Anda di halaman 1dari 8

Kosmologi Permainan Jurnal Ilmiah Populer BENDE

2012 Rakyat sebagai Bentuk No.102(Taman Budaya Jawa Timur,


pendidikan Integrasi sosial Januari, Halaman 67 – 73 ) ISSN 1693-
budaya 3281/Nasional

KOSMOLOGI PERMAINAN RAKYAT


SEBAGAI BENTUK PENDIDIKAN INTEGRASI SOSIAL BUDAYA

Dr. Wahyudiyanto, M.Sn.


Pengajar pada Program Studi Seni Tari
STK Wilwatikta Surabaya

A. Permainan yang bukan main-main

Satu generasi sebelum kita sungguh merupakan benteng


terakhir bagi transformasi salah satu budaya tutur dalam
konteks kebudayaan nusantara. Dapat kita simak bagaimana
para orang tua kita dengan figur yang utuh dalam tata etika,
rasa empati, estetika, religiusitas, humoritas, sportivitas,
kreativitas, yang kemudian melahirkan pribadi karakteristik
karismatik, saat ini tidak lagi tampak pada pribadi kita. Seperti
kehilangan hampir separuh dari karakter yang demikian utuh
itu. Tentu kita tidak begitu saja membandingkan keduanya.
Namun kita mesti sadar bahwa ada yang tertinggal bagi sebagian warisan budaya yang
kita terima darinya ketika proses estafet kebudayaan terjadi sehingga pembentukan
sikap mental kita menjadi terpenggal-penggal.

Kepribadian generasi moyang sedemikian karakteristik karismatik itu diketahui dari


sejarah bahwa ternyata pembentukannya merupakan satu kesatuan integral dari
proses menyeluruh melalui budaya tutur. Budaya tutur sebagai sistim pendidikan
alamiah yang membumi, lebih tepatnya dikatakan sebagai sistim penerusan budaya.
Pendidikan menyeluruh sekaligus penerusan budaya melalui budaya tutur terintegrasi
sejak dini dari masa kanak-kanak dimana kepribadian sedang dalam pembentukan.
Masa yang di sana seluruh aktivitas intelegensia, emosional, spiritual, skill
psikomotorik menjadi jembatan menuju kepribadian masa depan. Dan kita ketahui
pada masa moyang kita seluruh kebutuhan perkembangan kepribadian anak menuju
dewasa telah tersediakan dengan baik. Konsepsi menyeluruh menuju berbagai
1
kecerdasan terencana dalam master plan pendidikan alamiah terselenggara secara
membumi meliputi ideologis, filosofis yang praksis pragmatis.

Tutur budaya ideologis yang ubudiah dititik beratkan pada praktek-pratek ritual
kolektif dan personal sekaligus yang mu’amalah (keduniawian) dilaksanakan melalui
bimbingan keagamaan dan kepercayaannya. Sebagai contoh sistim pesantren yang
bukan hanya praktek-prakter ritual dan mengkaji (nderes) kitab-kitab suci saja tetapi
hidup bertani, berladang, beternak, berdagang, dan jasa juga bagian dari sistim
pendidikan yang ditanamkan kepada para didiknya. Demikian pula kepercayaan asli
para moyang, dalam bermunajat kepada Sang Ada tak lepas dari keterlibatan pribadi
dan alam semesta untuk bersama-sama menuju puncak kelepasan. Begitu juga sistim
peribadatan pada kepercayaan yang menggunakan kekuatan mikro dan makro kosmos
untuk mencari kesempurnaan hidup maka ajaran ”keblat papat lim pancer”, ajaran
Astagina dan Astabrata adalah indicator suatu pendidikan hidup yang tumbuh dari
pemikiran kontemplatif ideologis yang bulat.

Tutur budaya filosofis sebagai pegangan mengarungi hidup ditunjukkan dengan


cerdas dalam pemikiran kontemplatifnya yang sirkuler. Bahwa hidup adalah bulat
menggelinding tanpa henti tetapi tetap dalam kesatuan diri, alam semesta, dan Sang
Ada. Perhatikan dalam rangkaian kata dalam suatu permainan anak yang tak juga kita
temukan maknanya :

Dok tri logendri nogosari-ri … ri-wul iwal-iwul jenang katul-tul… dolan


awan-awan ndelok manten-ten… titenono (m)besuk gede dadi opo-po…
podang (m)bako enak (m)bako sedeng-deng…. Dengklok eklak eklok
dadi kodok-dok… dok tri logendri nogosari-ri….

