tari tunggal yang cerdas. Namun
demikian, secara koreografis Ngremo bukanlah wujud tari yang sudah baku dan selesai.
Penari sebagai pelaku, secara berkelanjutan mengambil posisi sebagai pelestari dan
sekaligus pembaharu. Penari potensial seperti Munali Patah (yang dikenal gaya
Surabayan-nya) adalah penari Ngremo Ludruk, karena kematangan jiwa kesenimanannya
secara wajar dan alami melakukan inovasi-inovasi.
Proses pembentukan terus menerus tari Ngremo nampaknya dimulai dari
kesadaran spontan penari pada saat melakukan tugasnya di atas pentas. Tidak ada tradisi
membuat jadwal bagi penari Ngremo untuk kegiatan latihan di luar acara pentas Ludruk
sebagai tindakan korektif atau apalagi evaluatif. Perubahan-perubahan begitu saja terjadi
di atas panggung. Maka tidak terlalu berlebihan apabila Tri Broto Wibisono (seniman
tari Jawa Timur) dalam kertas kerjanya menyampaikan :

“……..unsur-unsur kreatifitas tersebut terdapat pada adanya usaha-usaha


mengemukakan pengisian gerak wilet, cak-cakan, sekaran, kecepatan, dinamik.
Kehadiran unsur-unsur kreatifitas tersebut tanpa adanya rencana terlebih dahulu,
hadir pada saat penari sedang berada dalam situasi tari. Sehingga kebiasaan
semacam ini seringkali diartikan sebagai laku spontanitas” (Tri Broto Wibisono,
1991/1992)

Spontan tidak diartikan kosong tanpa pengalaman, tanpa adanya kehidupan sebelumnya.
Spontan justru muncul karena referensi yang menumpuk di dalam memori tubuh dan
fikirannya. Dalam keadaan menari, kondisi kejiwaan berada pada batas ambang
“antechambre” yaitu terletak diantara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti itu
kreatifitas memainkan peranannya (lihat Harol Rug dalam Hawkins terjemahan Wayan
Dibia hal. 5). Dalam hal ini oleh Garner melihat spontanitas sebagai motif kreatifitas
termasuk dalam kecerdasan kepekaan gerak tubuh (Garner dalam Hawkins terjemahan
Wayan Dibia hal. 6).
Secara implisit Munali Patah sebagai tokoh penari Ngremo Ludruk telah genap
memiliki sikap dan sifat kesenimanan (dalam konteks seniman transisional) yang meliputi:
teknik, yaitu sebagai seorang penari tidak diragukan lagi kemampuan olah teknik gerak
sesuai dengan tuntutan keindahan dan teknik koreografi. kepekaan rasa, selain rasa gerak
dan rasa keindahan yang sebenarnya tidak terlalu berat untuk dikuasai, kepekaan intuisi
(mampu memahami secara naluriah fenomena yang terjadi dii luar kehidupannya—politis,
ideologis, filosofis dan bahkan ekonomi), juga humanisme yakni rasa kemanusiaan yang
dalam. Peka terhadap kondisi yang dirasakan oleh sesama manusia dan makhluk hidup
lainnya. Intelegensia. di samping memiliki pandangan hidup yang berorientasi kepada
nilai-nilai rohani yang kuat, juga memiliki pandangan jauh ke depan, kehidupan menantang
yang harus dihadapi dengan kekuatan ilmu pengetahuan, kritis dan logis. Kreatifitas,
Selain sifat personal kepenariannya yang sangat kuat, ditunjukkan pula inovasi-inovasinya
pada keragaman gerak sebagai fariasi gayanya.
Tari Ngremo gaya Surabayan memiliki ciri khas yang tenang, gagah dan tegas
membedakan ciri Tari Ngremo gaya-gaya yang lain seperti: Jombangan yang cenderung
lincah, cepat dan sedikit kesan sombong. Begitu juga gaya Malangan yang sedikit agak

Kritik seni 3
cepat dibandingkan dengan gaya Surabayan. Pemakaian busana (pakaian khas pangeranan
/ bangsawan Jawa Timur—jenis kain bludru warna hitam banyak hiasan mote dengan
motif dekoratif bunga-bungaan) mencirikan tokoh pahlawan imajiner Jawa Timur
mendukung penampakan karakter yang gagah dan tegas. Sebagai ciri tarian tunggal maka
koreografi Tari Ngremo memiliki teknik gerak yang rumit. Kerumitan gerak tidak hanya
didasari oleh tingkat kesulitan yang berat tetapi juga lebih ditampakkan pada pembawaan
(cak-cakan atau wilet ) khas penari Ngremo sendiri. Ciri ini yang membentuk Tari Ngremo
menjadi sangat personal sifatnya.
Dalam perkumpulan Ludruk sangat dibutuhkan penari Ngremo yang potensial.
Ada banyak keuntungan yang diperolehnya. Selain mampu menyedot banyak penonton,
memiliki penari Ngremo idola secara psikologis mampu memberikan image yang dapat
mengangkat perkumpulan Ludruk ke tingkat popularitas tertentu. Tidak mustahil apabila
seringkali dijumpai perkumpulan Ludruk yang ngebon (meminjam penari Ngremo
potensial/idola dari perkumpulan Ludruk lain) untuk mendongkrak popularitas
perkumpulannya. Firtousitas penari secara psikologis memberi rangsangan kehadiran
banyak penonton. Dalam konteks ini, potensi penari Ngremo turut menentukan situasi
pertunjukan Ludruk.

