BUDAYA SENI
DALAM TATAPAN NILAI BUDAYA TEMPORER
Wacana
Ketika Indonesia sampai pada titik nadlir seperti saat ini, yang terngiang di telinga
kita adalah hujatan, celaan, kritikan dan pernyataan sumbang lainnya sebagai ungkapkan
keluh kesah. Dengan ringannya orang mengatakan hukum sudah mati, demokrasi telah
sekarat, birokrasi lahan korupsi. Sedemikian itu adalah bahasa-bahasa keputusasaan
terlontar begitu. Kenyataan empiris itu nampak nyata dalam kehidupan masyarakat kita
saat ini. Kondisi ini berbanding paradoks dengan nusantara lama yang dikenal ramah,
sopan santun, andap asor, luwes dalam pergaulan antar suku, antar bangsa-bangsa, aman,
dan tenteram. Alamnya terbentang luas menghijau, subur bak mutu manikam, Adat
budayanya beragam, ke-bhinneka Tunggal Ikaan yang selalu terjaga, memesona bagi siapa
saja yang memandangnya. Keelokan alam dan keindahan wisata yang sulit dicari
bandingnya. Identitas bangsa yang telah melekat lama itu sekarang tiba-tiba lenyap ditelan
bumi.
Indonesia saat ini justru nampak bagai sarang teroris, pabrik dan pasar narkoba,
tempat uji coba budaya cabul, dan tempat berkembang biaknya modus-modus kriminalitas.
Kerusuhan antar suku, antar golongan, bentrok sesama keyakinan tak henti-hentinya
bahkan semakin marak saja. Kerusakan dan bencana alam susul menyusul. Gejala budaya
seperti ini dapat dipahami sebagai penanda memudarnya nilai luhur yang telah pernah
dimiliki bangsa ini. Nilai luhur yang dulu dijadikan rujukan dalam berbagai bidang
kehidupan tergadaikan dengan kehadiran modernitas yang dipahami setengah hati dan
kaprah, sehingga yang tersisa tinggallah jargon-jargon politis tanpa makna, terlupakan
dalam perilaku senyatanya. Tidak terlalu salah jika dikatakan masyarakat kita ada yang
terkesan sebagai segerombolan orang tanpa pemimpin, tanpa aturan, dan tanpa
kepercayaan, karena hampir tak ada pemimpin yang layak diteladani, tidak ada aturan yang
bisa diikuti (meskipun tumbuh subur peraturan-peraturan baru), dan tidak ada
kepercayaan yang bisa dijadikan pegangan (Soenarjo, 2006:3)
Perubahan mendasar memang telah terjadi di belahan dunia manapun termasuk
Indonesia. Globalisme yang hendak memonokulturalkan budaya bangsa-bangsa
mempengaruhi modernitas di Indonesia yang dalam perjalanannya semakin tidak
menampakkan ke-Indonesia-annya. Globalisme dengan jargon kebudayaan “dunia baru”
yang mengimpikan penyatuan budaya (universalisme budaya) sudah barang tentu
berselisih paham dengan ke-Bhinnekaan Indonesia sehingga muncul pertanyaan: apakah
1
Indonesia ke depan masih akan menjadi Indonesia dengan beragam nilai-nilai luhur seperti
yang pernah dimiliki nusantara lama tersebut. Pertanyaan ini muncul karena fakta sosial
menunjukkan bahwa dalam masyarakat Indonesia telah terjadi pergeseran orientasi nilai-
nilai yang cenderung mengglobal bukan meng-Indonesia. Sebagai Indikator terlihat pada
perilaku masyarakat dalam keseharian : dari selera memilih jenis hiburan, dan dari gaya
hidup yang ditampilkan.
Modernitas yang setengah hati menyebabkan Indonesia hanya menjadi masyarakat
konsumtif, gaya hidup biaya tinggi, mengedepankan penampilan tetapi tidak diiringi etos
kerjanya. Lebih berorientasi pada materi, etika moral dikesampingkan, tabu diperjual
belikan, maka dampak yang lebih buruk mengalir kepada praktek-praktek politik. Politik
kita justru cenderung sering menjadi sumber perpecahan, beragam nilai direduksi untuk
menentukan kebenaran tunggal atas nama partai, golongan, dan agama tertentu (karena
kebenaran diasumsikan sebagai nilai absolut yang hanya dapat ditentuka oleh kekuatan
kesepahaman mayoritas golongan agama tertentu saja) tanpa melihat keberagaman yang
tumbuh berkembang di sekelilingnya. Ekonomi menjadi sumber permusuhan, dan
kebudayaan lebih terposisi sebagai barang dagangan. Kenyataan ini benar-benar
menenggelamkan harta melimpah keberagaman kebudayaan bangsa yang telah melekat
sebagai identitas dan jati diri nusantara ini. Seni budaya kaya-neka dengan lokal wisdom
yang telah mampu menyatukan Bhinneka menjadi Tunggal Ika itu semakin redup sinarnya.
