Anda di halaman 1dari 26

GANDRANG BULO DALAM FUNGSI DAN SIMBOL

oleh
Muhammad Aulia Rakhmat
Pamong Budaya Ahli Pertama Bidang Kesenian
Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Potensi ekonomi Indonesia yang besar atas kekayaan budaya membuat pihak
asing berulang kali menggunakannya tanpa izin dan mengakui kekayaan budaya
Indonesia sebagai miliknya. Dari aspek ekonomi, dalam jangka panjang, tindakan-
tindakan tersebut dapat merugikan kepentingan nasional, karena semakin lama akan
semakin banyak Warisan Budaya Indonesia yang diambil alih oleh bangsa lain,
sedangkan dari segi kepentingan nasional di Indonesia sendiri belum dapat dikalkulasi
seberapa besar potensi keuntungan ekonomi secara berkelanjutan yang dapat
diperoleh dari kekayaan intelektual warisan budaya bangsa tersebut.
Sejumlah hasil penelitian menyebutkan bahwa keuntungan yang diperoleh dari
pemanfaatan secara komersial atas warisan budaya yang ada di berbagai Negara
mencapai angka hingga puluhan bahkan ratusan juta dolar AS pertahun
Dari aspek kesenian, tari memiliki arti yang penting karena bisa memberikan
berbagai manfaat, seperti terselenggaranya upacara-upacara tradisi tertentu karena tari
memiliki “makna” dalam menyampaikan maksud acara tersebut. Makna tari juga
terdapat dalam fungsinya yang lain, baik ia sebagai sarana hiburan maupun sebagai
sarana komunikasi antara seniman dan masyarakat pendukungnya. Dimana pun tari
berada, sudah pasti memiliki makna-makna tertentu sehingga ia tetap hadir dalam
kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman.
Mengenai hal ini Sidi Gazalba (1988:40) berpendapat bahwa
“Kenapa kesenian senantiasa ada dalam kebudayaan?. Karena ia
bersifat naluri masyarakat. Tiap masyarakat memerlukan kesenangan
estetika. Seperti pula tiap masyarakat menghendaki keselamatan, yang
mendorong mereka membentuk kesatuan sosial atau masyarakat. Kesenangan
estetika dalam kehidupan yang dikehendaki oleh masyarakat, menggerakkan
mereka kepada aktivitas kesenian.

keberadaan kesenian tradisional yang dipertahankan oleh suatu kelompok atau


masyarakat pasti masih mempunyai makna di tengah masyarakat. Makna itu bisa
menyangkut falsafah yang dimilikinya, spirit yang dikandungnya, syiar syariat yang
disampaikannya, sampai kepada nilai-nilai estetis yang dimiliki kesenian tersebut.
Sepanjang hubungan itu memiliki keterkaitan yang kuat, kesenian tetap tumbuh
sebagai bagian dari kehidupan masyarakatnya.
Salah satu tari yang eksis di tengah masyarakat suku Makassar adalah tari
Gandrang Bulo. Gandrang Bulo sebagai salah satu seni pertunjukan dan merupakan
aset budaya di Kabupaten Gowa. Keunikan Gandrang Bulo sebagai seni tradisi yang
menggabungkan unsur seni tari, musik dan teater. Gandrang Bulo sebagai kesenian
masyarakat Sulawesi Selatan merupakan seni pertunjukan yang berkembang pada
masa kolonialisme sebagai media propaganda kepada masyarakat untuk melawan
penjajah.
Tari Gandrang Bulo biasanya dimainkan oleh beberapa orang dengan suasana
yang ceria dan ramai, pertunjukan keseninan ini selalu diselipkan dialog yang kritis
namun tetap memberi kesan lucu dan menghibur. Dialog yang disisipkan dalam tarian
seperti masalah politik, sosial dan budaya.
Faktanya, tari ini dapat ditemukan di Kelurahan Paropo dan Desa Bulu Tana
Kabupaten Gowa. Itu berarti, bahwa tari ini memiliki makna penting bagi masyarakat
setempat. Ini juga yang membuat tari Gandrang Bulo penting dikaji kembali untuk
menelusuri kedalaman gerak, struktur, dan kekuatan simbolik sebagai kesenian yang
masih dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya.
Tari Gandrang Bulo merupakan cerminan identitas dari masyarakat suku
Makasar, gerak dalam tari ini pada umumnya sederhana dan berulang-ulang. Gerak
tari tersebut disusun sesuai dengan nilai-nilai yang mencerminkan kehidupan
masyarakatnya. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik utuk mengangkat judul:
Gandrang Bulo dalam Fungsi dan Simbol di Kabupaten Gowa sebagai topik penelitian
yang nantinya akan dibahas dalam laporan hasil penelitian

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka pokok yang dikaji dalam
penelitian ini adalah “Gandrang Bulo dalam Fungsi dan Simbol di Kabupaten
Gowa”. Terdapat permasalahan yang dapat diidentifikasi untuk kebutuhan
penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Bagaimana latar histori seni tari Gandrang Bulo di Kabupaten Gowa?
2. Bagaimana fungsi tari Gandrang Bulo di Kabupaten Gowa?
3. Apa makna dan simbol yang terkandung dalam tari Gandrang Bulo di
Kabupaten Gowa?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan latar histori seni tari Gandrang Bulo di Kabupaten
Gowa
2. Untuk mendeskripsikan fungsi tari Gandrang Bulo di Kabupaten Gowa
3. Untuk mendeskripsikan makna dan simbol yang terkandung dalam tari
Gandrang Bulo di Kabupaten Gowa

D. Manfaat Penelitian
1. Untuk dijadikan naskah akademik sebagai landasan ilmiah dalam pengusulan
penetapan Warisan Budaya Takbenda Nasional
2. Untuk dijadikan sebagai tinjauan historis bagi penelitian selanjutnya
3. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan untuk
pengembangan kebudayaan daerah dan kebudayaan Nasional.
4. Menambah khasanah penelitian Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi
Selatan..
5. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat luas tentang keberadaan tari
Gandrang Bulo

