oleh
Muhammad Aulia Rakhmat
Pamong Budaya Ahli Pertama Bidang Kesenian
Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Potensi ekonomi Indonesia yang besar atas kekayaan budaya membuat pihak
asing berulang kali menggunakannya tanpa izin dan mengakui kekayaan budaya
Indonesia sebagai miliknya. Dari aspek ekonomi, dalam jangka panjang, tindakan-
tindakan tersebut dapat merugikan kepentingan nasional, karena semakin lama akan
semakin banyak Warisan Budaya Indonesia yang diambil alih oleh bangsa lain,
sedangkan dari segi kepentingan nasional di Indonesia sendiri belum dapat dikalkulasi
seberapa besar potensi keuntungan ekonomi secara berkelanjutan yang dapat
diperoleh dari kekayaan intelektual warisan budaya bangsa tersebut.
Sejumlah hasil penelitian menyebutkan bahwa keuntungan yang diperoleh dari
pemanfaatan secara komersial atas warisan budaya yang ada di berbagai Negara
mencapai angka hingga puluhan bahkan ratusan juta dolar AS pertahun
Dari aspek kesenian, tari memiliki arti yang penting karena bisa memberikan
berbagai manfaat, seperti terselenggaranya upacara-upacara tradisi tertentu karena tari
memiliki “makna” dalam menyampaikan maksud acara tersebut. Makna tari juga
terdapat dalam fungsinya yang lain, baik ia sebagai sarana hiburan maupun sebagai
sarana komunikasi antara seniman dan masyarakat pendukungnya. Dimana pun tari
berada, sudah pasti memiliki makna-makna tertentu sehingga ia tetap hadir dalam
kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman.
Mengenai hal ini Sidi Gazalba (1988:40) berpendapat bahwa
“Kenapa kesenian senantiasa ada dalam kebudayaan?. Karena ia
bersifat naluri masyarakat. Tiap masyarakat memerlukan kesenangan
estetika. Seperti pula tiap masyarakat menghendaki keselamatan, yang
mendorong mereka membentuk kesatuan sosial atau masyarakat. Kesenangan
estetika dalam kehidupan yang dikehendaki oleh masyarakat, menggerakkan
mereka kepada aktivitas kesenian.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka pokok yang dikaji dalam
penelitian ini adalah “Gandrang Bulo dalam Fungsi dan Simbol di Kabupaten
Gowa”. Terdapat permasalahan yang dapat diidentifikasi untuk kebutuhan
penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Bagaimana latar histori seni tari Gandrang Bulo di Kabupaten Gowa?
2. Bagaimana fungsi tari Gandrang Bulo di Kabupaten Gowa?
3. Apa makna dan simbol yang terkandung dalam tari Gandrang Bulo di
Kabupaten Gowa?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan latar histori seni tari Gandrang Bulo di Kabupaten
Gowa
2. Untuk mendeskripsikan fungsi tari Gandrang Bulo di Kabupaten Gowa
3. Untuk mendeskripsikan makna dan simbol yang terkandung dalam tari
Gandrang Bulo di Kabupaten Gowa
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk dijadikan naskah akademik sebagai landasan ilmiah dalam pengusulan
penetapan Warisan Budaya Takbenda Nasional
2. Untuk dijadikan sebagai tinjauan historis bagi penelitian selanjutnya
3. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan untuk
pengembangan kebudayaan daerah dan kebudayaan Nasional.
4. Menambah khasanah penelitian Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi
Selatan..
5. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat luas tentang keberadaan tari
Gandrang Bulo
E. Metode Penelitian
Penyusunan Naskah Akademik Tari Gandrang Bulo dilakukan melalui studi
kepustakaan/literatur dengan menelaah berbagai data sekunder seperti hasil-hasil
penelitian atau kajian, serta literatur dan berbagai dokumen terkait. Guna
melengkapi studi kepustakaan dan literatur dilakukan pula diskusi (focus group
discussion) dan wawancara dengan mengundang beberapa pakar serta kegiatan
uji konsep di hadapan berbagai stakeholder, pakar, akademisi, maupun seniman,
serta dengan melakukan pengumpulan data lapangan ke Kabupaten Gowa. Data
yang diperoleh dari masukan pakar, maupun data yang berasal dari pencarian dan
pengumpulan data lapangan, selanjutnya diolah dan dirumuskan dalam format
Naskah Akademik.
