Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Ilmiah Populer BENDE

2006 Budaya Seni Dalam Tatapan No.35 (Taman Budaya Jawa


Nilai Budaya Temporer Timur, Edisi Juli, Halaman 9 – 17)
ISSN 1693-3281/Nasional

BUDAYA SENI
DALAM TATAPAN NILAI BUDAYA TEMPORER

Dr. Wahyudiyanto, M.Sn.


Pengajar pada Program Studi Seni Tari
STK Wilwatikta Surabaya

Wacana
Ketika Indonesia sampai pada titik nadlir seperti saat ini, yang terngiang di telinga
kita adalah hujatan, celaan, kritikan dan pernyataan sumbang lainnya sebagai ungkapkan
keluh kesah. Dengan ringannya orang mengatakan hukum sudah mati, demokrasi telah
sekarat, birokrasi lahan korupsi. Sedemikian itu adalah bahasa-bahasa keputusasaan
terlontar begitu. Kenyataan empiris itu nampak nyata dalam kehidupan masyarakat kita
saat ini. Kondisi ini berbanding paradoks dengan nusantara lama yang dikenal ramah,
sopan santun, andap asor, luwes dalam pergaulan antar suku, antar bangsa-bangsa, aman,
dan tenteram. Alamnya terbentang luas menghijau, subur bak mutu manikam, Adat
budayanya beragam, ke-bhinneka Tunggal Ikaan yang selalu terjaga, memesona bagi siapa
saja yang memandangnya. Keelokan alam dan keindahan wisata yang sulit dicari
bandingnya. Identitas bangsa yang telah melekat lama itu sekarang tiba-tiba lenyap ditelan
bumi.
Indonesia saat ini justru nampak bagai sarang teroris, pabrik dan pasar narkoba,
tempat uji coba budaya cabul, dan tempat berkembang biaknya modus-modus kriminalitas.
Kerusuhan antar suku, antar golongan, bentrok sesama keyakinan tak henti-hentinya
bahkan semakin marak saja. Kerusakan dan bencana alam susul menyusul. Gejala budaya
seperti ini dapat dipahami sebagai penanda memudarnya nilai luhur yang telah pernah
dimiliki bangsa ini. Nilai luhur yang dulu dijadikan rujukan dalam berbagai bidang
kehidupan tergadaikan dengan kehadiran modernitas yang dipahami setengah hati dan
kaprah, sehingga yang tersisa tinggallah jargon-jargon politis tanpa makna, terlupakan
dalam perilaku senyatanya. Tidak terlalu salah jika dikatakan masyarakat kita ada yang
terkesan sebagai segerombolan orang tanpa pemimpin, tanpa aturan, dan tanpa
kepercayaan, karena hampir tak ada pemimpin yang layak diteladani, tidak ada aturan yang
bisa diikuti (meskipun tumbuh subur peraturan-peraturan baru), dan tidak ada
kepercayaan yang bisa dijadikan pegangan (Soenarjo, 2006:3)
Perubahan mendasar memang telah terjadi di belahan dunia manapun termasuk
Indonesia. Globalisme yang hendak memonokulturalkan budaya bangsa-bangsa
mempengaruhi modernitas di Indonesia yang dalam perjalanannya semakin tidak
menampakkan ke-Indonesia-annya. Globalisme dengan jargon kebudayaan “dunia baru”
yang mengimpikan penyatuan budaya (universalisme budaya) sudah barang tentu
berselisih paham dengan ke-Bhinnekaan Indonesia sehingga muncul pertanyaan: apakah