E. Metode Penelitian
Penyusunan Naskah Akademik Tari Gandrang Bulo dilakukan melalui studi
kepustakaan/literatur dengan menelaah berbagai data sekunder seperti hasil-hasil
penelitian atau kajian, serta literatur dan berbagai dokumen terkait. Guna
melengkapi studi kepustakaan dan literatur dilakukan pula diskusi (focus group
discussion) dan wawancara dengan mengundang beberapa pakar serta kegiatan
uji konsep di hadapan berbagai stakeholder, pakar, akademisi, maupun seniman,
serta dengan melakukan pengumpulan data lapangan ke Kabupaten Gowa. Data
yang diperoleh dari masukan pakar, maupun data yang berasal dari pencarian dan
pengumpulan data lapangan, selanjutnya diolah dan dirumuskan dalam format
Naskah Akademik.
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN EMPIRIS

A. Konsep Kebudayaan
Menurut Ki Hajar Dewantara, budaya merupakan hasil perjuangan
masyarakat terhadap alam & zaman yang membuktikan kemakmuran & kejayaan
hidup masyarakat dalam menyikapi atau menghadapi kesulitan & rintangan untuk
mencapai kemakmuran, keselamatan dan kebahagiaan di hidupnya. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), budaya adalah sebuah pemikiran, adat
istiadat, atau akal budi. Sedangkan secara tata bahasa, arti kebudayaan diturunkan
dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada cara berpikir manusia.
Menurut Geert Hofstede, budaya merupakan pemograman bersama atas
pikiran yang membedakan anggotaanggota satu kelompok orang dengan
kelompok lainnya. Menurut Linton, budaya adalah keseluruhan dari sikap & pola
perilaku serta pengetahuan yang merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan &
dimiliki oleh suatu anggota masyarakat tertentu. Menurut Edward T Hall, budaya
adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Menurut Selo Soemardjan,
kebudayaan merupakan sebagai hasil semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. Menurut Kluckhohn (dalam Syifa, 2017), tujuh unsur kebudayaan,
yaitu:
1. Sistem Religi (Sistem Kepercayaan)
2. Sistem Pengetahuan
3. Sistem Teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia
4. Sistem Kemasyarakatan (sistem sosial/kekerabatan)
5. Sistem Ekonomi (Pencaharian Hidup)
6. Bahasa
7. Kesenian
Dari pendapat para ahli di atas, maka dapat disarikan bahwa unsur-unsur
budaya adalah meliputi: perilaku-perilaku tertentu, gaya berpakaian, kebiasaan-
kebiasaan. adat istiadat. Kepercayaan, dan tradisi. Adapun ciri-ciri budaya, yaitu:
(1) Budaya bisa disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok ke kelompok,
atau dari generasi ke generasi; (2) Budaya harus dipelajari bukan menjadi bawaan;
(3) Budaya berdasarkan symbol; (4) Budaya bersifat selektif yaitu
mempresentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia yang berjumlah
terbatas; (5) Budaya bersifat dinamis, yaitu sistem bisa berubah sepanjang waktu;
(6)Unsur budaya saling berkaitan; (7) Etnosentrik (menganggap budaya sendiri
merupakan budaya yang terbaik) Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang
diakui sebagai identitas nasional.
Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998
(dalam Wikipedia, 2018b), yakni Kebudayaan nasional yang berlandaskan
Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan
merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan
harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan
dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa.
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-
puncak dari kebudayan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham
kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggal-ikaan makin lebih dirasakan
daripada kebhinekaan.
Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional,
serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat
dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya,
asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah
kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan
daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi
orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama. Nunus
Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional”.
Dari uraian sebelumnya dapat diringkas yaitu budaya adalah suatu cara
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi (wikipedia). Sedangkan kebudayaan adalah
keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adapt, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat (EB Taylor, 1832 –1917). Atau budaya itu merupakan cipta,
rasa dan karsa suatu masyarakat, sedangkan kebudayaan merupakan hasil dari
cipta, rasa dan karsa masyarakat tersebut. Atau budaya adalah dasar perilaku
manusia yang berkembang dari generasi ke generasi dimana dia hidup dan
tumbuh bersama dalam suatu masyarakat. sedangkan kebudayaan adalah hasil
ciptaan manusia yang berupa ide, aktivitas dan artefak. (pengantar antropologi
koentjayadiningrat).
B. Warisan Budaya Takbenda
Warisan Budaya Takbenda atau intangible cultural heritage bersifat
tak dapat dipegang (intangible/abstrak), seperti konsep dan teknologi; dan
sifatnya dapat berlalu dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman
seperti misalnya bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur
lain. (Edi Sedyawati: dalam pengantar Seminar Warisan Budaya Takbenda, 2002)
berdasarkan Konvensi 2003 UNESCO Pasal 2 ayat 2, Warisan Budaya
Takbenda adalah berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan,
keterampilan – serta instrumen, obyek, artefak dan ruang-ruang budaya terkait
dengannya- bahwa masyarakat, kelompok dan, dalam beberapa kasus,
perorangan merupakan bagian dari warisan budaya tersebut. Warisan Budaya
Takbenda ini diwariskan dari generasi ke generasi, yang secara terus menerus
diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok dalam menanggapi
lingkungan sekitarnya, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan
memberikan rasa identitas yang berkelanjutan, untuk menghargai perbedaan
budaya dan kreativitas manusia. Untuk tujuan Konvensi ini, pertimbangan akan
diberikan hanya kepada Warisan Budaya Takbenda yang kompatibel dengan
instrumen hak asasi manusia internasional yang ada, serta dengan persyaratan
saling menghormati antar berbagai komunitas, kelompok dan individu, dalam
upaya pembangunan berkelanjutan.
Mengacu pada konvesi UNESCO tahun 2003 tentang safeguarding of
intangible cultural heritage, Warisan Budaya Takbenda dibagi atas lima domain:
a) Tradisi Lisan dan Ekspresi; b) seni pertunjukan; c) adat istiadat masyarakat,
ritual, dan perayaan-perayaan; d) pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai
alam dan semesta; dan/atau e) keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.
Direktorat Jenderal Kebudayaan dibawah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan Pencatatan dan
Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Kegiatan Penetapan ini
dilakukan sebagai upaya untuk pelindungan dan pelestarian Budaya Takbenda
yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kegiatan Penetapan
melibatkan berbagai pihak seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Setiap
Orang, dan Masyarakat Hukum Adat. Karya Budaya Takbenda yang akan
ditetapkan adalah Karya Budaya Takbenda yang ada di wilayah Indonesia sesuai
dengan Konvensi UNESCO Tahun 2003
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pihak yang saat ini
bertanggung jawab untuk menaungi bidang kebudayaan, menyelenggarakan
kegiatan Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Kegiatan tersebut
dilaksanakan dalam rangka melestarikan (melindungi, mengembangkan,
memanfaatkan) budaya Indonesia. Kegiatan Penetapan Warisan Budaya
Takbenda Indonesia bertujuan: menjamin dan melindungi warisan budaya
takbenda Indonesia yang merupakan milik berbagai komuniti, kelompok, dan
perseorangan yang bersangkutan; untuk meningkatkan harkat dan martabat
bangsa serta memperkuat karakter, identitas, dan kepribadian bangsa;
meningkatkan apresiasi dan kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap keunikan
dan kekayaan ragam budaya Indonesia; meningkatkan kesadaran dan peran aktif
masyarakat dan pemangku kebijakan terhadap pentingnya Warisan Budaya
Takbenda; serta saling menghargai terhadap warisan budaya bangsa;
mempromosikan Warisan Budaya Takbenda Indonesia kepada masyarakat luas
dan Meningkatkan kesejahteraan rakyat.