Ngremo Masyarakat dan kekuasaan


Menyoal tentang Tari Ngremo, Ludruk akan selalu terseret turut dibicarakan.
Ngremo dan Ludruk pada awal tumbuh memang jadi satu. Kemudian Ngremo melampaui
perjalanan perkembangan Ludruk. Ludruk dalam kurun masa tertentu tidak atau kurang
mampu menopang kehidupannya selanjutnya mengalami anti klimaks perkembangan.
Sementara Ngremo seperti merndapatkan nutrisi baru dan menemukan tanah subur
mendorong tumbuhnya dengan cepat. Ngremo lalu melepaskan diri dari induk semangnya
memulai hidup baru (seperti Juga Tari Bambangan Cakil --wayang orang--, Tari Gunungsari
--topeng dalang-- adalah tarian yang melepaskan diri dari induknya). Tetapi bukan berarti
Ludruk sudah musnah dan atau tidak ada lagi Ngremo dalam Ludruk. Setidaknya Ngremo
tetap ada dalam Ludruk tetapi masih dalam porsi penampilan yang cenderung ajeg.
Sedangkan Ngermo di luar Ludruk lebih berorientasi pada kepentingan-kepentingan yang
lebih komplek sehingga sebagai sebuah pernyataan Ngremo lebih aktual dan kontekstual.
Lebih jauh menyoroti Tari Ngremo dalam konteks kehidupan barunya dapat
dimaknai sebagai tantangan, peluang sekaligus jurang. Pemaknaan masing-masing
kategori tersebut baru memiliki arti ketika kita mencoba untuk melihat secara kritis
bagaimana sepak terjang Tari Ngremo keterlibatannya dalam dialektika kebudayaan.
Namun demikian bahwa ketiga premis tersebut di atas sebenarnya sudah terlewati dengan
berbagai pola dinamikanya. Sebagai bahan analisis tentunya perlu kita coba untuk melihat
perjalanana Ngremo dilihat dari premis ketiga-tiganya.

Perjalanan Tari Ngremo


Masa Awal
Ketika sampai sekitar tahun 1920-an, Teater Ludruk masih membawakan lakon-
lakon yang bernafaskan Islam. Tari Ngremo masih sangat sederhana dalam mengenakan
busana. Celana panjang warna hitam (warna gelap), baju putih lengan panjang, (kadang
pakai dasi), dodot jarit (kain penutup bagian pinggang ke bawah), selendang dan kopiah
warna hitam, ada juga yang memakai kaca mata hitam. Sebagai kesenian barangan yang