1
Indonesia ke depan masih akan menjadi Indonesia dengan beragam nilai-nilai luhur seperti
yang pernah dimiliki nusantara lama tersebut. Pertanyaan ini muncul karena fakta sosial
menunjukkan bahwa dalam masyarakat Indonesia telah terjadi pergeseran orientasi nilai-
nilai yang cenderung mengglobal bukan meng-Indonesia. Sebagai Indikator terlihat pada
perilaku masyarakat dalam keseharian : dari selera memilih jenis hiburan, dan dari gaya
hidup yang ditampilkan.
Modernitas yang setengah hati menyebabkan Indonesia hanya menjadi masyarakat
konsumtif, gaya hidup biaya tinggi, mengedepankan penampilan tetapi tidak diiringi etos
kerjanya. Lebih berorientasi pada materi, etika moral dikesampingkan, tabu diperjual
belikan, maka dampak yang lebih buruk mengalir kepada praktek-praktek politik. Politik
kita justru cenderung sering menjadi sumber perpecahan, beragam nilai direduksi untuk
menentukan kebenaran tunggal atas nama partai, golongan, dan agama tertentu (karena
kebenaran diasumsikan sebagai nilai absolut yang hanya dapat ditentuka oleh kekuatan
kesepahaman mayoritas golongan agama tertentu saja) tanpa melihat keberagaman yang
tumbuh berkembang di sekelilingnya. Ekonomi menjadi sumber permusuhan, dan
kebudayaan lebih terposisi sebagai barang dagangan. Kenyataan ini benar-benar
menenggelamkan harta melimpah keberagaman kebudayaan bangsa yang telah melekat
sebagai identitas dan jati diri nusantara ini. Seni budaya kaya-neka dengan lokal wisdom
yang telah mampu menyatukan Bhinneka menjadi Tunggal Ika itu semakin redup sinarnya.
Nilai-nilai kearifan lokal yang mempererat keberagaman dalam payung nusantara kini
akankah hanya menjadi tinggalan sejarah masa lampau bangsa ini ?

Pengalaman Budaya Seni


Seni budaya sejak masa lampau telah nyata kontribusinya bagi peradaban bangsa
Indonesia. Di dalam dimensi religi, sosial kemasyarakatan, sosial politik, sosial ekonomi,
dan sosio-budaya yang lain seni telah mengukuhkan dirinya sebagai spirit dan daya
penyeimbang entitasnya. Seni dengan keanggunan lokalitasnya telah menjadi kebanggan
dan identitas masyarakatnya. Secara ekologis seni budaya menghadirkan mata rantai
berbagai dimensi yang kompleks semakin menebalkan nilai-nilai kemanusiaan. Seni
terangkat dari kearifan lokal memancarkan sinarnya kembali kepada komunitasnya,
menghaluskan rasa, memperteguh ideologi penciptanya, mempererat jalinan sosial
kemasyarakatan, mempertajam dialek etik dan estetik antar penghayatnya, menyiratkan
kenyamanan, kedamaian dan kesejahteraan batin bagi penerimanya dan kesejahteraan
lahir bagi para pelakunya. Seni budaya senyatanya merupakan intisari dari setiap denyut
nadi masyarakat pendukungnya kini telah tergadaikan oleh perubahan besar masyarakat
global. Nilai luhur telah luluh lantak karena masyarakat larut dan tergiur habis oleh bujuk
rayu keindahan semu masyarakat global. Sekali lagi modernitas yang dipahami secara
kaprah telah menelantarkan bangsa ini pada kebimbangan, kecabulan, dan krisis. Krisis
nilai, krisis kepercayaan, krisis identitas, dan moral bangsa menjadi runtuh. Pertanyaanya
kemudian adalah: siapakah yang berkewajiban membenahi kondisi amburadul sedemikian
puruk ini? Media apa yang dapat dipergunakan untuk menangkal dampak buruk dari
prahara perubahan ini? Demikian berat tantangan budaya yang harus dihadapi Indonesia
saat ini dan ke dapan.
Adikarya seni budaya warisan nusantara lama telah menjadi ikon bangsa ini. Bali
dikenal dunia dengan seni budaya dan keunikan sosial masyarakatnya, Borobudur dengan