C. Tari Gandrang Bulo


Gandrang Bulo berasal dari Bahasa Makassar Gandrang diartikan dalam
bahasa Indonesia yaitu pukul, dan Bulo diartikan sebagai bambu. Pementasan
Tari Gandrang Bulo diiringi musik tradisional yang terdiri dari potongan bambu,
gendang, dan suling atau alat gesek tradisional Makassar. Para penari Tari
Gandrang Bulo mengenakan pakaian adat tradisional Makassar. Penari
membawakan karakter lucu atau orang kampung yang lugu berhadapan dengan
pemeran pejabat atau orang berkuasa yang angkuh begitu lucu pola gerak para
pemain sehingga orang yang dikritik ikut tertawa Tari Gandrang Bulo juga
memiliki makna setiap gerakan yang mereka mainkan dan adapula syair lagu atau
tema lagu yang mereka bawakan setiap pentas diatas panggung dan syair lagu
yang dimainkan juga memiliki makna tersendiri. Jadi setiap gerakan yang mereka
mainkan diringi dengan musik gendang dan lantunan musik pasti memiliki makna
disetiap bait atau syair lagunya sesuai dengan tema yang diangkat dalam pentas
seni dan Tari Gandrang Bulo juga memiliki 5 sampai 15 pemain dan masing-
masing memiliki fungsi dalam mengiringi musik seperti main alat musik biola,
rebana, gong, gendang besar/kecil, dan katto-katto (alat musik bambu yang
khusus di mainkan oleh anak-anak).
Tari Gandrang Bulo sudah dikenal sejak jaman Kerajaan Gowa. Pada
awalnya, Gandrang Bulo hanya berupa tarian dengan permainan musik gendang
dan biola dari bambu. Tari Gandrang Bulo ini lazim disebut dengan Gandrang
Bulo Ilolo Gading, yang dinisbahkan pada salah satu perlengkapan musiknya
yang terbuat dari bambu lolo gading atau dalam bahasa daerah Makassar dikenal
bulubatti (sejenis bambu tertentu yang berbelang). Namun pada masa penjajahan
Jepang tahun 1942 mulai diselipi dengan dialog-dialog spontan yang disertai
gerak tubuh yang kocak oleh para seniman pejuang di zaman kemerdekaan
(Masnanaini,2011:63).

“Tahun 1942 Na Mandara I Tuan Nippon caddi mata


Na Passadia Bokong Latama ri Camba
Kasirati memang tongi I Balanda Bunrang mata
Nippon mandara Na gudang na tunu pepe”
(Tahun 1942 mendarat Tuan Nippon si mata sipit
menyiapkan bekal masuk ke daerah Camba
Memang kurang ajar Si Belanda bermata kabur
Nippon yang mendarat kok gudang-gudang yang dibakar)

Kutipan tersebut adalah bagian dari lakon dalam Gandrang Bulo yang
lazim disebut Gandrang Bulo 1942. Corak Gandrang Bulo macam ini dikreasi
secara spontan oleh para seniman pejuang di jaman kemerdekaan. Gandrang Bulo
1942 bisa dibilang karya awal dari perubahan bentuk pertunjukan Gandrang Bulo
seperti yang terlihat sekarang ini. Gandrang Bulo yang semula hanya berupa
tarian dengan permainan musik gendang dan biola dari bambu, ketika itu mulai
diselipi dengan dialog-dialog spontan disertai gerak gestur tubuh yang kocak.
Gandrang Bulo macam ini muncul pada masa pendudukan Jepang.
Munculnya kreasi baru ini adalah salah satu cara para seniman melawan penjajah,
baik Belanda maupun Jepang. Mereka tidak hanya melakukan perlawanan fisik
dan kontak senjata, melainkan juga lewat ekpresi kesenian di atas panggung.
Gandrang Bulo menjadi tempat mengeluarkan unek-unek bagi
senimannya, dan merupakan respon atas kondisi sosial yang mereka alami.
Sebagian besar seniman Gandrang Bulo berasal dari masyarakat pinggiran yang
acapkali menghadapi kesulitan-kesulitan saat berhadapan dengan para pejabat
seperti kepala desa, tentara, dokter atau oknum-oknum pemerintah yang tak
menghiraukan mereka. Merasa tak berdaya mereka tak menyikapi langsung
dalam kehidupan nyata, tapi dengan cerdas menampilkannya di atas panggung.
Saat masa istirahat kerja paksa Gandrang Bulo biasanya dimainkan oleh
para pekerja. Beberapa orang seniman tampil di depan teman lainnya diiringi
musik Gandrang Bulo. Lalu mereka mulai meniru-niru dan mencemooh gerak
gerik, gesture dan prilaku tentara Jepang. Karena diiringi musik ditambah
gerakan-gerakan yang kocak, maka wajar bila permainan ini menarik ditonton dan
diminati banyak orang. Lambat laun bentuk baru Gandrang Bulo ini dikenal
sebagai Gandrang Bulo 1942.