Kritik seni 4
belum nenampakkan karakteristik yang jelas, karena Tari Ngremo tidak menunjukkan
tema yang jelas, kecuali hanya menampilkan gerak-gerak yang tersusun secara
konvensional (Hidajat: 115). Dalam hal ini Ngremo masih mengikuti secara ketat
fisualisasi yang tidak pada karakter geraknya.
Kemudian sesudah tahun 1930 sampai tahun 1945 ketika berkembang lakon lakon
yang bertemakan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda dan Jepang
misalnya: Untung Surapati, Jayengrana, Sawunggaling, Pak Sakerah, Tuan Tanah Kedawung,
Sarip Tambakyasa (Supriyanto, 1992: 58) Ngremo-pun menyesuaikan temanya. Kendatipu
pada setiap pementasan, perkumpulan Ludruk diharuskan mengajukan ijin pentas kepada
pihak Belanda ataupun Jepang dengan menyertakan sinopsis lakon sebagai ketentuan
pihak Ludruk tidak boleh mengkrtitik pemerintahan kolonial (Supriyanto, 1992: 12).
Meskipun tidak secepat Ludruk, gerekan-gerakan Tari Ngremo mulai menyesuaikan diri
berorientasi pada tokoh berkarakter keras seperti Brajag (tokoh begal) yang dikenal
dengan Somogambar (Hidajat, 2001: 116). Mulai saat itu Tari Ngremo berubah
karakternya dari gerak yang gemulai menjadi lebih keras.
Memasuki tahun 1946 sampai menjelang meletusnya peristiwa “G-30-S/PKI”
adalah masa pembentukan republik ini. Dalam mengisi kemerdekaan yang dicapai
sebelumnya, institusi-institusi yang dominan mengajukan konstribusinya bagi kepentingan
negara yang sedang berdiri adalah ketentaraan, politik dan ekonomi. Kondisi seperti itu
nampaknya bisa dimaklumi karena lebih dari tiga setengah abad negara dalam kemiskinan
yang total. Trauma terhadap penjajahan oleh karenanya fikiran pertama yang mengemuka
adalah kestabilan negara. Kemudian faktor penting yang pertama menyangga negara
adalah sektor militer, politik dan ekonomi.
Faktor kebudayaan (baca: kesenian) nampaknya kurang atau bahkan tidak
diperdulikan keberadaanya. Kehidupan kesenian yang sebelumnya berada pada
komunitasnya langsung, sampai periode setelah kemerdekaan masih ditangani oleh
senimanya masing-masing. Kemudian apa yang terjadi: kesenian rawan dengan tekanan-
tekanan ideologi (politik). Bukan tidak boleh, tetapi sebagai institusi sosial yang lebih
berorientasi moral, seni menjadi lembaga partisan. Sebagai wujud keprihatinan, para
seniman mendirikan perkumpulan Gelanggang seniman Merdeka yang kemudian menjadi
embrio lahirnya Manifes Kebudayaan. Kerangka pikirnya adalah bahwa kebudayaan juga
mempunyai peran yang sama-sama penting (selain militer, politik dan ekonomi) dalam
mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara (Lihat Moeljanto 1995: 157-161). Tekanan
utama ditujukan untuk menegakkan kembali nilai-nilai humanisme universal. Munculnya
lembaga kebudayaan dan pernyataan sikap yang otonom sebagai institusi moral
merupakan jawaban atas kuatnya desakan kekuasaan politik yang ingin menggunakan
kebudayaan (kesenian ) sebagai alat pencapaian kekuasaan --yang dalam hal ini adalah
Partai Komunis Indonesia PKI--.

Pembentukan tema baru


Pada periode digambarkan di atas, seperti pernyataan peacock, Ludruk memang
terbelah menjadi dua. Politik sebagai orientasi perjuangan ideologi ludruk menyeret
eksistensinya bias kepentingan. Nampaknya tidak ada jalan lain bagi Ngremo kecuali ikut
menyesuaikan kondisi yang terjadi pada induk semangnya itu. Ludruk yang mengikuti
politik ketentaraan, orientasi tema lakon terus melanjutkan sikap nasionalisme model
militeristik dengan mengambil cerita kepahlawanan dari tokoh pejuang setempat.