Dan seterusnya tak kunjung selesai.

Adalah sutu petunjuk bahwa pemikiran yang kontemplatif sirkuler ini membimbing
kita pada sebuah analisa bahwa ajaran falsafah para moyang tak sesederhana yang
kita bayangkan. Meskipun dalam untaian kata bersambung itu tidak kita temukan
maknanya tetapi setidaknya terdapat kausalitas yang bulat dalam pemikiran dan
praktek kehidupannya. Meliputi kebulatan tekat dan tindakan. Siklus hidup yang
dibingkai pemikiran kontemplasif, bulat tak berhenti seperti bola hidup yang
menggelinding (cokro manggilingan). Bulat dalam keterhubungan antara diri, alam
semesta, dan Sang Ada. Bulat yang selanjutnya terimplementasi dalam siklus hari
(pasaran), bulanan, dan tahunan. Selanjutnya menjadi dasar bagi sistim perhitungan
pola hidup rohaniah orang jawa.

Dalam tatanan praksis pragmatis moyang kita dibimbing oleh suatu pola tindakan
yang kompleks. Pola tindakan itu ditularkan secara membumi dalam bentuk neka-
ragam permainan yang memperhitungkan berbagai ranah kecerdasan. Kita pada usia
dini sebagian mungkin masih mengenal dan mengalami permainan-permainan itu.

2
Itulah: gobak sodor, jamuran, engklek, lompat tali, dakon, jumpritan, pate lele, onthong-
onthon bolong, gethok-gethok uwi, koprol, salibur, memedi sawah, dan masih banyak
lagi.

Secara psikologis neka-ragam permainan itu mengikat kita pada penghayatan


terhadap realita. Di dalamya kita menjalani dualisme sifat hidup yang paradoksal.
Terdapat persaudaraan sekaligus permusuhan, kebersamaan dan kompetisi, empati
dan antipati, tolong menolong dan pembiaran, sportivitas dan egoistis, sosialisasi dan
pengucilan, ketangkasan dan penghirauan, kecepatan dan kelambanan, kecermatan
dan kecerobohan, keseriusan dan main-main, dan masih banyak keberlawanan sifat
yang dipelajari secara alami. Di sana, di dalam permainan itu, kita waktu itu belajar
tindakan yang kaya nilai yang itu membekali secara kejiwaan dan membentuk
karakter kepribadian ke dalam kehidupan dewas kita.

Sifat tolong menolong dan gotong royong yang sangat kuat para pendahulu kita tak
lebih karena dibentuk oleh pola-pola permainan yang demikian itu. Ikatan emosional
yang kuat antar teman menjadikan tak mudah diadu domba oleh pihal lain. Suatu
permainan yang sangat murah, membumi, alami, lekat dalam harmoni lingkungan,
tempat, dan waktu. Seperti telah direncanakan bahwa setiap musim permainan
tumbuh dengan sendirinya dalam setiap perasaan kita untuk segera bermain. Suatu
tindakan yang begitu saja dijalani dengan keseriusan tertentu dengan target-targer
yang tidak kita sadari menjadi bagian konsumsi kejiwaan anak. Suatu permainan yang
tentunya bukan main-mian.

B. Permainan yang tak tergantikan

Satu generasi lagi menyusul kita, kemana semua permainan itu ?


Anak-anak kita lebih tau Residen Evil, Elien Sotter, Solitair, Star Wars, Virtual Cop, Call
of duty, Horizon egg, Mat cap, Alien sky, dan banyak mainan elektronik lainnya.
Bermian sendiri, ketawa sendiri, kecewa sendiri, menang sendiri, kalah sendiri, marah
sendiri, dan yang pasti dalam kesendirian karena sangat individual. Perkembangan
emosional yang terpenggal anak-anak kita jika aktivitas mereka dalam kesendirian
tanpa interaksi sewajarnya. Itulah kemajuan teknologi dan dampak negatinya. Anak
kita lebih tergiur pada dunia maya tanpa mengalami langsung permainan interaktif
sesama anak seusiannya.