D. Fakta Empiris
Tari Gandrang Bulo merupakan tari tradisi yang berasal dari suku
Makassar, merupakan pertunjukan yang menggabungkan unsur musik, tarian dan
teater. dialognya menganduk lawakan sehingga para penonton terkadang ikut
tertawa dalam menyaksikan pertunjukan. Komunitas budaya yang melestarikan
kesenian ini tersebar diberbagai tempat seperti Gowa, Makassar, Maros,
Bulukumba, Jeneponto, Takalar.
Di Kabupaten Gowa terdapat beberapa sanggar seni yang sering
menampilkan dan mengajarkan Tari Gandrang Bulo ke masyarakat yakni,
Sanggar Remaja Paropo, Sanggar I Lolo Gading, Sanggar Seni Turikale, Sanggar
Kalegowa, Sanggar Pusaka Art dan Sanggar Mappakassere . Di Sanggar tersebut
bukan hanya melatih anak usia sekolah dasar saja, bahkan adapula dikalangan
orang tua ikut serta dalam pelatihan tarian ini. Saat latihan para pemain Gandrang
Bulo masih memakai peralatan musik tradisional lama dan alatnya terbuat
langsung dari bambu Bulubatti (bambu belang) yang berasal dari Kampung
Paropo Kabupaten Gowa, seperti gendang, suling dan semacamnya.

Bagi komunitas budaya atau sanggar seni, Tari Gandrang Bulo bukan
hanya sekedar ditampilkan dalam rangka menghibur penontonnya saja melainkan
juga dijadikan sebagai mata pencaharian. Melalui tarian ini mereka menghasilkan
uang dari berbagai macam panggung pertunjukkan pentas seni, baik yang
diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun swasta.

BAB III
LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS, DAN SOSIOLOGIS
A. Landasan Filosofis
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
32 ayat (1) menyatakan bahwa, “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Untuk mencapai
pemajuan kebudayaan ini, kita sebagai Bangsa Indonesia perlu bersyukur bahwa
telah dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa keragaman budaya, tradisi, adat
istiadat, kearifal lokal dan kesenian yang merupakan investasi masa depan dalam
membangun peradaban Bangsa.

Penyusunan Naskah Akademik dan Penelitian Gandrang Bulo


merupakan bagian dari upaya pemajuan kebudayaan yang pada hakikatnya
menuju pada terpeliharanya nilai-nilai budaya Bangsa. Penyusunan Naskah
Akademik dan Penelitian ini pada prinsipnya merupakan suatu pelaksanaan esensi
dari Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017 yang
menyatakan bahwa Inventarisasi Objek Pemajuan Kebudayaan terdiri atas
tahapan: a. pencatatan dan pendokumentasian; b. penetapan; dan c. pemutakhiran
data.

Tari Gandrang Bulo sebagai suatu kesenian tradisional yang merupakan


objek pemajuan kebudayaan, sebagai suatu objek pemajuan kebudayaan maka
ia perlu ditata, dipelihara dan diselamatkan atau dengan perkataan lain perlu
mendapatkan pelindungan

B. Landasan Yuridis
Landasaan yuridis yang dapat diinterpretasikan dengan pembangunan
kebudayaan bangsa Indonesia dijabarkan dalam Pasal demi Pasal Undang-
Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, yaitu :

1. Pasal 18 B ayat (2) (Amandemen II) menyatakan bahwa :


“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya semapanjang masih hisup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang”
2. Pasal 28C (Amandemen II) menyatakan bahwa :
ayat (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
manusia”
ayat (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
3. Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa:
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”.

Ekspresi budaya tradisional merupakan sebuah bentuk identitas budaya dan


didalamnya terdapat hak masyarakat tradisional, untuk itu perlindungan
terhadap ekspresi budaya tradisional perlu dilakukan guna menghormati dan
melindungi hak masyarakat tradisional.

4. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945
Pasal I ini menyatakan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia ditengah beradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya” Amanah
pasal ini tentunya dapat dipahami bahwa apabila kebudayaan yang kita miliki
ini bila dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, akan menjadi kendaraan yang
secara ekonomi dapat mendorong peningkatan kesejahteraan yang dirasakan
oleh masyarakat.

5. Pasal 33, pada dasarnya menyebutkan bahwa : Negara melindungi hajat hidup
orang banyak, kekayaan bangsa dan penyelenggaraan demokrasi ekonomi
demi kepentingan masyarakat luas, untuk sebesar-besarnya kepentingan
kemakmuran rakyat, secara berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
C. Landasan Sosiologis
Terdapat beberapa pertimbangan sosiologis yang perlu diuraikan terkait
dengan penyusunan naskah akademik tari Gandrang Bulo, yaitu:
Pertama, tari Gandrang Bulo pada dasarnya masih eksis dengan
hadirnya beberapa sanggar seni di Kabupaten Gowa, namun disisi lain masih
kurangnya kesadaran masyarakat untuk turut melestarikan tari Gandrang Bulo,
khususnya generasi muda yang lebih cenderung meniru budaya asing daripada
budayanya sendiri membuat tarian ini terancam keberadaannya.