Kritik seni 5
Sedangkan Ludruk marhaen, (yang perjuangannya bercirikan sosialis kerakyatan)
penuturan cerita lakon lebih mengutamakan perjuangan rakyat kebanyakan. Nampak
sekali bahwa Ludruk pada masa-masa seperti ini merupaka saran untuk menggalang
solidaritas. Setiap perkumpulan Ludruk dengan caranya sendiri-sendiri mencari dukungan
bagi kepentingan perjuangannya. Yang menonjol pada tahun 1960-an adalah bahwa latar
belakang perjuangan pergerakan kemerdekaan lebih nenyemangati kehaditran tari
Ngremo. Masyarakat saat itu mendambakan kepahlawanan yang gagah berani
sungguhpun hanya secara imajiner namun penampilan tari Ngremo memberi harapan dan
sekaligus menghibur (Hidajat, 2001: 118).
Dapat kita lihat beberapa peristiwa yang menyangkut kehidupan Ludruk dan Tari
Ngremo. Tokoh Ngremo seperti Cak Subur (penari Ngremo pada Ludruk Nusantara) ketika
mengadakan pergelaran dalam rangka menyambut Presiden Soekarno (1950) di Surabaya
mendapat ucapan selamat dari Presiden. Di samping mendapatkan selamat Presiden
mengucapkan “tari Ngremo harus selalu maju ! itu semangat patriot arek-arek Jawa Timur
“--dalam hal ini adalah pemuda Surabaya-- (wawancara Hidajat dengan Cak Subur 10
Januari1980 dalam Bahasa dan Seni, 2001: 117). Kelompok Ludruk Marhaen Rukun Asri
juga sering kali mendapat kesempatan tampil sedikitnya 16 kali pentas di istana negara
oleh Bung Karno dan menghibur militer di Trikora II-B (Tri Komando Rakyat II-B)
selanjutnya mendapat piagam penghargaan dari Panglima Mandala Mayjen TNI Soeharto
pada tanggal 10 Agustus 1962 (Supriyanto, 1992: 14).
Peristiwa yang tidak seberapa besar dari ukuran kuantita tetapi mempunyai
stimulus yang besar dan penting bagi personil ludruk karena berhadapan langsung dengan
institusi kekuasaan di tingkat tertinggi. Peristiwa ini mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan estetika Ngremo utamanya pada dimensi Nasionalisme dalam kerangka
psikologis. Dari peristiwa ini sebenarnya embrio nilai kepahlawanan masuk dalam tema
besar tari Ngremo. Melihat bahwa Cak Subur mulai mengaktualisasikan pesan moral
Presiden lewat pergelarannya di Malang dengan menampilkan Ngremo berkarakter
Sawunggaling.
Setelah meletusnya peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965 merupakan masa vakum bagi
kegiatan pertunjukan Ludruk. Baru pada tahun 1968 pihak TNI AD Dam VIII Brawijaya
mencoba untuk mengaktifkan kembali perkumpulan ludruk. Upaya itu disambut dengan
gembira oleh kalangan seniman Ludruk yang tidak terlibat kegiatan Lekra atau PKI. Pada
tahun yang sama juga diadakan musyawarah seniman Ludruk yang membahas tentang
sejarah perkembangan Ludrk dan usaha pembinaannya. Tidak kurang dari 23
perkumpulan Ludruk se Jawa Timur menghadiri musyawarah tersebut. Baru pada tahun
1971 oleh TNI AD Dam VIII Brawijaya, semua Ludruk dilebur menjadi beberapa unit
perkumpulan Ludruk diberi nama Ludruk Wijaya Kusuma I – V (lihat Supriyanto, 1992: 14).
Pada masa sesudah peleburan Ludruk ini Ngremo berkembang semakin memantapkan
dirinya mewujudkan karakter yang lebih tegas. Berkembang juga tidak hanya pada pada
pembentukan estetikanya, jangkauan penyebaran tetapi lebih mengarah pada
perkembangan style tertentu.
Beberapa seniman Tari Ngremo Ludruk yang potensial mewujudkan harapan-
harapan masyarakat tentang makna perjuangan. Dengan berorientasi pada figur-figur
tokoh pejuang setempat yang dikagumi, seniman Ngremo menghadirkan model model gaya
khas personalnya. Selanjutnya muncul Munali Patah dengan Ngremonya yang gagah dan
tenang, Bolet gaya Jombangan yang lebih cepat dan dimanis, Chattam AR gaya Malangan

Kritik seni 6
yang lehih dinamis dari gaya Surabayan. Karakterter dari setiap gaya tersebut merujuk
pada tokoh-tokoh pejuang Jawa Timur seperti: Cakraningrat, Sawunggaling, Jaka Bereg
atau Panji Laras, Pangeran Situbanda dan tokoh lain yang berkarekter tegas. Gaya-gaya
personal itu muncul sekitar tahun 1975-an ketika solidaritas kolektif mulai pudar. Sifat
individual masyarakat sudah mulai nampak ketika orbanisasi besar-besaran terjadi.
Surabaya sebagai ibukota propinsi Jawa Timur tak luput dari banjirnya
masyarakat desa untuk mengadu nasip. Kehidupan kota besar yang merupakan
pertemuan berbagai kebudayaan memberikan pengaruh yang luas pada kehidupan sosial.
Dampak yang nyata adalah semakin memudarnya sifat kolektif seperti gotong royong.
Ditambah lagi kesibukan aktifitas mencari nafkah, secara psikologis mengikis kesadaran
kebersamaan. Kondisi sosial budaya itu melatar belakangi munculnya perkembangan
Ngremo ke arah Style.