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN EMPIRIS
A. Konsep Kebudayaan
Menurut Ki Hajar Dewantara, budaya merupakan hasil perjuangan
masyarakat terhadap alam & zaman yang membuktikan kemakmuran & kejayaan
hidup masyarakat dalam menyikapi atau menghadapi kesulitan & rintangan untuk
mencapai kemakmuran, keselamatan dan kebahagiaan di hidupnya. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), budaya adalah sebuah pemikiran, adat
istiadat, atau akal budi. Sedangkan secara tata bahasa, arti kebudayaan diturunkan
dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada cara berpikir manusia.
Menurut Geert Hofstede, budaya merupakan pemograman bersama atas
pikiran yang membedakan anggotaanggota satu kelompok orang dengan
kelompok lainnya. Menurut Linton, budaya adalah keseluruhan dari sikap & pola
perilaku serta pengetahuan yang merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan &
dimiliki oleh suatu anggota masyarakat tertentu. Menurut Edward T Hall, budaya
adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Menurut Selo Soemardjan,
kebudayaan merupakan sebagai hasil semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. Menurut Kluckhohn (dalam Syifa, 2017), tujuh unsur kebudayaan,
yaitu:
1. Sistem Religi (Sistem Kepercayaan)
2. Sistem Pengetahuan
3. Sistem Teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia
4. Sistem Kemasyarakatan (sistem sosial/kekerabatan)
5. Sistem Ekonomi (Pencaharian Hidup)
6. Bahasa
7. Kesenian
Dari pendapat para ahli di atas, maka dapat disarikan bahwa unsur-unsur
budaya adalah meliputi: perilaku-perilaku tertentu, gaya berpakaian, kebiasaan-
kebiasaan. adat istiadat. Kepercayaan, dan tradisi. Adapun ciri-ciri budaya, yaitu:
(1) Budaya bisa disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok ke kelompok,
atau dari generasi ke generasi; (2) Budaya harus dipelajari bukan menjadi bawaan;
(3) Budaya berdasarkan symbol; (4) Budaya bersifat selektif yaitu
mempresentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia yang berjumlah
terbatas; (5) Budaya bersifat dinamis, yaitu sistem bisa berubah sepanjang waktu;
(6)Unsur budaya saling berkaitan; (7) Etnosentrik (menganggap budaya sendiri
merupakan budaya yang terbaik) Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang
diakui sebagai identitas nasional.
Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998
(dalam Wikipedia, 2018b), yakni Kebudayaan nasional yang berlandaskan
Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan
merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan
harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan
dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa.
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-
puncak dari kebudayan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham
kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggal-ikaan makin lebih dirasakan
daripada kebhinekaan.
Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional,
serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat
dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya,
asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah
kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan
daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi
orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama. Nunus
Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional”.
Dari uraian sebelumnya dapat diringkas yaitu budaya adalah suatu cara
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi (wikipedia). Sedangkan kebudayaan adalah
keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adapt, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat (EB Taylor, 1832 –1917). Atau budaya itu merupakan cipta,
rasa dan karsa suatu masyarakat, sedangkan kebudayaan merupakan hasil dari
cipta, rasa dan karsa masyarakat tersebut. Atau budaya adalah dasar perilaku
manusia yang berkembang dari generasi ke generasi dimana dia hidup dan
tumbuh bersama dalam suatu masyarakat. sedangkan kebudayaan adalah hasil
ciptaan manusia yang berupa ide, aktivitas dan artefak. (pengantar antropologi
koentjayadiningrat).