Kedua, kenyataan bahwa kita tidak dapat menarik royalti kepada


Industri besar dan/atau pihak asing yang akan melakukan Pemanfaatan terhadap
Tari Gandrang Bulo sebagai Objek Pemajuan Kebudayaan untuk kepentingan
komersial, karena belum ditetapkannya OPK ini sebagai WBTB Nasional (UU
No.5 Tahun 2017 Pasal 37 Ayat 1)

Ketiga, perkembangan teknologi dan berbagai kemajuan dalam bidang


seni saat ini telah mencerminkan era digital di dalam kehidupan masyarakat.
Pendayagunaan ruang penyajian Tari Gandrang Bulo sudah tidak relevan lagi bila
disesuaikan dengan kondisi terkini sehingga perlu adanya penelitian terkait dalam
rangka pengembangannya

Keempat, dibutuhkan segera dokumentasi dan transfer pengetahuan tari


Gandrang Bulo mengingat sebagian besar usia seniman tari Gandrang Bulo
semakin menua. Kondisi sosial sebagaimana diuraikan tersebut berdampak besar
bagi keberadaan tari Gandrang Bulo

Kelima, makna filosofis dan nilai-nilai estetisnya belum banyak


diketahui oleh berbagai pihak. Uraian sosiologis tersebut setidaknya mendorong
perlunya disusun Naskah Akademik dalam rangka pengusulan penetapan Tari
Gandrang Bulo sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Gandrang Bulo
Kata Gandrang memiliki arti tabuhan atau gendang. Sedangkan kata Bulo
memiliki arti bambu. Sehingga Tari Gandrang Bulo secara harfiah memiliki arti tarian
yang diiringi oleh tabuhan gendang dan bambu sebagai instrumen utama. Tarian ini
juga bisa disebut dengan Gandrang Bulo Ilolo Gading, di mana lolo gading merupakan
jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik di tarian ini. Masyarakat setempat
juga menyebut jenis bambu ini dengan nama bulo batti.
Disebut-sebut Tari Gandrang Bulo telah muncul sejak zaman raja-raja Gowa.
Pada masa tersebut, tarian ini disebut juga dengan Tari Gandrang Bulo klasik. Namun
ketika penjajah mulai memasuki Sulawesi Selatan, tarian ini pun mulai berevolusi. Pada
zaman penjajahan tersebut, rakyat dibuat menderita atas berbagai tindakan sewenang-
wenang para penjajah. Mereka kerap dipekerjakan dengan tidak adil dan diperlakukan
kasar. Di sela-sela waktu istirahatnya, para pekerja tersebut mencoba menghibur diri
dengan menyanyikan lagu jenaka. Sesekali mereka menirukan gerakan-gerakan tentara
penjajah yang dibuat lucu sekaligus mengejek. Sering pula disisipi dengan dialog-
dialog spontan yang kritis dan mengandung ejekan pedas pada para penjajah. Ekspresi
tersebut diluapkan sebagai bentuk sindiran atas ketidakadilan serta tindakan kejam
penjajah pada masyarakat, yang sering menyuruh mereka kerja paksa, menyiksa,
menghukum, dan sebagainya. Biasanya mereka akan mengisi tarian dengan berbagai
gerakan yang menggambarkan tindakan penjajah pada mereka, penarinya akan
membuat lingkaran dan gerakan-gerakan lucu yang dilakukan secara bergantian.
Munculnya tarian ini adalah bentuk perjuangan para seniman pada zaman penjajahan.
Karena sarat makna sekaligus menghibur, tarian ini pun semakin berkembang dan
menarik minat masyarakat luas. Di era tersebut, kesenian ini mendapat nama Gandrang
Bulo 1942.
Selepas masa penjajahan, tarian ini masih dipertunjukkan tetapi memiliki
makna yang lebih luas. Banyolan atau sindiran dalam lagu yang didendangkan selama
tarian berlangsung akan berisi berbagai unek-unek yang dirasakan . Tentunya tetap saja
dilengkapi dengan berbagai gerakan lucu yang mengundang gelak tawa penonton.
B. Fungsi Gandrang Bulo
Seiring dengan perkembangan zaman, Tari Gandrang Bulo digunakan sebagai
media penyampaian kritik sosial. Di dalam pementasan ada unsur percakapan yang
membahas mengenai isu sosial politik hingga budaya. Supaya bisa lebih diterima oleh
penontonnya, pementasan dikemas dalam suasana yang lucu dan menghibur. Penari
pun harus tampak bahagia. Misalkan saja kisah penari yang memerankan masyarakat
lugu ketika berhadapan dengan penguasa angkuh. Penari harus memastikan pesan yang
ingin mereka sampaikan bisa dipahami penonton, sehingga yang menontonnya bisa
belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi di sisi lain harus tetap menghibur
penonton dengan lawakannya. Dahulu Tari Gandrang Bulo hanya dipentaskan oleh
orang dewasa. Namun kini lebih sering dipentaskan oleh anak-anak. Tarian ini biasa
diselenggarakan dalam acara pernikahan, penyambutan tamu maupun acara pembukaan
berskala lokal dan nasional. Karena keunikannya, Tari Gandrang Bulo pun kerap
dipentaskan di festival mancanegara.
Untuk pementasan anak-anak, mereka lebih banyak menggunakakan kreasi
gerakan yang lincah dan mengundang canda tawa. Diantaranya adalah gerakan
menggendong teman dari belakang, menirukan monyet dan vampir, hingga mengadu
badan. Bisa juga dengan membentuk formasi piramida dan perahu di atas laut. Riasan
kumis dan jenggot palsu pun membuat tampilan anak-anak ini semakin kocak. Biasanya
Tari Gandrang Bulo dipentaskan oleh banyak orang, dengan kisaran 14 orang penari.
Dalam tarian ini penari diberikan ruang improvisasi yang sangat besar. Tidak ada
formasi khusus dalam tarian ini. Namun penari haruS kompak dengan irama gendang
dan kecapi. Tempo musik cenderung cepat, dengan lagu bersyair bahasa Makassar.
Lagu yang biasa mengiringi tarian ini ialah Battu Rate Ma Ri Bulang. Namun bisa
disesuaikan pula dengan segmentasi tarian.
Tari Gandrang Bulo masih lestari hingga kini, bahkan telah menjadi kesenian
turun temurun. Seniman Tari Gandang Bulo bisa kita temui di Paropo, Makassar.
Daerah Paropo ini memang lekat kaitannya dengan Tari Gandrang Bulo, mengingat
hanya di daerah inilah jenis bambu bulo batti bisa ditemukan. Bambu ini merupakan
jenis bambu original yang digunakan dalam pementasan Tari Gandrang Bulo. Namun
sayangnya, jenis bambu tersebut kini tak ditemukan lagi
Sekitar tahun 1960-an, Tari Gandrang Bulo mulai populer di kalangan
masyarakat dan dipentaskan dalam acara-acara seremonial dan kerap tampil di acara-
acara pernikahan, pemerintah maupun partai-partai politik..
Sekitar tahun 1992 Tari Gandrang Bulo semakin dikenal di
masyarakat dan dipentaskan dalam acara-acara perhelatan seperti dalam acara
pernikahan, penjemputan tamu,acara festival budaya,dan acara pemerintahan sebagai
pembuka acara.
Pementasan Tari Gandrang Bulo diiringi oleh musik tradisional yang terdiri dari
potongan bambu, gendang, dan suling atau alat gesek tradisional Makassar. Para penari
tari Gandrang Bulo mengenakan pakaian adat tradisional Makassar. Penari
membawakan karakter lucu atau orang kampung yang lugu berhadapan dengan
pemeran pejabat atau orang berkuasa yang angkuh. Begitu lucu pola gerak para pemain
sehingga orang yang dikritik ikut tertawa
Tari Gandrang Bulo sudah dikenal sejak jaman Kerajaan Gowa. Pada awalnya,
Gandrang Bulo hanya berupa tarian dengan permainan musik gendang dan biola dari
bambu. Tari Gandrang Bulo ini lazim disebut dengan Gandrang Bulo Ilolo Gading,
yang dinisbahkan pada salah satu perlengkapan musiknya yang terbuat dari bambu lolo
gading atau dalam bahasa daerah Makassar dikenal bulubatti (sejenis bambu tertentu
yang berbelang). Namun pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 mulai diselipi
dengan dialog-dialog spontan yang disertai gerak tubuh yang kocak oleh para seniman
pejuang di zaman kemerdekaan (Masnanaini,2011:63).
Tahun 1942 Na Mandara I Tuan Nippon caddi mata
Na Passadia Bokong Latama ri Camba
Kasirati memang tongi I Balanda Bunrang mata
Nippon mandara Na gudang na tunu pepe