Pemanfaatan Tari Ngremo


Perkembangan mutakhir dapat dicermati mulai tahun 1980-an. Berdirinya
institusi-institusi kesenian resmi seperti SMKI (tingkat lanjutan), STKW dan IKIP (sekarang
UNESA) --tingkat pendidikan tinggi-- ditambah lagi dengan munculnya sanggar-sanggar
seni tari dari beberapa seniman semakin memantapkan kedudukan Ngremo di tengah
dialektika kebudayaan. Kegiatan penggarapan koreografi, musik pengiring, disain busana
dan faktor estetika pendamping lainnya oleh lembaga tersebut menjadi pertimbangan
penting dalam membentuk Ngremo sebagai pilar seni budaya Jawa Timur. Selanjutnya
produk baru itu didistribusikan lewat berbagai kesempatan tampil di tingkat regional,
nasional sampai pada taraf internasional memposisikan tari Ngremo pada dataran
prestisius. Berbagai gaya kemudian memacu diri untuk merebut posisi prestisius yang
telah dicapai oleh gaya tertentu yang mendahului. Gaya Surabaya yang merupakan awal
dari pencapaian posisi prestisius itu kemudian menjadi dasar dari pengenalan pengajaran
tari Ngremo di setiap institusi-institusi kesenian.
Pada Tingkat ini kesenian (tari Ngremo) secara terbuka dimanfaatkan sebagai
identitas seni budaya negara di tingkat lokal Jawa Timur. Berangkat dari keunggulan tari
Ngremo ini, pemerintah daerah Jawa Timur melalui bidang yang berkompeten mengurus
kesenian digerakkan untuk mengangkat dan mempertahankan tari Ngremo sebagai simbul
identitas Jawa Timur. Berbagai pembinaan kemudian dilaksanakan untuk secara terus
menerus menumbuhkan image kepahlawanan dalam konstruksi tari Ngremo sebagai
identitas kota pahlawan. Para seniman yang berbasis seni tradisional di angkat menjadi
bagian dari sistem birokrasi pemerintah. Pergelaran-pergelaran tari Ngremo terus-
menerus diprogramkan untuk mengisi kegiatan resmi pemerintahan, festival-festival,
lomba, juga misi kesenian dan promosi wisata budaya.

Melihat persoalan
Babak baru tari Ngremo
Keberlanjutan misi tari Ngremo sebagai alat legitimasi kekuasaan negara di tingkat
lokal memiliki sisi-sisi pelik yang patut untuk dicermati. Sekian banya peristiwa kesenian
yang diselenggarakan baik oleh pemerintah daerah maupun kegiatan atas inisiatif
masyarakat (instansi) pecinta seni seringkali melibatkan tari Ngremo. Ngremo seakan-
akan menjadi prasarat yang harus ada di dalam setiap penyelenggaraan apaun itu jenis
kegiatannya. Tak ketinggalan jenis pertunjukan wayang kulit, tayub, kentrung, dan acara

Kritik seni 7
peringatan tujuhbelasan (peringatan HUT kemerdekaan RI) dirasakan kurang lengkap
tanpa kehadiran tari Ngremo. Pada puncaknya Tari Ngremo dijadikan ajang prestasi dari
segala strata usia.
Kehadiran Institusi seni (SMKI, STKW, IKIP dan institusi seni yang lain) mempunyai
andil yang cukup penting dalam menggodok dan mendistribusikan produk-produk Ngremo
“baru”. Hal ini tentu tidak mengecilkan arti keterlibatan sanggar-sanggar tari dalam
memberikan warna khas Ngremonya. Meskipun dalam pergulatan budaya Ngremo produk
Sekolah tidak selalu berada di depan, setidaknya telah mendasari secara teknik,
pengalaman pentas, dan apresiasi terhadapnya. Ukuran estetik sebagai dasar
pembentukan karakter Ngremo pada tataran akademis telah diupayakan lebih awal oleh
institusi sekolah ini. Tari Ngremo kemudian menjadi bahan ajar yang wajib ditempuh oleh
setiap anak didik sebelum atau secara bersama sama siswa dikenalkan bentuk tari-tarian
yang lain.
Sejak tahun 1980-an hingga otonomi daerah digulirkan, tari Ngremo sebagai pilar
seni budaya Jawa Timur nampaknya belum surut dari misinya. Image tentang semangat
kepahlawanan yang terlanjur melekat sebagai muatan nilai dalam Tari Ngremo terus
menerus digelorakan. Ada semacam rasa tanggung jawab dari sebagian pihak untuk
melanggengkan kedudukan Ngremo sebagai alat legitimasi. Diciptakan seakan-akan begitu
penting kedudukan tari Ngremo oleh karenanya pemolesan wajah, perampingan tubuh,
dan kelincahan sepak terjangnya selalu diupayakan penyempurnaannya. Nampak begitu
marak dan meriahnya tari Ngremo menjadi berwarna warni wujud fisual atributnya.
Ngremo kemudian hadir tidak hanya sifat personalnya, tetapi ia menjelma sebagai
makhluk dengan seribu wajah. Kita dapat menyaksikan beraneka bentuk rupa dan
penyajiannya. Tergantung disajikan untuk siapa dan apa kegunaannya. Ketika berurusan
dengan partai tertentu misalnya: Ngremo merubah wajahnya menjadi pembela yang
pantang menyerah. Itu akan berbeda ketika harus berhadapan dengan dewan juri, para
pejabat, dan para penanggap yang lain.
Fenomena Ngremo seperti gambaran di atas cukup menarik untuk dikaji secara
kritis. Percepatan perkembangan Ngremo dari segala aspeknya mengalami pergeseran
nilai-nilai. Penafsiran-penafsiran baru ber-munculan atas pemahaman nilai kepahlawanan.
Penafsiran baru itu dirasakan sangat berfariasi. Kenyataan ini bisa difahami karena
banyak jumlah institusi seni secara bebas memberikan tafsir terhadap makna-maknanya.
Sifat marginalitas nampaknya yang memungkinkan melandasi kebebasan berekspresi dan
interpretasi tersebut. Nampaknya tidak ada keseragaman tafsir terhadap Ngremo dan itu
memang tidak perlu adanya penyeragaman. Keunikan setiap kemunculan Ngremo baru
dirasakan perlu untuk terus ditumbuhkan. Namun perlu dicermati lagi bahwa ketika
ekspresi Ngremo sebagai cerminan nilai kepahlawanan lebih mengumbar senyum akan
menimbulkan reaksi-reaksi. Tidak berarti berdosa menghiasi karakter tegas, gagah dan
berwibawa dengan sesekali tersenyum. Hanya saja penempatan dan porsi senyum yang
berlebihan perlu mendapat pertimbangan. Apakah ini merupakan wujud tafsiran baru atau
kurangnya referensi penari atas pemahaman nilai kepahlawanan. Gejala seperti ini
semakin marak bersamaan dengan bermunculannya penari-penari Ngremo dengan
beragam strata usia dan atau jenis kelamin wanita. Interpretasi baru atau mungkin karena
minimnya penghayatan makna Ngremo ini perjalanan perkembangan-nya menginjak jalur
yang krisis.

