Anda di halaman 1dari 4

Gandrung Marsan, Sang Maestro Gandrung Lanang terakhir

Fachri zulfikar

Pada awalnya seni p e r t u n j u k a n di B a n y u w a n g i merupakan hasil


kreativitas seniman dalam menciptakan sebuah karya seni. Penciptaan karya seni
itu semakin kreatif tidak lepas dari faktor keragaman etnis yang ada di Banyuwangi.
Keragaman ini memunculkan berbagai seni pertunjukan dari masing-masing etnis.
Gandrung muncul dan tumbuh dalam masyarakat agraris di Banyuwangi dan musik
lokal Banyuwangi muncul dan tumbuh dari masyarakat perkotaan Banyuwangi.
Keberadaan Tari Gandrung sendiri tidak lepas dari Kerajaan Blambangan beberapa
abad silam. Kata 'gandrung' sendiri konon digunakan sebagai perwujudan rasa kagum
dan terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri, yakni Dewi
Padi pembawa kesejahteraan masyarakat. Bahkan tarian ini awalnya memang
diadakan sebagai perwujudan rasa syukur pasca dilakukannya panen.

Gandrung awalnya ditarikan oleh laki-laki remaja umur 7-15 tahun. Marsan
merupakan nama maestro gandrung lanang di Banyuwangi. Tidak banyak literature
atau yang tau tentang dimana Marsan ini lahir atau asal usul pak Marsan ini, hanya
Marsan lahir dan besar di distrik Rogojampi, sebuah distrik di selatan ibukota
Tirtogondo atau saat ini yang terkenal dengan sebutan Banyuwangi. Banyak para
penari gandrung laki-laki yang menjadi gandrung akan berhenti menari gandrung
ketika mulai akhil baliq dan akan berumah tangga. Para remaja setelah umurnya
sudah melebihi batasan tersebut maka sudah tidak menjadi Gandrung lagi dengan
alasan sudah tidak laku; malu, karena pasti akan ditertawakan oleh teman-teman dan
para penonton; sudah tidak ada yang mau menari bersamanya (Widjaja, 1907: 4).
Berbeda dengan Marsan. Marsan mendedikasikan hidupnya untuk menjadi gandrung
hingga melebihi umur tersebut.

Para gandrung lanang ini saat tampil pertunjukan mengenakan pakaian seperti
perempuan dengan kain panjang dan penutup dada yang bergantung. Penutup kepala
yang tinggi berbentuk mahkota yang terbuat dari kulit dengan perhiasan telinga yang
besar di belakang telinga. Juga dilengkapi dengan gelang dan cincin. Pada waktu
menari mereka menggunakan selendang yang dijepit pada kendit dan dilengkapi
dengan sebuah kipas. Tarian Gandrung dilakukan pada bulan purnama. Beberapa
orang laki-laki duduk membentuk segiempat mengelilingi penari Gandrung. Pada saat
pertunjukan berlangsung itulah, biasanya gandrung lanang di-ibing oleh para tamu laki
laki. Sebagai penghargaan kepada mereka, masyarakat yang melihat pertunjukan,
Penari Gandrung memberi isyarat dengan tangannya menunjuk siapa yang harus
maju untuk menari bersamanya, bergantian dari satu sudut ke sudut lainnya. Para
penonton yang mendapat giliran menari biasanya memberi sumbangan kepada penari
Gandrung yang diletakkan pada sebuah baki (Widjaja, 1907: 269-270). Sebelumnya
para laki-laki itu berjalan keliling kampung dengan membawa rombongannya
memainkan kendang dan terbang (Scholte, 1926: 7).

Gandrung lanang Penari gandrung beserta pemain musik terus berjalan sambil
menari-nari ini. Kadang kala Gandrung disewa oleh penduduk untuk memeriahkan
suatu pesta. Soera Widjaja menyebutkan bahwa Gandrung laki-laki di Banyuwangi
tidak menyanyi seperti Gandrung Bali, tetapi John Scholte mengatakan bahwa
Gandrung Banyuwangi juga menyanyi.

Gandrung Marsan, adalah penari Gandrung paling terkenal pada masanya. Sama
seprti para penari ‘Gandrung Lanang’ sebelumnya, dengan iringan alat-alat musik
tradisional yang dimainkan para ‘Panjak’ seperti; Gendang, Kenong, Terbang
(Rebana) Gong dan Biola, Gandrung Marsan juga mempertunjukkan tarian Gandrung
dengan berkeliling ke desa-desa dan mendapat imbalan berupa beras dan bahan
pangan lainnya. Pertunjukan Gandrung Marsan digelar di persawahan dengan
memasang obor disekeliling area tempatnya menari. masyarakat pun berdatangan
untuk menonton atau mencari hiburan kala itu. Gandrung Marsan termashur sebagai
penari hingga ke daerah-daerah lainya. Saat. ada upacara perhelatan di masyarakat,
gandrung marsan selalu diundang, dan samua pesaingnya harus mangakui
keunggulannya sebagai penari gandrung.