B. Warisan Budaya Takbenda
Warisan Budaya Takbenda atau intangible cultural heritage bersifat
tak dapat dipegang (intangible/abstrak), seperti konsep dan teknologi; dan
sifatnya dapat berlalu dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman
seperti misalnya bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur
lain. (Edi Sedyawati: dalam pengantar Seminar Warisan Budaya Takbenda, 2002)
berdasarkan Konvensi 2003 UNESCO Pasal 2 ayat 2, Warisan Budaya
Takbenda adalah berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan,
keterampilan – serta instrumen, obyek, artefak dan ruang-ruang budaya terkait
dengannya- bahwa masyarakat, kelompok dan, dalam beberapa kasus,
perorangan merupakan bagian dari warisan budaya tersebut. Warisan Budaya
Takbenda ini diwariskan dari generasi ke generasi, yang secara terus menerus
diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok dalam menanggapi
lingkungan sekitarnya, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan
memberikan rasa identitas yang berkelanjutan, untuk menghargai perbedaan
budaya dan kreativitas manusia. Untuk tujuan Konvensi ini, pertimbangan akan
diberikan hanya kepada Warisan Budaya Takbenda yang kompatibel dengan
instrumen hak asasi manusia internasional yang ada, serta dengan persyaratan
saling menghormati antar berbagai komunitas, kelompok dan individu, dalam
upaya pembangunan berkelanjutan.
Mengacu pada konvesi UNESCO tahun 2003 tentang safeguarding of
intangible cultural heritage, Warisan Budaya Takbenda dibagi atas lima domain:
a) Tradisi Lisan dan Ekspresi; b) seni pertunjukan; c) adat istiadat masyarakat,
ritual, dan perayaan-perayaan; d) pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai
alam dan semesta; dan/atau e) keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional.
Direktorat Jenderal Kebudayaan dibawah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan Pencatatan dan
Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Kegiatan Penetapan ini
dilakukan sebagai upaya untuk pelindungan dan pelestarian Budaya Takbenda
yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kegiatan Penetapan
melibatkan berbagai pihak seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Setiap
Orang, dan Masyarakat Hukum Adat. Karya Budaya Takbenda yang akan
ditetapkan adalah Karya Budaya Takbenda yang ada di wilayah Indonesia sesuai
dengan Konvensi UNESCO Tahun 2003
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pihak yang saat ini
bertanggung jawab untuk menaungi bidang kebudayaan, menyelenggarakan
kegiatan Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Kegiatan tersebut
dilaksanakan dalam rangka melestarikan (melindungi, mengembangkan,
memanfaatkan) budaya Indonesia. Kegiatan Penetapan Warisan Budaya
Takbenda Indonesia bertujuan: menjamin dan melindungi warisan budaya
takbenda Indonesia yang merupakan milik berbagai komuniti, kelompok, dan
perseorangan yang bersangkutan; untuk meningkatkan harkat dan martabat
bangsa serta memperkuat karakter, identitas, dan kepribadian bangsa;
meningkatkan apresiasi dan kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap keunikan
dan kekayaan ragam budaya Indonesia; meningkatkan kesadaran dan peran aktif
masyarakat dan pemangku kebijakan terhadap pentingnya Warisan Budaya
Takbenda; serta saling menghargai terhadap warisan budaya bangsa;
mempromosikan Warisan Budaya Takbenda Indonesia kepada masyarakat luas
dan Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kutipan tersebut adalah bagian dari lakon dalam Gandrang Bulo yang
lazim disebut Gandrang Bulo 1942. Corak Gandrang Bulo macam ini dikreasi
secara spontan oleh para seniman pejuang di jaman kemerdekaan. Gandrang Bulo
1942 bisa dibilang karya awal dari perubahan bentuk pertunjukan Gandrang Bulo
seperti yang terlihat sekarang ini. Gandrang Bulo yang semula hanya berupa
tarian dengan permainan musik gendang dan biola dari bambu, ketika itu mulai
diselipi dengan dialog-dialog spontan disertai gerak gestur tubuh yang kocak.
Gandrang Bulo macam ini muncul pada masa pendudukan Jepang.
Munculnya kreasi baru ini adalah salah satu cara para seniman melawan penjajah,
baik Belanda maupun Jepang. Mereka tidak hanya melakukan perlawanan fisik
dan kontak senjata, melainkan juga lewat ekpresi kesenian di atas panggung.