Kritik seni 8
Meskipun sejak awal pertumbuhan Ngremo bersifat fleksibel, ada semacam rambu
yang membatasi percepatan dan keluasan perkembangannya. Gambaran kewibawaan,
ketegasan, gagah berani sebagai ciri utama tari Ngremo seakan mentabukan unsur
diluarnya seperti senyum-senyum, tidak serius, melucu (dengan tambahan gerak-gerak
gecul) masuk dalam interpretasinya. Pergeseran penafsiran itu mendapat penilaian dari
beberapa kalangan yang rata-rata memberi statemen yang intinya mengharapkan tinjauan
ulang tentang program-program pelatihan yang melahirkan Ngremo cenderung pada
tingkat ketidak wajaran itu.
Kemunculan Ngremo yang mutakhir itu sudah merebak diberbagai kegiatan
pementasan Ngremo. Warna ganjil terlanjur dibawa memasuki sejarah perkemba-
ngannya. Ruang yang mencatat segala peristiwa keberlanjutan Ngremo itu seakan
mengingatkan kita untuk segera mengevaluasi keberadaan dan pengembangannya.
Sebagai langkah strategis penanganan kebermaknaan Ngremo sebagai dokumentasi nilai-
nilai yang masih dianggap mampu memberikan pemahaman nasionalisme (tingkat lokal)
pada publiknya, penilaian dari beberapa pemerhati tersebut di atas selayaknya mendapat
dukungan serius. Langkah selanjutnya adalah penyadaran dan kerelaan dari elemen-
elemen pendukung Ngremo aktif untuk menambah pengetahuan sebagai referensi yang
dapat mendukung interpretasi makna Ngremo.

Perspektif
Akhir abad 20-an ini wacana kebudayaan ditandai dengan persinggungan dan
berlanjut dengan persilangan budaya. Murgianto mendifinisikan persinggungan antar
kebudayaan dalam satu wilayah negara dengan istilah intrakulturalisme, dan kebudayaan
suatu negara dengan negara lain (asing) dengan inter-kulturalisme (Murgianto dalam
Jurnal MSPI, 1999: 61). Menjelaskan bahwa di Indonesia intra dan interkulturalisme dalam
konteks seni pertunjukan memiliki beragam bentuk dan motif. Tingkat intensitas dan
atmosfir yang beragam: bersifat rekreatif, populer, menghibur, kreatif, aktual, dan
eksperimental. Yang kesemuanya itu dengan maksud untuk membangun kesadaran dan
kerelaan dari setiap elemen kebudayaan yang bersentuhan untuk saling memahami dan
menghormati keberagaman sebagai kemampuan umumnya. Akhir dari proses itu
melahirkan karya kreatif yang tidak bersifat keberagaman dalam keseragaman tetapi
harmoni dalam keberagaman.
Mencermati tari Ngremo kita dapati persinggungan berbagai ideologi yang ada di
dalamya. Setidaknya dapat kita temukan ideologi politik, ekonomi, norma atau pranata
masyarakat, kepercayaan, cita-cita dan ideologi kesenian itu sendiri. Bebagai ideologi ini
kita temukan ketika merunut perjalanan tari Ngremo itu dari pembentukannya sampai
kehadirannya hingga kini. Kalau intra dan interkulturalisme jelas-jelas persinggungan
wujud kebudayaan (kesenian yang sudah menyata) melalui proses kolaborasi membentuk
sintesa kebudayaan apapun motif, bentuk dan intensitasnya. Untuk kasus Ngremo yang
terjadi adalah perbenturan faktor-faktor kebudayaan yang berupa pikiran-pikiran atau
ideologi. Pikiran yang paling dominan mendesak terwujudnya nilai Ngremo adalah
ideologi politik yang nampak sekali dengan sebutan kepahlawanannya. Persinggungan ini
kiranya tidak dikatakan sebagai proses inter dan intra ideologi atau pikiran-pikiran
kebudayaan.
Dalam Ilmu sosial kita menemukan istilah hegemoni. Hegemoni didasari oleh
konsep kekuasaan yang penopangnya adalah politik (Simon, 2001: 20). Jadi Ngremo