2
keajaiban mahakaryanya, dan belum lama (2003) wayang telah ditetapkan oleh PBB
sebagai warisan/pusaka budaya dunia. Hasil karya cipta bangsa Indonesia yang dianggap
karya kebudayan paling canggih ini penuh muatan tata nilai yang masih memiliki kekuatan
untuk bertahan. Dimensi kehidupan manusia dan sifat-sifat kemanusiaannya terwadai
dalam pertunjukan wayang ini. Wayang masih memiliki manfaat politiko-kultural dan
ekonomi bagi para pewaris aktif dan pendukungnya, terutama masyarakat Jawa. Namun
Kita harus sadar bahwa Adikarya bangsa ini dan bangsa-bangsa lain bukan hasil bim
salabim atau sulapan. Ia hadir dalam posisi dan kondisi yang simbolis dan atau bukan hadir
dari kevakuman sosial.
Seni budaya merupakan intisasri setiap denyut nadi kehidupan masyarakat maka
dalam kenyataan sejarah Ia dibentuk dengan deraian keringat dan bahkan tetesan darah.
Artinnya bahwa seni budaya, karena ia adalah jiwa dari sekumpulan masyarakat maka ia
lahir sebagai bagian dari kehidupan, seni kemudian kembali menghidupi batin
komunitasnya, memberikan tuntunan, tatanan, bahkan tontonan yang mengibur. Dengan
demikian seni budaya mampu menghidupi dan hidup di berbagai dimensi lebih luas dalam
mempertahankan eksistensinya. Seni budaya oleh karena fungsinya demikian luhur maka
dikenal dengan sifat adiluhung, dalam pemahaman seni dapat memberikan pencerahan
kembali kepada masyarakat dan generasinya. Oleh karenanya seni budaya dengan
keunikannya lahir dari setiap strata kehidupan manusia dengan tatanan neka warna sosial
kemasyarakatannya.
Ketika masyarakat dominan pada kehidupan nilai religius, maka seni lahir untuk
memperkuat kepaercayaan dan keyakinannya. Ketika sekelompok masyarakat hidup
dominan pada nilai politik, maka seni dihadirkan untuk legitimasi sebuah kekuasaan.
Ketika masyarakat hidup dengan dorongan sosio-kultural dan ekonomi, maka seni
berfungsi langsung sebagai cermin kehidupan sosio budaya dan ekonomi, sehingga tanpa
disadari terdapat berbagai fungsi seni: seni persembahan, seni propaganda, seni hiburan
dan fungsi seni lain. Kesemuanya merupakan cerminan dari budaya masyarakatnya. Dalam
perspektif ini para pakar budaya memilah dan menyebutkan kebudayaan kecil yang berada
di desa-desa melahirkan seni budaya pedesaan yang besifat kerakyatan, berfungsi sebagai
penguat kgiatan sosial-kultural dan ekonominya. Di lain pihak kebudayaan besar dengan
simbol keraton sebagai pusat kebudayaan telah melahirkan seni budaya khas para
bangsawan yang elite dan klasik (tertata dengan aturan teknik dan estetiknya). Kesenian
Kraton lahir sebagai sakti raja berfungsi legitimasi bagi raja-raja yang sedang bertahta. (
Moedjanto, 1987: 79-80)
Tatkala Indonesia tumbuh kesadaran untuk menjadi negara berdaulat yang
kemudian pada puncaknya mencapai negara merdeka, sikap nasionalisme sebagai ideologi
baru sedang tumbuh dari republik yang merdeka ini. Peran negara dalam mewarnai pola
sikap dan tindakan masyarakanya menjadi fenomena kebudayaan. Dalam kehidupan
kesenian nampak sekali perubahan-perubahan fungsi lamanya untuk disesuaikan dengan
konteks masyarakat yang terus berubah. Pemikiran mistis mengalami pengikisan sejalan
dengan pola pikir baru yang terus bergulir. Pemanfaatan nilai-nilai sosial atas seni pada
periode ini telah membuka wacana baru. Kehadiran-istana-istana, yang kemudian menjadi
republik dan kesadaran masyarakat terhadap modernitas menciptakan ruang baru yang
lebih sekuler telah mengisi konteks seni. Abad 20 utamanya di Indonesia kehadiran seni-