Gandrang Bulo menjadi tempat mengeluarkan unek-unek bagi
senimannya, dan merupakan respon atas kondisi sosial yang mereka alami.
Sebagian besar seniman Gandrang Bulo berasal dari masyarakat pinggiran yang
acapkali menghadapi kesulitan-kesulitan saat berhadapan dengan para pejabat
seperti kepala desa, tentara, dokter atau oknum-oknum pemerintah yang tak
menghiraukan mereka. Merasa tak berdaya mereka tak menyikapi langsung
dalam kehidupan nyata, tapi dengan cerdas menampilkannya di atas panggung.
Saat masa istirahat kerja paksa Gandrang Bulo biasanya dimainkan oleh
para pekerja. Beberapa orang seniman tampil di depan teman lainnya diiringi
musik Gandrang Bulo. Lalu mereka mulai meniru-niru dan mencemooh gerak
gerik, gesture dan prilaku tentara Jepang. Karena diiringi musik ditambah
gerakan-gerakan yang kocak, maka wajar bila permainan ini menarik ditonton dan
diminati banyak orang. Lambat laun bentuk baru Gandrang Bulo ini dikenal
sebagai Gandrang Bulo 1942.
D. Fakta Empiris
Tari Gandrang Bulo merupakan tari tradisi yang berasal dari suku
Makassar, merupakan pertunjukan yang menggabungkan unsur musik, tarian dan
teater. dialognya menganduk lawakan sehingga para penonton terkadang ikut
tertawa dalam menyaksikan pertunjukan. Komunitas budaya yang melestarikan
kesenian ini tersebar diberbagai tempat seperti Gowa, Makassar, Maros,
Bulukumba, Jeneponto, Takalar.
Di Kabupaten Gowa terdapat beberapa sanggar seni yang sering
menampilkan dan mengajarkan Tari Gandrang Bulo ke masyarakat yakni,
Sanggar Remaja Paropo, Sanggar I Lolo Gading, Sanggar Seni Turikale, Sanggar
Kalegowa, Sanggar Pusaka Art dan Sanggar Mappakassere . Di Sanggar tersebut
bukan hanya melatih anak usia sekolah dasar saja, bahkan adapula dikalangan
orang tua ikut serta dalam pelatihan tarian ini. Saat latihan para pemain Gandrang
Bulo masih memakai peralatan musik tradisional lama dan alatnya terbuat
langsung dari bambu Bulubatti (bambu belang) yang berasal dari Kampung
Paropo Kabupaten Gowa, seperti gendang, suling dan semacamnya.
Bagi komunitas budaya atau sanggar seni, Tari Gandrang Bulo bukan
hanya sekedar ditampilkan dalam rangka menghibur penontonnya saja melainkan
juga dijadikan sebagai mata pencaharian. Melalui tarian ini mereka menghasilkan
uang dari berbagai macam panggung pertunjukkan pentas seni, baik yang
diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun swasta.
BAB III
LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS, DAN SOSIOLOGIS
A. Landasan Filosofis
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
32 ayat (1) menyatakan bahwa, “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Untuk mencapai
pemajuan kebudayaan ini, kita sebagai Bangsa Indonesia perlu bersyukur bahwa
telah dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa keragaman budaya, tradisi, adat
istiadat, kearifal lokal dan kesenian yang merupakan investasi masa depan dalam
membangun peradaban Bangsa.
B. Landasan Yuridis
Landasaan yuridis yang dapat diinterpretasikan dengan pembangunan
kebudayaan bangsa Indonesia dijabarkan dalam Pasal demi Pasal Undang-
Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, yaitu :
5. Pasal 33, pada dasarnya menyebutkan bahwa : Negara melindungi hajat hidup
orang banyak, kekayaan bangsa dan penyelenggaraan demokrasi ekonomi
demi kepentingan masyarakat luas, untuk sebesar-besarnya kepentingan
kemakmuran rakyat, secara berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
C. Landasan Sosiologis
Terdapat beberapa pertimbangan sosiologis yang perlu diuraikan terkait
dengan penyusunan naskah akademik tari Gandrang Bulo, yaitu:
Pertama, tari Gandrang Bulo pada dasarnya masih eksis dengan
hadirnya beberapa sanggar seni di Kabupaten Gowa, namun disisi lain masih
kurangnya kesadaran masyarakat untuk turut melestarikan tari Gandrang Bulo,
khususnya generasi muda yang lebih cenderung meniru budaya asing daripada
budayanya sendiri membuat tarian ini terancam keberadaannya.