Kritik seni 9
merupakan wujud dari persinggungan yang tujuan utamanya adalah penguasaan. Ngremo
sebagai wujud kesenian rakyat dihegemoni oleh negara untuk tujuan kekuasaan.
Persoalan persinggungan, silang atau lintas budaya, idiologi, sebenarnya sudah sejak lama
terjadi di belahan dunia manapun. Yang terjadi di Indonesia adalah dampak dari pengaruh
akhir abad 20 ini yang sedang dan terus bergulir. Pada saat mana kemampatan budaya
dunia barat sebagai topik sentral terus mengemuka kemudian mencoba untuk mencari
nilai baru keluar dari sentra budayanya. Dunia timur yang dianggap kaum orientalime
sebagai budaya inferior dipertimbangkan kembali untuk dijajagi kemung-kinan nilai-niali
termasuk estetiknya.
Kekuasaan tidak selamanya buruk seperti monster. Ketika masyarakat dan negara
mempunyai cita-cita yang sama tentang kemerdekaan, kekuasaan memiliki gagasan untuk
bersama-sama masyarakat mewujudkan cita-cita itu. Lewat Ngremo Masyarakat
dibangkitkan semangatnya. Opini tentang perjuangan terus digelorakan lewat saluran
saluran termasuk kesenian. Kemampuan membangun opini nilai kepahlawanan pada
giliranya dapat menumbuhkan solidari-tas dan partisipasi masyarakat untuk secara
bersama-sama mewujudkan cita-citanya. Dalam konteks ini hegemoni diterapkan dalam
kerangka menumbuhkan kesadaran peran politik masyarakat dalam menemukan dan
menata kehidupan yang semestinya harus dicapai sebagai manusia merdeka.
Fungsi Ngremo menjadi berubah ketika situasi sosial menunjukkan perbubahan
yang signifikan. Kalau Ngremo pada perkembangan tertentu adalah kesenian barangan
dan uang sebagai sasaran utamanya, kemudian berubah menjadi propaganda politik dan
berubah lagi menjadi sekedar hiburan maka orientasi seni semacam ini setidaknya telah
melewati standar seni sebagai peneguh eksistensi kemanusiaan. Cermati pandangan
Helmut Lachenmann komposer Jerman. Dalam pidatonya di Donaueschinger Musiktage
1996 di menyatakan:
“Sebenarnya, tugas utama seni tiada lain untuk menggedor. Betapapun, pada suatu
saat, ketika gedoran sendiri telah ambruk, dan menjadi sekedar hiburan, pada saat
seperti itu provokasi bisa jadi hanya akan berhasil jika energi pembaruan radikal
bekerja sama dengan kekuatan kontrol diri yang artistik: seseorang hendaknya
membuka dirinya pada semua kriteria dan tradisi. Hanya dengan melakukan itu
seseorang mampu menyentuh ranah pengalaman baru.” ( kutipan Dieter Mack atas
Lachenmann dalam Jurnal MSPI, 1999: 30)

Lachenmann menekankan bahwa seni yang bersandar pada kesetiaan radikal dan kontrol
diri kreator hanya memiliki visi tunggal. Visi tunggal ini ditafsirkan sebagai wahana
pencerahan setidaknya bagi komunitasnya dan lingkungan sekitarnya. Betapapun Ngremo
mengalami berbagai penjelmaan misi, visinya, masih menempati kategori radikal. Ditilik
dari keseriusan pengenalan ide-ide sampai dengan penampakan artistik. Perubahan
pemanfaatan tari Ngremo untuk kepentingan apapun dalam wacana pertunjukan fleksibel
menjembatani pemahaman pada proses komunikasi estetik. Kidungan, dinamika gending,
disain busana, dimungkinkan bantuannya menyalurkan ide-ide estetik ke dalam
komunikasi yang beragam motif dan bentuk pemanfaatannya.
Yang perlu mendapat perhatian adalah pada konsep hiburan apakah seni harus
menciptakan kesan terhibur hanya dengan mengumbar senyum. Ataukah ada kesalahan
memaknai konsep hiburan dan tari untuk hiburan sehingga terjadi selib budaya. Yaitu
ketidak sejajaran hiburan sebagai motif dimensi psikhis dan seni sebagai wahana transmisi
ide-ide menghibur dengan nilai-nilai yang terlanjur melekat pada konstruksi tari Ngremo.