Dengan permainan elektronik tentu anak berkembang kecepatan otaknya, ketepatan,


kecermatan dan penguasaan se luas-luasnya pada sebuah target suatu pada
permainan tertentu tetapi bagaimana dengan nilai sosialisasi, kebersamaan dalam
pertemanan, penghargaan kepada prestasi, kreativitas, sportifitas, solidaritas, belajar
kecakapan dalam mengambil keputusan, ungkapan-ungkapan kekesalan, kemarahan,
rasa senang kepada teman lainnya. Interaksi dinamis yang berpengaruh positif pada
kejiwaan itu tak lagi ditemukan pada permainan elektronik. Generasi kita
3
sesungguhnyalah merupakan media transformasi terakhir jika tidak segera anak
dikenalkan kembali pada budaya bermaian pragmatis filosofis itu. Pewarisan budaya
yang terpenggal oleh permainan instan dan bermaian membumi akan terkubur oleh
glamouritas dunia maya elektronik.

Out Bond saat ini memang sedang menggejala di masyarakat. Permainan cerdas adopsi
dari pemikiran strategis yang ditujukan untuk mendidik jiwa kepemimpinan dan
disiplin pribadi. Bugar, sehat dan fresh adalah capaian singkat permainan out Bond
yang saat ini menjadi idola kawula tua, muda, dan anak-anak, dengan berbagai tingkat
kesulitan tentunya. Namun demikian upaya untuk memodernisasi permainan menurut
hemat saya out bond tidak bisa menggantikan permainan rakyat yang ada sebelumnya.
Out bond sekedar memperkaya pengalaman fisikal yang tidak banyak spirit filosofinya.
Coba kita perhatikan suatu permaianan anak memedi sawah misalnya. Ada sair lagu
yang mengandung nilai sastra dan religius yang baik:

Lir kinantu sabuk cinde lir ginantu


Gelang-gelang lelayone putri maugung
Maugung sir ngundang dewa
Dudu dewa dudu suksma
Widodari tumuruna
Ulur-ulur ngungkuli langit
Golekana, tangisana
Uluke wong-wongan sawah

Di dalam out bond sudah barang tentu tidak ada yang seperti itu. Di samping
kebersamaan, keceriaan, pemainan Memedi sawah seperti ini anak juga merasakan
nilai keseriusan dalam tindakan, keheningan dalam bersair, dan yang pasti penurunan
nilai budaya dalam integrasi kebudayaan setempat yang temurun. Terdapat kesadaran
budaya yang tidak disadari dalam suatu permaianan. Di dalamnya ada transmisi
estetik, etik, dan sosialisasasi fisikal psikologis didasari oleh norma budaya dengan
kearifan yang khas. Mengikat kultur dalam relaksasi permainan yang alami.
Penanaman budaya kebersamaan, religiusitas, etika dan estetika yang tidak disadari
tetapi dilakukan dalam kesadaran penuh, itulah permainan rakyat kita.

Perhatikan lagi :

Hompimpa talitahum jemblem


Jemblem enak legi pasar malem bukak bengi

Banyak makna dan tujuan yang dapat dipetik pada konteks sair dalam permainan ini.
Satu sisi anak belajar memahami bagaimana jika musyawarah tidak menghasilkan
mufakat, maka pleno dilakukan untuk menentukan kemenangan seseorang atau
kelompok. Pada sudut lain syair yang tersurat menginformasikan beragam obyek dan
pandangan. Kemungkinan menghadirkan tanggapan beragam mengapa jemblem dan
apa pasar malem menjadi subyek dalam sair permainan ini.
4
Konstruksi permainan dan terbentuknya sair ini nampaknya bercerita tentang suatu
peristiwa actual pada masanya. Sebuah tanggapan atas kemakmuran suatu wilayah
negeri dengan menyebut makanan khasnya. Demikian pula hadirnya permainan
modern pada lokus tertentu yang disebut sebagai “pasar malem”. Permainan modern
yang telah masuk jauh ke dalam wilayah negeri menandakan bahwa modernisasi
merupakan wujud baru kebudayaan yang harus diterima juga menjadi bagian dari
kebudayaan setempat. “Jemblem” dan “pasar malem” adalah nilai paradoksal yang
tradisional dan modern bertemu dalam satu kebudayaan. Maka kehadirannya
ditanggapi secara cerdas seperti dalam sair permainan tersebut.