Pada masa perang puputan Bayu yang telah memakan korban jiwa ribuan nyawa
‘wong’ Blambangan yang berakibat pada terasing dan terisolirnya kehidupan rakyat
Blambangan yang masih tersisa dan tetap teguh berprinsip non-kompromistis
terhadap VOC. Sebagian besar sisa-sisa pasukan Mas Rempeg melarikan diri ke
hutan maupun daerah pedalaman. Mereka memang sengaja menjauhkan diri dari
pusat-pusat kekuasaan kolonial demi menghindari gangguan fisik maupun mental dari
VOC. Kondisi keterasingan orang Blambangan inilah yang kemudian memunculkan
sebuah nama bagi mereka, yakni orang Osing, yang hingga kini digunakan untuk
mengidentifikasi warga pribumi Blambangan atau Banyuwangi. Kaum Osing pengikut
Mas Rempeg tersebut tetap meneruskan perlawanan secara gerilya terhadap
imperialisme Eropa.

Pada masa gerilya inilah seni gandrung muncul sebagai instrumen perjuangan
kaum gerilyawan Blambangan. Awalnya, yang menarikan tarian gandrung adalah para
gerilyawan laki-laki atau biasa disebut gandrung lanang. Mereka menari sambil
mendendangkan lagu-lagu perjuangan yang sejatinya merupakan bahasa sandi.
Dengan berkedok pertunjukan seni, mereka mendatangi tempat-tempat para informan
yang telah siap untuk memberi informasi tentang keberadaan pasukan Belanda.
Tarian dan lagu yang mereka bawakan juga berisi propaganda untuk mempengaruhi
rakyat Blambangan agar meninggalkan hutan dan membentuk masyarakat baru yang
terbebas dari kolonialisme. Gandrung Marsan semasa hidupnya banyak membantu
para gerilyawan dengan membagi beras hasil pertunjukan kepada para gerilyawan
serta gandrung Marsan juga sebagai mata-mata bagi para gerilyawan.

Salah satu lagu yang sering mengiringi tarian gandrung adalah Gending Padha
Nonton. Gending Padha Nonton terdiri dari delapan bait dan tiga puluh dua baris.
Dalam gending tersebut juga diselingi dengan pantun-pantun Blambangan yang
disebut basanan dan wangsalan. Gending Padha Nonton sesungguhnya merupakan
puisi yang mendeskripsikan perjuangan untuk mengobarkan semangat rakyat
Blambangan melawan segala bentuk penjajahan. Lirik-lirik yang sarat dengan pesan
perjuangan secara simbolis inilah yang dikamuflasekan melalui kata-kata sandi oleh
para gerilyawan Osing. Meskipun kental dengan nuansa heroisme, syair-syair
Gending Padha Nonton juga terkenal akan keindahannya. Oleh sebab itu, kini gending
tersebut biasa mengiringi tarian gandrung yang berfungsi sebagai tari penghormatan
atau sambutan selamat datang bagi para tamu dan wisatawan.

Sebelum Marsan meninggal, pertunjukan Gandrung laki-laki memang sudah


mulai meredup dan kemudian mati. Hal ini disebabkan oleh mulai munculnya nilai-nilai
Islam. Hal-hal yang ada hubungannya dengan adat dan pemujaan, dianggap
menyalahi aturan dalam agama Islam. Sehingga orang dengan keyakinan Islamnya
sudah mulai meninggalkan kesenian Gandrung yang dianggap sirik (Scholte, 1926:
272). Tahun 1890 Marsan meninggal dunia saat berumur 40 tahun. Dedikasi terhadap
tarian gandrung lanang dan sebagai gerilyawan puputan bayu juga berakhir.
Gandrung Lanang pun tidak ada melanjutkan. Seni Gandrungpun berubah dari
Gandrung yang dibawakan oleh laki-laki menjadi Gandrung yang ditarikan oleh
perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Scholte, John. 1927, Gandroeng Van Banyoewangi, dalam Djawa VII.

Widjaja, Raden Soera. Gandroeng lan Gamboeh, Batavia: -, 1907.

Anda mungkin juga menyukai