3
seni baru yang fungsi lamanya telah bergeser. Nasionalisme adalah tatanan nilai baru yang
kemudian memasuki ruang-ruang estetis.
Brandon (1967:284) melaporkan:

In the late nineteenth early twentieth centuries, when European countries and the
United States had colonized most of Southeast Asia, lokal nationalists sometimes tried
to use theatre performances as a means of arousing the people against foreign rule.

Terjemahan
Pada akhir abad 19 dan awal aba 20 ketika Eropa dan Amerika menjajah sebagian
besar Asia Tenggara, kaum nasionalis lokal kerap kali mencoba menggunakan
pertunjukan-pertunjukan kesenian sebagai satu alat untuk membangkitkan rakyat
dalam melawan pemerintah asing.

Di Indonesia ketika pemerintah nasionalis berjuang mencari cara-cara untuk


mengerahkan dukungan masa, mass media konvensional --radio, bioskop, surat kabar--
ada di tangan Belanda. Tak ada yang lebih wajar daripada berpaling pada drama bayang-
bayang wayang, cara tradisional dari ekspresi budaya orang Jawa sebagai suatu alat untuk
menceritakan kepada rakyat tentang kebijakan pemerintah. Di Jawa Timur rombongan-
rombongan Ludruk juga disewa dan dibentuk oleh pemerintah ( Brandon, 1967: 289).
Pengalaman budaya seni dalam konteks nation state telah memposisikan seni
budaya sebagai peneguh eksistensi kemanusiaan. Pada tema radikal seni mampu
menggedor kesadaran kemanusiaan untuk terlibat dalam percaturan politik kebangsaan.
Masyarakat dibangkitkan semangatnya melalui kekuatan estetik untuk turut berjuang bela
negara. Pada tema mengihur seni telah mampu menjelma sebagai para pengelana
menyusuri ruang-ruang batin kemanusiaan untuk menyatakan kerinduan pada kedamaian,
kegembiraan dan kesejahteraan batin disamping pemahaman atas tuntunan dan tatanan
masih melekat di dalamnya. Sebagai komoditas ekonomi seni dikemas secara padat, cermat
dan marketable untuk tuntutan tourisme dengan tetap mempertimbangkan akar budaya di
mana seni tersebut terlahir. Dalam terminologi inilah sayogyanya biro kepariwisataan
bekerja sama dengan institusi seni ke depan secara terpadu memposisikan diri sebagai
entitas yang dapat dipercaya untuk mengemasnya.
Secara filosofis seni budaya bangsa adalah teks kebudayaan yang terangkat dari
keadaan sebagian dan atau keseluruhan kehidupan masyarakat yang melahirkan kemudian
memancar kembali memberikan pencerahan kepada komunitasnya. Mengarahkan,
membimbing dan memberikan batas tegas antara yang baik dan buruk, pantas dan
seronok. Seni Pertunjukan wayang misalnya, lakon yang diceritakan selalu menegaskan
bahwa apabila seseorang menanam kebajikan yang bersangkutan akan menuai kebajikan
pula dan sebaliknya. Lebih luas lagi wayang membuka kemungkinan-kemungkinan
tindakan dan pilihan manusiawi, tetapi tidak menawarkan jawaban-jawaban yang
sederhana dan mudah dicerna. Pertanyaan dibiarkan melebar, tanpa batas. Moral wayang
memberi pengetian tentang keaneka ragaman hidup manusia, tentang betapa beratnya
tanggung jawab yang menyertai sebuah pengambilan keputusan, tetapi ia tidak
memutuskan sesuatu. Kita sendiri harus menemukan sendiri apa yang menjadi kewajiban
kita sing-masing (Suseno, 1982: 8 – 11).
Dalam pemahaman ini wayang memberi contoh kehidupan yang baik dan yang
buruk kepada kita tetapi tidak mendikte dan memaksa. Tidak berbeda dengan bentuk-