Kritik seni 10
Nampaknya ada senjang antara nilai Ngremo dengan konsep hiburan yang itu tidak atau
kurang bisa dipaksa akrabkan. Sehingga Ngremo dengan banyak senyum sudah
merupakan kesalahan, dan apakah benar bahwa prtunjukan hiburan itu harus dimaknai
dengan menari yang banyak senyum. Dalam hal ini hiburan perlu di kerangkakan ulang.
Ini untuk menempatkan bahwa merasa senang tidak harus dengan banyak ketawa.
Pada titik ini kita mencoba untuk mengenali apakah Ngremo dalam perjalanan
eksistensinya hanya sekedar berkesempatan untuk tampil dalam panggung budaya.
Kesempatan yang tidak memiliki andil sebagai pencerah lingkungannya. Ataukah hanya
sebatas peluang yang kurang atau tidak mampu memberikan kontribusinya bagi
kepentingan kemanusiaan. Atu malah justru masuk dalam jurang kesia-siaan sebagai
wacana estetik. Penilaian tentunya berdimensi kompleks, tergantung dari sudut mana
penilaian itu bermula dan untuk kepentingan apa tentunya. Terlepas dari penilaian ketiga
kategoti itu Ngremo telah menyata dalam menyemarakkan dialektika kebudayaan.
Perjalanan-nya telah membentuk dirinya menjadi matang sebagai dirinya sendiri yang
terus menerus akan tetap menjadi tesa dalam pergulatan kebudayaan. Dunianya akan
terus menarik untuk digeluti, dicermati, dikaji dan dimanfaatkan oleh yang selalu merasa
penting dengannya. Yang jelas Ngremo sebagai keunggulan tari khas Jawa Timur sampai
saat ini menjadi pilar budaya lokal genius dan dijadikan identitas kota pahlawan.

DAFTAR PUSTAKA

Brandon,James R,.
1974 Theater in Southeast Asia, Harvard University Press. Cambridge,
Massachussetts. Terjemahan Soedarsono 1996, ISI Yogyakarta.
Hartoko, Dick,.
1992 Karya Seni yaang Tidak Indah. Seni II/01. Januari.
Gertz, Clifford,.
1983 Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Terjemahan
Aswab Mahasin, Jakarta, Pustaka Pelajar.
Hawkins, M, Alma,.
2001 Bergerak Menurut Kata Hati. Terjemahan dari Moving From
Within : A New Method For Dance Making Oleh I Wayan Dibia,
Jakarta, MSPI.
Hidajat, Robby,.
2001 Evolusi Remo Malang, Bahasa dan Seni. 29.1.109-121, Malang,
Universitas Negri.
Kasemin, Kasiyanto,.
1999 Ludruk Sebagai Teater Sosial, Surabaya. Unair Press.
Mack, Dieter,.
1999 Konsep Peranakan Dan Silang Budaya, Bandung, Jurnal MSPI.
Moeljanto, D.S dan Taufik Ismail,.
1995 Prahara Budaya,Bandung, Mizan.

Kritik seni 11
Murgianto, Sal,.
1993 Ketika Cahaya Merah Memudar: Sebuah Kritik Tari, Jakarta,
Devitri Gana.

1999 Multi Kulturalisme Dalam Seni Pertunjukan: Ragam Bentuk dan


Motif, Bandung, Jurnal MSPI,

2002 Kritik Tari: Bekal dan Kemampuan Dasar, Akan Terbit.

2003 Membaca Sardono: Penari-Penata Tari, Penjelajah dan Pemikir


Budaya.
Peacock, James, L,.
1968 Rites Of Modernization: Symbolic and Sicial Aspects of
Indonesian Proletarian Drama, Chicago & London, The University
of Chicago Press.
Simon, Roger,.
2000 Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Supanggah, Rahayu,.
2001 Cerita Sekitar Kolaborasi Seni, Jurnal, Bandung, MSPI.
Supriyanto, Henri,.
1992 Lakon Ludruk Jawa Timur, Jakarta, Gramedia.
Wibisono, Broto, Tri,.
1981 “Ngremo”, Proyek Pengembangan Kesenian Jawa Timur.

Kritik seni 12

Anda mungkin juga menyukai