(Tahun 1942 mendarat Tuan Nippon si mata sipit


menyiapkan bekal masuk ke daerah Camba
Memang kurang ajar Si Belanda bermata kabur
Nippon yang mendarat kok gudang-gudang yang dibakar)

Kutipan itu adalah bagian dari lakon dalam Gandrang Bulo yang lazim disebut
Gandrang Bulo 1942. Corak Gandrang Bulo macam ini, dikreasi secara spontan oleh
para seniman pejuang di jaman kemerdekaan. Lebih lanjut dalam penuturannya,
Gandrang Bulo 1942 bisa dibilang karya awal dari perubahan bentuk pertunjukan
Gandrang Bulo seperti yang terlihat sekarang ini. Gandrang Bulo yang semula hanya
berupa tarian dengan permainan musik gendang dan biola dari bambu, ketika itu mulai
diselipi dengan dialog-dialog spontan disertai gerak gestur tubuh yang kocak.
Gandrang Bulo macam ini muncul pada masa pendudukan Jepang. Munculnya
kreasi baru ini adalah salah satu cara para seniman melawan penjajah, baik Belanda
maupun Jepang. Mereka tidak hanya melakukan perlawanan fisik dan kontak senjata,
melainkan juga lewat ekpresi kesenian di atas panggung.
Gandrang Bulo menjadi tempat mengeluarkan unek-unek seniman, merespon
kondisi sosial di sekitarnya. Sebagian besar seniman Gandrang Bulo berasal dari
masyarakat pinggiran yang acapkali menghadapi kesulitan-kesulitan saat berhadapan
dengan para pejabat seperti kepala desa, tentara, dokter atau oknum-oknum pemerintah
yang tak menghiraukan mereka. “Merasa tak berdaya mereka tak menyikapi langsung
dalam kehidupan nyata, tapi dengan cerdas menampilkannya di atas panggung,” lanjut
Djumakkara.
Saat masa istirahat kerja paksa, demikian tuturnya, Gandrang Bulo biasanya
dimainkan oleh para pekerja. Beberapa orang seniman tampil di depan teman lainnya
diiringi musik Gandrang Bulo. Lalu mereka mulai meniru-niru dan mencemooh gerak
gerik, gesture dan prilaku tentara Jepang. Karena diiringi musik ditambah gerakan-
gerakan yang kocak, maka wajar bila permainan ini menarik ditonton dan diminati
banyak orang. Lambat laun bentuk baru Gandrang Bulo ini dikenal sebagai Gandrang
Bulo 1942.