4
bentuk seni yang lain, kehadirannya mengusung pesan kearifan lokal untuk mengarahkan
dan membimbing masyarakat dengan acuan normatif dalam bingkai estetiknya. Inilah nilai
luhur seni budaya bangsa yang selayaknya patut kita pertahankan muatannya dengan
terus mengembang-lestarikan bentuk-bentuknya agar kontekstual dengan tuntutan jaman.
Kita tahu bahwa budaya global dengan berbagai jenis tawaran hiburan tidaklah dapat kita
bendung kedatangannya tetapi kita dapat berupaya untuk membuat tandingan dengan
modal seni budaya sendiri yang kaya nuansa, citra dan rasa. Kita gali terus kekayaan
melimpah itu dengan cara dan kekuatan kita sendiri, memanfatakan teknologi yang ada
sehingga penyajiannya lebih menarik dan masyarakat menyukainya.

Kehadiran Lembaga Pendidikan Seni


Lebih kongkrit dapat kita simak bagaimana peranan dan kontribusi lembaga-
lembaga pendidikan tinggi seni di Indonesia terhadap tumbuh kembangnya seni budaya di
nusantara ini. Terdapat delapan perguruan Tinggi Seni di Indonesia yang satu diantaranya
baru lahir yakni Akademi Kesenian Melayu Riau. STKW Surabaya salah satu diantara
Perguruan Tinggi Seni di Indonesia yang berstatus swasta sebenarnya telah memiliki andil
yang cukup signifikan di dalam tumbuh kembangnya budaya seni dan seni budaya di Jawa
Timur. Berbagai event pertunjukan dan pameran banyak digagas dan diikuti oleh lembaga
ini. Para alumnusnya banyak berkiprah di dunianya masing-masing dengan berbagai
kekuatan dan kemampuan yang dimiliki. Jawa Timur semarak dengan tampilan karya-
karya seni, dan STKW Surabaya ada di dalamnya. Namun perlu diketahui keberadaan
lembaga ini saat ini benar-benar berupaya keras untuk menunjukkan eksistensinya.
Sebagai lembaga pendidikan, kelompok Perguruan Tinggi Seni se Indonesia ini
telah menghasilkan rumusan visi ke depan dengan jargon “Paradigma Baru Pendidikan
Seni di Indonesia” . Visi tersebut dirumuskan sebagai berikut:

Pendidikan tinggi seni Indonesia mampu menciptakan, memelihara, dan


mengembangkan seni, serta memperkaya nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan
hidup dengan dimensi kultural dan spiritual, serta peka dan tanggap terhadap
fenomena perubahan yang terjadi dalam masya-rakat. (Paulina Pannen, 2005)

Potensi konseptual ini sungguh merupakan gagasan cemerlang untuk segera dicarikan
jalan implementasinya. STKW Surabaya sebagai bagian di dalamnya berupaya untuk
segera menyesuaikan diri, membangun visi dan misinya, sehingga di dalam
mengoperasionalisasikan gagasan konseptual tersebut dapat terejawantahkan secara
nyata. Gagasan luhur tersebut akan segera terangkat ke permukaan tentu saja harus
dengan dukungan manajemen yang baik, sumberdaya yang memadai, sarana-prasarana
yang cukup, penampilan karya-karya seni yang berkesinambungan, dan inovatif.
Memperhatikan bahwa Jawa Timur sebenarnya sangat membutuhkan pusat kajian seni
budaya secara menyeluruh mencakup wacana teknis estetis dan kognitif filosofis, oleh
karenanya STKW adalah satu-satunya harapan yang dapat diandalkan.
Tidak mengurangi arti penting peranan lembaga-lembaga seni yang lain seperti,
Institusi seni, Pendidikan seni (tingkat menengah atas dan PT Seni), sanggar-sanggar seni,
kelompok-kelompok dan kantong-kantong seni, maka lembaga-lembaga tersebut harus
terus menerus menunjuk-kan eksistensinya di tengah-tengah arus global ini. Memberikan
tawaran karya-karya seni dengan identitas kelompok masing-masing, menyiapkan anak
didiknya dengan kemampuan teknik dan apresiasi yang cukup. Menjalin kerja terpadu