“Pasar malem” adalah peristiwa sinergis budaya baru yang dikemas dari berbagai
barang dagangan dan permaianan modern seperti dremolen, roda gila atau tong setan,
ayunan, melempar gelang pada ujung botol, dan lain-lain. Peristiwa budaya baru
modern yang hadir di tengah masyarakat tradisional yang sebelumnya hanya
mengenal ”jemblem” sebagai makanan tradisional. Sebuah nilai paradoksal yang ingin
diakur-akrabkan dalam sebuah sair permainan untuk menetralisir kondisi psikologis
anak. Itu barangkali kontekstualaisasi makna sair dalam permainan di atas.

Terbukti bahwa saat ini sair yang demikian itu telah bergeser kalimat yang tentu
membawa maknanya sendiri. Perhatikan sair yang baru itu:

Hompipa alaiyu gambreng


Ma Ina pakek baju rombeng

Bahwa yang akrab di dunia anak saat ini adalah kemiskinan. Baju rombeng identik
dengan para “gepeng” berkeliaran di lorong-lorong kota, sudut jalan, dan kolong
jembatan yang pada saat ini banyak dikenali oleh kita termasuk oleh anak-anak kita.
Begitu saja realita itu masuk dalam jiwa yang selanjutnya hadir menggantikan sair
permainan itu telah menggantikan maknanya.

Out bond sekali lagi adalah modernisasi permaianan yang tentu bersifat memperkaya
permainan yang telah ada. Artinya bahwa out bond tidaklah menggantikan permainan
rakyat yang filosofis. Namun demikian kondisi yang mengkhawatirkan adalah dimana
permainan yang neka ragam itu. Nampaknya sudah tidak lagi ditemui pada saat bulan
purnama tiba, di desa-desa, kampung-kampung, dan pelosok negeri, apalagi di kota.
Yang marak adalah play station banyak ditongkrongi anak-anak kita. Bahkan pada
jam-jam sekolah ditemukan anak-anak kita sedang khusuk menyimak balap motor,
Alien Sotter, silat, karate, di layar kaca yang dihadapnya. Mengenaskan memang. Siapa
yang bertanggung jawab atas perkembangan kepribadiana anak-anak ini mendatang?.

5
C. Festival Permainan Rakyat

Sangat mengejutkan ketika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propvinsi Jawa Timur
menyelenggarakan festival permainan rakyat. Dua puluh enan kelompok peserta dari
dua puluh enam kabupaten kota se Jawa Timur hadir mengikuti festival tersebut.
Menyaksikan penyajian permainan rakyat yang di kemas menjadi pertunjukan
permainan rakyat tentu terasa lain jika melihat permainan rakyat yang sesungguhnya.
Namun demikian festival permaianan rakyat di Gedung Cak Durasim pada tanggal
empat dan lima Juli 2009 sungguh mengingatkan kembali pada masa kanak-kanak.
Bagaimana wajah-wajah teman sepermainan dengan berbagai sifat dan karakter
dalam sekejab terbayang kembali. Sekejab pula rasa kerinduan yang sangat
menyesakkan dada. Kerinduan pada kehidupan alami pedesaan pada malam hari yang
hanya diterangi purnama dengan keceriaan anak-anak kampung.