Kutipan itu adalah bagian dari lakon dalam Gandrang Bulo yang lazim disebut
Gandrang Bulo 1942. Corak Gandrang Bulo macam ini, dikreasi secara spontan oleh
para seniman pejuang di jaman kemerdekaan. Lebih lanjut dalam penuturannya,
Gandrang Bulo 1942 bisa dibilang karya awal dari perubahan bentuk pertunjukan
Gandrang Bulo seperti yang terlihat sekarang ini. Gandrang Bulo yang semula hanya
berupa tarian dengan permainan musik gendang dan biola dari bambu, ketika itu mulai
diselipi dengan dialog-dialog spontan disertai gerak gestur tubuh yang kocak.
Gandrang Bulo macam ini muncul pada masa pendudukan Jepang. Munculnya
kreasi baru ini adalah salah satu cara para seniman melawan penjajah, baik Belanda
maupun Jepang. Mereka tidak hanya melakukan perlawanan fisik dan kontak senjata,
melainkan juga lewat ekpresi kesenian di atas panggung.
Gandrang Bulo menjadi tempat mengeluarkan unek-unek seniman, merespon
kondisi sosial di sekitarnya. Sebagian besar seniman Gandrang Bulo berasal dari
masyarakat pinggiran yang acapkali menghadapi kesulitan-kesulitan saat berhadapan
dengan para pejabat seperti kepala desa, tentara, dokter atau oknum-oknum pemerintah
yang tak menghiraukan mereka. “Merasa tak berdaya mereka tak menyikapi langsung
dalam kehidupan nyata, tapi dengan cerdas menampilkannya di atas panggung,” lanjut
Djumakkara.
Saat masa istirahat kerja paksa, demikian tuturnya, Gandrang Bulo biasanya
dimainkan oleh para pekerja. Beberapa orang seniman tampil di depan teman lainnya
diiringi musik Gandrang Bulo. Lalu mereka mulai meniru-niru dan mencemooh gerak
gerik, gesture dan prilaku tentara Jepang. Karena diiringi musik ditambah gerakan-
gerakan yang kocak, maka wajar bila permainan ini menarik ditonton dan diminati
banyak orang. Lambat laun bentuk baru Gandrang Bulo ini dikenal sebagai Gandrang
Bulo 1942.
Diterpa Perubahan
Pada awalnya Gandrang Bulo sebenarnya sekadar tarian yang diiringi oleh
gendang. Seiring waktu tarian ini diiringi pula lagu-lagu jenaka, dialog-dialog humor
namun sarat kritik dan ditambah gerak tubuh yang mengundang tawa. Kadangpula
diselipkan Tari Se’ru atau Tari Pepe pepeka ri makka yang acap kali tampil sendiri di
berbagai panggung pertunjukan, namun begitu oleh masyarakat sekitar tetap saja ia
dikenal sebagai bagian pertunjukan Gandrang Bulo.
Komposisi Gandrang Bulo 1942 jauh berbeda dengan Gandrang Bulo versi
awal. Bentuk awal kesenian ini sudah ada sejak jaman raja-raja Gowa, hanyalah tarian
bambu hasil kombinasi alat musik bambu, gendang dan biola. Gandrang Bulo ini lazim
disebut dengan Gandrang Bulo Ilolo gading, yang dinisbatkan pada salah satu
perlengkapan musiknya yang terbuat dari bambu lolo gading (nama jenis bambu di
Kampung Paropo, Makassar).
Saat ini, perubahan Gandrang Bulo bukanlah hal yang aneh. Lantaran
perubahan itu, tuturnya, untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang
ada. Sekitar 1942, misalnya, ketika perang melawan penjajah berkobar, kaum seniman
pun tak mau kalah. Mereka membangun basis-basis perlawanan dari atas panggung.