5
antara kelompok yang satu dengan yang lain dalam rangka tampil bersama, berdialog,
diskusi, untuk mencari solusi-solusi kebekuan nilai yang telah digeluti selama ini. Kerja
terpadu dengan semangat kebersamaan sudah barang tentu akan melahirkan gagasan-
gagasan, ruang-ruang baru yang cemerlang dalam penciptaan, penyajian dan apresiasi.
Semangat ini yang harus segera di bangun di kalangan para penggiat seni, para event
organizer, lembaga-lembaga seni baik formal maupun non formal.
Mengingat semakin marak tawaran bentuk dan nilai dalam kerangka estetik dapat
kita maknai sebagai tantangan sekaligus peluang. Sebagai tantangan: seniman, organisasi
seni dan seluruh komponennya di hadapkan pada pilihan-pilihan. Mengikuti arus global
dengan menyerahkan bulat-bulat karya seni kita kepada kemauan pasar atau kita yang
harus menciptakan pasar. Mengikuti pasar saja berarti menggunakan pertimbangan untung
rugi dalam perpektif laku dan dapat uang (meskipun uang juga perlu). Menciptakan pasar
berarti aspek selektif dalam pengolahan artistik, teknik, estetik menjadi bagian penting
dalam produksinya. Begitu pula studi pasar sebagai aspek ekonomi turut dipertimbangkan,
maka unsur membina apresiasi publik merupakan strategi penting yang juga harus
dijalankan.

Harapan Tentang Peran pemerintah dalam Budaya Seni


Sebagai implementasi UUD 1945 Pasal 32 secara yuridis negara telah menangani
kesenian dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 65/1951 yaitu tentang
pelaksanaan penyerahan sebagian daripada urusan pemerintah pusat dalam lapangan
pendidikan, pengajaran dan kebudayaan kepada propinsi. Ditegaskan dalam Bab II pasal. 2
ayat (1). Huruf f. bahwa pemerintah propinsi mempunyai tugas untuk memimpin dan
memajukan kesenian daerah. Peraturan Pemerintah tersebut ditindak lanjuti oleh Putusan
Bersama Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan Mentri Dalam Negeri
tentang cara melaksanakan Peraturan Pemerintah No. 65/1951 (LN No. 110 tahun 1951)
yang menyatakan bahwa Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten, Kota Besar, dan Kota Kecil
yang bersangkutan yang dalam hal ini dikuasakan oleh Kabupaten, Kota Besar, dan Kota
Kecil tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 65/1951 tugasnya sesuai dengan
Peraturan Pemerintah.
Diketengahkan dasar hukum tentang pembinaan kesenian tersebut dimaksudkan
untuk memberi gambaran bahwa kesenian adalah aset negara yang harus dikenai
pembangunan. Namun demikian sering dijumpai para penggiat dan peneliti seni budaya
merasa alergi dengan keterlibatan pemerintahan negara dalam mengurus kesenian.
Beberapa kesimpulan penelitian tentang keterlibatan pemerintah terhadap kesenian
memang bervariasi. Sebagian menyatakan bahwa pembinaan kesenian oleh pemerintah
negara cenderung merusak. Indikatornya adalah kuatnya faktor politik memasuki ruang
estetik sehingga unikum yang dibawanya tercabut. Namun sebagian juga menyimpulkan
bahwa peran pemerintah dalam membina kesenian bersifat pengayom. Kesimpulan yang
bervariasi ini sudah barang tentu didasarkan pada hasil analisis pada obyeknya.
Di Jawa Timur dalam sebuah kajian pembinaan kesenian (utamanya pada seni
pertunjukan) cukup menarik untuk kita simak. Dalam kesimpulan ditemukan bahwa
selama orde baru telah terjadi kooptasi atau keberpihakan yang dominan negara terhadap
kesenian sehingga kesenian yang beragam menjadi seragam, lebih berorientasi pada
estetika mekanik, penampakan aspek kinetik lebih dominan dari pada penggalian-