Diterpa Perubahan
Pada awalnya Gandrang Bulo sebenarnya sekadar tarian yang diiringi oleh
gendang. Seiring waktu tarian ini diiringi pula lagu-lagu jenaka, dialog-dialog humor
namun sarat kritik dan ditambah gerak tubuh yang mengundang tawa. Kadangpula
diselipkan Tari Se’ru atau Tari Pepe pepeka ri makka yang acap kali tampil sendiri di
berbagai panggung pertunjukan, namun begitu oleh masyarakat sekitar tetap saja ia
dikenal sebagai bagian pertunjukan Gandrang Bulo.
Komposisi Gandrang Bulo 1942 jauh berbeda dengan Gandrang Bulo versi
awal. Bentuk awal kesenian ini sudah ada sejak jaman raja-raja Gowa, hanyalah tarian
bambu hasil kombinasi alat musik bambu, gendang dan biola. Gandrang Bulo ini lazim
disebut dengan Gandrang Bulo Ilolo gading, yang dinisbatkan pada salah satu
perlengkapan musiknya yang terbuat dari bambu lolo gading (nama jenis bambu di
Kampung Paropo, Makassar).
Saat ini, perubahan Gandrang Bulo bukanlah hal yang aneh. Lantaran
perubahan itu, tuturnya, untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang
ada. Sekitar 1942, misalnya, ketika perang melawan penjajah berkobar, kaum seniman
pun tak mau kalah. Mereka membangun basis-basis perlawanan dari atas panggung.
Gandrang Bulo pun disulap bukan sekadar tari-tarian, melainkan tempat pembangkit
semangat perjuangan dengan mengejek dan menertawakan penjajah dan antek-
anteknya. Gandrang Bulo, ketika itu, lantas menjadi kesenian rakyat yang amat populer.
Bagi seniman seorang seniman, pengalaman hidup pribadi adalah bahan humor
yang paling berharga saat beraksi di atas panggung. Misalnya tentang janji-janji
pemerintah yang mau memberikan perlengkapan kesenian dan membantu kehidupan
para seniman yang ternyata hanya tinggal janji belaka. Juga pengalaman sehari-hari
seperti biaya pengobatan yang mahal, lapangan pekerjaan yang terbatas, perilaku
tentara, dan peristiwa lain yang terekam baik dalam memorinya. Lewat aksi-aksi
teatrikal dan humor-humornya yang segar di atas panggung, seniman Gandrang Bulo
mampu merekam ulang peristiwa itu dengan berbagai plesetan dan satir.
Baru sekitar akhir 1960-an, Gandrang Bulo mengalami kreasi ulang. kreasi baru
itu dikomandani oleh Dg Nyangka, seniman asal Bontonompo, Gowa. Mulai saat itu
Gandrang Bulo dikenal dalam pentas-pentas tarian dalam acara-acara seremonial.
Gandrang Bulo macam inilah yang belakangan ini kerap tampil di acara-acara resmi
pemerintah maupun partai-partai politik. Namun begitu, meski diterpa berbagai
perubahan, toh Gandrang Bulo Ilolo Gading maupun Gandarng Bulo 1942 ini tak
pernah kehilangan tempat. Grup-grupnya tersebar di berbagai tempat seperti Gowa,
Makassar, Maros, dan Takalar. Gandrang Bulo, demikian mengutip Kalimuddin Dg
Tombong, menjadi tempat bebas seniman kampung mengekspresikan problem mereka
sehari-hari.
Jiwa Indonesia yang jujur, berani, gigih, gotong royong dan kreatif terwakilkan
lewat tarian yang menghentak dinamis ini. Kejujuran mengungkapkan kebenaran,
keberanian menyampaikan pendapat, kegigihan meraih cita-cita, gotong royong dalam
spirit kebersamaan dan kreatifitas tinggi mengemas tarian ini menjelma tak sekedar
menjadi produk budaya namun juga sebagai representasi upaya melontarkan aspirasi
secara kocak, tajam, independen namun elegan. Buat saya inilah sebuah perwujudan
Mahakarya Indonesia nan agung dan heroik.
Battu rate ma’ ri bulang…
ma’ rencong-rencong, ma’ rencong-rencong….
ma ku ta’nang ri bintoeng…..
apa kananna attudendang baule…
“Bunting lompo jako sallang”…

Aku baru tiba dari bulan…


Disana aku menari-nari…
aku bertanya kepada bintang-bintang…
tahukah kamu apa jawabnya kawan…
“Kamu akan berpesta pernikahan yang sangat meriah”…

Respon kondisi sosial


“Gandrang Bulo menjadi tempat mengeluarkan unek-unek mereka, merespon
kondisi sosial di sekitarnya. Sebagian besar seniman Gandrang Bulo berasal dari
masyarakat pinggiran yang acapkali menghadapi kesulitan-kesulitan saat berhadapan
dengan para pejabat seperti kepala desa, tentara, dokter atau oknum-oknum pemerintah
yang tak menghiraukan mereka.
Suara kaum pinggiran, mungkin itu yang hendak ditandaskan para seniman
Gandrang Bulo ini. Masyarakat pinggiran yang ternyata memiliki cara sendiri dalam
merespon berbagai tekanan sosial dan struktural yang menimpanya. Lewat Gandrang
Bulo, mereka secara satiris menertawakan kehidupan dan menggugat persoalan dalam
rupa humor yang menghibur.
Merasa tak berdaya mereka tak menyikapi langsung dalam kehidupan nyata,
tapi dengan cerdas menampilkannya di atas panggung. Sebagai kesenian rakyat
Gandrang Bulo 1942 memang memiliki kekhasan. Ia tidak mewakili panggung negara,
tidak juga panggung partai politik yang kerap dimainkan di gedung-gedung besar dan
hotel-hotel yang wah. Pentas Gandrang Bulo 1942 adalah rekaman sosial kehidupan
masyarakat pinggiran

Bentuk Penyajian Tari Ganrang Bulo


Tari Ganrang Bulo merupakan tari tradisi yang menggabungkan

unsur musik, tarian dan dialog yang bersifat lawakan sehingga para

penonton terkadang ikut tertawa dalam menyaksikan pertunjukan.

Pementasan tari Ganrang Bulo diiringi musik tradisional yang terdiri dari

potongan bambu, gendang, dan suling atau alat gesek tradisional

Makassar. Para penari tari Ganrang Bulo mengenakan pakaian adat

tradisional Makassar. Penari membawakan karakter lucu atau orang

kampung yang lugu berhadapan dengan pemeran pejabat atau orang

berkuasa yang angkuh. Begitu lucu pola gerak para pemain sehingga

orang yang dikritikikut tertawa.

Adapun bentuk penyajian Tari Ganrang Bulo yang akan diuraikan

dalam beberapa aspek yang mendasari penampilan tarian ini, di

antaranya: ragam gerak, pola lantai, tempat pertunjukan, musik iringan,

kostum, tata rias.

a.) Ragam Gerak Tari Ganrang Bulo

Bentuk penyajian Tari Ganrang Bulo meliputi Ragam gerak, pola

lantai, kostum, arena pertunjukan dan musik iringan tari, dalam

kelima komponen ini setiap sanggar punya cara tersendiri dalam

menyajikannya namun secara umum memiliki lima ragam gerak,

yaitu:

Ragam 1, berbaris ( Abbarisi )

Dengan suasana yang masih tenang penari berbaris

Horisontal memberi hormat kepada tamu sambil menabuh


Bambu ataupun katto-katto mengikuti musik iringan tari,

penghormatan ini hanya dilakukan dua kali, yaitu awal

masuk dan penghormatan untuk keluar arena atau

permainan selesai.