Gandrang Bulo pun disulap bukan sekadar tari-tarian, melainkan tempat pembangkit
semangat perjuangan dengan mengejek dan menertawakan penjajah dan antek-
anteknya. Gandrang Bulo, ketika itu, lantas menjadi kesenian rakyat yang amat populer.
Bagi seniman seorang seniman, pengalaman hidup pribadi adalah bahan humor
yang paling berharga saat beraksi di atas panggung. Misalnya tentang janji-janji
pemerintah yang mau memberikan perlengkapan kesenian dan membantu kehidupan
para seniman yang ternyata hanya tinggal janji belaka. Juga pengalaman sehari-hari
seperti biaya pengobatan yang mahal, lapangan pekerjaan yang terbatas, perilaku
tentara, dan peristiwa lain yang terekam baik dalam memorinya. Lewat aksi-aksi
teatrikal dan humor-humornya yang segar di atas panggung, seniman Gandrang Bulo
mampu merekam ulang peristiwa itu dengan berbagai plesetan dan satir.
Baru sekitar akhir 1960-an, Gandrang Bulo mengalami kreasi ulang. kreasi baru
itu dikomandani oleh Dg Nyangka, seniman asal Bontonompo, Gowa. Mulai saat itu
Gandrang Bulo dikenal dalam pentas-pentas tarian dalam acara-acara seremonial.
Gandrang Bulo macam inilah yang belakangan ini kerap tampil di acara-acara resmi
pemerintah maupun partai-partai politik. Namun begitu, meski diterpa berbagai
perubahan, toh Gandrang Bulo Ilolo Gading maupun Gandarng Bulo 1942 ini tak
pernah kehilangan tempat. Grup-grupnya tersebar di berbagai tempat seperti Gowa,
Makassar, Maros, dan Takalar. Gandrang Bulo, demikian mengutip Kalimuddin Dg
Tombong, menjadi tempat bebas seniman kampung mengekspresikan problem mereka
sehari-hari.
Jiwa Indonesia yang jujur, berani, gigih, gotong royong dan kreatif terwakilkan
lewat tarian yang menghentak dinamis ini. Kejujuran mengungkapkan kebenaran,
keberanian menyampaikan pendapat, kegigihan meraih cita-cita, gotong royong dalam
spirit kebersamaan dan kreatifitas tinggi mengemas tarian ini menjelma tak sekedar
menjadi produk budaya namun juga sebagai representasi upaya melontarkan aspirasi
secara kocak, tajam, independen namun elegan. Buat saya inilah sebuah perwujudan
Mahakarya Indonesia nan agung dan heroik.
Battu rate ma’ ri bulang…
ma’ rencong-rencong, ma’ rencong-rencong….
ma ku ta’nang ri bintoeng…..
apa kananna attudendang baule…
“Bunting lompo jako sallang”…
unsur musik, tarian dan dialog yang bersifat lawakan sehingga para
Pementasan tari Ganrang Bulo diiringi musik tradisional yang terdiri dari
berkuasa yang angkuh. Begitu lucu pola gerak para pemain sehingga
yaitu:
permainan selesai.
diikuti oleh iringan musik baik itu yang berasal dari suara atau vokal
kadang-kadang mengihlami.
perlahan dan kadang pula cepat. Irama gerak Tari Ganrang Bulo
satu kali pola Kecapi diikuti dengan bunyi gendang. Adapun alat
1. Gendang Makassar
. a). Lirik syair lagu Tari Ganrang Bulo serta artian dalam bahasa
Indonesianya
DAFTAR PUSTAKA
Kristiana, Dewi. 2015. Analisis Struktur Gerak Tari Trayutama. Skripsi. Semarang:
Universitas Negeri Semarang
Masnaini. 2011. Gandrang Bulo Sebagai Bahan Ajar Seni Budaya Di Smp Negeri 4
Sungguminasa. Universitas Pendidikan Indonesia
Nurdin S. 2014. Tari Ganrang Bulo Versi Sanggar Seni Mallessorang Di Kabupaten
Bulukumba Makassar: Universitas Negeri Makassar