6
penggaalian nilai filosofi dan historikalnya. Dalam hubungan ini kreativitas seni terpasung
1.

Mencermati kesimpulan penelitian tersebut dapat disimak bahwa telah terjadi


kerawanan dalam perkembangan seni etnik. Penanganan yang cenderung pada kemauan
politik negara yang kurang mempertimbangkan aspek ketahanan lokal wisdom telah
dilakukan dengan kekuatan perundangan atau kebijakan-kebijakan politik. Disadari
bahwa terjadi kooptasi atau pembinaan yang bersifat “top down”. Negara lebih mengambil
peran aktif, inisiatif untuk menentukan ke arah mana kesenian akan dibentuk. Sementara
pelaku seni yang nota bene memiliki etnisitas seninya justru pasif, tidak mengambil peran
penting dalam tumbuh dan kembang seni miliknya.
Selanjutnya pembinaan kesenian pada masa otonomi lebih terbuka dan
demokratis. Seniman lebih banyak dilibatkan dalam menentukan wujud dan bangunan
teknik, artistik, dan estetik bahkan nilai-nilai filosofinya. Pemerintah dalam hal ini lebih
berperan aktif dalam memberikan fasilitas ruang-ruang kreatif, event-event, dan suport
dana produksi sehingga hasil yang ditemukenali menunjukkan ciri khas komunitas yang
membangunnya.
Berangkat dari temuan penelitian ini cukup menarik untuk dijadikan acuan dalam
membangun kesenian di Jawa Timur ini ke depan. Kreativitas dari para palaku
(senimannya langsung tanpa intervensi dari pihak yang merasa berkepentingan)
merupakan kata kunci untuk tumbuh kembangnya seni etnik. Kreativitas tentu dimaknai
sebagai pola pertahanan nilai-nilai lokal wisdom dengan kemampuan daya serap terhadap
budaya global saat ini. Karya-karya baru yang tumbuh dari para seniman kreatif ini
diharapkan ke depan mampu menghadapi seni budaya yang nampak baru bagi komunitas
atau individu yang datang dengan kelugasan, keseronokan dan mungkin dengan kehalus-
rayuan saat ini dan ke depan.

DAFTAR PUSTAKA

Brandon, James R.
1967 Theatre in Southeast Asia, Harvard University Press. Cambridge,
Massachussetts.
Jarianto.
2004 Perkembangan Seni Pertunjukan di Jawa Timur, Disertasi Program
Doktor, Program Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya.
Moedjanto, G.
1987 Konsep Kekuasaan Jawa:Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram.
Jakarta: Kanisius.
Pannen, Paulina.

1
Jarianto. Perkembangan Seni Pertunjukan di Jawa Timur, Disertasi Untag Surabaya. 2004.

7
2005 Paradikma Baru Perguruan Tinggi Seni di Indonesia. Makalah,
Jakarta; Depateman Pendidikan Nasionak. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi
Soenarjo
2004 “Pertunjukan Wayang Kulit PurwoJawa Maa Kini:
Kajian Manajemen Strategik (Strategic Management)” . Disertasi
Program Doktor, Program Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya.
Suseno, Franz Magnis.
1982 Kita dan Wayang. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan
Nasional.

Anda mungkin juga menyukai