Seperti laron-laron yang keluar dari sarang menuju terangnya lampu, anak-anak desa
keluar dari setiap pintu rumah yang temaram menuju suatu tempat yang luas
diterangi purnama. Keceriaan yang begitu lugas terpancar pada setiap jiwa yang masih
kecil mengharap kepuasan rohani dengan berkumpul bersama. Bermain dalam terang
purnama, bertetiak sepuasnya, bernyanyi, bersenandung sekedarnya dengan
memukul benda-benda di sekitar. Kaleng, botol, kenthongan bambu, ember, panci, dan
perkakas dapur lainnya yang sudah usang. Berkelompok-kelompok seakan
direncanakan sebelumnya setiap anak menuju jenisnya sendiri-sendiri bahkan ada
yang bercampur dalam satu lingkaran-lingkaran berembuk untuk menentukan
permainan apa yang akan dilakukan. Sungguh merupakan dunia ideal bagi anak untuk
merajut kesejatian hidup seusiannya.

Begitu tergambar lagi sesaat ketika saya menyaksikan festival permaianan rakyat.
Alami, membumi, sederhana tetapi kokoh membentuk karakter kita di masa
selanjutnya. Betapa tidak, ikatan emosional yang sangat kuat pada setiap individu
sampai se dewasa ini masih dapat dirasakan. Itulah kekuatan permainan anak dalam
kehidupan rakyat di desa-desa, kampung-kampung yang jauh dari keramaian kota
waktu itu.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seperti menyadarkan kepada kita bahwa ternyata
dunia bermain dalam permaianan rakyat saat ini memang benar telah tenggelam.
Anak-anak kita secara nyata sudah tidak mengenal lagi dalam kehidupannya
permainan seperti yang kita lakukan pada masa kanak-kanak kita. Kebersamaan
sudah tergantikan dengan permainan yang individual dalam dunia maya. Petualangan
dalam “jumpritan”, ketangkasan dalam “gobak sodor” keindahan senandung dalam
“cublak-cublak suweng” “salebur”, kecermatan berpantun bersahutan dalam “gethok-
gethok uwi” sudah tergantikan berpetualang anak dalam internet. Kreativitas,
sportivitas, kompetitif, dan interaksi sosio psikologis lainnya, kesemuanya sudah tidak
mendapatkan lahan yang alami dan wajar.
6
Seperti ditohok perasaan kita ketika menyaksikan permainan di atas panggung festival
permainan rakyat. Ada jarak nilai yang sangat tajam antara dunia anak yang terkemas
dalam panggung itu dengan realita permaianan anak sekarang yang sebenarnya masih
bisa diakur-akrabkan karena ternyata anak-anak kita masih menyukai permainan
rakyat itu. Ini artinya bahwa masih ada peluang besar bagi kita untuk mengenalkan
kembali dalam dunia nyata yang lebih dari sekedar di atas panggung. Tetapi penting
juga ketika pemerintah melalui program Pariwisata budaya mengemas permainan
rakyat itu menjadi sebuah pertunjukan yang tentu perlu ditata lebih baik lagi.

Dalam suatu perbincangan dengan penyelenggara festival, Hartini mengatakan bahwa


“disamping untuk menghidupkan kembali permainan rakyat yang semakin tidak
terdengar, tanggung jawab kita adalah paling tidak menunjukkan secara pertunjukan
bahwa ternyata budaya bermain dalam kehidupan rakyat kita adalah bermacam
ragam. Arif Rofiq menambahkan: “nilai sportifitas, kreativitas, kecermatan dalam
mengambil keputusan, memecahkan masalah, gotong royong, kejujuran, rasa tanggung
jawab, yang merupakan kearifan local tercermin dalam permainan rakyat ini. Nilai-
nilai yang baik itu pada perjalanan hidup anak dapat membentuk karakter dan jati
dirinya. Mengingat kembali permainan rakyat yang kaya nilai filosofi itulah
pemerintah melalui Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur merasa
berkewajiban memfasilitasi untuk mengungkap dan mengenalkan kembali berbagai
macam permainan rakyat yang ada di Kabupaten Kota di Jawa Timur kepada
Masyarakat melalui festival”.