Ragam 2 , menabuh Bambu (ammeppe)

Gerakan ini penari menyondongkan badan kekanan,

kekiri sambil menabuh Bambu, gerakan ini dilakukan

apabila pergantian komposisi sebagai penghubung gerakan

selanjutnya. Gerakan ini dikatakan gerakan menabuh

bambu dikarenakan hentakan tabuhan mengikuti tabuhan

gendang musik pengiring.

Ragam 3 , berpasangan ( tassimbung )

Dalam gerak ini penari masing – masing saling

berpasangan sambil melompat- lompat bergantian, pada

gerakan ini penari bernyanyi lagu tarian Ganrang Bulo

sambil menabuh bambu dengan kegembiraan, durasi waktu

gerakan ini agak cukup lama dikarenakan penari bergerak

sambil bernyanyi lagu tarian.

Ragam 4 , bersyair (akelong)

Pada ragam ini yang dimaksud bersyair adalah

dimana penari masing- masing bresyair mendendangkan

syair biasanya Battu ratema ri bulang mengikuti pola lantai

yang telah ditentukan,


D. Musik Pengiring.

Musik pengiring merupakan salah satu kebutuhan utama tari,

karena berfungsi sebagai pengiring, pembentuk suasana dan dapat

memperkuat tekanan gerak tari yang nantinya berpengaruh terhadap

imajinasi penonton. Semenjak pertumbuhannya tari senantiasa

diikuti oleh iringan musik baik itu yang berasal dari suara atau vokal

manusia maupun dari benda-benda lain.

Penggarapan suatu tarian membutuhkan pemikiran mengenai

keindahan gerak serta maksud dan tujuan harus seimbang, sehingga

musik sebagai pengiringnya dapat selaras dan serasi dengan apayang

diungkapkan oleh gerak-gerak tari tersebut. Fungsi musik dapat

dibagi menjadi empat bagian yaitu memberi irama (membantu

mengatur waktu), memberi ilusi dan gambaran suasana, membantu

dan mempertegas ekspresi gerak. Penyemangat bagi penari yang

kadang-kadang mengihlami.

Berdasarkan jenis tariannya, maka musik iringan Tari

Ganrang Bulo menggunakan alat musik tradisi. Ritme atau pola

irama musik Tari Ganrang Bulo bersifat dinamis, kadang mengalun

perlahan dan kadang pula cepat. Irama gerak Tari Ganrang Bulo

disesuaikan dengan ritme musik. Adapun alat musik yang digunakan

yakni : gendang, dan Kecapi yang harus menyelaraskan bunyi alat

musik yang dibawakan. Sehingga kesesuaian dan kesuksesan irama

iringan musik Tari Ganrang Bulo ini tergantung kekompakan para


pengiringnya. Pola instrumen gendang hanya menggunakan satu

pola, begitupun dengan Kecapi menggunakan satu pola. Setiap di

satu kali pola Kecapi diikuti dengan bunyi gendang. Adapun alat

musik tersebut adalah sebagai berikut :

1. Gendang Makassar

Gambar 1: Gendang Makassar terbuat dari kayu yang ukurannya


bundar memanjang yang dililiti rotan sehingga kayu tersebut kuat
dan juga dililiti dengan kulit kambing atau kulit kerbau yang sudah
dikerngka sehingga bunyinya lebih nyaring. Iringan gendang sangat
berperan dalam Tari Ganrang Bulo, karena menentukan ritme atau
ketukan tari tersebut. (Dokumentasi Muh. Nurdin Syair, 2014)
2. Kecapi Makassar

Gambar 2: Kecapi yang digunakan ialah Kecapi jenis Makassar,


Permainan kecapi hadir pada upacara-upacara seperti perkawinan,
sunatan, acara kenegaraan dan lainnya. Adapun bahan pembuatannya
dari batang pohon kayu cendana, kayu nangka dan kayu jati. Alat musik
ini terdiri atas 2 (dua) senar/dawai dengan masing-masing senar memiliki
stem yang berbeda. Dahulu, kecapi dalam masyarakat terdiri atas 3(tiga)
grep namun mengalami perkembangan menjadi 4-6 grep.
(Dokumentasi Muh. Nurdin Syair, 2014)

4). Lirik syair dan puisi Tari Ganrang Bulo

. a). Lirik syair lagu Tari Ganrang Bulo serta artian dalam bahasa
Indonesianya

Ganrang Bulo (memukul Bambu)


Ganrang Bulo Ri Ganrangku (memukul bambu dipukulanku)
Ganrang tena pajjempanna Rikodong 2x (pukulan yang tidak
memakai gantungan kasihan)

Aule punna Ritunrung( jika dipukul) Rumbanggi balla


tinggiarikodong 2x (rumah tinggi akan roboh kasihan)
Punna sallla sibokoi (jika nanti bersebrangan)
Teaki sirampeko dirampeki agolla-golla (jangan
diberikangula)

Nakurampeki kaluku dende ( akan kuberikan kelapa)


Ripantarang duduk injo ( ia duduk diluar)
Nakusikko”mo bijaku taklomolomo (aku ikat nenek yang
sudahtua)
Salayari ripanggadakang dende ( diketahui keberadaanya )

e). Arena Pentas.

Tempat pelaksanaan Tari Ganrang Bulo biasanya dipentaskan pada

panggung prosenium dan arena. pementasanya sudah mulai

dipertunjukkan di beberapa acara kebudayaan baik acara formal maupun

acara nonformal, diantaranya: dalam rangka penjemputan pejabat

daerah dan kota, dan pada acara partai politik.

DAFTAR PUSTAKA

Kristiana, Dewi. 2015. Analisis Struktur Gerak Tari Trayutama. Skripsi. Semarang:
Universitas Negeri Semarang

Sidin, Nurul Chudaiwah. 2019. Eksistensi Gandrang Bulo Budaya di Kampung


Paropo Kota Makassar. Makassar: Universitas Negeri Makassar

Masnaini. 2011. Gandrang Bulo Sebagai Bahan Ajar Seni Budaya Di Smp Negeri 4
Sungguminasa. Universitas Pendidikan Indonesia

Nurdin S. 2014. Tari Ganrang Bulo Versi Sanggar Seni Mallessorang Di Kabupaten
Bulukumba Makassar: Universitas Negeri Makassar

Anda mungkin juga menyukai