Nilai-nilai kearifan lokal yang mempererat keberagaman dalam payung nusantara kini
akankah hanya menjadi tinggalan sejarah masa lampau bangsa ini ?
2
keajaiban mahakaryanya, dan belum lama (2003) wayang telah ditetapkan oleh PBB
sebagai warisan/pusaka budaya dunia. Hasil karya cipta bangsa Indonesia yang dianggap
karya kebudayan paling canggih ini penuh muatan tata nilai yang masih memiliki kekuatan
untuk bertahan. Dimensi kehidupan manusia dan sifat-sifat kemanusiaannya terwadai
dalam pertunjukan wayang ini. Wayang masih memiliki manfaat politiko-kultural dan
ekonomi bagi para pewaris aktif dan pendukungnya, terutama masyarakat Jawa. Namun
Kita harus sadar bahwa Adikarya bangsa ini dan bangsa-bangsa lain bukan hasil bim
salabim atau sulapan. Ia hadir dalam posisi dan kondisi yang simbolis dan atau bukan hadir
dari kevakuman sosial.
Seni budaya merupakan intisasri setiap denyut nadi kehidupan masyarakat maka
dalam kenyataan sejarah Ia dibentuk dengan deraian keringat dan bahkan tetesan darah.
Artinnya bahwa seni budaya, karena ia adalah jiwa dari sekumpulan masyarakat maka ia
lahir sebagai bagian dari kehidupan, seni kemudian kembali menghidupi batin
komunitasnya, memberikan tuntunan, tatanan, bahkan tontonan yang mengibur. Dengan
demikian seni budaya mampu menghidupi dan hidup di berbagai dimensi lebih luas dalam
mempertahankan eksistensinya. Seni budaya oleh karena fungsinya demikian luhur maka
dikenal dengan sifat adiluhung, dalam pemahaman seni dapat memberikan pencerahan
kembali kepada masyarakat dan generasinya. Oleh karenanya seni budaya dengan
keunikannya lahir dari setiap strata kehidupan manusia dengan tatanan neka warna sosial
kemasyarakatannya.
Ketika masyarakat dominan pada kehidupan nilai religius, maka seni lahir untuk
memperkuat kepaercayaan dan keyakinannya. Ketika sekelompok masyarakat hidup
dominan pada nilai politik, maka seni dihadirkan untuk legitimasi sebuah kekuasaan.
Ketika masyarakat hidup dengan dorongan sosio-kultural dan ekonomi, maka seni
berfungsi langsung sebagai cermin kehidupan sosio budaya dan ekonomi, sehingga tanpa
disadari terdapat berbagai fungsi seni: seni persembahan, seni propaganda, seni hiburan
dan fungsi seni lain. Kesemuanya merupakan cerminan dari budaya masyarakatnya. Dalam
perspektif ini para pakar budaya memilah dan menyebutkan kebudayaan kecil yang berada
di desa-desa melahirkan seni budaya pedesaan yang besifat kerakyatan, berfungsi sebagai
penguat kgiatan sosial-kultural dan ekonominya. Di lain pihak kebudayaan besar dengan
simbol keraton sebagai pusat kebudayaan telah melahirkan seni budaya khas para
bangsawan yang elite dan klasik (tertata dengan aturan teknik dan estetiknya). Kesenian
Kraton lahir sebagai sakti raja berfungsi legitimasi bagi raja-raja yang sedang bertahta. (
Moedjanto, 1987: 79-80)
Tatkala Indonesia tumbuh kesadaran untuk menjadi negara berdaulat yang
kemudian pada puncaknya mencapai negara merdeka, sikap nasionalisme sebagai ideologi
baru sedang tumbuh dari republik yang merdeka ini. Peran negara dalam mewarnai pola
sikap dan tindakan masyarakanya menjadi fenomena kebudayaan. Dalam kehidupan
kesenian nampak sekali perubahan-perubahan fungsi lamanya untuk disesuaikan dengan
konteks masyarakat yang terus berubah. Pemikiran mistis mengalami pengikisan sejalan
dengan pola pikir baru yang terus bergulir. Pemanfaatan nilai-nilai sosial atas seni pada
periode ini telah membuka wacana baru. Kehadiran-istana-istana, yang kemudian menjadi
republik dan kesadaran masyarakat terhadap modernitas menciptakan ruang baru yang
lebih sekuler telah mengisi konteks seni. Abad 20 utamanya di Indonesia kehadiran seni-
3
seni baru yang fungsi lamanya telah bergeser. Nasionalisme adalah tatanan nilai baru yang
kemudian memasuki ruang-ruang estetis.
Brandon (1967:284) melaporkan:
In the late nineteenth early twentieth centuries, when European countries and the
United States had colonized most of Southeast Asia, lokal nationalists sometimes tried
to use theatre performances as a means of arousing the people against foreign rule.
Terjemahan
Pada akhir abad 19 dan awal aba 20 ketika Eropa dan Amerika menjajah sebagian
besar Asia Tenggara, kaum nasionalis lokal kerap kali mencoba menggunakan
pertunjukan-pertunjukan kesenian sebagai satu alat untuk membangkitkan rakyat
dalam melawan pemerintah asing.