Festival perdana permainan rakyat tahun 2009 ini memang dirasakan baru untuk
menjajaki bagaimana ke depan dapat menemukan bentuknya yang khas. Dua puluh
kelompok peserta menampilkan pertunjukan permainan rakyat mencoba menafsirkan
arahan umum yang diberikan oleh panitia penyelenggara. Sajian pertama adalah “yel-
yel” kemudian diteruskan permainan inti. Konsep kemasan ini cukup menarik karena
sebelum permainan inti didahului oleh “yel-yel”. Yel-yel sebagai awalan dimaksudkan
untuk menarik simpati pemirsa karena maksud yel-yel adalah bergairah, bersemangat,
ceria, bertujuan untuk merangsang minat penonton utuk memperhatikan lebih lanjut
pertunjukan inti. Namun demikian beberapa kelompok penyaji belum dengan baik
menerjemahkan maksud dan tujuan yel-yel, sehingga penyajiannya datar kurang
bersemangat.

Semua kelompok mendapatkan apresiasi yang sama pantas dari penyelenggara tetapi
diarahkan untuk menemukan konsep dan sajian yang paling mengesankan. Oleh
karena itu beberapa kategori penghargaan ditetapkan sampai dengan penemuan
penyajia terbaik, seperti: kategori yel-yel terbaik non rengking, kategori terbaik
permainan inti non rengking, kategori terbaik yel yel dan penyajian inti non rengking,
sampai dengan kategori keseluruhan dengan total penyajian terbaiknya. Kelompok
dari kabupaten Malang pada festival ini dinilai sebagai peserta yang mampu
7
memenuhi semua criteria sehingga tropy bergilir dari Gubernur Jawa Timur
disandangnya selain mendapat piagam, tropy, dan uang pembinaan yang diterima
semua peserta secara bertingkat.

Sebagai festival perdana tentu aka ada festival sejenis untuk tahun-tahun berikutnya.
Berbagai evaluasi dilakukan dapat dipakai acuan penyelenggaraan selanjutnya.
Harapan untuk mendapatkan penyajian yang lebih baik dan khas sebagai bentuk
pertunjukan permainan rakyat dengan kemasan musical, gerakan, komposisi, dan
berbagai atribut pendukung lain yang bukan tari memang diperlukan pemikiran
khusus, fokus dan berkelanjutan. Hal ini perlu dilakukan agar festival permainan
rakyat ini mendapatkan posisi yang pas pada kedudukannya jika dihadapkan pada
beberapa festival pertunjukan yang telah ada sebelumnya. Artinya disamping ada
festival tari, festival tari dolanan anak, festival seni pertunjukan, dan ada lagi festival
permainan rakyat yang masing-masing dikuatkan oleh kekuatan bentuk dengan
konsepsi yang argumentatif.

Hemat saya festival permainan rakyat ini potensial sekali sebagai satu ikon budaya
tutur yang filosofis, dapat dikemas dengan baik menjadi pertunjukan yang menarik.
Sebagai aset pariwisata budaya tentunya potensi ini sangat penting untuk
dikembangkan. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa permainan rakyat ini
perlu dihidupkan lagi dalam kehidupan nyata di masyarakat, oleh karena itu program
yang pantas dikembangkan lebih lanjut adalah penyelenggaraan festival permainan
rakyat di tingkat Kabupaten kota yang intinya lebih pada 1) rekonstruksi disertai
dokumentasi argumentatif (melalui kajian atau penelitian lapangan), 2) revitalisasi
untuk mendapatkan tanggapan kritis dari masyarakat, dan 3) sosialisasi kembali pada
masyarakat yang tujuannya untuk supaya diminati kembali sebagai tindakan nyata
anak bermain di masyarakat.

Harapan ini tentunya tidak berlebihan karena ketika anak-anak kita sudah jauh
mengenal dunia elektronik yang tinggi, canggih, tetapi individual, seakan anak-anak
kita cerdas tetapi seakan tidak menginjak bumi lagi, maka permainan rakyat yang
filosofis ini dapat diserap kembali untuk menyeimbangkan kecerdasannya, supaya
anak selain mendapatkan kemajuan ilmu, pengetauan dan teknologi tetap masih
memiliki empati yang baik pada diri, orang tua dan lingkungannya.

Selamat untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Selamat kepada
panitian penyelenggara, kepada peserta, selamat berkarya, dan Salam budaya.

Anda mungkin juga menyukai