4
bentuk seni yang lain, kehadirannya mengusung pesan kearifan lokal untuk mengarahkan
dan membimbing masyarakat dengan acuan normatif dalam bingkai estetiknya. Inilah nilai
luhur seni budaya bangsa yang selayaknya patut kita pertahankan muatannya dengan
terus mengembang-lestarikan bentuk-bentuknya agar kontekstual dengan tuntutan jaman.
Kita tahu bahwa budaya global dengan berbagai jenis tawaran hiburan tidaklah dapat kita
bendung kedatangannya tetapi kita dapat berupaya untuk membuat tandingan dengan
modal seni budaya sendiri yang kaya nuansa, citra dan rasa. Kita gali terus kekayaan
melimpah itu dengan cara dan kekuatan kita sendiri, memanfatakan teknologi yang ada
sehingga penyajiannya lebih menarik dan masyarakat menyukainya.
Potensi konseptual ini sungguh merupakan gagasan cemerlang untuk segera dicarikan
jalan implementasinya. STKW Surabaya sebagai bagian di dalamnya berupaya untuk
segera menyesuaikan diri, membangun visi dan misinya, sehingga di dalam
mengoperasionalisasikan gagasan konseptual tersebut dapat terejawantahkan secara
nyata. Gagasan luhur tersebut akan segera terangkat ke permukaan tentu saja harus
dengan dukungan manajemen yang baik, sumberdaya yang memadai, sarana-prasarana
yang cukup, penampilan karya-karya seni yang berkesinambungan, dan inovatif.
Memperhatikan bahwa Jawa Timur sebenarnya sangat membutuhkan pusat kajian seni
budaya secara menyeluruh mencakup wacana teknis estetis dan kognitif filosofis, oleh
karenanya STKW adalah satu-satunya harapan yang dapat diandalkan.
Tidak mengurangi arti penting peranan lembaga-lembaga seni yang lain seperti,
Institusi seni, Pendidikan seni (tingkat menengah atas dan PT Seni), sanggar-sanggar seni,
kelompok-kelompok dan kantong-kantong seni, maka lembaga-lembaga tersebut harus
terus menerus menunjuk-kan eksistensinya di tengah-tengah arus global ini. Memberikan
tawaran karya-karya seni dengan identitas kelompok masing-masing, menyiapkan anak
didiknya dengan kemampuan teknik dan apresiasi yang cukup. Menjalin kerja terpadu
5
antara kelompok yang satu dengan yang lain dalam rangka tampil bersama, berdialog,
diskusi, untuk mencari solusi-solusi kebekuan nilai yang telah digeluti selama ini. Kerja
terpadu dengan semangat kebersamaan sudah barang tentu akan melahirkan gagasan-
gagasan, ruang-ruang baru yang cemerlang dalam penciptaan, penyajian dan apresiasi.
Semangat ini yang harus segera di bangun di kalangan para penggiat seni, para event
organizer, lembaga-lembaga seni baik formal maupun non formal.
Mengingat semakin marak tawaran bentuk dan nilai dalam kerangka estetik dapat
kita maknai sebagai tantangan sekaligus peluang. Sebagai tantangan: seniman, organisasi
seni dan seluruh komponennya di hadapkan pada pilihan-pilihan. Mengikuti arus global
dengan menyerahkan bulat-bulat karya seni kita kepada kemauan pasar atau kita yang
harus menciptakan pasar. Mengikuti pasar saja berarti menggunakan pertimbangan untung
rugi dalam perpektif laku dan dapat uang (meskipun uang juga perlu). Menciptakan pasar
berarti aspek selektif dalam pengolahan artistik, teknik, estetik menjadi bagian penting
dalam produksinya. Begitu pula studi pasar sebagai aspek ekonomi turut dipertimbangkan,
maka unsur membina apresiasi publik merupakan strategi penting yang juga harus
dijalankan.
6
penggaalian nilai filosofi dan historikalnya. Dalam hubungan ini kreativitas seni terpasung
1.
DAFTAR PUSTAKA
Brandon, James R.
1967 Theatre in Southeast Asia, Harvard University Press. Cambridge,
Massachussetts.
Jarianto.
2004 Perkembangan Seni Pertunjukan di Jawa Timur, Disertasi Program
Doktor, Program Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya.
Moedjanto, G.
1987 Konsep Kekuasaan Jawa:Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram.
Jakarta: Kanisius.
Pannen, Paulina.
1
Jarianto. Perkembangan Seni Pertunjukan di Jawa Timur, Disertasi Untag Surabaya. 2004.
7
2005 Paradikma Baru Perguruan Tinggi Seni di Indonesia. Makalah,
Jakarta; Depateman Pendidikan Nasionak. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi
Soenarjo
2004 “Pertunjukan Wayang Kulit PurwoJawa Maa Kini:
Kajian Manajemen Strategik (Strategic Management)” . Disertasi
Program Doktor, Program Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya.
Suseno, Franz Magnis.
1982 Kita dan Wayang. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan
Nasional.